Melati Mawarni punya tiga orang sahabat semuanya cewek, gak punya sahabat laki-laki. Kenal yang namanya laki-laki? Pastinya kenal, hanya sebatas teman sekelas. Sangat jarang sekali berinteraksi dengan laki-laki, kebanyakan bermain sama cewek lagi. Eh, tapi jangan berpikir yang tidak-tidak. Melati normal kok, dia pernah mencintai seorang laki-laki, tapi tidak pernah mengungkapkannya, hanya dipendam sendiri, tetapi itu dulu, sekarang dia sudah punya pacar loh.
Melati terlahir dikeluarga sederhana. Dia anak kedua dari 3 bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Si sulung bernama Setriawan Tomi cukup panggil saja Kak Tomi. Orangnya baik banget, perhatian. Kak Tomi tidak tinggal di rumah. Sebab sudah menikah dan memilih pisah rumah dan hidup bersama istrinya. Kak Tomi belum di beri anak padahal sudah dua tahun jalan pernikahannya.
Adiknya bernama Dityan Niar, panggil dia Dity, si paling recok banyak omong jahil pula. Duduk di kelas sebelas SMA. Sedangkan Melati kelas dua belas, hanya beda satu tahun. Sifat keduanya berdeda jauh, Dity itu gak bisa diam, gampang berbaur dengan banyak orang, asik di ajak ngobrol. Kalau Melati itu kebalikannya, terlalu menutup diri, tidak mau orang lain tahu tentang dirinya. Tapi, jangan salah, jika bersama sahabatnya Melati tidak terlalu menutup diri, terbuka sedikit, hanya sedikit. Itu pun karena teman-temannya yang terlalu aktif.
Nisa Putri sahabat pertama, cukup dipanggil Neng. Sahabat paling baik, hidupnya sederhana, teman yang paling bisa membuat Melati lupa diri, membuatnya tertawa, dan kadang menjadi teman cekcoknya.
Yang kedua Sabil Neova si paling cantik, suka berias, mempercantik diri adalah kesenangannya, kadang Melati suka bosan kalau bertemu dengannya. Sabil orangnya banyak omong, keras kepala, apa saja yang diinginkannya harus dituruti tidak bisa dibantah. Contohnya kalau sedang kumpul, wajah Melati yang menjadi sasarannya karena Sabil memaksa buat mendandani Melati.
Terakhir Monika sifany cukup dipanggil Emon. Dia itu berwajah kalem, tapi aslinya gak kalem banget, jahilnya minta ampun. Omongannya pedes banget, dia kalau ngomong gak tanggung-tanggung, sampai membuat orang sakit hati. Melati juga pernah merasakannya, sampai nangis cuma gara-gara satu kalimat yang keluar dari mulut Emon.
Mereka berempat sahabatan sejak kecil. Banyak sekali kenangan yang terjalin selama kurang lebih 9 tahun. Lulus SMP mereka berpisah, melanjutkan sekolahnya masing-masing. Mempunyai cita-cita yang berbeda, ingin meraih kesuksesan dimasa mendatang. Saat itu komunikasi mulai renggang. Melati dan Sabil sekolah di SMA yang berbeda, tetapi mengambil jurusan yang sama, IPA. Itulah yang membuat mereka menjadi renggang tidak sedekat dulu.
Kebetulan Neng dan Emon punya cita-cita yang sama, Pengusaha. Mereka sekolah di tempat yang sama satu kelas pula, persahabatannya terus terjalin hingga saat ini. Suatu ketika mereka main berempat di rumah Sabil. Kumpul bersama kembali setelah sekian lama tidak bertemu hampir dua tahun. Semuanya terlihat gembira, tidak dengan Melati. Wajahnya datar saja, bukannya ia gak bahagia bertemu sahabat, tapi dia terlalu malu untuk mengekspresikan kebahagiaannya.
