Gerimis menyapa Minggu pagi, seolah membuai manusia untuk tetap berada dalam pembaringannya dan menutup diri dengan selimut. Namun, tidak bagi Renata. Hari Minggu ini, biarpun gerimis seolah tak mau berhenti, Renata tetap bangun pagi dan bergegas bersiap diri berangkat ke tempat paling damai bagai dirinya. Gereja.
Papa, mama, dan Theressa pun terlihat sudah duduk di meja makan sambil mengunyah sarapan mereka.
"Pagi, Ma, Pa," sapa Renata pada mama papanya, lalu duduk mengambil sarapan.
"Aku dianggep batu nih?" celetuk Theressa yang sibuk mengunyah roti tawar plus nuttela.
"Pagi adek ku tersayaaaaaaaaaaaaang," kata Renata lalu menyuapkan nasi pecel ke mulutnya. Papa mama Renata tersenyum melihat tingkah kedua putrinya.
"Hari ini mau jajan penthol nggak?" tanya papa Renata yang sukses membuat Renata dengan susah menelan makanannya. Mama Renata yang melihat putrinya kesulitan menelan makanan lalu menyodorkan segelas air putih.
"Sampe kaget gitu, Kak?" tanya Theressa curiga.
"Emang kenapa, Pa?" tanya Renata pada papanya setelah meminum sedikit air putih, mengabaikan pertanyaan Theressa.
"Sekalian. Mama mau ke pasar katanya," jawab papa Renata sambil menyendokkan suapan terakhir ke mulutnya.
"Kemarin pas arisan PKK, ada ibu-ibu iklan daster sama gamis-gamis gitu. Bagus-bagus. Bahannya adem-adem. Pengen beli, cuma motifnya mama kurang srek. Trus katanya kalo mau liat-liat lebih banyak, suruh ke pasar aja. Kiosnya yang deket lampu merah katanya," jelas mama Renata yang langsung membuat mata Renata membulat.
'What? Kios deket lampu merah? Itu bukan yang punya Gilang?'
"Boleh lah, Pa. Udah lama nggak beli penthol, pasti abang pentholnya kangen sama Rena," kata Renata sambil kembali menyuapkan sarapannya ke mulut dengan semangat.
"Bisa aja, kamu," kata papa Renata lalu meminum segelas air putih hingga habis.
"Eh, tapi, gerimis, Kak. Emang jual yang jualan penthol?" tanya Theressa lalu meminum segelas susu hangat.
"Kalo sekarang ya belum keluar juga kalik abangnya. Ya, moga aja jualan," kata Renata santai.
'Jual nggak jual sih nggak penting. Yang penting, aku bisa liat Gilang,'
***
"Alhamdulillah sudah reda," ucap ibu Gilang sambil menatap langit yang perlahan mencerah.
"Bang Jupri belum dateng, Buk?" tanya Gilang sambil sedikit menguap. Maklum, udara pagi ini memang lebih cocok untuk tetap stay di kasur bersama guling dan selimut. Apalagi ini Minggu!
"Bang Jupri siapa lagi?" tanya ibu Gilang heran.
"Itu yang jual penthol. Namanya Bang Jupri," kata Gilang.
"Oh... Belum keliatan sih. Hujan tadi, agak siangan kalik," kata ibu Gilang sambil melongok ke dekat lampu merah, tempat biasa Bang Jupri mangkal.
"Gilang laper, Buk. Gilang beli soto sebelah aja ya?" kata Gilang sambil beranjak dari duduknya.
"Tadi udah ibuk pesenin bakso tempat Mas Aryo. Katanya mau dianter kesini. Tunggu dulu aja," kata ibu Gilang, menahan Gilang yang sudah akan pergi membeli soto.
"Pake es teh nggak, Buk?" tanya Gilang.
"Teh anget,"
"Yaaah Ibuuuk..."
"Lagian kamu ini dingin gini minumnya es,"
"Ya nggak apa-apa, Buk. Emang Gilang anak kecil, minum es langsung batuk?" kata Gilang protes. Es teh memang minuman favorit Gilang dan akan selalu menemaninya apapun situasinya, tak peduli panas atau hujan.
"Anget dulu. Esnya ntar siang," kata ibu Gilang, tidak bisa diganggu gugat. Gilang menghela nafas panjang.
"Pesenannya, Bu Siti," kata Mas Aryo, penjual bakso langganan ibu Gilang.
"Taruh meja aja, Mas Aryo," kata ibu Gilang sambil menata-nata dagangannya.
"Sini, Mas," kata Gilang mempersilakan Mas Aryo meletakkan pesanannya di meja di depannya.
"Ini saya ganti es teh. Tadi ibuk pesennya teh anget dua," bisik Mas Aryo pada Gilang.
"Siiip, Mas. Njenengan memang paling pangerten," bisik Gilang disambut senyum lebar dari Mas Aryo.
"Makasih ya, Mas," ucap Gilang.
"Sama-sama," jawab Mas Aryo sambil berlalu.
Tanpa berlama-lama, Gilang langsung menyeruput es tehnya.
'Segeeer. Nikmat mana yang kau dustakan?'
"Lhooo... Lha Mas Aryo tu gimana, pesen teh anget dua kok malah jadi satunya es teh," komplain ibu Gilang ketika memergoki Gilang menyeruput es teh.
"Hehe... Lupa kalik, Buk. Biasanya kan Ibuk pesen es teh sama teh anget. Jadi tangannya Mas Aryo otomatis bikinnya gitu," kata Gilang mencoba menenangkan ibunya.
"Hhh... Rejeki kamu,"
"Alhamdulillah..."
"Ayo cepet makan dulu, mumpung belum diserbu pembeli," kata ibu Gilang sambil mengaduk-aduk baksonya yang masih panas.
"Mbak Sri sama Mbak Lala belum dateng, Buk?" tanya Gilang yang heran para karyawan ibunya belum terlihat.
"Kan tadi hujan tooo... Ibuk suruh berangkatnya kalo udah reda aja. Paling baru pada di jalan," kata Bu Siti lalu menyendokkan bakso ke mulut.
"Coba semua juragan, baik kek ibuk. Pada seneng tuh karyawan," puji Gilang.
"Tergantung. Kalo Mbak Sri sama Mbak Lala kan udah lama ikut ibuk. Kalo karyawan baru digituin bisa ngelunjak. Anak-anak jaman sekarang kadang kurang sopan santunnya," kata Bu Siti.
"Iya juga sih. Ibuk beruntung punya karyawan kek Mbak Sri sama Mbak Lala, udah rajin, kerjanya sat set, jujur lagi," kata Gilang memuji karyawan yang dimiliki ibunya.
"Alhamdulillah..."
"Waduh... Dingin-dingin, mbakso Mas Gilang," suara renyah Mbak Sri terdengar memasuki kios.
"Mbak Sri sih telat," kata Gilang menggoda.
"Lha wong udah mau berangkat ditelpon sama ibuk. Nanti aja berangkatnya kalo udah reda, gitu. Yo wis nggak jadi, nunggu reda dulu," cerita Mbak Sri.
"Ntar saya pesenin bakso ekstra pedas ala Mas Aryo, Mbak," kata Gilang sambil menyendokkan suapan terkahir.
"Ndak usah, Mas Gilang, abis sarapan. Perutnya penuh," kata Mbak Sri.
"Ya udah ntar siang aja, Lang. Buat makan siang," kata Bu Siti.
"Kita juga makan bakso lagi, Buk?" tanya Gilang memastikan.
"Mie ayam boleh," kata Bu Siti santai.
"Yah, serumpun," kata Gilang diikuti tawa kecil Mbak Sri.
"Eh, monggo. Mari, Buk, dipilih-pilih," kata Mbak Sri mempersilakan seorang pelanggan yang terlihat masuk ke kios Bu Siti.
"Ini bener kiosnya Bu Siti kan, Mbak?" tanya ibu-ibu yang berpenampilan rapih dengan dress batik selutut.
"Ya, Buk. Monggo," kata Bu Siti, menampakkan diri ketika mendengar namanya disebut.
"Oalaaah... Bu Maria. Mari, mari. Nyarinya apa?" kata Bu Siti yang mengenal pelanggan yang baru masuk ke kiosnya.
"Daster, Bu. Yang adem kek yang dibawa di arisan kemarin," kata Bu Maria.
"Ini bukan, Buk?" tanya Gilang sambil menyodorkan beberapa daster terbaru kepada ibunya.
"Wah, Masnya gercep," puji Bu Maria.
"Ya gitu, Bu. Masa' bantuin ibuknya lemot?" kata Bu Siti.
"Ooo~ putranya to Bu Siti?" tanya Bu Maria.
"Iya, Bu. Yang sulung. Yang bungsu cowok juga, masih SMA, males kalo suruh bantuin ibuknya ke pasar," cerita Bu Siti.
"Sama-sama cowok, beda ya, Bu? Sama. Saya dua cewek semua, yang satu rapiiih banget, yang satu sukanya berantakan," kata Bu Maria sambil sibuk memilih daster.
"Udah, Ma?" tanya Theressa yang menyusul mamanya dengan membawa seplastik kecil penthol.
"Bantu pilihin, Dek," kata Bu Maria.
"Ini yang bungsu?" tanya Bu Siti pada Bu Maria.
"Iya, Bu. Ini yang suka beres-beres," kata Bu Maria. Theressa hanya tersenyum ke arah Bu Siti.
"Mama lama banget," kata Renata yang akhirnya memutuskan untuk menyusul mamanya masuk kios, karena tidak melihat sosok Gilang dari luar.
"Mama bingung milih, Kak," kata Theressa.
"Ini yang sulung? Masyaallah, cantik-cantik ya putri Bu Maria," puji Bu Siti melihat Renata dan Theressa bergantian. Renata tersenyum ramah pada Bu Siti.
"Puji Tuhan ya, Bu Siti. Putra Bu Siti juga cakep. Mana rajin bantu ibunya dagang di pasar lagi," puji Bu Maria.
Renata yang kini sadar ada sosok Gilang yang berdiri di tengah-tengah dagangan, melempar senyum pada Gilang. Gilang yang masih tak percaya bahwa Renata adalah putri dari pelanggan ibunya, membalas senyum Renata yang entah mengapa terlihat begitu manis.
'Tahan, Lang. Tahan...'
***
Author's note:
Njenengan : Kamu
Pangerten : pengertian
Yo wis : ya sudah
Monggo : mari, silakan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments