"Kak, malam ini Ale coba cari pinjaman ke atasan. Doakan saja semoga berhasil," ujar Alena.
Tegar mengangguk. Ia sangat berharap Alena bisa membantu dirinya bebas dari penjara.
"Kamu nggak kerja?"
"Hari ini atasan Ale nyuruh libur. Biasanya kalau disuruh off, artinya Pak Bima juga lagi off atau ke luar negeri untuk bertemu klien."
Tegar mengangguk paham dengan jawaban yang diberikan adeknya.
"Kalau Kakak sudah bebas, apa kakak bakal cari pelaku sebenarnya?" tanya Alena.
Tegar mengangguk. "Pasti bakal kakak cari. Keterlaluan dia sudah bikin kakak seperti ini."
"Ale pasti bantu. Jujur Ale juga ingin tahu. Siapa sebenarnya yang udah hancurin hidup Kakak."
*****
Tepat pukul 7 malam. Alena mengetuk pintu apartemen Bima. Tak butuh waktu lama, Bima membuka pintu untuknya.
"Masuk," perintah Bima mempersilakan Alena masuk. Memintanya duduk di sofa ruang tamu.
Gadis itu duduk dengan patuh dan sopan. Meski dalam hati ia gugup. Membayangkan hal berat yang harus ia lakukan sebagai syarat.
"Kamu jangan takut. Syaratnya tidak berat." Bima duduk tenang seolah bisa membaca isi hati Alena.
"Kalau boleh tahu syaratnya apa, Pak?"
Bima menatap asisten pribadinya itu beberapa detik tanpa kata. "Syaratnya hanya dua. Pertama, menikah kontrak dengan saya. Kedua kasih saya anak laki-laki."
Mata Alena membulat seketika. "Nggak salah, Pak?"
"Mudah bukan? Justru sangat mudah buat kamu."
"Pernikahan bukan permainan, Pak. Apalagi sampai punya anak. Jelas itu berat, Pak."
"Seimbang dengan nilai uang yang kamu pinjam. Itu tidak sedikit, Alena." Bima menarik nafas panjang. "Gimana? Take it or leave it," ujar Bima lagi.
Alena menundukkan kepala, menarik nafas panjang, lalu ia tegakkan kembali menatap lurus ke arah Bima. "Sepertinya saya hanya membuang waktu saja di sini. Kalau syaratnya demikian, saya tidak bisa Pak. Maaf, mengganggu waktu Anda. Terima kasih, saya pamit."
Bima hanya diam sembari terus memandang Alena yang bangkit berdiri, menganggukkan kepalanya lalu berjalan keluar rumah.
"Saya yakin kamu pasti kembali," ujar Bima yakin.
*****
"Gila apa! Masak aku harus nikah sama dia. Mana harus melahirkan anak laki-laki. Emang aku Tuhan? Gila Bima!" Alena ngedumel sendiri di dalam taksi online. Hatinya sangat kesal sebab rencananya gagal.
Waktunya tinggal besok. Alena semakin pusing. Ia benar-benar kalut. Menjual rumah pasti tidak mungkin. Butuh waktu beberapa hari untuk buat rumah laku.
Taksi online berhenti di lampu merah. Tak sengaja ia melihat papan reklame pegadaian. "Apa aku ke pegadaian saja?" gumam Alena.
Seolah mendapat jalan, ia kembali tersenyum.
*****
"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" sapa pegawai pegadaian tersenyum ramah.
"Saya mau gadai sertifikat rumah, Mbak. Apa bisa?"
"Boleh saya lihat sertifikat rumahnya?"
Alena menyerahkan sertifikat dengan map merah yang ia bawa. Pegawai dengan sanggul rapi khas pegawai keuangan itu meminta izin memeriksa apakah sertifikat itu bisa digunakan atau tidak sebagai jaminan.
Beberapa saat kemudian, pegawai itu mengembalikan sertifikat milik Alena. Tetap sopan ia mengatakan penolakan untuk Alena.