Jujur dalam lubuk hatinya, Melati ingin sekali memeluk sahabatnya duluan dan menceritakan semua tentang hidupnya, tertawa bersama adalah hal yang paling menyenangkan, tetapi dia gak bisa. Melati tidak percaya pada orang lain, lebih suka memendamnya sendiri. Rumah Sabil sangat sepi, orang tuanya sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan.
Sabil hanya tinggal seorang diri di rumah yang besar. Beranian dia sendiri di rumah. Mungkin itu yang ada di pikiran Melati. Gadis itu datang terlambat ketiga temannya sudah ada sejak tadi.
“Mel. Lama banget, sih!”
Melati hanya tersenyum sedikit. “Maaf.” Itulah yang mereka suka dari Melati, mudah sekali mengucapkan maaf. Gak pernah banyak protes yang jelas dia sangat kalem.
Sementara Sabil, dia sibuk main ponsel, tangannya dengan lincah mengotak-atik telepon genggam miliknya.
“HEY! Jangan main hp mulu! Ngapain ngajak main?!”
Sabil yang semula pegang hp langsung mematikan dan menyimpannya. Gawat kalau si Neng sudah ngomong dengan nada tinggi, bisa-bisa habis dia dinasehati. Neng itu emang mempunyai sosok tegas, bisa dikatakan yang paling galak diantara mereka berempat.
“Ayo, ah, nonton.”
Emon bicara seolah mencairkan suasana yang semulanya hening. Dia membuka laptopnya kemudian mematikan lampu kamar, suasana gelap seketika.
“Yakin, nih? Mau nonton film horor?”
“Iyalah.”
“Eh, eh. Mending lampunya jangan dimatiin, deh.”
Neng yang sedari tadi diam akhirnya bicara. Dia merasa takut, belum juga dimulai filmnya. Tampang saja galak, nyeremin, sampai Sabil takluk, tetapi sama hantu takut.
“Gak serulah, kalau dinyalain, gimana, sih. Gak usah takut, Neng. Gak akan ada apa-apa.”
“Oke, deh. Terserah kalian.” Akhirnya gadis itu pasrah. Dia menonton film dengan sesekali menutup matanya ketika hantunya muncul, nyatanya dia itu penakut.
Sementara Melati, dia menyimak film sedari tadi tanpa rasa takut, tetapi dari tadi dia merasa aneh, merasa punggungnya dingin, seperti ada sekilas angin menghantam padahal di dalam ruangan, lagi pula kamar ini tidak ada kipas. Melati tetap tenang, seolah tak ada apa-apa.
Detik berikutnya sebuah tangan menepuk pundak Melati pelan. Kaget? Tentu. Melati sangat terkejut, tapi dia tetap tenang. Namun, detik berikutnya terjadi lagi, lantas Melati menoleh, memastikan siapa itu.
Gak ada siapa pun di sana. Ia melirik teman-temannya, kebetulan Emon si paling jahil duduk di sebelahnya. Melati menyangka Emon lah yang jahil. Menit berikutnya, pundaknya ditepuk lagi, dengan kesal gadis itu menepuk paha Emon dengan sangat keras.
“ANJING! Goblok lo apaan sih?! Aw. Sakit.”
“Lo yang apaan?! Ngapain colek-colek pundak gue? Gak usah jahil, deh, TEMON!”
“Loh, kok, nyalahin gue? Jangan asal nuduh.”
“Terus siapa?”
Sabil yang sedari tadi diam ikut bicara.
“Udahlah. Gak usah di ributin, kalian kan udah tau, kamar ini emang agak angker ada penunggunya.”
“Iya bener gue lupa. Udah lama, sih, gak ke sini.” Setelah mengucapkan itu Emon menggandeng tasnya bersiap pulang, tangannya sudah gemeteran dan cemas.
“Tuh kan, apa kata gue. Lampunya jangan dimatiin. Ayo, ah, pulang.”
Emon, Neng. Mereka pulang duluan, dengan tergesa-gesa. Sementara Melati, dia malah menatap lekat wajah Sabil, seperti tidak percaya dengan kejadian tadi, tetapi dia sendiri juga merasakannya. Memang benar, dulu Sabil pernah cerita. Bahwa rumahnya ini bekas pabrik sabun yang bangkrut, lama gak di huni. Setelah sekian lama, akhirnya memutuskan untuk dibuat rumah.
Kebetulan kamar punya Sabil, dulunya itu sumur. Konon katanya pernah ada pegawai yang jatuh dan mati di sana. Makanya sampai sekarang kamar itu, suasananya lembab dan agak dingin, apalagi di malam hari.
Beberapa menit kemudian, Melati memutuskan pulang, dalam benaknya terus bertanya-tanya. Kenapa tidak pindah rumah saja? Terus kenapa dia seberani itu, tinggal sendiri di rumah? Melati terus kepikiran apakah Sabil akan baik-baik saja di sini? Oke. Daripada dia merasa cemas sendiri. Akhirnya bertanya, sebelum benar-benar pulang.
“Bil. Yakin berani sendiri di sini?”
“Iya, udah biasa kok. Kamu kapan pulangnya, sih?! Lama banget!”
“Iya, udah biasa kok. Kamu kapan pulangnya, sih?! Lama banget!”
Sabil berucap sambil main hp, tidak menyadari dengan dikatakannya barusan. Keceplosan? Iya mungkin. Karena biasanya keceplosan itu selalu benar. Sementara Melati, dia menatap Sabil gak percaya.
Ngusir? Oh jadi dia gak mau aku di sini? Oke pulang aja, batinnya.
“Aku pulang.”
“Eh. Mel, maaf. Maksudnya tadi bukan gitu. Kalau kamu masih mau di sini, gapapa kok.”
“Aku pulang aja.” Melati pergi begitu saja setelah mengucapkan itu. Mungkin Sabil menyadari kesalahannya. Nyatanya Melati kecewa, sahabatnya bersikap begitu. Detik berikutnya, setelah Melati keluar kamar, suara ketawa sangat kencang mengguncang gandeng telinganya.
Siapa yang ketawa? Yang pasti itu bukan Sabil, batin gadis itu.
Suara ketawa itu berasal dari kamar yang barusan Melati keluar, tidak melanjutkan langkahnya, Melati penasaran siapa itu? Bukankah tadi Sabil bilang dia sendiri di rumah. Diam. Ya, gadis itu diam sejenak.
Beberapa menit diam di sana, Melati tidak kuasa menahan lagi, akhirnya tangisnya tumpah gak bersuara, rasanya sesak, dia tidak sanggup lagi memilih pergi.
Di pinggir jalan Melati diam seorang diri, di bawah langit sore yang sudah berubah warna keorenan. Tangisnya sudah mereda, tetapi matanya masih sembab. Dia menunggu sang adik, Dity menjemput. Tidak lama lelaki itu datang dengan gaya coolnya, tapi wajah tengilnya muncul juga.
“Ayo, Kak.” Menoleh, Dity menatap wajah Melati. “Kenapa, Kak. Kakak abis nangis? Cep, cep, cep. Jangan nangis, sini aku peluk.”
Turun dari motor, dia langsung memeluk Melati sebentar lalu meraih helm, memakaikan pada sang Kakak.
“Naik, Kak. Atau mau aku gendong juga?” Dity sepertinya agak kesal. Melati hanya diam saja dari tadi, melamun terus, sampai omongan laki-laki itu tidak didengarnya. “HEY! Kenapa, sih?”
“Eh. Enggak, kok. Ayo pulang.” Kali ini Melati mulai sadar, dirinya hanyut dalam kejadian tadi, yang membuat hatinya sakit, gak tertahan ingin meledak.
Kenapa harus sahabat sendiri?Batinnya.
Suara ketawa tadi ternyata kekasih Melati. Nyatanya cerita horor di rumah Sabil juga adalah hal bohong, itu hanya cerita di buat-buat, yang mencolek pundak Melati itu ternyata Raf, dia sembunyi di balik tirai. Sakit hati? Tentu. Melati baru saja merasakan jatuh cinta, bisa disebut cinta pertamanya, tapi nyatanya dia salah memilih lelaki yang tepat.
Dalam perjalanan, gadis itu terus memikirkan perkataan sahabat dan pacarnya tadi.
“Hahaha.”
“Sutt, Sayang. Nanti Melati dengar lagi, suara ketawa kamu, mana kencang lagi.”
“Gak akan. Dia itu cewek bodoh. Dikibulin segitu aja langsung percaya. Teman-teman kamu juga sama, masa percaya aja di sini angker. Haha.”
“Emang, sih. Aku juga udah bosen temenan sama mereka, kampungan banget! Apalagi si Melati jelek banget, kok bisa, sih kamu pacaran sama dia? Kalau dibandingkan sama aku beda jauhlah.”
Raf diam sejenak, entah sedang memikirkan apa. “Itu kan dulu, sebelum aku ketemu kamu. Sekarang aku cintanya sama kamu, Sabil. Kamu itu cantik, beda banget sama Melati gak punya daya tarik sama sekali.”
Melati terus berpikir, dalam batinnya bertanya-tanya. Apa aku sejelek itu? Sampai Raf dan Sabil bilang begitu. Aku kira dia cowok baik, ternyata tidak. Dia pandai sekali bersandiwara. Jadi begini rasanya sakit hati.
“Turun, udah sampai, Kak.” Dity sudah berapa kali ngomong begitu, tapi tidak didengar Melati, dia sibuk melamun. Sekali lagi, lelaki itu menyuruh Melati dengan suara yang agak keras. “Kak Melati! Udah sampai, turun!”
Melihat sekelilingnya, benar saja sudah ada di depan rumah. Dia turun, melangkah masuk, baru beberapa langkah dia balik lagi, berdiri menatap Dity. Yang ditatap merasa heran, kenapa?
“Dit, apa aku jelek?” tanya Melati. Dity yang terheran sebentar langsung tertawa. Lucu? Ya. Menurutnya ini sangat lucu, jarang banget Kakaknya yang memang pendiam, bertanya begitu. Ya, tentu cantik lah, kalau saja bukan saudara kandung sudah Dity pacarin dari dulu.
“Gak usah ketawa, kalau jelek ya tinggal ngomong!” Melati pergi setelah mengucapkan itu. Dia merasa kecewa, Adiknya sendiri tertawa ditanya begitu.
Berarti benaran aku ini jelak, batinnya.
Sementara Dity, dia berhenti tertawa setelah Melati masuk rumah. Mulai berpikir, apakah ini yang membuat Melati menangis tadi? Apa ada yang ngomong kalau dia jelek? “Kalau beneran iya. Berarti gue salah dong, dan oonnya gue malah ketawa. Pastinya Kak Melati sakit hati tadi.”
Buru-buru dia masuk rumah, ada Ibu dan Bapaknya sedang ngopi, tidak lupa dia mengucapkan salam dan menyalami orang tua.
“Kak Melati mana?”
“Barusan masuk kamar.”
“Oh, oke. Aku minta kopinya dikit ya, Bu?”
Belum Ibu menjawab, Dity sudah menyeruput kopinya sampai kandas gak tersisa, dan langsung kabur.
“Kebiasaan kamu, Dity. Ngomongnya minta dikit, malah dihabisin.” Ibu teriak kesal sementara Dity nyengir berasa gak bersalah.
“Udahlah Bu, jangan ngomel mulu. Tinggal buat lagi apa susahnya.”
“Kan kebiasaan, Pak. Kanapa gak kopi punya Bapak aja, sih, yang diminum Dity.”
“Ya, Bapak mana tahu, mungkin dia maunya punya Ibu.”
“Ya gabisa gitu, dong. Kenapa harus punyaku mulu.”
Dity yang mendengar cekcok orang tuanya, tarik nafas. Kok malah berantem sih?! Cuman gara-gara kopi. Ampun, deh. Batin lelaki itu.
“Udahlah, Pak, Bu. Jangan berantem, aku minta maaf ini,” teriaknya dari dalam kamar.
Sore ini dia akan mengerjakan tugas sejarahnya abis itu mandi. Malamnya dia ke kamar Melati. Ya, dia ke sana untuk meminta maaf.
“Kak Mel.” Dity memanggil Melati yang sedang rebahan sambil olahraga jempol, ngetik di hp magsudnya. Melati tidak menghiraukan, hanya menoleh saja tanpa menjawabnya. Sekali lagi Dity menyebut namanya, masih belum ada jawaban dari Melati. Akhirnya lelaki lompat ke kasur dan menindih tubuh Melati.
Lantas Melati kaget dan hampir membuat ponselnya jatuh. “Awas, Dit. Berat loh, menyingkir sana!” Dity bukannya menyingkir, dia malah memeluk Melati erat, jangan ditanyakan wajah tengilnya itu masih terpampang jelas.
“Awas, Dit. Pengap ini.”
“Maafin aku dulu, baru aku lepasin.”
“Loh, ngapain minta maaf?” Agaknya Melati lupa kejadian tadi.
“Soal yang tadi aku ketawa, maaf ya, aku gak bermaksud buat Kakak sakit hati.”
“Oh, oke.”
“Dimaafin gak nih?
“Hm, iya.”
Akhirnya Melati bisa bernafas lega setelah Dity turun dari tubuhnya. “Ngapain masih di sini? Balik sana ke kamarmu, udah malam juga.” Dity, tentu saja tidak langsung pergi, dia sangat penasaran dengan kejadian tadi di mana Kakaknya nangis. Ingin mengorek lebih dalam apa yang terjadi.
“Enggak ah, aku mau tidur sini aja.” Lelaki mulai menyusun rencana untuk membuat Melati terbuka dengannya. Dia akan sangat senang hati mendengar curhatan sang Kakak, dari dulu Melati tidak pernah curhat pada siapa pun dan kali ini Dity akan melakukan apa pun supaya Melati membuka suara.
Oh yah. Gue harus buat Kak Melati percaya sama gue. Buat dia nyaman deket gue. Tapi gimana caranya? Batin laki-laki itu.
Ting! Sebuah ide muncul. Dity mulai mendekat, berbaring di samping Melati. Sangat dekat membuat Melati menoleh sinis. Sementara Dity, dia tersenyum mendapati wajah kesal Melati. Faktanya gadis itu jarang marah, marahnya itu diam.
Ting! Sebuah ide muncul. Dity mulai mendekat, berbaring di samping Melati. Sangat dekat membuat Melati menoleh sinis. Sementara Dity, dia tersenyum mendapati wajah kesal Melati. Faktanya gadis itu jarang marah, marahnya itu diam. Melati membiarkan adiknya mau melakukan apa pun, mau tidur di kamarnya dia tidak masalah.
Yang menjadi masalah adalah ketika Melati bicara serius, tapi lawan bicaranya malah gak serius. Dia pasti akan sangat kesal dan hampir mendekati marah. Contohnya tadi ketika Dity tertawa.
Melati mulai merasa gak nyaman. Dity terus menatapnya dari tadi. Lelaki tak sadar tindakannya membuat Melati gak nyaman.
Katanya tadi ingin membuat Kakaknya nyaman dekat dengannya. Tapi apa? Malah sebaliknya. Dasar Dity, ada-ada saja.
“Apa?” Melati menoleh menatap sang adik, dia agak kesal dengan tingkah Dity. Siapa, sih orang yang gak risih dilihatin terus-menerus, semua orang juga akan risih pastinya.
“Apa?” Jawaban apa itu? Ditanya apa, dijawab apa. Dity, dia malah tersenyum, melihat wajah Melati dengan alis menyatu. “Apa sih, liatin mulu, pergi sana. Aku mau tidur.”
“Enggak, ah. Aku kan mau tidur di sini sama Kak Melati yang cantik.” Mulai nih! Dia beraksi, senyum-senyum manis pada Melati.
“Kalau kita bukan saudara, udah aku pacarin Kak Melati dari dulu.” Melati yang mendengar langsung menjitak kepala Dity. “Gak usah aneh-aneh kamu!”
“Benaran loh, Kak Melati cantik. Apalagi kalau senyum.” Kali ini Dity berkata jujur. Memang benar Melati cantik dan manis. Dity sempat heran, kok ada sih orang yang bilang Melati jelek, siapa sih orang itu? Sungguh dia sangat penasaran.
“Cerita, dong, Kak. Kenapa tadi nangis?” Melati tampak bimbang, dia ingin sekali cerita, tapi rasa takut, malu menghantuinya.
Dia belum menemukan orang yang tepat untuk mendengarkan curhatannya. Melati sangat tahu sifat Adiknya, Dity tidak bisa diajak serius, kebanyakan bercanda. Makanya, dia engan curhat pada lelaki itu.
“Gak, ngapain cerita sama lo? Gak akan bener!” Setelah mengatakan itu, dia berbalik badan membelakangi Dity dan mencoba memejamkan mata.
“Beneran, Kak. Kali ini bakalan serius dengerin cerita Kakak. Janji, deh, gak akan dibercandain lagi.” Dity membalik tubuh Melati jadi menghadapnya.
“Apakah ucapan lo bisa dipercaya?”
“Yaa, bisa. Aku janji bakalan serius.”
“Hmm.”
Apaan, sih, Kak Melati, kok cuman ‘hmm’ jawabannya. Tapi, gak papalah, yang penting dia mau cerita, batinnya.
Melati bangun dari tidurannya menjadi duduk. Otomatis Dity ikut bangun, duduk berhadapan. “Ayo mulai cerita, Kak.” Agaknya lelaki itu sudah tidak sabar, dia sangat antusias.
“Bentar, sebelum dimulai, kamu masih ingat temen Kakak yang namanya Sabil kan?”
“Inget. Bukannya tadi abis dari rumah dia?” Melati mengangguk setelahnya menunduk.
“Terus kenapa?” Dity mulai penasaran, dari tadi Melati cerita begitu lambat.
“Ternyata dia main belakang sama pacar aku.” Apa? Lelaki itu menutup mulut mendengarnya. Dia kaget beneran. Kak Melati punya pacar?! Gue baru tahu anjiir, batinnya. Karena Dity tahu Melati itu seperti apa, jangankan punya pacar, temen dekat laki-laki juga gak punya.
“Pacar?” Melati mengangguk lanjut menatap Dity lekat. “Kenapa? Gak percaya gue punya pacar? Hah! Mau ngetawain gue?”
Dity merasa serba salah, padahal dari lubuk hati dia tidak ada niatan mau ketawa, nyatanya dia juga sedih melihat Melati disakiti laki-laki lain. “Kenapa ngomong gitu? Siapa juga yang mau ketawa. Gak bisa bedain wajah aku yang serius atau yang nggak.”
“Biasanya juga suka ketawa kalau gue ngomongin hal yang baru lo tahu.”
“Maaf. Sekarang gak akan gitu lagi. Sekarang aku mau mulai belajar, bisa membedakan mana yang bercanda dan mana yang serius.” Merasa bersalah, Dity meraih tangan Melati, mengusapnya. Setelahnya, Melati menceritakan semua kejadian tadi dari awal sampai akhir tidak ada yang terlewat. Kini merasa dia sudah lega telah berbagi kesedihannya.
Sementara Dity, dia sedikit kesal pada Melati. Kenapa tidak dipergok aja, mereka sedang berduaan di kamar. Ini apa? Melati malah nangis dan pergi begitu saja. Terlalu polos atau gimana? Lelaki itu gak habis pikir.
“Terus? Setelah Kakak pergi, mereka berdua ngapain di kamar?”
“Kok nanya gue? Mana gue tahu.”
“Oh. Yaudah. Gimana kalau kita buat rencana?”
“Rencana apa?”
“Panas-panasin si Raf itu, buat dia cemburu. Kalau benaran dia cemburu berarti dia masih sayang sama Kakak.” Oh yah. Lupa cerita, kalau Melati pacaran sama Raf sudah 4 bulan. Sebelumnya Raf tulus, cinta banget sama Melati, tapi setelah Melati mengenalkannya pada sahabat, eh ternyata Raf malah suka sama Sabil, sabaliknya Sabil juga sepertinya suka pada Raf.
“Gimana caranya?” Dity meraih tangan Melati, menautkan keduanya, jadi mereka berpegangan lalu dia memotret menggunakan ponsel Melati.
Selanjutnya mengarahkan kamera menjadi memotret dirinya dan Melati. “Senyum dong, Kak. Aku udah ganteng gini, masa Kakak datar doang wajahnya.”
Oke. Melati pasrah, dia mengikuti keinginan Adiknya. Beberapa gaya dilakukan, Dity dengan jahilnya mencium pipi Melati, merasa kesal Melati membalas, dia menarik-narik rambut Dity, membuat laki-laki itu tersiksa.
Tidak disadari Melati tertawa bahagia melihat wajah nelangsa Dity yang meminta ampun, Dity yang melihat itu tersenyum walaupun kepalanya sakit dijambak.
Baru kali ini gue lihat Kak Melati sebahagia itu, batinnya.
Dity kembali mengotak-atik di ponsel Melati, dan mengupload foto-foto tadi di media sosial dengan emotikon love. “Emangnya rencana ini bakal berhasil?” Dity tentu saja mengangguk, dia sangat yakin. “Tunggu aja, bentar lagi juga dia pasti telepon.”
Satu jam berlalu belum ada tanda-tanda ponsel akan berdering. Melati sudah tertidur setengah jam yang lalu, karena bosan menunggu. Sementara Dity, dia masih melek senantiasa menunggu ponsel berdering. Segitu yakin dia pada diri sendiri.
“Aaaa. Akhirnya. Kenapa gak dari tadi, sih! Gue udah ngantuk juga!” Dia berdeham ‘ekhm-ekhm’ sebelum mengangkatnya. “Halo, siapa, sih, ganggu malam-malam.” Hahaha. Dity tertawa tidak bersuara, baru kali ini dia menjahili seseorang.
“Lo yang siapa? Ngapain hp pacar gue bisa sama lo.”
“Lo tanya gue siapa? Gue pacar barunya dan gue sekarang di kamar Melati.” Tidak lama setelah mengucapkan itu, panggilan video call masuk. Tentu saja Dity mengangkatnya, dia memasang wajah ganteng dan tengilnya sekaligus. Dia agak sedikit kesal melihat wajah dari layar ponsel.
Lumayan ganteng juga, tapi lebih gantengan gue sih, batinnya.
Dity mengarahkan kamera pada wajah Melati yang sedang tidur, dengan sengaja lelaki itu mencium pipi Melati berkali-kali. Tujuannya hanya satu untuk membuat Raf cemburu.
Benar saja Raf menjadi dongkol, hatinya panas ingin meledak, dia terus mengomel dalam telepon. Jangan sentuh pacar gue, katanya. Wajah Raf sampai merah padam menahan amarah.
Setelah puas Dity memutuskan sambungan sepihak. Habis itu dia tertawa kencang, puas sekali dia membuat Raf kesal. Sementara di luar, Ibu setelah mengambil air dari dapur melewati kamar Melati, tawa Dity sampai didengar Ibu.
“Dity di kamar Melati? Ngapain, tuh anak, ketawa malam-malam.”
Penasaran, Ibu membuka pintu. Lantas Dity berhenti tertawa. “Ngapain kamu? Berisik malam-malam ketawa.”
“Enggak kok, Bu.”
“Enggak apanya, barusan kamu ketawa.”
“Eh, iya. Yaudah aku tidur lagi.” Dia merebah di sebelah Melati.
“Jangan tidur di situ. Balik ke kamarmu!”
“Aku tidur di sini aja. Udah izin Kak Melati kok. Dibolehin.”
“Yaudah. Jangan gangguin Kakakmu. Dia lagi istirahat.”
“Hmm.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!