NovelToon NovelToon

Memeluk Cinta

01 Awal Mula

Alena baru saja tiba di rumah saat ada dua orang polisi datang bertamu. Kebetulan ia hanya seorang diri.

"Selamat sore, apa benar ini rumah saudara Tegar Dirgantara?" tanya salah satu polisi begitu Alena membuka pintu.

"Iya, betul. Ada apa ya, Pak?" Alena menatap heran.

"Anda siapanya saudara Tegar?" Polisi tersebut bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan Alena.

"Saya adeknya. Kebetulan kami hanya tinggal berdua saja, Pak. Orang tua kami meninggal beberapa tahun yang lalu."

Kedua polisi tersebut minta dipersilakan masuk agar pembicaraannya lebih enak. Alena sampai gugup sebab lupa mempersilakan masuk. Begitu duduk di ruang tamu, polisi tersebut menyerahkan sebuah amplop coklat.

"Tadi siang, saudara Tegar Dirgantara kami tahan sebab terbukti melakukan penggelapan uang kantor. Penangkapan tersebut atas dasar bukti yang diberikan pelapor, yakni dari CEO. Sampai saat ini kakak Anda kami tahan di kantor polisi. Silakan datang ke kantor, untuk penanganan kasus lebih lanjut."

Belum hilang rasa terkejut Alena, polisi tersebut langsung undur diri sebab masih banyak urusan yang harus ditangani.

"Penggelapan uang?" gumam Alena tidak percaya. Tanpa basa-basi ia bergegas menuju kantor polisi. Tegar harus menjelaskan semuanya secara langsung.

*****

Alena menjatuhkan badannya di sofa ruang tamu. Baru saja ia kembali ke rumah setelah menemui kakaknya yang ditahan di kantor polisi.

Ia sangat mengenal tabiat kakaknya. Bahkan sangat yakin bahwa kakaknya memang dijebak. Sayangnya tidak ada bukti kuat untuk mengatakan itu.

Tegar dituntut untuk mengembalikan uang yang telah digelapkan sebanyak 125 juta dan juga baru bisa bebas setelah menebus dengan uang sejumlah 25 juta. Total 150 juta yang harus ia kumpulkan.

Badannya terasa lemas. Bahkan Alena hanya memiliki waktu dua hari saja. Sesuatu yang sangat mustahil. Perlahan air mata menetes basahi pipi.

"Kemana aku harus cari uang?" Isak Alena putus asa.

HP miliknya bergetar. Alena membaca layar notifikasi yang muncul. Pesan dari CEO tempat ia bekerja. Penasaran ia buka isi pesan. Sebagai asisten pribadi, ia harus cekatan merespon sang bos.

From: Bima

To: Alena

Besok kita ada meeting dengan klien Jepang. Siapkan presentasinya dan saya tidak mau gagal.

Jari-jari lentik Alena mengetik layar dengan cepat. Membalas pesan dengan kalimat singkat. Bunyi pesannya 'baik Pak akan saya siapkan'.

Mendadak Alena memiliki ide sesaat setelah mengirim pesan. "Barangkali besok aku bisa meminjam uang dari Pak Bima," gumam Alena.

*****

"Sumpah, Dek! Kakak dijebak. Itu semua bukan kerjaan Kakak. Laporannya beda dengan yang Kakak buat. Kamu harus percaya Kakak." Tegar mencoba meyakinkan Alena. Keduanya kini duduk berhadapan dipisahkan oleh meja besar.

Alena terisak sedih. Digenggamnya kedua tangan kakaknya. "Ale tahu, Kak. Mustahil banget Kakak berani melakukan hal buruk kayak gitu. Cuman Ale bingung harus gimana."

Brak! Seseorang menggebrak meja cukup keras. Membuyarkan lamunan Alena. Tanpa sadar gegara terbayang memori pertemuan dengan kakaknya kemarin di kantor polisi, membuatnya diam melamun.

Alena mendongak ke sumber suara. Tampak wajah galak Bima yang menatapnya tajam. "Kamu niat ke sini untuk kerja apa melamun? Saya panggil dari tadi diam saja. Bosan kerja di sini?"

