"Ambil tiga motif ini aja, Bu Siti," kata Bu Maria setelah puas memilih daster.
"Nggih. Yang lainnya, Bu? Atasan? Rok? Buat putrinya," kata Bu Siti menawarkan.
"Kakak mau beli apa? Adek?" tanya Bu Maria pada kedua putrinya yang sibuk makan penthol.
"There mau ini. Boleh, Ma?" tanya Theressa sambil mengambil overall warna denim dari pajangan. Bu Maria mengangguk.
"Coba dulu, Kak," kata Gilang sambil menunjuk kamar pas. Theressa lalu masuk ke kamar pas untuk mencoba outfit pilihannya.
"Rena nggak?" tanya Bu Maria.
"Mmm... Nggak deh, Ma. Bingung," kata Renata sambil mengunyah penthol, sesekali melirik ke arah Gilang yang terlihat sibuk dengan barang dagangan. Atau sok sibuk? Entah. Tapi, Renata suka menikmatinya.
"Assalamu'alaikum..." suara lembut memecah kesunyian kios Bu Siti.
"Wa'alaikumsalam..." jawab Gilang dan Bu Siti bersamaan sambil menoleh ke arah sumber suara.
"Eee, Mbak Ainun. Mari, mari. Kok nggak chat dulu, kan bisa Ibuk siapin," kata Bu Siti pada Ainun yang memasuki kios.
"Iya, Buk. Tadinya juga mau chat. Tapi, mama minta anterin ke pasar. Jadi sekalian aja milih disini," kata Ainun dengan suara lembutnya yang khas.
"Oh, sama mama?" tanya Bu Siti antusias.
"Iya. Tapi ke kios sembako di sebelah. Beli bahan-bahan buat katering. Ada pesenan buat besok," kata Ainun.
"Eh, mamanya buka usaha katering, Mbak?" tanya Bu Maria yang tidak sengaja mendengar obrolan Bu Siti dan Ainun.
"Iya, Bu. Ibu kalau mau order nanti saya kasih nomer saya,"
"Boleh, Mbak. Suka ada acara di rumah. Katering langganan tuh jauh. Soalnya pernah pesen yang sekitaran sini, kurang cocok di lidah," cerita Bu Maria.
"Nanti bisa tester dulu, Bu. Biar mboten nggelani," kata Ainun menawarkan.
"Oh, boleh?"
"Boleh, Ibuk. Nanti pesen sample dulu, buat diicip Ibuk. Tapi pesen samplenya paling telat H-3 sebelum pesen yang mau dipesen ya, Buk. Biar ada konfirmasi jadi atau nggaknya. Untuk sample, gratis Buk," jelas Ainun.
"Wah. Boleh deh minta nomernya, Mbak. Daripada jauh-jauh," kata Bu Maria tertarik.
Ainun mendiktekan nomer ponselnya perlahan. Tanpa Ainun ketahui, ada orang lain yang sedang menyimaknya dan ikut menyimpan nomernya. Renata yang melihat gelagat Gilang, jadi tiba-tiba merasa gerah di udara pagi yang sejuk setelah gerimis.
'Kok tiba-tiba gerah, sih?'
***
"Kak,"
"Apa?"
"Kak Iko punya pacar nggak?" tanya Theressa pada Renata yang tengah sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing di ruang santai.
"Nggak keknya. Kenapa? Kamu suka?" tanya Renata.
"Suka sih. Tapi, keknya Kak Iko fokus sama yang lain," kata Theressa membuat Renata penasaran.
"Yang lain? Apa? Siapa?" tanya Renata penasaran karena menurutnya Iko tidak sedang fokus dengan apapun atau siapapun.
"Hhh~ pantesan kakak nggak dapet-dapet cowok. Nggak peka!" kata Theressa membuat Renata jadi sebal.
"Apa hubungannya?" tanya Renata jengkel.
"Emang bener itu peribahasa, gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak," kata Theressa tanpa mempedulikan pertanyaan Renata.
"Ya iyalah gimana mau keliatan, orang segedhe itu di pelupuk mata, yang ada mata ketutup sama perut gendhut si gajah!" kata Renata semakin jengkel karena tambah tidak paham arah pembicaraan adiknya itu.
"Waow! Bener juga ya, Kak. Baru ngeh aku,"
Renata mendengus kesal, lalu kembali sibuk men-scroll layar ponselnya.
"Dari tadi bad mood aja sih, Kak? Bilang kalo mau beli baju juga dong," kata Theressa yang tahu mood kakaknya berubah sejak dari kios baju di pasar.
"Lagi nggak pengen baju," jawab Renata dengan nada sebal.
