“Iya, udah biasa kok. Kamu kapan pulangnya, sih?! Lama banget!”
Sabil berucap sambil main hp, tidak menyadari dengan dikatakannya barusan. Keceplosan? Iya mungkin. Karena biasanya keceplosan itu selalu benar. Sementara Melati, dia menatap Sabil gak percaya.
Ngusir? Oh jadi dia gak mau aku di sini? Oke pulang aja, batinnya.
“Aku pulang.”
“Eh. Mel, maaf. Maksudnya tadi bukan gitu. Kalau kamu masih mau di sini, gapapa kok.”
“Aku pulang aja.” Melati pergi begitu saja setelah mengucapkan itu. Mungkin Sabil menyadari kesalahannya. Nyatanya Melati kecewa, sahabatnya bersikap begitu. Detik berikutnya, setelah Melati keluar kamar, suara ketawa sangat kencang mengguncang gandeng telinganya.
Siapa yang ketawa? Yang pasti itu bukan Sabil, batin gadis itu.
Suara ketawa itu berasal dari kamar yang barusan Melati keluar, tidak melanjutkan langkahnya, Melati penasaran siapa itu? Bukankah tadi Sabil bilang dia sendiri di rumah. Diam. Ya, gadis itu diam sejenak.
Beberapa menit diam di sana, Melati tidak kuasa menahan lagi, akhirnya tangisnya tumpah gak bersuara, rasanya sesak, dia tidak sanggup lagi memilih pergi.
Di pinggir jalan Melati diam seorang diri, di bawah langit sore yang sudah berubah warna keorenan. Tangisnya sudah mereda, tetapi matanya masih sembab. Dia menunggu sang adik, Dity menjemput. Tidak lama lelaki itu datang dengan gaya coolnya, tapi wajah tengilnya muncul juga.
“Ayo, Kak.” Menoleh, Dity menatap wajah Melati. “Kenapa, Kak. Kakak abis nangis? Cep, cep, cep. Jangan nangis, sini aku peluk.”
Turun dari motor, dia langsung memeluk Melati sebentar lalu meraih helm, memakaikan pada sang Kakak.
“Naik, Kak. Atau mau aku gendong juga?” Dity sepertinya agak kesal. Melati hanya diam saja dari tadi, melamun terus, sampai omongan laki-laki itu tidak didengarnya. “HEY! Kenapa, sih?”
“Eh. Enggak, kok. Ayo pulang.” Kali ini Melati mulai sadar, dirinya hanyut dalam kejadian tadi, yang membuat hatinya sakit, gak tertahan ingin meledak.
Kenapa harus sahabat sendiri?Batinnya.
Suara ketawa tadi ternyata kekasih Melati. Nyatanya cerita horor di rumah Sabil juga adalah hal bohong, itu hanya cerita di buat-buat, yang mencolek pundak Melati itu ternyata Raf, dia sembunyi di balik tirai. Sakit hati? Tentu. Melati baru saja merasakan jatuh cinta, bisa disebut cinta pertamanya, tapi nyatanya dia salah memilih lelaki yang tepat.
Dalam perjalanan, gadis itu terus memikirkan perkataan sahabat dan pacarnya tadi.
“Hahaha.”
“Sutt, Sayang. Nanti Melati dengar lagi, suara ketawa kamu, mana kencang lagi.”
“Gak akan. Dia itu cewek bodoh. Dikibulin segitu aja langsung percaya. Teman-teman kamu juga sama, masa percaya aja di sini angker. Haha.”
“Emang, sih. Aku juga udah bosen temenan sama mereka, kampungan banget! Apalagi si Melati jelek banget, kok bisa, sih kamu pacaran sama dia? Kalau dibandingkan sama aku beda jauhlah.”
Raf diam sejenak, entah sedang memikirkan apa. “Itu kan dulu, sebelum aku ketemu kamu. Sekarang aku cintanya sama kamu, Sabil. Kamu itu cantik, beda banget sama Melati gak punya daya tarik sama sekali.”
Melati terus berpikir, dalam batinnya bertanya-tanya. Apa aku sejelek itu? Sampai Raf dan Sabil bilang begitu. Aku kira dia cowok baik, ternyata tidak. Dia pandai sekali bersandiwara. Jadi begini rasanya sakit hati.
“Turun, udah sampai, Kak.” Dity sudah berapa kali ngomong begitu, tapi tidak didengar Melati, dia sibuk melamun. Sekali lagi, lelaki itu menyuruh Melati dengan suara yang agak keras. “Kak Melati! Udah sampai, turun!”
Melihat sekelilingnya, benar saja sudah ada di depan rumah. Dia turun, melangkah masuk, baru beberapa langkah dia balik lagi, berdiri menatap Dity. Yang ditatap merasa heran, kenapa?