"Mohon maaf Kakak. Ini sepertinya bukan sertifikat asli dan hanya foto copy. Ditambah lagi, sertifikat asli Anda masih dalam status sebagai jaminan pinjaman di bank. Harusnya sertifikat yang asli masih di sana. Jadi, kami tidak bisa memberikan pinjaman dengan sertifikat ini. Barangkali ada yang lain?"
Alena terkejut. Ia buka map itu. Benar saja, ini sertifikat fotocopy. Karena buru-buru berangkat, jadi tidak sempat memeriksa apakah isi di dalam map ini asli atau hanya fotocopy.
"Aku harus bertanya pada Kakak," batin Alena. Ia pun meminta maaf, mengubah terimakasih, dan pergi menuju kantor polisi tempat dimana Tegar ditahan.
*****
"Kenapa dia belum datang?" gumam Bima heran begitu ia sampai kantor dan mendapati meja kerja Alena masih kosong.
"Permisi, Pak. Mbak Alena tadi izin untuk datang terlambat sebab ada urusan urgent soal keluarga," ujar sekretarisnya yang datang menyerahkan dokumen.
"Kenapa dia tidak izin saya langsung?"
"Kata Mbak Alena sudah berusaha menghubungi Anda tapi sepertinya tidak Anda respon. Jadi, Mbak Alena izin lewat saya."
Bima langsung merogoh HP miliknya yang ia simpan di saku celana kanan. "Rupanya HP saya mati. Ya sudah. Kamu kembali ke meja kerja kamu."
"Baik, Pak." Si sekretaris yang bernama Nadia itu berbalik pergi.
Bima melangkah masuk ke ruang kerja miliknya. "Kemana Alena? Apa dia sudah dapat pinjaman? Mana mungkin secepat itu..."
*****
Alena duduk gelisah menunggu kemunculan kakaknya di ruang tunggu. Setelah beberapa menit menunggu, muncul petugas yang biasanya mendampingi Tegar keluar dari ruang tahanan. Kasus masih proses menunggu tanggal sidang. Jadi, masih ditahan di kantor polisi. Belum dipindah ke penjara.
"Maaf, Mbak. Kakak Anda jatuh sakit. Mendadak barusan saya temukan dia pingsan. Saat ini masih ditangani di ruang kesehatan. Anda ikut saya."
"Baik, Pak." Alena semakin tegang. Kali ini tegang karena cemas dan khawatir dengan kesehatan kakaknya.
Di ruang kesehatan tampak Tegar masih terbaring dengan mata terpejam, belum sadar. "Kak...," panggil Alena.
Sayangnya Alena belum boleh mendekat. Dokter dan perawat masih berusaha menyadarkan Tegar dari pingsan. Denyut nadi semakin melemah. Setengah jam lebih Tegar tetap tidak sadar. Akhirnya dokter meminta izin untuk memindahkan Tegar ke rumah sakit.
Cekatan polisi pindahkan tubuh kakak Alena ke mobil ambulans menuju rumah sakit. Kebetulan tak jauh dari kantor polisi ada rumah sakit besar. Jadi, Tegar akan segera mendapatkan penanganan yang tepat.
Alena diperbolehkan ikut dengan mobil ambulans. Sepanjang jalan ia genggam tangan kanan Tegar. "Kakak...harus kuat... Kakak pasti bisa lewatin ini semua." Air mata Alena menetes deras.
Beberapa saat kemudian setelah penanganan dokter, Tegar bisa sadar. Badannya masih harus dipulihkan dengan infus.
"Kakak gimana? Apa yang dirasain?" tanya Alena begitu petugas yang memasang infus keluar ruangan dan tinggal mereka berdua saja. Sementara polisi berjaga di depan pintu.
"Kakak baik-baik aja," jawab Tegar dengan suara lemah,"ini cuman lemes aja."
"Ada yang sakit? Sebelah mana yang sakit?"
Tegar menggeleng lemah,"Serius cuman tinggal lemesnya doang."
"Syukur deh kalau gitu. Lega dengernya. Kakak harus cepat pulih, cepat sembuh. Kita usut tuntas siapa pelaku yang udah jebak Kakak sejauh ini."
Tegar mengangguk mengiyakan tanpa suara. "Gimana uangnya?"
Alena menunduk lesu saat ditanya soal uang. Mengingat persyaratan yang diajukan Bima sangat berat.
"Kok diem?" tanya Tegar lagi.
Tiba-tiba Alena teringat dengan tujuan awalnya, ia ingin menanyakan soal sertifikat rumah. "Kak, Ale boleh tanya sesuatu nggak?"
"Boleh dong sayang... tanya aja."
"Sertifikat rumah kita apa dijaminkan ke bank?"
Tegar tampak heran sekaligus terkejut dengan pertanyaan Alena. "Kenapa dia tiba-tiba bertanya soal sertifikat? Jangan-jangan dia mau pake sebagai jaminan hutang. Duh, ketahuan deh," batin Tegar.
"Kenapa Kakak gantian yang diem? Jawab Kak..." desak Alena penasaran.
"Tumben kamu tanya itu. Kamu mau hutang pake itu, ya?" selidik Tegar pura-pura tidak tahu arah pikiran adeknya. Gadis cantik di sampingnya itu hanya mengangguk.
"Jaminan hutang kemana?"
"Pegadaian, Kak. Sayangnya gagal. Soalnya sertifikatnya cuman fotocopy dan yang asli masih tertahan di bank sebagai jaminan hutang."
Tegar menghembuskan nafas panjang. Ditatapnya Alena dengan tatapan sendu. "Sebenarnya rahasia ini mau Kakak bawa sampai mati, sebagaimana janji Kakak kepada almarhum ayah kita. Tapi...baiklah Kakak ceritakan."
Alena diam menyimak dengan sabar.
"Sebenarnya, saat kamu masuk SMA, ekonomi kita sedang sulit. Ayah diam-diam menggadaikan sertifikat rumah untuk hutang di bank. Ayah hanya ingin punya simpanan sekaligus biaya sekolah buat kamu sampai lulus kuliah. Makanya ia kerja keras siang dan malam buat kita."
"Setelah Ayah meninggal...kakak yang cicil angsurannya," isak Alena yang dijawab dengan anggukan oleh Tegar.
"Kamu jangan khawatir...kita pasti bisa tebus rumah itu. Kakak juga ada ide untuk cari pinjaman kemana. Kamu hubungi saja asisten pribadi ayah dulu."
"Kakak lupa...asisten pribadi Ayah sudah meninggal beberapa bulan yang lalu."
Tegar seketika ingat. Ia pun kembali lesu. Keduanya tenggelam dalam kesedihan dan kebingungan. Ini hari terakhir dari waktu yang diberikan sebelum berkas dinaikkan ke sidang.
"Kakak harus bebas...tapi aku kehabisan akal," batin Alena,"Apa aku harus mengiyakan syarat yang berat itu? Tapi aku sudah tidak punya pilihan lain."
Alena melirik jam di tangannya. Jam 3 sore. Jam segini Bima masih ada di kantor. Ia pun pamit ke kakaknya.
"Kak, apapun yang Ale perjuangkan...semua karena Ale sayang banget sama Kakak," bisik Alena pelan tak mau bangunkan kakaknya yang tertidur pulas.
*****
Tok tok tok...
"Ini Alena, Pak." Terdengar suara Alena dari luar pintu.
"Baru juga saya omongin, sudah muncul saja dia." Bima berdeham. "Masuk!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Bilqies
ceritanya menarik Thor, semangat terus menulisnya
2024-04-26
1
Huesito.( ꈍᴗꈍ)
Menarik dari setiap sudut
2024-04-12
1