Alena menggeleng cepat. "Maaf, Pak. Janji nggak melamun lagi. Ini bahan presentasinya, Pak." Gadis itu menyodorkan satu map warna hitam. Bima menerima dengan muka masam.

"Setengah jam lagi kita berangkat. Klien minta meeting di luar." Bima berlalu masuk ke ruangannya.

Mengingat rencananya semalam, gadis itu memanfaatkan waktu selagi belum berangkat meeting ketemu klien. Ia berjalan mendekat ke ruangan Bima. Mengetuk pintu dengan sopan.

"Permisi, Pak. Saya ada keperluan penting untuk saya utarakan ke Bapak. Boleh luangkan waktu sebentar, Pak?" tutur Alena sesopan mungkin begitu mendapat perintah boleh masuk ruangan.

"Duduk sini!" perintah Bima dingin.

Gadis itu melangkah mendekati meja Bima, duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan bosnya itu.

"Apa yang ingin kamu utarakan ke saya?" Bima bertanya tanpa basa-basi.

"Kalau boleh, saya mau pinjam uang. Nanti cara membayarnya saya cicil dengan uang gaji saya, Pak."

"Pinjam berapa?"

"Se..ser...seratus lima puluh, Pak."

Alena menjawab dengan sedikit terbata.

"Seratus lima puluh ribu?"

Alena menggeleng lemah. "Seratus lima puluh juta, Pak."

Mendengar jawaban Alena, membuat Bima yang semula terus fokus pada lembar dokumen di meja miliknya langsung beralih ke gadis itu.

"Saya nggak bisa. Terlalu besar," jawab Bima dingin. Ia kembali memeriksa dokumen.

"Saya mohon, Pak. Saya janji akan bayar dengan cara apapun. Saya benar-benar butuh uang itu," mohon Alena dengan muka melas.

Mendengar kalimat barusan, Bima tersenyum kecut. "Saya tidak akan beri syarat yang ringan, Alena. Kamu pasti tidak sanggup."

"Saya pasti sanggup. Saya akan usaha." Alena menatap yakin atasannya itu. Gadis itu sudah frustasi sebab tidak ada jalan untuk mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Melihat sikap Alena yang sungguh-sungguh, Bima meletakkan dokumennya. "Saya beri kamu pinjaman asalkan kamu bersedia menjalani syarat yang saya minta."

Seolah mendapat setetes air di padang gersang, Alena tersenyum lega. Ia mengangguk setuju. "Baik, Pak."

"Kamu butuh uangnya kapan?"

"Paling lambat besok, Pak."

Bima bangkit berdiri dari kursinya, berjalan mendekati Alena. Sedikit membungkuk, ia bisikkan satu kalimat tepat di telinga Alena sebelum beranjak keluar ruangan. "Tepati janjimu."

Alena hanya mematung. Entah kenapa tiba-tiba ia memiliki firasat buruk. Menyesal juga kenapa tidak ia tanyakan dulu syaratnya sebelum mengiyakan.

"Besok jam 7 malam saya tunggu kedatangan kamu di apartemen. Jangan telat." Bima menutup pintu ruangan begitu menyelesaikan ucapannya. Derap sepatunya perlahan terdengar semakin menjauh dan hilang.

"Hufft... Setidaknya aku sudah dapat pinjaman untuk bebasin Kak Tegar. Aku nggak mau kakak terlalu lama mendekam di penjara. Apalagi dia tidak bersalah."

Alena bangkit berdiri, berjalan keluar ruangan dan kembali ke meja kerja. Ia harus menuntaskan beberapa dokumen sebelum menuju ruang meeting.

"Selesai," gumam Alena lega setelah lima menit ia selesaikan tugasnya.

"Alena!" panggil Bima yang entah sejak kapan tiba-tiba sudah berdiri di depan meja kerja gadis itu. "Ayo berangkat, klien sudah menunggu."

Alena hanya mengangguk patuh, bergegas bangkit. Keduanya berjalan keluar kantor menuju basement. Siang ini ada satu meeting dengan klien dari Jepang di luar kantor.

*****

"Kakak jangan khawatir. Ale besok pasti dapat uang pinjaman untuk selesaikan masalah kakak. " Gadis itu menahan isak tangisnya. Lembut ia usap foto milik kakaknya.

HP miliknya bergetar, tanda ada pesan masuk. Rupanya dari Bima.

From: Bima

To: Alena

Besok kamu off. Kita langsung bertemu di apartemen. Jangan terlambat.

Alena mengetik satu kalimat pendek.

From: Alena

To: Bima

Baik, Pak. Saya pasti tepat waktu.

"Semoga syarat yang diajukan tidak berat. Mending aku sholat dulu, deh. Biar tenang." Alena bangkit dari tempat tidur menuju ruang sholat.

Sementara di seberang sana, Bima tersenyum tenang. "Pucuk dicinta, ulam pun tiba," ujar Bima pelan.

02 Syarat yang Berat

"Kak, malam ini Ale coba cari pinjaman ke atasan. Doakan saja semoga berhasil," ujar Alena.

Tegar mengangguk. Ia sangat berharap Alena bisa membantu dirinya bebas dari penjara.

"Kamu nggak kerja?"

"Hari ini atasan Ale nyuruh libur. Biasanya kalau disuruh off, artinya Pak Bima juga lagi off atau ke luar negeri untuk bertemu klien."

Tegar mengangguk paham dengan jawaban yang diberikan adeknya.

"Kalau Kakak sudah bebas, apa kakak bakal cari pelaku sebenarnya?" tanya Alena.

Tegar mengangguk. "Pasti bakal kakak cari. Keterlaluan dia sudah bikin kakak seperti ini."

"Ale pasti bantu. Jujur Ale juga ingin tahu. Siapa sebenarnya yang udah hancurin hidup Kakak."

*****

Tepat pukul 7 malam. Alena mengetuk pintu apartemen Bima. Tak butuh waktu lama, Bima membuka pintu untuknya.

"Masuk," perintah Bima mempersilakan Alena masuk. Memintanya duduk di sofa ruang tamu.

Gadis itu duduk dengan patuh dan sopan. Meski dalam hati ia gugup. Membayangkan hal berat yang harus ia lakukan sebagai syarat.

"Kamu jangan takut. Syaratnya tidak berat." Bima duduk tenang seolah bisa membaca isi hati Alena.

"Kalau boleh tahu syaratnya apa, Pak?"

Bima menatap asisten pribadinya itu beberapa detik tanpa kata. "Syaratnya hanya dua. Pertama, menikah kontrak dengan saya. Kedua kasih saya anak laki-laki."

Mata Alena membulat seketika. "Nggak salah, Pak?"

"Mudah bukan? Justru sangat mudah buat kamu."

"Pernikahan bukan permainan, Pak. Apalagi sampai punya anak. Jelas itu berat, Pak."

"Seimbang dengan nilai uang yang kamu pinjam. Itu tidak sedikit, Alena." Bima menarik nafas panjang. "Gimana? Take it or leave it," ujar Bima lagi.

Alena menundukkan kepala, menarik nafas panjang, lalu ia tegakkan kembali menatap lurus ke arah Bima. "Sepertinya saya hanya membuang waktu saja di sini. Kalau syaratnya demikian, saya tidak bisa Pak. Maaf, mengganggu waktu Anda. Terima kasih, saya pamit."

Bima hanya diam sembari terus memandang Alena yang bangkit berdiri, menganggukkan kepalanya lalu berjalan keluar rumah.

"Saya yakin kamu pasti kembali," ujar Bima yakin.

*****

"Gila apa! Masak aku harus nikah sama dia. Mana harus melahirkan anak laki-laki. Emang aku Tuhan? Gila Bima!" Alena ngedumel sendiri di dalam taksi online. Hatinya sangat kesal sebab rencananya gagal.

Waktunya tinggal besok. Alena semakin pusing. Ia benar-benar kalut. Menjual rumah pasti tidak mungkin. Butuh waktu beberapa hari untuk buat rumah laku.

Taksi online berhenti di lampu merah. Tak sengaja ia melihat papan reklame pegadaian. "Apa aku ke pegadaian saja?" gumam Alena.

Seolah mendapat jalan, ia kembali tersenyum.

*****

"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?" sapa pegawai pegadaian tersenyum ramah.

"Saya mau gadai sertifikat rumah, Mbak. Apa bisa?"

"Boleh saya lihat sertifikat rumahnya?"

Alena menyerahkan sertifikat dengan map merah yang ia bawa. Pegawai dengan sanggul rapi khas pegawai keuangan itu meminta izin memeriksa apakah sertifikat itu bisa digunakan atau tidak sebagai jaminan.

Beberapa saat kemudian, pegawai itu mengembalikan sertifikat milik Alena. Tetap sopan ia mengatakan penolakan untuk Alena.

"Mohon maaf Kakak. Ini sepertinya bukan sertifikat asli dan hanya foto copy. Ditambah lagi, sertifikat asli Anda masih dalam status sebagai jaminan pinjaman di bank. Harusnya sertifikat yang asli masih di sana. Jadi, kami tidak bisa memberikan pinjaman dengan sertifikat ini. Barangkali ada yang lain?"

Alena terkejut. Ia buka map itu. Benar saja, ini sertifikat fotocopy. Karena buru-buru berangkat, jadi tidak sempat memeriksa apakah isi di dalam map ini asli atau hanya fotocopy.

"Aku harus bertanya pada Kakak," batin Alena. Ia pun meminta maaf, mengubah terimakasih, dan pergi menuju kantor polisi tempat dimana Tegar ditahan.

*****

"Kenapa dia belum datang?" gumam Bima heran begitu ia sampai kantor dan mendapati meja kerja Alena masih kosong.

"Permisi, Pak. Mbak Alena tadi izin untuk datang terlambat sebab ada urusan urgent soal keluarga," ujar sekretarisnya yang datang menyerahkan dokumen.

"Kenapa dia tidak izin saya langsung?"

"Kata Mbak Alena sudah berusaha menghubungi Anda tapi sepertinya tidak Anda respon. Jadi, Mbak Alena izin lewat saya."

Bima langsung merogoh HP miliknya yang ia simpan di saku celana kanan. "Rupanya HP saya mati. Ya sudah. Kamu kembali ke meja kerja kamu."

"Baik, Pak." Si sekretaris yang bernama Nadia itu berbalik pergi.

Bima melangkah masuk ke ruang kerja miliknya. "Kemana Alena? Apa dia sudah dapat pinjaman? Mana mungkin secepat itu..."

*****

Alena duduk gelisah menunggu kemunculan kakaknya di ruang tunggu. Setelah beberapa menit menunggu, muncul petugas yang biasanya mendampingi Tegar keluar dari ruang tahanan. Kasus masih proses menunggu tanggal sidang. Jadi, masih ditahan di kantor polisi. Belum dipindah ke penjara.

"Maaf, Mbak. Kakak Anda jatuh sakit. Mendadak barusan saya temukan dia pingsan. Saat ini masih ditangani di ruang kesehatan. Anda ikut saya."

"Baik, Pak." Alena semakin tegang. Kali ini tegang karena cemas dan khawatir dengan kesehatan kakaknya.

Di ruang kesehatan tampak Tegar masih terbaring dengan mata terpejam, belum sadar. "Kak...," panggil Alena.

Sayangnya Alena belum boleh mendekat. Dokter dan perawat masih berusaha menyadarkan Tegar dari pingsan. Denyut nadi semakin melemah. Setengah jam lebih Tegar tetap tidak sadar. Akhirnya dokter meminta izin untuk memindahkan Tegar ke rumah sakit.

Cekatan polisi pindahkan tubuh kakak Alena ke mobil ambulans menuju rumah sakit. Kebetulan tak jauh dari kantor polisi ada rumah sakit besar. Jadi, Tegar akan segera mendapatkan penanganan yang tepat.

Alena diperbolehkan ikut dengan mobil ambulans. Sepanjang jalan ia genggam tangan kanan Tegar. "Kakak...harus kuat... Kakak pasti bisa lewatin ini semua." Air mata Alena menetes deras.

Beberapa saat kemudian setelah penanganan dokter, Tegar bisa sadar. Badannya masih harus dipulihkan dengan infus.

"Kakak gimana? Apa yang dirasain?" tanya Alena begitu petugas yang memasang infus keluar ruangan dan tinggal mereka berdua saja. Sementara polisi berjaga di depan pintu.

"Kakak baik-baik aja," jawab Tegar dengan suara lemah,"ini cuman lemes aja."

"Ada yang sakit? Sebelah mana yang sakit?"

Tegar menggeleng lemah,"Serius cuman tinggal lemesnya doang."

"Syukur deh kalau gitu. Lega dengernya. Kakak harus cepat pulih, cepat sembuh. Kita usut tuntas siapa pelaku yang udah jebak Kakak sejauh ini."

Tegar mengangguk mengiyakan tanpa suara. "Gimana uangnya?"

Alena menunduk lesu saat ditanya soal uang. Mengingat persyaratan yang diajukan Bima sangat berat.

"Kok diem?" tanya Tegar lagi.

Tiba-tiba Alena teringat dengan tujuan awalnya, ia ingin menanyakan soal sertifikat rumah. "Kak, Ale boleh tanya sesuatu nggak?"

"Boleh dong sayang... tanya aja."

"Sertifikat rumah kita apa dijaminkan ke bank?"

Tegar tampak heran sekaligus terkejut dengan pertanyaan Alena. "Kenapa dia tiba-tiba bertanya soal sertifikat? Jangan-jangan dia mau pake sebagai jaminan hutang. Duh, ketahuan deh," batin Tegar.

"Kenapa Kakak gantian yang diem? Jawab Kak..." desak Alena penasaran.

"Tumben kamu tanya itu. Kamu mau hutang pake itu, ya?" selidik Tegar pura-pura tidak tahu arah pikiran adeknya. Gadis cantik di sampingnya itu hanya mengangguk.

"Jaminan hutang kemana?"

"Pegadaian, Kak. Sayangnya gagal. Soalnya sertifikatnya cuman fotocopy dan yang asli masih tertahan di bank sebagai jaminan hutang."

Tegar menghembuskan nafas panjang. Ditatapnya Alena dengan tatapan sendu. "Sebenarnya rahasia ini mau Kakak bawa sampai mati, sebagaimana janji Kakak kepada almarhum ayah kita. Tapi...baiklah Kakak ceritakan."

Alena diam menyimak dengan sabar.

"Sebenarnya, saat kamu masuk SMA, ekonomi kita sedang sulit. Ayah diam-diam menggadaikan sertifikat rumah untuk hutang di bank. Ayah hanya ingin punya simpanan sekaligus biaya sekolah buat kamu sampai lulus kuliah. Makanya ia kerja keras siang dan malam buat kita."

"Setelah Ayah meninggal...kakak yang cicil angsurannya," isak Alena yang dijawab dengan anggukan oleh Tegar.

"Kamu jangan khawatir...kita pasti bisa tebus rumah itu. Kakak juga ada ide untuk cari pinjaman kemana. Kamu hubungi saja asisten pribadi ayah dulu."

"Kakak lupa...asisten pribadi Ayah sudah meninggal beberapa bulan yang lalu."

Tegar seketika ingat. Ia pun kembali lesu. Keduanya tenggelam dalam kesedihan dan kebingungan. Ini hari terakhir dari waktu yang diberikan sebelum berkas dinaikkan ke sidang.

"Kakak harus bebas...tapi aku kehabisan akal," batin Alena,"Apa aku harus mengiyakan syarat yang berat itu? Tapi aku sudah tidak punya pilihan lain."

Alena melirik jam di tangannya. Jam 3 sore. Jam segini Bima masih ada di kantor. Ia pun pamit ke kakaknya.

"Kak, apapun yang Ale perjuangkan...semua karena Ale sayang banget sama Kakak," bisik Alena pelan tak mau bangunkan kakaknya yang tertidur pulas.

*****

Tok tok tok...

"Ini Alena, Pak." Terdengar suara Alena dari luar pintu.

"Baru juga saya omongin, sudah muncul saja dia." Bima berdeham. "Masuk!"

03 Kesepakatan

Tok tok tok...

"Ini Alena, Pak." Terdengar suara Alena dari luar pintu.

"Baru juga saya omongin, sudah muncul saja dia." Bima berdeham. "Masuk!"

Alena membuka pintu, masuk ke ruangan. Setelah menutup pintu, ia berjalan mendekat ke meja kerja Bima. Masih dalam posisi berdiri, Alena menarik nafas panjang sebelum bicara. Seolah berusaha mengumpulkan tenaga dan keberanian untuk bicara.

"Saya ambil syarat Bapak. Saya bersedia menjalani syarat untuk menikah dan memberikan anak laki-laki... asalkan saya bisa dapat pinjaman 200 juta."

Bima tersenyum menatap Alena. "Kamu yakin?"

Alena mengangguk.

"Sekali kamu teken perjanjian kita, saya tidak mau ada kata mundur sedikitpun."

Alena mengangguk lagi.

"Duduk!"

Alena duduk di kursi depan meja kerja Bima. Keduanya kini duduk berhadapan dengan meja sebagai jaraknya.

"Saya mau kamu ketikkan surat perjanjian kita, lalu cetak sebanyak dua lembar. Satu untuk saya, satu untuk kamu. Siapkan meterainya juga. Paham?"

"Paham, Pak."

Sesaat kemudian, Bima mendikte Alena menuliskan surat perjanjian dengan bunyi yang sebenarnya cukup memberatkan Alena.

"Tuhan, ini benar-benar syarat yang berat," batin Alena sembari terus mengetikkan kata-kata yang diucapkan oleh Bima.

Beberapa saat kemudian, Alena sudah selesai mengetik, ia pun mencetak sebanyak dua lembar dan menempelkannya dengan meterai.

"Pak, ini surat perjanjiannya sudah saya siapkan sesuai dengan permintaan Anda."

Bima membaca hasil pekerjaan Alena. Ia tersenyum puas. "Bagus, sekarang lakukan tugasmu."

Alena menarik nafas panjang. "Baik, Pak." Ia mengambil pena yang selalu Ia selipkan di dalam saku baju miliknya.

"Bapak benar-benar akan memberikan saya pinjaman 200 juta kan?" Alena meminta kepastian.

"Saya akan kasih lebih. Saya kasih pinjam 500 juta. Bagaimana?"

"Jangan, Pak. Terlalu banyak. Saya hanya butuh 200 saja."

"Kalau itu mau kamu, terserah. Silakan tandatangani surat ini. Begitu kamu tanda tangan, akan langsung saya kirim uangnya."

Alena menggoreskan pena di atas nama terang miliknya di surat perjanjian tersebut. Disusul dengan Bima yang juga ikut menandatangani surat perjanjian tersebut.

"Saya kirim sekarang." Beberapa saat Bima sibuk memainkan jarinya di HP. Begitu selesai, ia simpan HP dalam saku. Seketika HP milik Alena berbunyi. Tanda notifikasi ada transaksi masuk di mobile banking miliknya.

"Kamu cek. Saya sudah transfer."

Alena membuka aplikasi mobile banking miliknya. Ada nominal 500 juta masuk. "Ini terlalu banyak, Pak."

"Anggap saja sisanya adalah mahar kamu. Belikan satu gaun untuk kamu pakai saat kita menikah nanti. Itu tugas kamu. Sekarang kembali bekerja."

Entah harus senang atau menangis. Hati Alena campur aduk dengan putusan yang baru saja dia buat.

*****

Alena mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Ia baru saja selesai mandi. Begitu duduk di depan meja kerja, tak sengaja tatapannya tertuju pada map berisi perjanjian yang ia sepakati dengan Bima di kantor tadi.

Lesu, ia buka map dan keluarkan kertas. Perlahan ia baca kembali isi perjanjiannya.

PERJANJIAN HUTANG

Dengan ini pihak pertama bersedia memberikan pinjaman hutang sebesar dua ratus juta rupiah kepada pihak kedua dengan mengajukan beberapa syarat.

Pertama, pihak kedua bersedia menikah kontrak secara diam-diam dengan pihak pertama.

Kedua, pihak kedua harus bisa melahirkan anak laki-laki lewat program kehamilan yang akan dijalankan bersama dengan pihak pertama.

Ketiga, setelah anak laki-laki lahir, kontrak pernikahan dinyatakan berakhir dan otomatis bercerai dengan hak asuh jatuh di tangan pihak pertama. Pihak kedua otomatis kehilangan hak sebagai ibu.

Keempat, tidak ada yang boleh tahu terkait perjanjian ini. Apabila sudah menyelesaikan empat poin ini, maka hutang dinyatakan lunas.

Pihak Pertama: Bima Narendra

Pihak Kedua: Alena Prameswari

Alena tertunduk lesu melihat lembaran perjanjian itu.

