“Dia pasti sangat sedih, jika Romeo pergi.”
“Mm, kau benar. Tolong bujuk dia dengan benar Romeo. Atau akan sulit, jika dia menangis.”
Mendengar perkataan dua pria paruh baya itu, Romeo mengulum senyum tipis. Dia melepas ransel militernya, dan berjongkok membawa gadis kecil itu dalam pelukan.
“Senang bertemu denganmu Sela kecil, tapi Kakak harus pergi sekarang. Tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi, tapi kau harus tumbuh dengan baik.”
“Ti-tida mauu, nanti seya sendiyii….”
“Tidak akan gadis kecil, kau tidak akan sendiri. Jika kakak ada waktu, kakak akan datang menemuimu.”
Wajah kecil dengan mata coklat terang itu, masih sedikit basah. Basah setelah menangis kepergian orang tuanya. Lalu kini sudah akan ditinggalkan, kakak tampan yang mau bermainnya. Tapi begitu, dia tidak menangis seperti yang ditakutkan yang dikatakan orang-orang tadi. “Kakak mauu janji?”
“Mm, Kakak janji.” Ujar Romeo, sambil melingkarkan jari manisnya.
Itulah percakapan terakhir mereka, sebelum janji untuk datang itu, baru bisa ditepati tiga belas tahun kemudian. Kali ini waktu membiarkan mereka bertemu, dalam situasi yang tidak pernah terduga.
•••
Romeo menatap lingkungan sekolah itu, sebuah yayasan swasta elit di kota M. Tiga belas tahun yang lalu, menjadi kali terakhir dia datang kemari. Saat kini dia akhirnya kembali, bukan hanya situasi atau keberadaan, tapi tujuannya juga berubah.
Sebuah perasaan bersalah merayapi hati Romeo, mengingat janji untuk datang berkunjung yang tidak pernah bisa dia tepati.
Dahulu sekali, dia datang untuk pemakaman orang tua gadis itu. Sementara kini, dia datang untuk menawarkan pernikahan kepada gadis itu. Sedikit malu untuk menawarkan janji suci, ketika janji kecil untuk datang saja tidak bisa dia penuhi.
Tapi alih-alih penawaran, ini lebih kepada perjodohan. Dibawah permintaan sang Ayah, dia diminta untuk menikahi gadis itu agar hubungan kekeluargaan yang terbangun tidak putus.
Awalnya tidak mudah bagi Romeo untuk setuju, dengan perbedaan usia yang mencapai tiga belas tahun. Tapi dengan beberapa alasan, dia akhirnya bersedia.
Pertama, dimulai dari Ayahnya dan kakek gadis itu dalam usia yang sama. Entah Ayahnya yang ketuaan, atau kakek gadis yang masih bisa dibilang muda, tapi yang jelas, mereka adalah sahabat yang mencoba mengikat tali kekeluargaan secara paksa.
Kedua, Ibunya. Ibu yang terus-menerus mendesak menikahi gadis itu karena rasa kasihan. Membuat Romeo semakin tak berdaya.
Ketiga, adalah janji. Janji pada dirinya sendiri. Sebenarnya semenjak patah hati terakhirnya, Romeo kehilangan niat untuk melangkah ke pernikahan. Wanita yang dia cintai, harus menikah penuh dengan keterpaksaan, akibat sesuatu yang sama, yakni perjodohan.
Sementara disaat itu, dia tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan, karena sedang dalam masa tugas. Ada rasa bersalah yang begitu besar. Sehingga meskipun wanita itu sudah menikah, Romeo masih mencoba untuk tidak mencintai orang lain.
Jadi meskipun dia sekarang akan ada dalam pembicaraan mengenai pernikahan, dia hanya bisa menjanjikan kesetiaan pada calon istrinya. Tapi tidak akan bisa memberikan hatinya.
Menghisap cerutu dalam-dalam untuk terakhir kali, Romeo akhirnya mematikan api di diujung cerutunya.
Dia menatap jam tangannya dengan kekhawatiran. Dia akan bertemu gadis itu untuk pertama kali setelah sekian lama. Takut, ini akan menjadi cerita perjodohan ala drama-drama, dimana gadis itu merengek, menolak hingga membenci. Padahal itu tidak perlu.
Karena Romeo hanya datang atas permintaan keluarganya, jadi jika gadis itu tidak mau, maka tidak ada paksaan. Pikirnya meyakinkan diri.
Banyak hal dibenaknya. Tapi belum juga selesai berpikir, tak lama bel tanda selesai sekolah berbunyi sampai diluar, membuat Romeo semakin was-was.
Tapi memikirkan ini, Romeo tiba-tiba tertawa kecil. Merasa aneh karena harus begitu waspada pada seorang remaja delapan belas tahun, ketika dia seorang pria dewasa tiga puluh satu tahun. Lebih dari pada itu, dia juga seorang Kapten militer angkatan laut. Jadi terasa tidak pantas baginya, untuk merasa khawatir disituasi kecil seperti ini.
