Senin pagi, seperti biasa saja ku awali pagi dengan membalas pesan pesan yang belum terbalas, menelepon Asih, mengingatkan ia untuk mengurus beberapa berkas untuk persiapan kita berdua. Semalam kami sepakat, Asih yang akan merancang mulai konsep hingga detail detail mengenai pernikahan kami, dan hari ini ia mulai akan bergerilya mencari informasi. Kemudian akupun beranjak untuk mandi, namun pagi ini sedikit berbeda, aku beranjak memulai hariku dengan masih dilingkupi perasaan tak tenang yang masih saja tidak mau menyingkir semenjak mimpi tempo hari.
Ya, ketidaktenangan begitu mengusik diriku, sepele? Tidak aku adalah orang yang selalu memiliki rencana dan membutuhkan ketenangan untuk menuntaskan semua rencana di kepalaku. Bahkan saat aku masih cukup muda untuk menekuni olahraga secara serius dan bermimpi menjadi atlet, aku di juluki "ice cold", aku terlalu tenang untuk melampaui adrenalin yang terpacu dari nuansa kompetisi. Aku bisa dengan mudah mencederai pemain lawan kalau memang itu rencana dari tim yang ku bela, dan aku akan mampu berdiri di depan pemain lawan yang tersungkur, dengan tenang menatapnya tanpa melakukan apapun, tanpa rasa bersalah yang berlebihan. Dingin, dan cenderung tak memiliki emosi berlebihan. Dan ya aku sangat membutuhkan ketenangan dalam diriku untuk menuntaskan semuanya.
Mobilku kupacu dengan amat perlahan, sepelan yang mungkin aku lakukan, berharap aku bisa sedikit mengatur nafas untuk mendinginkan kepala dan jantungku. Namun mendadak buyar saat dari balik kemudi, kutemukan Ony, menungguku di kantin kantor, bangkit dan menghampiri mobilku yang baru saja terparkir.
Dengan wajah cemberutnya dia hanya menungguku bereaksi atas ucapannya kemarin, dan aku, sekuat tenaga menyembunyikan kegelisahanku sendiri. Lalu kuletakkan telapak tanganku di kepalanya dan mengusap rambur hitamnya. Hanya mengusapnya, aku tak ingin mengeluarkan kata apapun. Menutupi segala ketidaktenanganku dengan sedikit senyum buatnya.
"peluuuuuk" ujarnya sedikit merajuk
"tidak, ini tempat ramai" timpalku.
Bodohnya aku, "ini tempat ramai"?? dari sekian banyak pilihan alasan, mengapa kata itu yang keluar! Lalu kalau sepi aku akan memeluknya? Hembusan angin setan dari mana yang memilihkan kata itu untuk keluar dari mulutku. Tapi mungkin itu kalimat yang secara alami mengalir dari alam bawah sadarku, karena ya tentu saja aku ingin memeluknya, menenangkannya, menceritakan bahwa sesungguhnya alam bawah sadarku pun sedang memikirkannya. Tapi logikaku dengan sigap memilih kata "tidak". Aku telah melamar Asih didepan orangtuanya, aku tak bisa mundur, tentu saja itu pilihan yang lebih menyakitkan, lebih menakutkan. Selain itu, aku secara penuh kesadaran mencintai Asih, amat sangat mencintainya, maka tentu saja mundur dari pertunangan dan pernikahan kami adalah hal yang tidak mungkin aku banyangkan untuk dipilih.
Kami,-aku dan Ony, pun berjalan beriringan ke kantin, sekedar mengobrol beberapa saat sebelum kami memulai pekerjaan kami. Bahkan tidak hanya di waktu luang, disela pekerjaan pun kami sering saling menghampiri hanya untuk membuat satu atau dua lelucon, menikmati waktu yang sebentar dengan saling tersenyum dan kemudian kembali ke posisi masing masing. Satu yang jelas, pesan pesan di ponselku kini menjadi lebih ramai dibanding sebelumnya. Ony seringkali mengirimkan pesan singkat hanya untuk melanjutkan obrolan yang harus terhenti sebelumnya. Pun juga untuk memulai obrolan baru, hebatnya, bahasan kita tidak pernah habis, dan tidak pernah membosankan.
*****
"disela inginku memelukmu, ada logikaku yang berkata ini salah, dan aku memilih logika"
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Hazel Nolasco
Bawa pergi dalam imajinasi. ✨
2024-04-06
0