Masih hari yang sama, di kantor, pikiranku sendiri menjadi tak tenang. Aku masih memikirkan pertanyaan ku sendiri,
"dari sekian banyak lelaki di kantor ini, kenapa aku yang harus tau kalau Ony udahan?"
Sesiangan ini aku tak dapat berfokus pada pekerjaan kantor, waktuku lebih banyak aku gunakan hanya untuk menunggu khabar dari Ony, bahkan pesan dari Asih, pacarku, hanya aku balas seperlunya. Saat ini yang ada di kepalaku adalah ketakutan Ony akan melakukan hal tolol yang akan disesalinya, walaupun aku tau Ony sudah cukup dewasa dan tidak akan melakukannya, tapi mengingat betapa "pecah" ia tadi pagi, betapa ia bahkan berurai airmata, dan sering kali tak mampu berkata kata, tampaknya kekhawatiranku beralasan.
Tiba-tiba di ujung ruanganku di lantai atas, aku melihat dia, masih terlihat sedikit sembab, namun sudah lebih segar. Tentu saja aku sedikit tenang melihat dia didepan mata. Lalu ia menghampiri ruanganku, berjalan dengan sefikit malas menuju ke mejaku. Terlihat sekali ia sedang menguatkan diri, mengumpulkan sisa kekuatan dari dalam dirinya yang sedang hancur berantakan.
"kak, boleh kerja di sini aja ga hari ini?" katanya dengan manja sembari memasang wajah yang sedikit cemberut.
"silahkan saja, Cuma jangan nangis kalau aku marah marah" ujarku dengan sedikit tawa menggoda dia.
Hari ini aku tau Ony sedang berusaha terlihat kuat, sekaligus berusaha untuk tidak terlihat. Aku tak bisa menakar bagaimana hancurnya dia sebenarnya, sialnya otakku merasa aku harus mengenali perasaannya lebih jauh. Aku mulai menggali, mencari titik yang tepat agar aku bisa meletakkan batu pertama, demi pondasi dinding yang kuat, untuk dia. Dan semua mengalir saja, kami mulai menyamankan untuk berbagi cerita, tentang apa saja.
Beberapa hari kedepan ia mulai sering naik ke lantai atas, entah untuk menghampiri divisi di seberang ruanganku atau hanya ingin duduk bekerja di meja di divisiku, alasannya, selalu saja computer dibawah penuh. Begitupun aku, jadi lebih sering turun menghampiri mejanya, hanya untuk menengok apa yang sedang dia lakukan, dan kemudian menggodanya, memastikan dia sedang baik baik saja. untuk kemudian kembali ke ruanganku tanpa ada kegiatan lebih lanjut.
Beberapa kali aku duduk menghabiskan waktu istirahat siang kami bersama, terkadang kami hanya duduk di kantin kantor, menyantap bekal masing masing, atau sengaja memesan cemilan seporsi untuk disantap bersama, tapi kami memilih untuk enggan pergi keluar lingkungan kantor berdua, itu seperti area larangan bagi kami. Kami tak membuat kesepakatan itu secara sadar, tapi kami menyepakatinya begitu saja. "Ring nol" istilah yang muncul darinya untuk batasan kami ini.
Ring nol adalah area dimana kami dapat bertemu, tepatnya hanya dikantor dan tidak boleh lebih jauh dari itu, ini adalah area hijau dan diluar itu adalah area merah dan hitam. tentu saja Ony tau aku sudah memiliki pacar, dan ia sangat menghargai pacarku Asih.
Aku sih, bahagia saja selama bisa kembali melihat senyum Ony mengembang beberapa kali, karena entah mengapa, saat ini aku benar-benar seperti sedang di beri tanggung jawab untuk merangkai kembali puing puing yang tersisa di dirinya. Ya aku mengambil tanggung jawab ini
aku benar benar tak perduli apa keuntungannya buatku, toh saat ini aku yang memilih mengambil peran ini, bukan untuk diriku, hanya supaya Ony bisa menjadi "lady" yang akan tersenyum dalam menghadapi masalah nya kelak. Saat ini menjadi arsitek yang akan menjadikan hati Ony sekokoh benteng veer de burg adalah prioritas utamaku, aku tak perduli siapa yang akan mengisi benteng itu kelak. Toh seorang arsitek tidak selalu harus mengisi rumah yang ia bangun kan?
*****
"dari sekian banyak lelaki di kantor ini, kenapa aku yang harus tau kalau Ony udahan?"
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments