..."Mereka berkata bahwa mereka membenci hujan. Padahal, aku menganggap hujan adalah cara Tuhan menghibur hamba_Nya yang kesepian."...
...-Jianka Putri Dwianka...
.......
.......
.......
Cerita ini dimulai dari kisah pertemanan yang berawal dari persahabatan dua gadis cantik, Jianka dan Fiana. Keduanya memiliki sifat yang bertolak belakang. Meski demikian, persahabatan mereka tetap bertahan.
Jianka Putri Dwianka, sosoknya dikenal cuek, terlalu bodo amat, anti ribet, dan realistis. Gadis berambut panjang bergelombang, dengan poni paripurna. Bersahabat dekat dengan Fiana Agnesia sudah cukup lama. Sejak mereka masih duduk di bangku SMP.
Fiana Agnesia, lebih dikenal ramah dengan semua kalangan. Baik lelaki maupun wanita, pada orang dekat maupun orang asing. Saat ini, Fiana bekerja di sebuah cafe, berbeda dengan Jianka yang memilih untuk melanjutkan pendidikannya.
“Partner kerja aku, kak Iza. Dia kayaknya suka sama aku, Ji.”
“Kok kamu tau?”
“Kelihatan banget, Ji.”
Banyak bercerita tentang lelaki, itulah Fiana. Alur hidupnya seolah hanya tentang cinta, putus cinta, terluka, dan kembali lagi ke cinta hingga kembali lagi pada luka. Sementara Jianka, justru tampak seperti manusia yang tak normal. Dirinya bahkan bisa dikatakan sangat jauh dari lelaki, anti cowok.
“Sibuk, nggak? Tolong jemput aku, Ji,” pinta Fiana pada sahabatnya tersebut malam ini melalui telepon.
Fiana yang hidup sebatang kara. Ayahnya yang pergi meninggalkan ibunya sejak Fiana masih balita. Ibunya meninggal dunia sejak Fiana masih SMP.
Ditinggal bersama kakak perempuannya, setelah kakaknya menikah dan memulai hidup bersama sang suami, Fiana tinggal seorang diri.
“Hari ini gak bawa motor?” tanya Jianka setelah Fiana keluar.
“Nggak, Ji. Motornya dibawa kakak.”
“Dibawa? Diambil dia?”
“Iya, dibawa ke rumah suaminya.”
Sejak hari itu, mengantar jemput Fiana menjadi kebiasaan Jianka. Terbiasa datang, tentu Jianka semakin lama juga mengenal siapa Iza. Partner kerja Fiana.
“Itu cowok-cowok setiap hari ngumpul di sini?”
“Iya, Ji. Mereka semua masih saudara sama kak Iza.”
Kelima lelaki yang selalu mengunjungi Cafe. Menjadi alasan Jianka untuk tidak berani memasuki Cafe, ketika Jianka menjemput Fiana malam hari. Jianka lebih memilih untuk menunggu di luar, dibanding harus masuk dan menyapa para lelaki yang duduk memutari meja tersebut.
Malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya. Hujan mendadak mengguyur kota, saat Jianka masih menunggu Fiana. Fiana, Iza, dan keempat saudaranya yang mulai mengkhawatirkan Jianka. Fiana menghampiri Jianka dan memintanya masuk, menunda jam pulang karena cuaca yang memburuk.
“Nggak papa, Fi. Aku di sini aja. Aman,” ucap Jianka tenang sambil mengacungkan jari jempolnya. Fiana yang mengerti sahabatnya tersebut, hanya kembali menutup pintu. Iza yang mengamatinya, mulai angkat bicara.
“Lah, kok nggak kamu ajak masuk? Kasihan, deres hujannya.”
“Dia gak mau, Za.”
“Paksain, Fiana!”
Tak peduli dengan ucapan Iza. Fiana hanya kembali duduk dan menikmati secangkir kopinya bersama gadget di genggamannya.
“Lo bener-bener, Fi! Dia sahabat, lo. Malah enak-enakan duduk, lo!” sahut kakak lelaki Iza yang mulai jengkel.
"Santai aja, Kak! Sopan, lo? Ngomong kayak gitu sama cewek!" ketus Iza yang tak terima dengan nada bicara kakak lelakinya pada Fiana.
"Dia nggak sopan! Nggak menghargai sahabatnya banget."
“Biasanya juga gitu, Kak Arbian. Kak Arbian kayak gak tau Jianka aja.”
“Tapi ini lagi hujan, Fi!”
Tanpa berpikir panjang, menghentikan perdebatan yang dimulai oleh dirinya sendiri. Arbian beranjak dari tempat duduknya dan menemui Jianka. Tak hanya memanggilnya dari ambang pintu seperti yang dilakukan Fiana. Arbian langsung mendekati Jianka hingga membuat Jianka panik.
“Nggak usah takut gitu, kita nggak ngapa-ngapain. Masuk aja, dingin di luar.”
Tetap menolak, Arbian mulai meraih tangan Jianka. Namun dengan sigap juga, Jianka menghindarinya. Pada tangga masuk tersebut. Akhirnya, Arbian memutuskan untuk duduk. Jianka yang terkikuk, menatap bingung lelaki dengan ekspresi wajah datar tersebut.
“Mau di sini sampai kapan?” tanya Arbian dengan nada cuek.
“Kakak masuk aja, ngapain ikut duduk di sini?”
“Kasian banget kamu. Padahal udah seeffort itu, tapi sering banget diabaikan.”
Ucapan itu seketika membuat Jianka bungkam. Matanya teralihkan pada sosok wanita yang duduk dengan tenangnya di bangku Cafe, bercerita dan bercanda ria dengan partner kerjanya itu.
Mata Jianka hanya berkedip bingung untuk menjawab kembali ucapan lelaki yang duduk di sampingnya tersebut.
"Lain kali, jangan terlalu baik sama orang."
Jianka menarik senyum simpulnya miring, "Emang salah?" tanya Jianka seolah meremehkan ucapan Arbian.
"Nggak salah, tapi nggak baik juga." Tindas lelaki tersebut dengan sorot mata menantang setelah melihat senyum yang tampak sinis dari wajah Jianka. "Masih mau di sini?" lanjutnya.
Jianka tak merespon pertanyaan yang kembali diulang oleh lelaki berusia 25 tahun itu. Dirinya yang tetap duduk dengan tenang, menatap setiap jatuhnya air hujan yang menabrak jalanan. Cukup menjawab bahwa Jianka masih ingin duduk di sana.
Arbian Putra Pratama, merupakan kakak lelaki Arva Fariza atau yang biasa dipanggil Iza.
Hening~
Keduanya tampak begitu canggung di antara jarak duduk mereka. Hingga kilatan petir dengan suara kerasnya, bersama gemuruh yang mengikutinya, mengejutkan Jianka hingga bahunya terangkat.
Arbian yang menahan tawanya saat melihat respon terkejut gadis di sampingnya itu. Ujung bibir yang kembali datar setelah melihat mata Jianka yang terpejam, dan tangan Jianka yang menyatu tergenggam.
"Are you okay?" tanya Arbian lembut yang perlahan membuka kembali mata Jianka.
"I'm okay," balas Jianka mengangguk dan spontan melepas genggaman kedua telapak tangannya yang menyatu karena rasa takut.
"Tangan kamu gemetar?"
"Nggak, Kak. Ini cuma kedinginan."
Alasan Jianka yang membangkitkan Arbian kembali. Mata Arbian tertuju pada kunci motor yang masih tergantung. Dengan akal di luar nalar, Arbian menaiki motor Jianka dan memaksa Jianka naik.
"Ini hujannya lagi deres banget, Kak."