Drrr... Drrt... Drrt...

Panggilan telfon masuk. Nama yang tertera 'Bos Kak Tegar'. Setidaknya itu yang Alena tulis di daftar kontaknya sebab belum tahu siapa nama bos kakaknya itu.

"Halo..." jawab Alena.

"Bagaimana? Apa kamu sudah dapatkan uangnya?" Terdengar suara laki-laki dewasa.

"Saya sudah dapatkan uangnya, Pak. Besok kita bertemu di kantor polisi. Saya ingin kasus ini segera diselesaikan dan kakak saya bisa bebas."

"Oke, kita ketemu besok jam 10."

Pembicaraan telfon berakhir. Alena kembali lesu. Ia kehilangan semangat. Sebentar lagi, masa lajangnya harus berakhir di tangan orang yang tidak ia cintai. Bahkan di saat ia sama sekali belum merasakan indahnya pacaran.

HP miliknya bergetar lagi. Kali ini pesan masuk dari Bima.

From: Bima

To: Alena

Besok saya keluar kota. Kamu off sehari. Saya ada urusan pribadi.

"Pas banget. Aku nggak perlu ijin kalau begitu."

*****

"Aldy makasih udah nemenin aku ambil uang. Takut banget kalau misalnya ada jambret di jalan. Uangnya banyak banget ini," ujar Alena tulus. Saat ini ia tengah duduk di mobil bersama Aldy, sahabatnya sejak SMA.

Aldy juga sudah tahu perkara apa yang tengah dihadapi Alena. Hanya saja soal perjanjian dengan Bima, ia tidak tahu. Bahkan Alena berbohong soal asal usul uang itu. Ia bilang uang itu dapat dari keluarga yang ada di Bali.

Kebetulan memang punya saudara di Bali yang kaya raya. Hanya saja, Aldy tidak tahu kalau keluarga di sana sudah tidak ada. Meninggal semua dalam kebakaran tragis yang menimpa rumah mereka.

"Nanti setelah dari kantor polisi, kita langsung ke rumah sakit aja. Kakakku masih di sana. Kemarin dia pingsan. Butuh perawatan intensif untuk pemilihan imun tubuhnya."

Aldy menanggapi dengan anggukan kepala, "Beres Bos!"

Tak lama kemudian Alena dan Aldy bertemu dengan bos yang sudah melaporkan Tegar ke polisi. Tanpa basa-basi dengan disaksikan polisi, Alena menyerahkan uang yang diminta.

"Kali ini Tegar saya bebaskan. Hanya saja saya sudah tidak bisa menerima dia sebagai pegawai saya. Dia saya pecat dengan tidak terhormat," ujar laki-laki berperawakan sangar itu tegas. Terlihat jelas ia masih menyimpan kemarahan yang besar.

"Baik, Pak. Tapi sekali lagi saya tegaskan kalau Kak Tegar hanya dijebak. Suatu saat akan saya buktikan."

"Terserah, yang penting uang perusahaan sata sudah kembali. Saya pergi dulu. Ada banyak urusan menanti."

Alena mengangguk. Begitu bos itu pergi, ia menatap ke polisi. "Kakak saya sudah bisa bebas?"

"Kami buatkan suratnya, nanti kami antar ke rumah sakit. Anda bisa tunggu di sana. Jangan pulang dulu sebelum petugas pembawa surat putusan tiba di sana dan jangan Coca-Cola untuk kabur."

"Iya, Pak."

Setibanya di rumah sakit, Alena mendapati kakaknya tengah berbincang dengan polisi yang berjaga di depan kamar. Sepertinya hanya pembicaraan ringan.

Gadis itu berlari memeluk kakaknya. "Ale seneng akhirnya kakak bisa bebas."

"Makasih, ya. Kakak tahu... Ale pasti bisa diandalkan." Keduanya berpelukan saling meluapkan rasa bahagia. Setidaknya satu masalah terselesaikan. Walaupun...menyisakan satu masalah baru yang sangat besar juga sangat berat untuk dijalani.

"Oya, Kakak penasaran. Kamu dapat uangnya dari mana?" tanya Tegar setelah melepaskan pelukannya.

"Nanti di rumah... Ale ceritakan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!