“Astaga, ini sulit tanpa alasan. Jika dia memang tidak mau, maka tidak perlu.” Putus Romeo sekali lagi. Setidaknya dia sudah berusaha untuk melakukan apa yang diminta keluarganya, ya walaupun dia berharap gadis itu menolaknya.
Romeo baru akan bersiap turun, tapi ponselnya tiba-tiba berbunyi ..., “Ada apa?”
" ... "
“Lakukan sendiri, aku sangat sibuk. Ingat yang kuceritakan kemarin?”
Terdengar suara tawa keras dari ujung lain, membuat Romeo mematikan ponsel begitu saja. Walaupun dia sedikit kesal, tapi dia setuju terhadap yang dikatakan Jordan, sahabatnya.
Bahwa dibandingkan dirinya, gadis itu jauh lebih kasihan, karena harus menikahi pria tua sepertinya. Untuk itu, Romeo hanya bisa menjanjikan perlakuan terbaik, ketika cinta akan menjadi hal yang tidak bisa dia berikan.
Ketika dilihat sudah waktunya, Romeo pun turun dari mobil dan masuk di kafe depan sekolah. Ayahnya terlalu bersemangat, sampai-sampai membuat reservasi di kafe itu. Bukan reservasi meja lagi, ketika seluruh kafe kosong hanya untuk pertemuan keduanya.
Romeo melihat setiap siswa yang berlalu-lalang, mencoba mengenali gadis bernama Ansela itu.
Hingga akhirnya, ... seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang lurus, mata coklat yang cantik, mengenakan seragam sekolah dan beberapa aksesoris warna senada, masuk di kafe.
Romeo tanpa sadar berdiri dan memasang pose formal-nya. Semakin dekat gadis itu, semakin cantik dia dilihat dari dekat.
"Ansela?"
Dengan lesung pipi yang terlihat, Ansela sedikit menunduk menunjukkan tata krama.
"Ya, Ansela ... senang bertemu anda."
Romeo menatap tangan yang terulur itu, "Romeo. Romeo Graves."
Keduanya berjabat tangan dengan formal, lalu mendudukkan diri. Melihat reaksi dan ketenangan Ansela, Romeo jadi malu sendiri, karena sempat berpikir gadis itu akan menjadi rewel atau heboh.
"Jadi, kau sudah diberitahu soal alasan pertemuan ini?" tanya Romeo langsung.
Ansela mengambil waktu, sebelum mengangguk. "Mm.” Jawabnya tenang, seolah itu semua bukan apa-apa.
Reaksi Ansela, benar-benar kejutan untuk Romeo. Dia sampai memiringkan kepala, ingin memastikan reaksi Ansela bukanlah pura-pura. “Apa kau tidak keberatan?”
“Tergantung.”
Alis Romeo menyatu, tanda tak paham.
"... tergantung apa alasannya, apa rencana kedepannya, dan bagaimana kita menjalaninya."
Mendengar ini Romeo terdiam sebentar, sebelum terkekeh kecil. "Apa kau benar-benar gadis kecil waktu itu?" Usia Ansela terlalu muda, untuk bisa setenang ini. Namun mengingat dia yang kehilangan orang tua saat masih lima tahun, Romeo tidak terlalu terkejut. Gadis itu pasti telah menjadi dewasa sebelum waktunya.
Melihat Ansela yang masih sangat tenang, Romeo memutuskan pembicaraan akan dilakukan sekarang.
Disatu sisi, mengingat rasa kasihan terhadap gadis itu, Romeo memutuskan mengatakan segalanya, apa adanya. Agar Ansela, benar-benar bisa mengambil keputusan.
"Bisa aku katakan yang sejujurnya?"
"Ya, lebih baik."
"Untuk garis besar alasannya kira-kira sama sepertimu. Ayahku ingin aku segera menikah. Tapi alasan lainnya, karena kekasihku juga telah menikah oleh perjodohan. Sebenarnya setelah perpisahan kami, aku sudah tidak berpikir untuk menikah."
Romeo pikir Ansela akan bereaksi, atau menunjukkan protes. Karena walaupun mereka dijodohkan, tidak ada wanita yang bisa menerima bahwa dia hanya menjadi pihak kedua, atau pihak yang terpaksa dipilih.
"Lalu?"
"Sebenarnya aku berharap bisa melewati pernikahan seperti pasangan lain. Namun mengingat usiamu yang masih muda, dan kemungkinan besar untuk berubah pikiran, maka aku membebaskan mu."
"Membebaskan?"
"Ya, membebaskan seperti---"
Romeo tiba-tiba kehilangan kata-katanya di depan Ansela yang menatapnya serius, tapi nampak acuh bersamaan.
"... seperti, itu um---" dia masih berusaha menjelaskan, tapi terhenti dengan tawa kecil Ansela.
"Tidak apa-apa, santai saja. Bagaimana kalau aku membantu menjelaskan, ... apa itu, seperti sebuah janji, bahwa aku bisa mengakhiri hubungan ini jika sudah menemukan sosok yang tepat? apa begitu?"
Romeo mengangguk cepat, "Ya, kira-kira begitu."
"Baiklah."
Baiklah? begitu saja? pikir Romeo heran. Tidakkah dia ingin menanyakan hal lain, atau apapun yang mungkin. "Itu saja? apa kau tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan atau tanyakan?"
Ansela berdiam sebentar, tampak serius.
"Uhm, ada. Soal panggilan. Sebaiknya seperti apa aku harus memanggil anda?"
Romeo melengos tidak percaya. Dari sekian juta pertanyaan, gadis di depannya, menanyakan hal tidak penting. Ternyata masih sangat kekanakan pikir Romeo. Tapi begitu, dia masih menjawab dengan baik. "Panggil aku Kakak saja. Apa masih ada pertanyaan lain?"
Setelah mendapatkan jawaban, Ansela menyandarkan punggungnya ke kursi dengan malas, mulai memangku sebelah kakinya.
"Tadinya punya, tapi sekarang tidak lagi. Penjelasan Kakak menunjukkan bahwa pernikahan ini hanya sementara. Jadi, tidak perlu ada pertanyaan penting untuk itu."
Romeo ikut menyandarkan punggungnya ke kursi dan menggaruk dahi yang tidak gatal. Gadis di depannya benar-benar diluar ekspektasi. Pembalikan kata gadis itu, membuat Romeo malu terhadap perkataannya sendiri. Seolah-olah dia adalah pria yang bermoral rendah.
Jadi sekali lagi, Romeo mencoba menjelaskan niatnya. "Sebenarnya bukan soal ini pernikahan sementara, tapi jika memang pernikahan ini berlangsung selamanya, juga tidak masalah. Tapi aku bisa menjanjikan segalanya, tapi mungkin tidak dengan cintaku."
Romeo merasa bersalah mengatakan hal seperti itu, pada wanita muda seperti Ansela. Tapi dia juga tidak ingin di salah pahami.
Tapi saat Romeo berpikir, mungkin ini saatnya Ansela akan mengeluh, ternyata dia salah lagi.
"Mm, baiklah. Lihat saja kedepannya."
"Itu saja?"
"Ya," Ansela memberi tangan untuk berjabat. Perjodohan telah disepakati. Hidup telah sulit, mari jangan persulit lagi, adalah prinsip hidupnya.
Romeo tidak mengerti arti dari jabat tangan itu, namun tetap dia lakukan. Rasanya seolah mereka mencapai kesepakatan bisnis.
Setelah dipikir Romeo, Ansela bukanlah pilihan yang buruk. Gadis itu berbeda, dia tampak tak akan membuat dirinya sakit kepala.
"Kalau begitu, bisakah Kakak pesankan aku makanan sekarang?" Kata Ansela yang sudah bersandar lagi. Dia seorang yang sangat senang dilayani tidak peduli sekecil apapun.
Jadi, … jika kini dia akan memiliki suami, yang sudah memperkarakan perpisahan, bahkan sebelum menikah. Maka Ansela tidak akan ragu untuk memanfaatkan semua pelayanan yang ada.
Romeo langsung saja meminta pelayan datang untuk memberi menu. Bahkan ketika itu sampai di tangannya, dengan cepat dia berikan pada Ansela.
Tapi setelah melihat-lihat, Ansela tidak menemukan sesuatu yang begitu diinginkannya.
Ah, pantas saja aku tidak pernah tertarik datang kemari. Pikir Ansela, hampir tanpa beban.
Dia kemudian menyerahkan menu kepada Romeo.
"Aku pesan menu terbaik, tapi dalam porsi yang lebih kecil."
Romeo yang mendengar itu tanpa sadar menautkan kedua alisnya. Ini pertama kalinya dia mendengar, seseorang memesan menu dengan ambigu.
Begitu juga dengan pelayan tadi, karena disini hanya kafe biasa, jadi dia memastikan rekomendasi-nya. "Kami memiliki Nasi goreng cumi bumbu hijau, sebagai menu spesial."
“Ya, ya, itu saja. Kalau bisa cepat.”
Romeo yang mendengar ‘kalau bisa cepat’ langsung merasa tak enak memesan menu lain. Dalam pengetahuannya, memesan satu menu yang sama, akan mempersingkat waktu. “Itu juga, tapi porsi normal.”
"Baik, permisi!" Pelayan itu pun kembali ke belakang.
Romeo menatap Ansela, yang juga menatapnya. Sebagai seorang yang lebih tua dan berpengalaman, dia cukup kagum dengan ketenangan Ansela. Apalagi saat ini, mereka sedang duduk berhadapan, tapi gadis itu tidak menghindari tatapannya sama sekali. Menunjukkan kepercayaan diri.
Romeo memutuskan untuk membuka percakapan, agar mereka bisa saling mengenal. “Pertengahan tahun ini sudah akan lulus kan?”
“Mm,”
“Lalu, rencananya mau lanjut kemana?”
“Tidak tahu, belum kepikiran.”
Lagi-lagi jawaban tak jelas dari Ansela.
“Masa sih belum kepikiran. Pendidikan lanjutan kan bisa ambil referensi dari sesuatu yang kita sukai. Misal saja, … pelajaran atau kegiatan apa yang paling kamu sukai? Nah, dari situ, bisa mengambil bayangan seperti apa profesi yang ingin ditekuni.” Romeo mencoba berbicara seringan mungkin, mengingat Ansela yang masih SMA.
Ansela tampak serius mendengarkan, tapi tampak tidak serius ketika memberi jawaban.
"Aku suka melukis dan bermalas-malasan."
"Melukis?" Sebenarnya bukan melukis, tapi bermalas-malasan yang mengagetkan Romeo. Tapi begitu, dia mencoba mewajarkan hal itu, lagi-lagi dengan mengingat usia Ansela. "... lalu biasanya, kau suka melukis apa?"
"Mm, apapun yang jelas bukan wajah!"
"Oh, ada apa dengan wajah?"
Ansela menggeleng. "Tidak ada, hanya tidak suka."
Lagi-lagi Romeo menarik nafas panjang. Dia mulai bertanya-tanya, apa sesulit ini bicara dengan gadis muda, atau dianya yang sangat membosankan. Sampai-sampai, gadis di depannya tampak tidak bersemangat.
"Lalu apa yang suka kau lukis?"
Ansela tidak langsung menjawab, dia nampak berpikir serius. Membuat Romeo sedikit tidak sabar, menantikan percakapan yang mungkin baru saja akan hidup.
Tapi baru saja berpikir, dia telah dikatakan oleh jawaban Ansela, yang terdengar asal.
“Banyak!”
Mendengar jawaban tidak jelas ini, Romeo menarik nafas panjang. Kini dia mulai rendah diri, dan merasa bahwa dia mungkin benar-benar membosankan.
Romeo menegakkan punggungnya, sambil menatap Ansela serius. Dia tidak ingin percakapan seperti itu terus berlanjut.
“Sela ... semisal kau punya sesuatu yang tidak kau sukai, tolong katakan saja langsung. Kedepannya, entah lama atau sebentar, kita akan bersama. Jadi pastikan untuk mengatakan apapun. Jangan canggung kepadaku.”
Ansela mengangkat sebelah alisnya tanda tak mengerti, tapi begitu dia masih menjawab
"Ya, jangan khawatir."
"Lalu, apa ada yang ingin kau lakukan sekarang?" Tanya Romeo, setelah pembicaraan sebelumnya gagal. Dia masih berusaha keras mencoba membangun suasana.
Ansela menggeleng, "Aku kenyang, dan sebenarnya mengantuk." Ansela menatap jam tangannya, "... dan aku sangat disiplin."
Romeo menyatukan dua alisnya, "Disiplin? disiplin apa?" penasarannya.
"Aku, sangat disiplin dengan waktu tidurku."
Romeo refleks memalingkan wajah dan menyapu rambutnya ke belakang. Dia ingin tertawa tapi tidak enak. Sungguh. Sebagai seseorang dari kalangan militer, dia juga sangat disiplin. Tapi ini pertama kalinya, dia mendengar seseorang sangat disiplin dengan waktu tidur.
"Oh, apa kau tidur siang pada jam begini?"
Ansela menggeleng lagi. "Tidak juga. Aku hanya harus tidur, kapanpun, tak lama setelah aku kenyang."
"Oh wow …," Kali ini Romeo tidak bisa menahan tawa kecilnya. Dia menatap Ansela tidak percaya. Tapi memang, mata gadis di depannya sudah tampak berat.
Tapi begitu, sebagai seseorang yang menjalani disiplin diri, dia mengingatkan, "tidur setelah makan, bukan kebiasaan yang baik. Apa lagi dalam jangka waktu panjang."
Romeo mengatakan dengan sedikit pelan, tidak ingin menyinggung gadis remaja. Kaget, manakala Ansela sama sekali tidak keberatan, dengan nasihat itu. "Ya, aku akan memperhatikannya."
Bukankah biasanya, jika seseorang sangat menyukai sesuatu, maka dia akan membuat tempat untuk membela hal itu? Pikir Romeo.
Namun sampai ke sini, Romeo merasa Ansela memang bukanlah pilihan yang buruk. Atau bahkan lebih baik dari yang diharapkan, untuk hubungan yang hanya sementara ini.
“Bagus.” Pujinya.
Ansela hanya mengangguk, tapi tidak mau menambahkan kata lagi, membuat Romeo harus segera mengerti situasi.
"Baiklah, kalau begitu mau kembali sekarang?"
•••
Sepanjang jalan mereka banyak diam, hingga Ansela pun jatuh dalam tidur tidak lama setelah mobil dijalankan. Beruntung, tidak perlu bagi Romeo untuk menanyakan dimana gadis itu tinggal, karena dia sudah tahu betul.
Tapi baru sekitar dua puluh menit perjalanan, dan sepuluh menit tidur, Ansela tiba-tiba menjadi gelisah. Buliran-buliran keringat mengucur dari wajah cantiknya, disertai erangan kecil penuh kegelisahan. Melihat itu sudah terjadi lebih dari tiga menit, Romeo memutuskan membangunkan Ansela.
"Sela ... Sela, hei, hei bangun."
Romeo sampai menoel-noel pipi gadis itu, tapi belum juga ada respon, sementara wajah Ansela sudah nampak pucat.
“Astaga kenapa ini?” Takutnya.
Mau tidak mau, Romeo harus menepi. Dia melepaskan sabuk pengamannya dan fokus membangunkan Ansela. Untung saja, tak lama kemudian Ansela terbangun.
"Ada apa?" tanya Ansela hampir tidak bisa di dengar.
Dia benar-benar ling-lung, jadi dia membiarkan saja ketika Romeo mengatur rambutnya ke belakang dan mengelap wajahnya dengan sapu yang. Romeo sedikit bingung menjawab pertanyaan Ansela, yang benar-benar tampak sangat mengkhawatirkan tadi. Jadi dia memilih jalan tengah, dengan bercanda. "Untuk itulah, jangan tidur terlalu pulas pada siang hari! maka inilah yang terjadi."
Ansela juga pernah mendengar mitos itu, sedikit terkekeh. Ya, hanya sedikit, sebelum kebenaran menyapa ingatannya.
“Bagaimana, apa terasa lebih nyaman sekarang?”
Ansela mengangguk dengan wajah yang memerah. Dia baru tersadar, karena menanyakan hal yang sudah dia ketahui kepada Romeo, yang baru saja ditemui.
Dia tahu bahwa ini bukan sekedar mimpi di siang hari, atau mitos bagi beberapa orang. Ini benar-benar sesuatu yang mengganggu di balik ketenangannya. Tapi begitu dia bersyukur, bahwa Romeo jauh lebih tenang, dan tidak mengomentari hal-hal lain.
"Minumlah,"
Ansela mengambil botol air itu, dan berterima kasih. Sekarang bukan hanya Romeo, tapi Ansela juga merasa hubungan ini tidak buruk.
•••
Romeo menatap Apartemen itu. Adalah salahnya dengan sok tahu, ternyata Ansela sudah tidak tinggal di tempat yang lama. Sempat membuat mereka berdua berbalik arah.
"Kau tinggal sendirian? dimana Paman? eh, maksud Kakak, dimana kakekmu?"
Ansela meneguknya jusnya terlebih dahulu, sebelum menjawab. "Biasalah, berbakti kepada negara, durhaka kepada cucu."
Mendengar ini Romeo jelas tertawa. Dia juga teringat, Ibunya mengatakan hal ini pada Ayahnya, tapi dengan versi orangtua tentu saja.
"Ah, ... beliau menghabiskan masa tua dengan baik." Romeo mengerti sekaligus kasihan. Di usia seperti ini, Ansela harus mandiri sendiri, karena sang Kakek ada dalam pemberian diri.
Kakek Ansela, Max Ezpen, adalah seorang Dokter Militer, yang mengabdikan diri di tempat-tempat pelosok atau area rawan perang. Pria tua itu, merupakan sahabat Ayah Romeo.
"Mm. Kakak juga jangan berdiri saja." Ujar Ansela.
Tidak hanya menyuruh Romeo duduk dengan santai. Ansela, tiba-tiba mengejutkan pria itu, ketika dengan acuh membuka sepatu dan kaos kakinya. Bukan sepatu dan kaos kakinya, yang menjadi masalah, tapi gaya duduknya yang cukup berantakan. Hal ini membuat Romeo refleks memalingkan wajah. "Sela, rokmu."
Gaya Ansela memang sudah berantakan, tapi itu karena dia memakai short pants, yang bahkan hampir sepanjang rok-nya. Jadi dia tidak merasa ada yang salah.
Namun mengingat Romeo yang seorang Kapten dari militer, Ansela mau tidak mau sedikit enggan. Dia segera meminta maaf dan berlari kecil ke kamar.
Sesampainya di kamar dan menutup pintu, Ansela membuang nafas panjang.
"Huft, di masa depan tampaknya akan ada lebih banyak aturan." Keluh Ansela.
Dengan berkacak pinggang dia membuka gorden jendelanya, berpikir setidaknya dengan menikah, dia akan memiliki seseorang untuk menjaminnya. Sebenarnya pernikahan bukan laga uji coba bagi Ansela, tapi melihat Romeo, serta apa yang dikatakannya tadi, mereka tampaknya tak punya banyak harapan. Meski begitu, Ansela membulatkan tekadnya, untuk tetap melanjutkan perjodohan.
"Aihh, pria tua itu pasti senang sekali." Pikir Ansela, membayangkan wajah Kakeknya.
Dia kemudian berganti pakaian yang lebih santai. Sebuah celana pendek jeans dan kaos hijau muda oversize.
Romeo yang melihat ini mulai mengira-ngira, apa Paman Max, Kakek Ansela membebaskan gadis itu dalam penampilan. Karena penampilan Ansela sangat tabu dan cukup berbeda, dalam mata Romeo.
Memang tidak bisa dipungkiri. Dalam lingkungan Romeo, para wanita berdandan rapi dan sopan selalu, meski hanya dirumah. Apalagi mereka berada dari keluarga militer dalam beberapa generasi. Jadi melihat Ansela seperti ini, ada perasaan tidak nyaman. Tapi begitu dia tidak ingin terlalu banyak berkomentar, apalagi gadis itu sudah sangat toleran terhadapnya.
"Besok hari jumat, sepulang sekolah kita langsung berangkat."
Ansela yang sudah mengangkat kaki menonton kartun, mengangguk saja. Sebenarnya dia masih sangat mengantuk, tapi tidak mungkin baginya meninggalkan Romeo begitu saja.
Melihat Ansela setuju-setuju saja, Romeo mengira-ngira akan seperti apa gadis itu jika dia tidak setuju.
"Em, Sela ...?"
"Ya, katakan saja Kak jangan ragu-ragu. Selain itu membawa waktu, itu juga membuang energi."
Romeo spontan mengacak rambut Ansela dengan tawa, mendengar kalimat panjang dan tiba-tiba dari gadis itu. Tapi seperti di awal, Ansela tidak banyak bereaksi, meski kini mulai ada kontak fisik di antara mereka.
“Astaga, kau lucu juga!” Kata Romeo.
Tapi meski sudah dikatakan Ansela untuk tidak ragu-ragu, nyatanya Romeo masih sedikit tidak nyaman. Apalagi dia akan membicarakan mengenai pernikahan.
"Untuk pernikahan kita nanti, hanya akan dihadiri oleh keluarga saja. Baru setelahnya kita daftarkan di sipil. Apa kau keberatan?"
"Baiklah, begitu saja."
Sebenarnya Romeo sedikit terganggu, karena Ansela yang tidak menatapnya saat bicara. Namun mendengar gadis itu hanya setuju-setuju lagi, dia juga semakin sungkan.
"Mm, itu mungkin artinya tidak akan ada gaun pengantin yang ...," jelas sulit bagi Romeo melanjutkan. Kata orang, semua wanita berusaha keras untuk gaun pengantin terbaik. Tapi di sini dia akan meminta, gadis itu agar tidak berlebihan. Sangat kasar memang.
Tapi siapa sangka, Ansela memahami maksud Romeo, lebih baik dari yang pria itu kira.
"Ya tidak masalah Kak. Jangan terlalu dipikirkan! ... jika memang begitu, maka begitu saja. Lagi pula aneh memakai gaun yang berlebihan, disaat tidak membuat resepsi."
Maksud daripada Ansela, yakni untuk menenangkan Romeo juga. Tapi pria itu jelas telah salah paham. Dengan mengira, Ansela mungkin merajuk.
"Dengar, nanti setelah kita menikah kau bisa memiliki gaun apa saja yang kau inginkan, aku janji." Kata Romeo, sambil menatap Ansela serius.
Dahi Ansela mengernyit kecil. Tahu bahwa ada kesalahan persepsi disini. Tapi begitu, dia juga tidak menolak, hanya mengangguk saja. Berharap Romeo akan berhenti menjadi rempong.
“Ya tentu saja.”
Entahlah, … semakin patuh dan santai Ansela, justru semakin enggan dan canggung untuk Romeo. Tapi begitu dia sudah berjanji, akan memberikan yang terbaik saat mereka menikah nanti. Tapi tentu sesuai dengan kesepakatan mereka.
Tanpa sadar hari berganti menjadi besok. Saat Ansela hendak pergi ke sekolah, dia dikejutkan dengan kehadiran Romeo di basemen Apartemen.
Meskipun sudah hampir menikah, Romeo memilih untuk kembali ke hotel kemarin sore. Dia sebenarnya sempat berpikir akan berbicara banyak hal, tapi Ansela memang terlihat cukup pemalas. Malas bicara panjang, malas bergerak lebih, malas berdebat, dan beberapa kemalasan lainnya. Yang alih-alih menjadi kekurangan, itu semua justru semakin baik, mengimbangi wajah cantiknya.
"Selamat pagi," sapa Romeo. Dia sedikit salah fokus dengan seragam Ansela hari ini.
Gadis itu nampak cantik dan sangat fresh, dengan kaos kaki diatas lutut. Lalu ada rok kotak-kotak coklat, dengan model payung dengan ukuran di atas betis. Dilengkapi kemeja putih dan dasi warna senada.
Pasti dia salah satu idola di sekolah! pikir Romeo.
"Sudah siap? Bisa Kakak akan mengantarmu!"
Ansela mau tidak mau, menyimpan kembali kunci mobilnya. Padahal ini adalah hari Jumat, jadi dia berencana membawa mobil. Jaga-jaga, kalau akan keluar dengan temannya, mengingat hari terahkir sekolah.
Melihat kepatuhan Ansela yang langsung datang meski tanpa sepatah kata, Romeo langsung membukakan pintu.
Saat masuk Romeo berusaha mengangkat percakapan ringan. "Sekolah sekarang punya banyak seragam yah. Dulu jamannya Kakak mah, hampir tidak."
"Ya begitulah."
Jawab Ansela acuh, sambil berkaca. Mencoba dan memperbaiki riasan tipisnya.
"Sudah cantik."
Mendengar ini, Ansela langsung tersenyum dengan cara yang aneh. "Ya, semua orang bisa melihatnya."
Tawa Romeo langsung pecah, melihat eksperesi iblis kecil milik Ansela. Menilai bahwa gadis di sampingnya, benar-benar tahu, kelebihannya sendiri.
"Sela, Sela, ckck ... kau lucu juga."
Ansela hanya menyungging senyum, benar-benar tidak mengerti dimana letak lucunya. Bagi Ansela, kecantikannya adalah kepastian.
Romeo lalu melajukan mobilnya, keluar Apartemen. Tapi baru saja keluar ke jalan, dia sudah menepi lagi. “Hampir lupa.”
Dia kemudian mengambil sebuah kantong tak jauh di belakang kursi kemudi. Kantong yang berisikan sekotak makanan, susu kocok, dan beberapa snack.
"Kau pasti belum sarapan, karena saat di telepon tadi kau baru bangun."
Ansela yang menerima pelayanan ini tentu saja langsung senang, "Kakak baik sekali, terimakasih banyak." Ansela menerima itu dengan sumringah, dan Romeo refleks memperlambat laju mobilnya, agar gadis itu bisa makan dengan nyaman.
Untuk sesaat waktu benar-benar berjalan baik bagi mereka. Ketika akhirnya Ansela sampai, dan tiba waktunya untuk turun, Romeo tiba-tiba memanggilnya lagi. "Ansela.”
Ansela berbalik, dan mendapati tangan Romeo yang memegang uang. Belum juga Romeo membuka mulutnya untuk menjelaskan, Ansela tanpa rasa bersalah menyambar uang itu.
“Terimakasih Kak, sekarang, sudah aku harus masuk, byee!" Katanya sambil melambaikan tangan.
Romeo masih terkejut, tapi juga melambaikan tangannya. "Wow, anak-anak sekarang lebih cepat tanggap, daripada yang kupikirkan!"
Romeo masih mengagumi Ansela, yang mengambil uang tanpa bertanya sedikitpun.
•••
Di dalam kelas, Ansela menghitung jumlah uang tunai di tangannya. "Enam ratus ribu untuk jajan, lumayan juga. Rupanya benar kata Kakek, dia punya beberapa penghasilan sampingan."
Ansela mengingat kata Kakeknya mengenai sosok Romeo. Yang selain sebagai seorang kapten militer, pria itu juga memiliki usaha peternakan dan perkebunannya sendiri.
"Wih, apa nih? masih pagi udah hitung uang? mau berbagi berkat kah?" Kata tiba-tiba, dari seorang perempuan, yang mendudukan dirinya disamping Ansela.
Melihat sahabatnya, Ansela memutar bola mata jengah. Tapi begitu sikap tubuh tindakannya berbeda. "Ya, kenapa tidak. Ini, ...."
Mata Eva membulat tidak percaya, manakala dua lembar uang disodorkan padanya. Tidak mau tahu, itu sungguhan atau bercanda, Eva langsung menyambar tanpa peduli.
Tapi melihat Ansela yang tetap acuh, meski uang itu sudah Eva masukan di kantong, Eva merasa heran dan tak enak. "Sel, kenapa si? aneh banget hari ini? nih uangnya!"
Eva menyodorkan kembali uang itu, dalam keterdiaman Ansela. Dia tahu, biasanya Ansela juga banyak diam, hanya saja kali ini lebih aneh.
Ansela menatap uang yang dikembalikan itu dengan sebelah mata, "Kenapa? ambil saja!"
Sedang dulu hidup hanya dengan Kakeknya sebagai penyokong, Ansela sudah cukup royal. Apalagi memikirkan sekarang sudah punya penyokong, tentu saja dia lebih murah hati lagi.
Toh, sesuai perkataan Romeo sendiri. Kalau ini hanya pernikahan sebentar. “Ya masa, sudah sebentar terus nggak dimanfaatkan. Iyakan?” Pikir Ansela, yang tak sadar, lolos dari mulutnya.
"Apanya yang dimanfaatkan?" Eva menodongkan pertanyaan serius, membuat Ansela juga tak keberatan mengatakan hal itu. Lagipula, dia dan Eva adalah sahabat sejak SD.