"Naik!" balas Arbian singkat bergaya tegas.
"Kakak mau ke mana? Pergi aja sendiri, aku mau di sini aja."
"Lo naik ... atau gue tarik tangan, lo?" mata Arbian yang menangkap sinis, membungkam mulut Jianka yang terus berusaha menolak. Tak punya pilihan lain, selain mengikuti keinginannya.
Jianka benar-benar menjaga jarak duduknya, tubuhnya seolah benar-benar tidak ingin tersentuh sedikit pun. Arbian yang menyadari hal tersebut, memperlambat laju motornya untuk menjaga gadis yang dia bawa.
"Tunjukin jalan ke rumah kamu!"
"Kok ke rumah aku?"
"Emang kamu mau, kalau ke rumah aku?"
Tanpa kembali berbasa-basi, gadis yang anti dengan lelaki tersebut, segera menunjukkan arah rumahnya. Arbian hanya tersenyum sinis mendengar gugup responnya.
"Langka banget nih cewek."
…
Tak mendapati kakaknya kembali masuk, Iza membuka pintu dan justru mendapati kakak dan teman perempuan dari Fiana, sudah tidak ada di depan Cafe. Bertanya pada tiga keponakannya yang masih tersisa. Namun, tak satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana mereka pergi. Iza mendekati Fiana yang masih asyik dengan gadgetnya. Menanyakan hal yang sama. Namun, Iza tetap mendapatkan jawaban yang sama pula.
Cafe yang sepi pengunjung, hanya tersisa tiga keponakannya dan dua rekan kerja tersebut. Regha, mendekati Fiana yang duduk tak jauh dari bangku yang mereka bertiga duduki. Dengan senyum manis yang seolah siap meluluhkan hati seorang gadis yang kini duduk seorang diri.
"Haii."
Iza membidik tajam setiap pergerakannya. Iza merasa bahwa, keponakannya ini memiliki rasa yang sama pada Fiana.
Panjang perbincangan mereka yang hanya mampu Iza pantau tanpa kata. Wajah masam itu menunjukkan kecemburuannya. Fiana mengetahui hal tersebut, namun dirinya hanya menatap dan bersikap tak peduli.
...***...
..."Untuk mendapatkan perlakuan yang sama, aku tak sehebat putra pertama dan tak seberuntung putri bungsu."...
...-Jianka Putri Dwianka ...
.......
.......
.......
Hujan yang Arbian terjang bersama Jianka. Membasahi seluruh tubuh mereka. Pakaian yang basah kuyup, kaos putih Jianka tak lagi mampu menutup sempurna bagian tubuhnya.
~Apa sih bahasanya? Ngeplat gitu lhoo. Pahamkan?
Rambut panjang yang terurai ke belakang, tangan Jianka dengan cepat membawanya ke depan. Memang tak menutup sempurna, tapi setidaknya, tak membuatnya begitu tampak.
Wajah gugup Jianka yang jelas tampak, ditangkap gugup juga oleh Arbian yang masih berada di motor Jianka. Matanya terpaling seketika, kepalanya yang tertunduk, jari-jemarinya menurunkan resleting jaket hitam yang dia pakai. Tanpa kembali mengarahkan sudut pandangnya pada Jianka, Arbian memberikan jaketnya yang juga basah tanpa kata.
Jianka yang turut memahami maksudnya, juga hanya menerimanya tanpa kata, bahkan tanpa ucapan terima kasih. Jianka dengan sigap menutupkan jaket Arbian pada tubuh mungilnya.
"Ini rumah kamu?" pertanyaan yang hanya terbalas anggukan tersebut, mendatarkan wajah Arbian yang menatap setiap sudut megahnya.
Rumah berlantai dua, dengan pintu gerbang hitam tinggi, halamannya yang sudah tampak begitu indah dengan berbagai tanamannya. Senyum tipis yang tampak tak tulus itu tercipta dari wajah Arbian, "Anak orang kaya ternyata," batinnya.
"Masuk dulu, Kak," ajak Jianka mengalihkan pandangan Arbian.
"Basah kayak gini, aku langsung pulang aja."
"Nunggu hujan reda aja. Masuk dulu!"
"Aku langsung pulang aja, ya? Lagian, keburu kedinginan."
"Masuk dulu, Kak! Ukuran tubuh Kakak nggak jauh beda dari aku kayaknya. Masuk dulu, ya?"
Tanpa menunggu persetujuan Arbian, Jianka membuka pintu gerbangnya dan meminta Arbian untuk masuk.
Mata Arbian yang menyipit, ujung bibir yang terbentuk bingung. Hanya diam membatin, "Maksud lo apa?"
Setelah mengganti pakaiannya, Jianka kembali ke teras depan dan membawa selembar celana panjang dan kaos hitam miliknya.
"Ini baju kamu?" tanya Arbian yang kembali dibuat bingung.
Jianka mengangguk dengan senyumnya, membenarkan pertanyaan Arbian.
"Ayo, aku antar ke kamar mandi.
Mata Arbian yang terbelalak terkejut sebelum Jianka menyelesaikan ucapannya.
"Kaget, gue kira ke kamar lo," balasnya dengan wajah yang kembali lega.
Jianka hanya menggeleng dengan senyum jahatnya, kembali masuk yang diikuti Arbian di belakangnya.
Sembari menunggu Arbian mengganti pakaiannya, Jianka menyiapkan beberapa suguhan untuk lelaki yang memaksanya agar tidak terlalu baik terhadap orang lain itu.
"Gila emang nih cewek, emang nggak ada aura ceweknya selain cantik," ucap Arbian yang menampakkan dirinya pada cermin kamar mandi setelah mengganti pakaiannya.
Celana panjang dan kaos hitam itu tampak begitu cocok melekat di tubuhnya, "Ganteng juga gue," puji Arbian pada dirinya sendiri sambil membawa rambut belah tengahnya ke belakang.
Suguhan yang telah siap, Arbian yang telah keluar juga. Dua gelas susu coklat bersama dua piring mie instan, dengan seorang gadis cantik dengan ikat rambutnya yang tampak rapi. Mematungkan langkah Arbian yang kini hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi.
"Kak? Sini, ngapain berdiri di situ?" panggil Jianka menangkap wajah kakunya.
Sepanjang menikmati makanan yang disuguhkan, keduanya hanya tampak diam, canggung untuk memulai obrolan. Hingga sepiring mie instan yang telah terselesaikan.
"Kamu baik ternyata," ucap Arbian tiba-tiba.
"Kakak pikir?"
Arbian menggeleng dan meraih gelasnya, menyeduh hangat susu coklat yang Jianka buat.
"Yang aku denger dari Fiana, dia kayak buruk banget. Tapi ternyata sebaik ini," ucap hati tenang itu dengan sorot mata kaku.
...
Panjang senda gurau antara Regha dan Fiana ciptakan di bangku Cafe tersebut. Iza yang tampak geram, mulai menghubungi Arbian untuk menanyakan keberadaannya bersama teman dekat Fiana yang sedang dia bawa.
"Kalian ke mana? Buruan balik!"
"Kenapa? Lagian kalau aku balik, aku bakalan balik sendiri. Nggak bareng ...." Katanya terputus.
"Jianka," jawab Jianka sigap begitu Arbian menatap dirinya.
"Nggak bareng Jianka. Dia gue antar pulang."
"Lah, kok lo antar pulang? Terus Fiana?"
Mendengar namanya disebut, Fiana mengalihkan pandangannya yang kini tertuju pada Iza.
"Bodo amat!"
Arbian yang memutuskan panggilannya, bergegas pamit untuk pulang.
"Naik apa?"
"Gampang," balas Arbian ringan.