"Mmm... Pengen yang jual ya, Kak?" tanya Theressa dengan nada menggoda. Seketika Renata melihat ke arah adiknya.
"Hati-hati, Kak. Beda server. Bisa rumit," kata Theressa dengan nada berbisik sambil melirik kalau-kalau tiba-tiba mamanya muncul.
"Apaan sih!" kata Renata, kembali fokus dengan ponselnya.
"Taulah. Yang cemburu liat si doi curi-curi pandang sama cewek berhijab tadi," kata Theressa, mencoba melihat respon si kakak.
"Cemburu? Biasa aja," kata Renata, masih fokus dengan ponselnya.
"Udah satu server, cantik, berkerudung lagi. Langsung lolos restu ibu," kata Theressa semakin membuat Renata panas. Renata lalu beranjak dari duduknya.
"Eh, mau kemana, Kak?" tanya Theressa.
"Mau jauhin kompor meleduk. Panas!" kata Renata jengkel, lalu berlalu masuk ke kamarnya.
Theressa tersenyum melihat respon kakaknya. Sedetik kemudian senyumannya memudar.
'Kenapa kamu jatuh cinta sama dia sih, Kak?'
Di kamarnya, Renata yang sedari tadi memantau akun sosial media Gilang menjadi jengah dan memutuskan untuk menutup akun sosial media yang dia buka. Renata merebahkan tubuhnya di kasur, melihat ke langit-langit kamarnya.
Masih terbayang jelas bagaimana ekspresi Gilang ketika cewek bernama Ainun itu memasuki kios dan mengobrok dengan Bu Siti dan mamanya. Ainun terlihat sangat anggun dengan balutan gamis panjang dan juga hijab lebar. Senyuman ramahnya sudah pasti akan membuat hati merasa adem. Ditambah lemah lembut suaranya ketika berbicara, bikin betah pendengarnya.
Tak dapat dipungkiri kalau Gilang akan lebih tertarik dengan Ainun dibandingkan dengan Renata. Tapi, entah mengapa, Renata merasa lebih baik dari Ainun dalam berbagai hal.
'Kenapa aku jadi banding-bandingin diri sama orang lain?'
Dering ponsel Renata mengagetkannya. Sebuah panggilan telepon dari nomer tak dikenal.
'Siapa?'
Ragu-ragu, Renata menjawab panggilan telepon itu.
"Halo?"
"Ya? Ini Bu Maria?" tanya suara di seberang sana.
"Ini siapa ya?" tanya Renata bingung.
"Saya, Gilang, putranya Bu Siti. Ini dasternya ketinggalan satu belum masuk plastik. Bisa minta alamatnya, biar saya antar ke rumah," kata suara di seberang yang sukses membuat jantung Renata bergemuruh riuh.
"Eh? Oh, ya. Ntar aku chat alamatnya. Makasih sebelumnya," kata Renata.
"Iya, Bu. Sama-sama," kata Gilang yang belum sadar bahwa nomer yang dia telepon adalah nomer Renata.
"Bu? Emang suara ku kek suara ibu-ibu?" gumam Renata ketika sudah menutup sambungan teleponnya.
Renata dengan cepat mengetik alamat rumahnya, mengirimkannya ke nomer Gilang. Kebiasaan Bu Maria adalah memberikan nomer Renata kalau ada orang yang menanyakan nomer ponselnya. Entah mengapa Bu Maria lebih menghafal nomer ponsel putri sulungnya itu ketimbang nomernya sendiri.
Renata kemudian memantas diri di cermin. Sambil tersenyum dia membayangkan bagaimana dia akan menyambut Gilang nanti.
"Masuk dulu, Lang. Makasih ya, udah dianterin. Mama belum unboxing plastik belanjaan, jadi nggak tau kalo ada yang ketinggalan satu," Renata mencoba praktek di depan cermin. Kemudian menggelengkan kepalanya.
"Kedengeran seneng banget dia dateng. Nggak, nggak. Ganti,"
"Ehem... Ya? Oh Gilang. Ada apa? Daster mama ketinggalan? Bentar ya aku panggilin mama. Nggak usah? Oh mau langsung balik. Iya, makasih ya," sekali lagi Renata praktek di depan cermin.
"Kok langsung pulang? Ngobrol dulu laaah. Ganti, ganti," gumam Renata, lagi-lagi menilai prakteknya sendiri.
"Ting... Tong..." bel pintu berbunyi.
Renata yang sudah akan praktek di depan cermin lagi, seketika keluar kamar lalu berlari menuju pintu depan, membuat Theressa yang masih duduk di ruang santai terheran-heran.
'Siapa yang dateng? Heboh banget si kakak,'
***
Author's note:
Nggih : Ya
Mboten nggelani : tidak mengecewakan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments