Tok tok tok...
"Ini Alena, Pak." Terdengar suara Alena dari luar pintu.
"Baru juga saya omongin, sudah muncul saja dia." Bima berdeham. "Masuk!"
Alena membuka pintu, masuk ke ruangan. Setelah menutup pintu, ia berjalan mendekat ke meja kerja Bima. Masih dalam posisi berdiri, Alena menarik nafas panjang sebelum bicara. Seolah berusaha mengumpulkan tenaga dan keberanian untuk bicara.
"Saya ambil syarat Bapak. Saya bersedia menjalani syarat untuk menikah dan memberikan anak laki-laki... asalkan saya bisa dapat pinjaman 200 juta."
Bima tersenyum menatap Alena. "Kamu yakin?"
Alena mengangguk.
"Sekali kamu teken perjanjian kita, saya tidak mau ada kata mundur sedikitpun."
Alena mengangguk lagi.
"Duduk!"
Alena duduk di kursi depan meja kerja Bima. Keduanya kini duduk berhadapan dengan meja sebagai jaraknya.
"Saya mau kamu ketikkan surat perjanjian kita, lalu cetak sebanyak dua lembar. Satu untuk saya, satu untuk kamu. Siapkan meterainya juga. Paham?"
"Paham, Pak."
Sesaat kemudian, Bima mendikte Alena menuliskan surat perjanjian dengan bunyi yang sebenarnya cukup memberatkan Alena.
"Tuhan, ini benar-benar syarat yang berat," batin Alena sembari terus mengetikkan kata-kata yang diucapkan oleh Bima.
Beberapa saat kemudian, Alena sudah selesai mengetik, ia pun mencetak sebanyak dua lembar dan menempelkannya dengan meterai.
"Pak, ini surat perjanjiannya sudah saya siapkan sesuai dengan permintaan Anda."
Bima membaca hasil pekerjaan Alena. Ia tersenyum puas. "Bagus, sekarang lakukan tugasmu."
Alena menarik nafas panjang. "Baik, Pak." Ia mengambil pena yang selalu Ia selipkan di dalam saku baju miliknya.
"Bapak benar-benar akan memberikan saya pinjaman 200 juta kan?" Alena meminta kepastian.
"Saya akan kasih lebih. Saya kasih pinjam 500 juta. Bagaimana?"
"Jangan, Pak. Terlalu banyak. Saya hanya butuh 200 saja."
"Kalau itu mau kamu, terserah. Silakan tandatangani surat ini. Begitu kamu tanda tangan, akan langsung saya kirim uangnya."
Alena menggoreskan pena di atas nama terang miliknya di surat perjanjian tersebut. Disusul dengan Bima yang juga ikut menandatangani surat perjanjian tersebut.
"Saya kirim sekarang." Beberapa saat Bima sibuk memainkan jarinya di HP. Begitu selesai, ia simpan HP dalam saku. Seketika HP milik Alena berbunyi. Tanda notifikasi ada transaksi masuk di mobile banking miliknya.
"Kamu cek. Saya sudah transfer."
Alena membuka aplikasi mobile banking miliknya. Ada nominal 500 juta masuk. "Ini terlalu banyak, Pak."
"Anggap saja sisanya adalah mahar kamu. Belikan satu gaun untuk kamu pakai saat kita menikah nanti. Itu tugas kamu. Sekarang kembali bekerja."
Entah harus senang atau menangis. Hati Alena campur aduk dengan putusan yang baru saja dia buat.
*****
Alena mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Ia baru saja selesai mandi. Begitu duduk di depan meja kerja, tak sengaja tatapannya tertuju pada map berisi perjanjian yang ia sepakati dengan Bima di kantor tadi.
Lesu, ia buka map dan keluarkan kertas. Perlahan ia baca kembali isi perjanjiannya.
PERJANJIAN HUTANG
Dengan ini pihak pertama bersedia memberikan pinjaman hutang sebesar dua ratus juta rupiah kepada pihak kedua dengan mengajukan beberapa syarat.
Pertama, pihak kedua bersedia menikah kontrak secara diam-diam dengan pihak pertama.
Kedua, pihak kedua harus bisa melahirkan anak laki-laki lewat program kehamilan yang akan dijalankan bersama dengan pihak pertama.
Ketiga, setelah anak laki-laki lahir, kontrak pernikahan dinyatakan berakhir dan otomatis bercerai dengan hak asuh jatuh di tangan pihak pertama. Pihak kedua otomatis kehilangan hak sebagai ibu.
Keempat, tidak ada yang boleh tahu terkait perjanjian ini. Apabila sudah menyelesaikan empat poin ini, maka hutang dinyatakan lunas.
Pihak Pertama: Bima Narendra
Pihak Kedua: Alena Prameswari
Alena tertunduk lesu melihat lembaran perjanjian itu.
Drrr... Drrt... Drrt...
Panggilan telfon masuk. Nama yang tertera 'Bos Kak Tegar'. Setidaknya itu yang Alena tulis di daftar kontaknya sebab belum tahu siapa nama bos kakaknya itu.
"Halo..." jawab Alena.
"Bagaimana? Apa kamu sudah dapatkan uangnya?" Terdengar suara laki-laki dewasa.
"Saya sudah dapatkan uangnya, Pak. Besok kita bertemu di kantor polisi. Saya ingin kasus ini segera diselesaikan dan kakak saya bisa bebas."
"Oke, kita ketemu besok jam 10."
Pembicaraan telfon berakhir. Alena kembali lesu. Ia kehilangan semangat. Sebentar lagi, masa lajangnya harus berakhir di tangan orang yang tidak ia cintai. Bahkan di saat ia sama sekali belum merasakan indahnya pacaran.
HP miliknya bergetar lagi. Kali ini pesan masuk dari Bima.
From: Bima
To: Alena
Besok saya keluar kota. Kamu off sehari. Saya ada urusan pribadi.
"Pas banget. Aku nggak perlu ijin kalau begitu."
*****
"Aldy makasih udah nemenin aku ambil uang. Takut banget kalau misalnya ada jambret di jalan. Uangnya banyak banget ini," ujar Alena tulus. Saat ini ia tengah duduk di mobil bersama Aldy, sahabatnya sejak SMA.
Aldy juga sudah tahu perkara apa yang tengah dihadapi Alena. Hanya saja soal perjanjian dengan Bima, ia tidak tahu. Bahkan Alena berbohong soal asal usul uang itu. Ia bilang uang itu dapat dari keluarga yang ada di Bali.
Kebetulan memang punya saudara di Bali yang kaya raya. Hanya saja, Aldy tidak tahu kalau keluarga di sana sudah tidak ada. Meninggal semua dalam kebakaran tragis yang menimpa rumah mereka.
"Nanti setelah dari kantor polisi, kita langsung ke rumah sakit aja. Kakakku masih di sana. Kemarin dia pingsan. Butuh perawatan intensif untuk pemilihan imun tubuhnya."
Aldy menanggapi dengan anggukan kepala, "Beres Bos!"
Tak lama kemudian Alena dan Aldy bertemu dengan bos yang sudah melaporkan Tegar ke polisi. Tanpa basa-basi dengan disaksikan polisi, Alena menyerahkan uang yang diminta.
"Kali ini Tegar saya bebaskan. Hanya saja saya sudah tidak bisa menerima dia sebagai pegawai saya. Dia saya pecat dengan tidak terhormat," ujar laki-laki berperawakan sangar itu tegas. Terlihat jelas ia masih menyimpan kemarahan yang besar.
"Baik, Pak. Tapi sekali lagi saya tegaskan kalau Kak Tegar hanya dijebak. Suatu saat akan saya buktikan."
"Terserah, yang penting uang perusahaan sata sudah kembali. Saya pergi dulu. Ada banyak urusan menanti."
Alena mengangguk. Begitu bos itu pergi, ia menatap ke polisi. "Kakak saya sudah bisa bebas?"
"Kami buatkan suratnya, nanti kami antar ke rumah sakit. Anda bisa tunggu di sana. Jangan pulang dulu sebelum petugas pembawa surat putusan tiba di sana dan jangan Coca-Cola untuk kabur."
"Iya, Pak."
Setibanya di rumah sakit, Alena mendapati kakaknya tengah berbincang dengan polisi yang berjaga di depan kamar. Sepertinya hanya pembicaraan ringan.
Gadis itu berlari memeluk kakaknya. "Ale seneng akhirnya kakak bisa bebas."
"Makasih, ya. Kakak tahu... Ale pasti bisa diandalkan." Keduanya berpelukan saling meluapkan rasa bahagia. Setidaknya satu masalah terselesaikan. Walaupun...menyisakan satu masalah baru yang sangat besar juga sangat berat untuk dijalani.
"Oya, Kakak penasaran. Kamu dapat uangnya dari mana?" tanya Tegar setelah melepaskan pelukannya.
"Nanti di rumah... Ale ceritakan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Bilqies
ceritanya sungguh menarik, membuatku bisa menyelaminya penuh penghayatan...
membayangkan sosok bima yang sangat tampan dan.....
hahahahhaha mulai halu deeh
2024-04-27
1
cocondazo
Terhibur!
2024-04-12
1