"Bawa motor aku dulu aja, Kak. Nanti Kakak ke sini lagi."
"Jangan! Tenang aja, Ji. Aman kok."
"Oh ya, aku Arbian. Kakaknya Iza."
Tangan yang terulur itu diterima oleh Jianka. Arbian tersenyum tipis melihat gadis ini mulai berani berkomunikasi dekat dengannya, "Mulai jinak kayaknya."
~Udah nerjang hujan bareng kenalannya barusan.
Arbian kembali ke cafe. Mata Fiana yang tampak kaku memandangi setiap perubahannya. Tampak mata yang tak asing melihat perubahan Arbian.
"Kayak baju Jianka?" tanya Fiana curiga.
Sudut mata yang masih menampakkan kesalnya, Arbian tak peduli dengan pertanyaannya. Tangannya meraih kunci motor yang masih berada di atas meja dan mengajak keponakannya pulang.
"Hey! Lo nganterin Jianka pulang gitu aja, terus Fiana?" teriak Iza menatap langkah pergi kakaknya tersebut.
"Lo urus!"
Arbian menatap rinci wanita yang masih berseragam tersebut. Sorot matanya yang tampak tajam, senyumnya yang sinis menegangkan. Membuat Fiana tertunduk seketika. Fiana tak menyadari apa pun, dia hanya sibuk bertanya pada dirinya sendiri, "Aku salah apa?"
...
Di malam yang selarut ini, ibu Jianka yang pulang dari kerjanya. Membuka kasar kamar Jianka masih dengan kemeja rapinya. Jianka yang terkejut karenanya, menatap penuh tanda tanya.
"Bagus! Bunda capek seharian kerja buat kamu, kamu malah enak-enakan pacaran! Bagus!" ucapnya tegas dengan langkah kaki yang mendekat ke arah Jianka.
"Mana ada, Bun? Jianka nggak ngapa-ngapain."
Putri kedua dari tiga bersaudara itu kembali mendapat ketidakadilan dari orang tuanya. Tak lama, suara mobil yang berhenti di garasi rumah. Menandakan ayahnya yang juga pulang. Seolah menjadi orang yang paling salah, ayahnya pun menghampiri Jianka dengan amarahnya.
"Dia bukan siapa-siapa Jianka, kita aja baru kenal. Dia kakak dari teman kerjanya Fiana, dia cuma nganterin Jianka pulang," jelasnya yang berusaha membela diri.
"Ayah bilang apa? Fokus belajar. Jangan pacar-pacaran! Mau, Ayah stop kuliah kamu?"
"Yah, Jianka udah bilang, kita nggak ada apa-apa."
"Sekali lagi Ayah lihat kamu kayak gitu, berhenti kuliah! Ayah nggak terima alasan kamu!"
Kakak lelakinya yang juga berada di rumah saat Jianka pulang bersama Arbian, menangkap gambar keduanya tanpa sepengetahuan Jianka. Mengirimkannya pada orang tua mereka dan sengaja mencari masalah baru.
Setelah orang tuanya pergi, Jianka yang menyadari pelaku di balik semua ini. Menghampiri kakak lelakinya di ruang studio miliknya.
Ya, kakak Jianka adalah pecinta musik. Dirinya adalah seorang produser musik yang karyanya tak pernah gagal. Itulah mengapa, kakak lelakinya itu sering mendapatkan perlakuan baik dari kedua orangtuanya.
"Apa maksud Kakak kayak gitu?" ketus Jianka yang seolah ingin membanting pintu studio.
"Sopan kamu kayak gitu!"
"Kakak ngadu apa ke mereka?"
"Salah kamu sendiri, berani banget bawa cowok pulang!"
Keributan keduanya yang sampai pada orang tua mereka. Membawa orang tua mereka untuk menghampiri.
Mereka tiba tepat saat Jianka menghantamkan tangannya pada sebuah meja.
"JIANKA!" teriak keras ibunya mengetahui Jianka yang menurutnya berperilaku tidak sopan terhadap kakaknya tersebut. Tangan lelaki paruh baya yang ringan, menyapa kasar wajah Jianka.
"Kayak nggak pernah dididik kamu!"
"Kakak kelewatan! Seharusnya Kakak nanya dulu ke Jianka, bukan malah kayak gitu!" ucap tegas Jianka sambil memegang lembut wajahnya yang merasakan sakit.
"Kamu itu salah, jangan malah nyalahin orang lain!"
"Kalian yang nggak pernah dengerin Jianka."
"Kamu juga nggak pernah dengerin orang tua kalau dikasih tau!" balas ayah Jianka sambil mendorong tubuh Jianka hingga hampir terjatuh.
"Jianka nggak ngapa-ngapain, Yah!"
"Ini juga! Jianka nggak ada nyentuh Kakak sedikit pun. Kenapa Ayah kasar banget sama Jianka?"
"Kamu emang harus dikasari biar nurut."
Tak lagi mengklarifikasi, jiwa yang seolah menjadi orang yang paling salah itu, berlari dari hadapan ketiganya. Berhadapan dengan dirinya sendiri, di depan cermin kamar mandi itu, wastafel menangkap setiap butiran air matanya. Wajahnya yang tampak merah membengkak, rasa sakitnya menambah derasnya air mata.
"Sama adik, ayah nggak pernah kayak gitu. Bilang aja, Yah. Kalau emang nggak sayang."
...***...
..."Hanya karena kamu terbiasa sendiri, terbiasa berteman dengan sepi. Jangan membuatmu ragu untuk menerima sebuah uluran tangan yang ingin memperjuangkan bahagiamu."...
...-Arbian Putra Pratama...
.......
.......
.......
Malam ini Jianka kembali mendatangi Cafe seperti biasa. Tujuannya juga tetap sama, menjemput sahabat dekatnya.
Mengetahui Jianka yang seperti biasa, duduk di teras depan, sendirian. Tak pergi dari hadapannya selain ponsel yang selalu dia bawa. Dari balik dinding kaca bening Cafe, mata tajam dengan raut bibir yang cukup kesal. Arbian membidik setiap pergerakan Fiana yang selalu tampak tak peduli.
"Jianka dateng, Fi. Suruh masuk sana!"
"Jianka nggak akan berubah Kak Bian. Dia nggak akan mau."
Tanpa ingin memperpanjang omongan yang penuh basa-basi, Arbian beranjak dari tempat duduknya. Beberapa pasang mata yang menatap setiap langkah kasarnya, hanya diam tak berani memulai kata.
Pintu Cafe yang dibuka juga dengan kasar, "Gila! Pelan aja kenapa? Cafe punya orang," ketus Iza lirih.
"Ngapain ke sini lagi?" ucapannya yang terdengar layaknya orang yang sedang dikuasai amarah. Membuat tegang wajah polos tanpa riasan gadis yang duduk sendirian tersebut.
"Kan, udah biasa, Kak," jawab Jianka tegang dengan kepala terangkat karena posisinya yang masih duduk.
...
...
...Image taken from Pinterest : https://pin.it/7ycSOFYuM...
"Masuk!"
"Ini nggak lagi hujan, Kak. Aku di sini aja," senyum kaku Jianka yang terus menolak.
Tangan Arbian yang tanpa sungkan bergerak maju dan merendah. Ingin menggapai tangan yang mungkin tak pernah disentuh oleh lelaki manapun itu.
Namun, sekali lagi, tangan mungil itu menjauh untuk menghindar. Dijatuhkan untuk menolak lembut sapaan tangan lelaki yang ada di hadapannya tersebut.
"Kak Arbian suka sama cewek itu?" tanya Rey, adik Regha pada meja mereka. Seisi meja hanya menggeleng tanpa kata, wajah mereka juga tampak datar memandangi saudara tertua mereka.
"Masuk, atau pergi sekarang?"
Jianka diam sesaat, menghela napas dan kembali menghembuskannya. Matanya menangkap secara rinci, wajah tegas lelaki yang masih berdiri di hadapannya itu. Jianka mengisyaratkan kedua tangannya, meminta Arbian untuk sedikit lebih mundur dari hadapannya.
Tiga langkah mundur yang Arbian ambil, Jianka pun mengambil langkah untuk berdiri, "Masuk atau tidak. Pergi atau tetap di sini, itu bukan urusan Kak Arbian."
Jawaban padat itu mengunci mata Arbian seketika, matanya terbuka tanpa kedipan. Mulutnya yang sedikit terbuka karena rasa terkejutnya, mulut Arbian kaku walau sekedar untuk membalasnya.
"Kakak boleh masuk lagi. Aku ingin di sini," lanjut Jianka yang kembali duduk.
"Kamu bisa melawan rupanya?"
"Kakak pikir? Aku juga manusia."
"Kamu hanya terlihat diam, tenang, tak peduli seberapa sibuk orang lain."
"Boleh kita ngobrol? Aku traktir untuk malam ini," tawar Arbian mencari cara untuk mengajak Jianka masuk.
"Terima kasih, Kak. Aku bawa uang."
"Aku nggak nanya kamu bawa uang atau nggak. Aku nanya, boleh kita ngobrol?"
Siapa sangka, gadis yang penuh dengan keheningan, berlagak diam penuh ketenangan, privasi tinggi dan tak mudah didekati. Mampu menjatuhkan hati lelaki bergaya tegas, tampan dengan segala model kaos sederhananya.
Pintu Cafe yang kembali dibuka oleh tangan yang sama, namun dengan cara yang berbeda. Dengan lembut dan senyum tulusnya, Arbian membukakan pintu masuk untuk gadis dengan pakaian serba hitam tersebut. Nampaknya, Jianka sangat menyukai warna hitam.
Mungkin ini adalah kali pertamanya Iza dan Fiana melihat Jianka yang berani memasuki Cafe. Pandangannya tertunduk anggun, membuat siapa saja tak berani menatapnya terlalu lama.
Dengan gaya bangganya, Arbian tersenyum puas ke arah keponakannya. Begitu juga pada Iza dan Fiana yang berada di meja kasir.
Kursi yang ditarik mundur, mempersilahkan gadis pemalu itu untuk duduk.
"Woy, sini! Gue mau mesen juga."
"Mentang-mentang gue sering ke sini, nggak kalian layani?" teriak Arbian pada Iza dan Fiana yang hanya berdiri menatap mereka.
"Biasanya juga langsung," jawab Iza dengan mata sinis.
Obrolan manis dengan sajian hangat, wajahnya yang lembut, suara yang nyaman didengar itu. Ditatap dalam oleh Arbian yang menikmati ceritanya.
Mulai dari sinilah awal terjalinnya kedekatan mereka. Mereka tak pernah mempunyai status hubungan yang pasti. Namun tak perlu ditanya, untuk siapa hati mereka tertuju.
Mata Fiana yang terus tertuju pada keduanya. Dan setiap gerak yang menunjukkan perhatiannya, Iza tak pernah bosan menunjukkan rasanya. Tak pernah mengungkapkan perasaannya, Iza hanya menunjukkan bahwa dia sedang mencintai Fiana.
...***...
Kembali membuka pintu rumah, wajah tegas yang tampak begitu menyeramkan ditangkap gugup oleh Jianka. Ayahnya yang sudah berdiri di hadapannya, berjalan perlahan mendekati anak gadisnya. Tangan Jianka yang bahkan masih memegang pintu, turun dengan gemetarnya.
"Apa kamu menganggap Ayah sedang main-main? Apa kamu tidak mendengar ucapan Ayah beberapa hari yang lalu?" suara yang pelan dengan nada tegas itu, menundukkan wajah yang penuh ketakutan.