“Dit, apa aku jelek?” tanya Melati. Dity yang terheran sebentar langsung tertawa. Lucu? Ya. Menurutnya ini sangat lucu, jarang banget Kakaknya yang memang pendiam, bertanya begitu. Ya, tentu cantik lah, kalau saja bukan saudara kandung sudah Dity pacarin dari dulu.
“Gak usah ketawa, kalau jelek ya tinggal ngomong!” Melati pergi setelah mengucapkan itu. Dia merasa kecewa, Adiknya sendiri tertawa ditanya begitu.
Berarti benaran aku ini jelak, batinnya.
Sementara Dity, dia berhenti tertawa setelah Melati masuk rumah. Mulai berpikir, apakah ini yang membuat Melati menangis tadi? Apa ada yang ngomong kalau dia jelek? “Kalau beneran iya. Berarti gue salah dong, dan oonnya gue malah ketawa. Pastinya Kak Melati sakit hati tadi.”
Buru-buru dia masuk rumah, ada Ibu dan Bapaknya sedang ngopi, tidak lupa dia mengucapkan salam dan menyalami orang tua.
“Kak Melati mana?”
“Barusan masuk kamar.”
“Oh, oke. Aku minta kopinya dikit ya, Bu?”
Belum Ibu menjawab, Dity sudah menyeruput kopinya sampai kandas gak tersisa, dan langsung kabur.
“Kebiasaan kamu, Dity. Ngomongnya minta dikit, malah dihabisin.” Ibu teriak kesal sementara Dity nyengir berasa gak bersalah.
“Udahlah Bu, jangan ngomel mulu. Tinggal buat lagi apa susahnya.”
“Kan kebiasaan, Pak. Kanapa gak kopi punya Bapak aja, sih, yang diminum Dity.”
“Ya, Bapak mana tahu, mungkin dia maunya punya Ibu.”
“Ya gabisa gitu, dong. Kenapa harus punyaku mulu.”
Dity yang mendengar cekcok orang tuanya, tarik nafas. Kok malah berantem sih?! Cuman gara-gara kopi. Ampun, deh. Batin lelaki itu.
“Udahlah, Pak, Bu. Jangan berantem, aku minta maaf ini,” teriaknya dari dalam kamar.
Sore ini dia akan mengerjakan tugas sejarahnya abis itu mandi. Malamnya dia ke kamar Melati. Ya, dia ke sana untuk meminta maaf.
“Kak Mel.” Dity memanggil Melati yang sedang rebahan sambil olahraga jempol, ngetik di hp magsudnya. Melati tidak menghiraukan, hanya menoleh saja tanpa menjawabnya. Sekali lagi Dity menyebut namanya, masih belum ada jawaban dari Melati. Akhirnya lelaki lompat ke kasur dan menindih tubuh Melati.
Lantas Melati kaget dan hampir membuat ponselnya jatuh. “Awas, Dit. Berat loh, menyingkir sana!” Dity bukannya menyingkir, dia malah memeluk Melati erat, jangan ditanyakan wajah tengilnya itu masih terpampang jelas.
“Awas, Dit. Pengap ini.”
“Maafin aku dulu, baru aku lepasin.”
“Loh, ngapain minta maaf?” Agaknya Melati lupa kejadian tadi.
“Soal yang tadi aku ketawa, maaf ya, aku gak bermaksud buat Kakak sakit hati.”
“Oh, oke.”
“Dimaafin gak nih?
“Hm, iya.”
Akhirnya Melati bisa bernafas lega setelah Dity turun dari tubuhnya. “Ngapain masih di sini? Balik sana ke kamarmu, udah malam juga.” Dity, tentu saja tidak langsung pergi, dia sangat penasaran dengan kejadian tadi di mana Kakaknya nangis. Ingin mengorek lebih dalam apa yang terjadi.
“Enggak ah, aku mau tidur sini aja.” Lelaki mulai menyusun rencana untuk membuat Melati terbuka dengannya. Dia akan sangat senang hati mendengar curhatan sang Kakak, dari dulu Melati tidak pernah curhat pada siapa pun dan kali ini Dity akan melakukan apa pun supaya Melati membuka suara.
Oh yah. Gue harus buat Kak Melati percaya sama gue. Buat dia nyaman deket gue. Tapi gimana caranya? Batin laki-laki itu.
Ting! Sebuah ide muncul. Dity mulai mendekat, berbaring di samping Melati. Sangat dekat membuat Melati menoleh sinis. Sementara Dity, dia tersenyum mendapati wajah kesal Melati. Faktanya gadis itu jarang marah, marahnya itu diam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Amelia
eh kalau orang marah nya diam malah menakutkan loh😀😀
2024-05-02
1
Amelia
ngambek kan😀😀
2024-05-02
1
Amelia
jangan sedih tumbang satu datang sepuluh ribu 😀😀
2024-05-02
1