Eva menutup mulutnya dengan kedua tangan, setelah mendengar panjang lebar cerita Ansela. "Kau serius? gilak! kayak di film-film."
Ansela tersenyum. Memang tidak berlebihan untuk mengatakan hal seperti itu, apalagi dengan paras rupawan Romeo.
"Wihhh, bagi Om-omnya satu dong! Calon husband-mu pasti punya teman gitu kan!"
"I call him brother! Suruhnya."
Eva mencebikkan bibirnya. "Helah, gayanya mau dipanggil Kakak, padahal speknya om-om berduit. Panggil gadun, lebih cocok."
Ekspresi Eva mengundang gelak tawa Ansela. Setidaknya dia merasa lebih baik, memiliki seseorang untuk berbagi mengenai masa depan yang menurutnya aneh.
Yah, sayang sekali dengan fakta, Romeo sudah membuat batasan bahkan sebelum memulai.
"Pria itu pasti memiliki kekasih yang masih tidak bisa dilupakannya!"
Entah bagaimana pikiran Ansela dan ucapan Eva bisa menyambung, tapi memang begitulah adanya.
Bel pulang sekolah berbunyi. Romeo sudah siap sedia menjemput Ansela. Dia menunggu di kafe, tempat mereka bicara sebelumnya. Tapi mempertimbangkan yang terjadi, ini bisa dikatakan lebih dari menunggu. Karena sebenarnya, dia sudah disana semenjak tadi pagi dan tidak beranjak sedikitpun. Menghabiskan waktu, hanya untuk menunggu Ansela.
Melihat Ansela yang keluar bersama dengan beberapa temannya, membuat Romeo yang tadinya bersemangat, menjadi sedikit urung. Ini karena jarak usia di antara mereka, tiba-tiba terasa. Saat dia sedang kaku-kakunya saat ini, Ansela sedang ceria-cerianya, bersama teman-temannya.
Tapi tunggu. Romeo memicingkan matanya, untuk melihat lebih jelas dari jendela. Dia mencoba memperhatikan gadis itu dengan seksama. Ansela tidak tampak seperti teman-temanya yang lain. Sesekali dia tertawa dan berbicara, tapi lebih terlihat ... malas?
Ya, malas. Romeo sangat yakin, dia tidak salah. Dia adalah seorang Kapten, dan terbiasa mendisiplinkan para bawahan. Jadi dia mengenali hal seperti kemalasan, dalam sekali lihat. Bahkan lebih dari itu, aura kemalasan Ansela, semakin kentara, saat semakin dekat.
Hal ini membuat sudut bibir Romeo terangkat.
“Ternyata dia memang tidak bersemangat hampir pada semua orang, bukan hanya padaku.” Pikirnya lega. Ini karena Romeo masih terbayang betapa tidak bersemangatnya Ansela waktu mereka bersama.
•••
"Sampai jumpa hari senen guys!"
Mereka pun sambil berlambai tangan dan pergi ke arah masing-masing. Sementara Ansela, dia langsung berbalik di Kafe yang sempat dilewatinya tadi.
Tidak ingin diketahui teman-temannya yang lain, Ansela memilih melewati tempat Romeo menunggu, dan berpisah dengan teman-temannya di pertigaan jalan raya.
Dia juga sudah memastikan Romeo mendapatkan kabar terlebih dahulu, dan bersyukur karena pria itu tidak keberatan sama sekali.
"Kak, sudah lama ya? maaf soal tadi."
Romeo menggeleng, "Tidak apa-apa, lagipula aku belum terlalu lama." Bohongnya tentu saja. Tapi kebohongan itu tidak berlangsung lama, manakala bill tagihan datang.
"Totalnya, 1,1 juta Pak."
Ya, selain sudah duduk terlalu lama. Romeo sudah beberapa kali makan, minum, bahkan tidur, untuk menunggu kepulangan Ansela di sore hari.
“1,1 Juta? yang benar saja!” Heran Ansela.
Hal ini tidak mendapatkan jawaban, namun sang pelayan langsung memperlihatkan total pesanan Romeo pada Ansela.
“Ehem! Ini.” Ujar Romeo, yang langsung memberi kartu. Dia sebenarnya sangat malu karena sudah ketahuan. Tapi agar tidak lebih malu, dia memasang wajah tembok. Merasa menyesal harus berbohong, dan terbongkar saat itu juga.
Dengan mata memicing, Ansela berkata, "Kakak sudah lama ya ternyata." Hal ini membuat Romeo hanya bisa menarik sudut bibir kikuk.
“Ketahuan.”
Tapi begitu, Ansela tidak berkata lebih. Tidak ingin membuat Romeo tambah malu.
Dia hanya terkekeh kecil, sebelum mengajak Romeo untuk pulang ke Apartemen-nya. Saat ini, mereka akan pergi mengambil barang miliknya, dan bersiap ke tempat Romeo untuk dua hari kedepan. Dua hari, yang mungkin salah satunya akan menjadi hari pernikahan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!