Hentakan kaki dari setiap anak tangga, memberi tanda bahwa seseorang sedang berjalan menuruninya, "Kenapa takut? Cuma berani main di belakang?"
"Pasti Kakak lagi yang bikin ulah?" jawab Jianka yang berani mengangkat wajah di hadapan ayahnya.
"STOP JIANKA!"
Bentakan keras yang menyambar hingga relung hatinya. Kedua bahunya terangkat, matanya terpejam seketika. Wajar jika gadis ini sangat takut dengan suara keras. Petir kemarin misalnya.
Suara keras itu sampai pada Arbian yang masih di depan pintu gerbang. Kepalanya yang menoleh, menatap bingung rumah yang tampak mewah tersebut.
Arbian turun dari motornya, mengintip pada sela-sela pagar yang telah terkunci. Pintu rumah yang masih terbuka, masih menampakkan wanita yang diantarkan pulang olehnya.
"Kamu salah! Jangan nuduh Kakak kamu!"
"Yah, Jianka cuma dianter. Jianka nggak naik berdua, kita pake motor kita masing-masing."
"Oh, jadi bener, tadi kamu habis ketemuan?"
Wajah Jianka yang tampak bingung. Apakah bukan ini masalahnya? Apakah ayahnya tidak tahu bahwa dia pulang bersama Arbian?
"Mana? Masih di depan?"
"Ayah marah karena apa?" nada lembut pertanyaan itu seolah menurunkan emosi dan sedikit menenangkan suasana.
Kakak lelakinya yang siap dengan foto Jianka bersama Arbian di Cafe malam ini, "Kamu bodoh apa gimana?"
"Yah ...."
Kedua tangannya yang terangkat rata dengan bahu, "Ayah nggak terima alasan apa pun, Jianka. Bagi Ayah, kamu sama sekali tidak peduli dengan ucapan Ayah."
"Yah, bukan gitu, Yah. Please, dengerin Jianka."
"Jianka ini anak muda, Yah. Pertemanan Jianka luas. Nggak cuma sama cewek aja," lanjutnya.
"Mulai hari ini, Ayah tidak akan peduli dengan kuliah kamu. Tentang apa pun itu! Mau kamu lanjut, silahkan! Tapi Ayah nggak akan nanggung semua biayanya. Mau kamu berhenti, silahkan!"
"Ayah juga tidak akan peduli dengan kehidupan kamu. Hidup saja sesuka hati kamu!"
Tangan yang belum diturunkan itu, diraih perlahan oleh Jianka, "Ayah, tolong dengerin Jianka."
Jianka yang meraih tangan tersebut dengan lembut, justru dibalas kasar. Wajahnya tertampar keras. Sakit yang turut dirasakan oleh Arbian yang masih setia memperhatikan. Dengan sigapnya, Arbian menaiki pagar dan menghampiri pusat pertengkaran.
Tangannya spontan mengkap wajah tersebut, dengan lembut, "Jianka, are you okay?"
"Oh, ini anaknya?" tanya sinis lelaki paruh baya dengan sudut mata mengerikan tersebut.
"Kak, pergi sekarang. Tolong dengerin aku, pergi sekarang, Kak!" Pinta tulus wajah yang masih Arbian pegang tersebut.
"Lihat ibu kamu! Semalam ini dia belum pulang, dia kerja buat siapa? Buat dirinya sendiri?" tangan kasarnya menarik kasar pula rambut panjang yang telaten dia rawat, "Buka mata kamu!"
Arbian melepas cengkeramannya, menarik mundur tubuh gadis yang hanya diam tersebut. Seolah menjadi garda terdepan, tubuhnya membelakangi Jianka untuk melindunginya, "Boleh sekasar itu sama perempuan, Om? Apalagi putri anda sendiri?"
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!