NovelToon NovelToon

Cahaya Yang Padam

1. Pernikahan Paksa

"Bu, apa ini enggak terlalu jahat? Bang Jamal baru aja meninggal. Masa kita malah menikahkan Cahaya dengan pria kota itu?"

"Jahat apanya, sih, Pak? Memang sudah seharusnya begitu, 'kan? Kalau kita gak menikahkan mereka, siapa lagi yang mau nanggung beban hidup Cahaya? Anak kita aja ada empat. Masa mau ditambah-tambahin sama gadis cacat itu lagi?"

Jamal mendesah, tangannya bergerak lembut menyentuh bahu Wati seraya berkata, "Kita yang akan menanggungnya, Bu. Cahaya itu ponakan kita satu-satunya. Cuma kita yang dia punya. Kasihan, Bu. Lagian pria kota itu juga udah punya istri. Dia juga memberikan uang ganti rugi sebanyak tiga ratus juta. Itu udah lebih cukup untuk membiayai kehidupan Cahaya."

"Enak aja Bapak ngomong gitu. Bapak lupa, selama tiga bulan belakangan ini, Bang Jamal dan Cahaya menumpang di rumah kita. Uang kita juga habis banyak, Pak. Banyak beban yang harus dikeluarkan. Uang tiga ratus juta itu cuma cukup untuk ganti rugi buat kita. Lagian Ibu gak mau nampung Cahaya selamanya. Dia itu cacat. Gak bisa bekerja. Mana mungkin bisa membalas semua kebaikan kita?"

"Tapi, Bu──"

"Gak ada tapi-tapian," Wati menyela ucapan Bahar, "Sore ini juga, Cahaya harus dinikahkan. Dia harus pergi dari kehidupan kita. Kalau Bapak tetap mau mempertahankan Cahaya, lebih baik Ibu aja yang pergi dari sini."

Di ambang pintu, Cahaya menatap nanar ke arah sepasang suami istri yang memperdebatkan dirinya. Air matanya mengalir deras. Membasahi wajah dan juga sudut hatinya yang terluka parah.

"Cahaya mau dinikahkan dengan pria kota itu? Pria yang sudah menabrak Bapak hingga meninggal?"

Baik Wati dan juga Bahar kompak memutar kepala. Ekspresi keduanya berbanding terbalik. Jika Bahar menatap penuh iba, Wati malah biasa-biasa saja.

"Baguslah kalau kamu sudah tau. Sekarang cepat kemasi barang-barangmu. Karena setelah ijab kabul nanti, kamu akan dibawa pergi oleh suamimu itu."

"Tapi, Cahaya gak mau, Bibi. Pria itu sudah membuat Bapak meninggal. Seharusnya dia dipenjara, bukan malah dinikahkan sama Cahaya. Apa salah Cahaya sampai Bibi dan Paman tega melakukan ini ke Cahaya?"

"Karena kamu cacat! Enggak bekerja, gak bisa menghasilkan banyak uang. Menampung kamu di sini hanya menjadikan beban buat keluarga kami."

"Kalau Cahaya kalian anggap beban, Cahaya akan pergi dari sini. Cahaya akan hidup sendiri di luaran sana."

"Dengan kaki cacat seperti itu, hah?" tanya Wati membuat Cahaya terdiam dan Bahar yang refleks mengusap wajah. "Lihatlah dirimu sendiri, Cahaya. Kamu itu cacat. Kakimu gak bisa digunakan. Gak ada yang mau menerima kamu di dunia ini. Kalau kamu masih menganggap kami keluargamu, maka menurutlah."

Detik itu juga, tangisan Cahaya pecah tak tertahan. Kepalanya menunduk, sorot matanya memandangi kondisi kaki kirinya yang ditumpang oleh satu kruk kayu yang tampak usang.

Sepuluh tahun lalu, kecelakaan itu terjadi. Cahaya bukan hanya harus merelakan ibu tercinta pergi untuk selama-lamanya. Namun, dirinya juga harus mengikhlaskan kaki kirinya kehilangan fungsi.

Dan, sepuluh tahun kemudian──saat Cahaya sudah berbahagia dengan keadaan dirinya──Tuhan malah mengambil satu-satunya harta paling berharga yang Cahaya punya.

Bapak pergi menyusul Ibu. Saat dalam perjalanan berangkat kerja sebagai tukang ojek, sebuah mobil menabrak motor Jamal hingga membuatnya tewas di tempat. Di detik ini pula, kehidupan Cahaya kembali dibuat terancam. Sinar hidupnya padam. Cahaya tak tahu ke mana dirinya harus meminta bantuan.

Sore hari setelah jasad Jamal dikebumikan, ijab kabul dilaksanakan di dalam rumah pada ruang tengah milik keluarga Bahar. Akan tetapi, Cahaya malah bersembunyi di dalam kamar. Menangis, meratapi nasib dirinya yang dibuat hancur berantakan.

"Cahaya mau ikut Bapak sama Ibu aja. Cahaya gak mau di sini .... Ibu ... Bapak ... bawa Cahaya pergi ...."

"Cahaya."

Bahar masuk ke dalam kamar. Ia memposisikan tubuh agar sejajar dengan Cahaya. Bersama air mata yang nyaris menetes pada sudut sebelah kiri, Bahar memeluk Cahaya dengan erat. "Maafkan Paman. Semua ini Paman lakukan demi kebahagiaan kamu. Nak Arif sudah berjanji akan menjaga kamu dengan baik. Jangan bersedih, Cahaya. Berbahagialah di kota sana. Jangan lupakan Pamanmu yang tidak berdaya ini."

"Kenapa Paman tega? Apa karena Cahaya cacat makanya Paman seenaknya? Apa karena Cahaya gak punya Bapak dan Ibu? Cahaya punya hati, Paman. Cahaya punya perasaan. Menikah dengan orang yang menabrak Bapak bukanlah kebahagiaan. Itu malapetaka. Dan, kalian membuat Cahaya merasakan kepahitan ini semua."

Bruk!

"Drama apa lagi ini?" Wati masuk ke kamar sambil mendorong pintu cukup keras. Emosinya mendadak naik saat melihat Cahaya yang masih menangis di pelukan suaminya. "Hei, anak cacat. Berkemaslah! Suamimu menunggu di luar. Dia harus langsung pulang."

"Cahaya gak mau pergi, Paman. Cahaya gak mau ...." isak Cahaya makin merapatkan tubuh ringkihnya pada pelukan Bahar. Namun, percuma saja meminta bantuan. Bahar tidak bisa membantunya.

"Tapi, dia itu suamimu, Nak. Kamu harus ikut bersamanya. Jadilah istri yang baik dan patuh. Nak Arif itu pria yang baik. Paman yakin dia tidak akan menyakitimu."

Cahaya berharap jika ini hanyalah mimpi. Cahaya berharap, saat ia bangun nanti, semua akan membaik seperti sediakala. Tidak ada kecelakaan. Tidak ada yang pergi. Tidak ada pernikahan. Tidak ada perjalanan meninggalkan desa kelahiran.

Namun, sekeras apa pun Cahaya melantunkan doa penuh harap, nyatanya tidak ada yang berubah dalam kehidupannya. Dirinya tetap menjadi seorang gadis yang baru saja ditinggalkan oleh Bapak tercinta. Dirinya tetap menjadi gadis yang dinikahkan secara paksa. Dirinya tetap menjadi gadis yang terbuang. Tanpa perasaan, tanpa belas kasihan.

Hujan turun sore itu. Cahaya menatap ke arah luar jendela sambil memeluk sebuah tas yang hanya berisi beberapa pakaian lusuh. Tidak ada yang istimewa selain foto keluarga dan sebuah kruk kayu yang membantunya berjalan jauh. Hingga pada detik kesekian, sebuah tangan yang memegang saputangan terulur ke arahnya secara perlahan.

Cahaya menoleh, menatap sekilas ke arah saputangan bermotif kotak-kotak itu. Tidak ada niatan sama sekali untuk mengambilnya.

"Hapus air matamu."

Saat Cahaya berharap pria ini akan meminta maaf kepadanya, saat itu juga amarah mendadak timbul dalam hatinya. Dengan gerakan kasar, Cahaya menepis tangan Arif.

Gerakan itu bukan hanya membuat tangan Arif menjauh, tetapi juga membuatnya menatap kesal ke arah Cahaya.

"Kenapa Bapak tidak menolak pernikahan ini, hah? Apa susahnya, sih, buat Bapak bertanggungjawab dengan cara yang lain? Kenapa harus menikah? Bapak punya banyak uang. Bapak kaya raya, punya kekuasaan. Seharusnya orang kota seperti Bapak mampu berpikir lebih logis dan masuk akal."

Arif menghela napas. Sesaat kemudian, kecepatan mobilnya tanpa sadar ia tingkatkan.

"Kalau saya bisa, saya juga gak mau terjebak dalam hubungan ini. Mati-matian saya menolaknya, tapi mati-matian juga Bu Wati mendesak saya."

"Bukan karena Bapak takut masalah ini dibawa ke kantor polisi makanya Bapak menerima pernikahan ini? Saya tau akal bulus orang kaya seperti Bapak. Kalian berani melakukan, tapi takut saat diminta pertanggungjawaban. Bapak takut dipenjara, kan, makanya Bapak mau-mau saja menikahi gadis cacat seperti saya?"

Kamu benar.

Sayangnya, dua kata itu hanya tertahan di tenggorokan.

"Saya bersumpah, tidak ada kebahagiaan untuk orang yang sudah merebut kebahagiaan saya. Bapak harus menderita. Bapak harus menyesal. Bapak harus merasakan kesakitan yang sama seperti yang saya rasakan."

Kepala Arif menoleh, memandangi Cahaya dari balik kacamata yang bertengger pada pangkal hidungnya. Gadis itu menangis. Sekali lagi, Arif meletakkan saputangan bermotif kotak-kotak ke atas pangkuannya dan berharap akan Cahaya gunakan untuk menghapus air matanya. Karena pada dasarnya, setetes air mata Cahaya hanya akan menambah rasa bersalahnya. 

Keheningan itu hanya bertahan selama sepuluh menit. Pada menit kesebelas, ponsel Arif berdering panjang.

"Iya, Ri. Kenapa?" tanya Arif sebagai pembuka kata. Sesaat setelah Fahri memberikan jawaban di seberang sana, eskpresi wajah Arif berubah total.

...* * *...

Arif berlari pada sepanjang koridor rumah sakit dengan kedua pipi dibasahi air mata. Berbagai kemungkinan berputar-putar cepat dalam pikirannya. Dirinya takut terjadi hal yang buruk pada istrinya.

"Zahra," panggil Arif saat pintu ruangan tersebut dibuka cukup kasar.

"Zahra udah tidur," celetuk Fahri dari sofa pada sudut ruangan. Di tangannya terdapat lembaran koran.

"Ke──kenapa Zahra bisa kejang-kejang, Ri? Apa yang terjadi sama dia?" tanya Arif tak sabaran.

"Aku juga gak tau kenapa. Tadi dia cuma ngeluh sakit kepala sama sakit perut. Pas mau aku panggil perawat, dia malah kejang-kejang."

Arif mendesah cemas. Kedua tangannya bergerak menyugar rambut ke belakang.

"Emang tadi kamu ke mana aja, sih? Ngecek peternakan, kok, bisa selama itu?"

"Tadi ada sedikit masalah di desa. Makanya aku terlambat balik," Arif memberikan penjelasan paling aman. Tidak mungkin juga, kan, dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Fahri?

"Karena udah ada kamu di sini, aku mau ke kantin dulu, ya. Dari siang belum makan soalnya."

Arif mengangguk sambil melepaskan kacamata dan meletakkan di atas nakas. Sesaat setelah Fahri keluar dari ruangan, Arif menarik kursi dan mengambil tempat tepat di sebelah ranjang Zahra.

"Bang .... Udah pulang?" Zahra membuka mata. Senyum manisnya terbit kala menyadari sosok Arif ada di sebelahnya.

"Udah. Baru aja sampai," jawab Arif sambil mengusap pipi Zahra yang terasa dingin di jarinya. "Udah makan?"

Zahra mengangguk. "Udah tadi sama Bang Fahri. Kalau Abang?"

"Bentar lagi. Abang belum laper soalnya."

"Abang jangan keseringan telat makan. Nanti bisa kena mag kayak Bang Fahri. Aku gak mau, ya, pas aku lahiran nanti, Abang malah sakit-sakitan," tutur Zahra dengan suara lemah. Namun, Arif meresponsnya hanya dengan senyum tipis saja.

Melihat gelagat yang tak biasa itu, seketika Zahra mengerutkan kening. Ia menyentuh rahang Arif, membuat tatapan yang sempat kosong itu memandanginya dengan heran. "Abang kenapa melamun? Lagi ada masalah?"

Arif membuang napas. Mau ditutup bagaimanapun, Zahra tetap tahu makna dari sorot matanya itu.

Namun, kondisi Zahra sedang tidak baik-baik saja. Di usia kehamilan yang terbilang cukup muda, wanita ini sudah sering kali masuk ke rumah sakit. Lagipula Arif juga harus mencari cara terlebih dahulu. Tidak semudah itu untuk mengatakan tentang apa yang terjadi padanya selama beberapa jam berada di desa.

"Abang cuma khawatir sama keadaan kamu dan anak kita. Padahal dari dulu dokter udah mengatakan kalau kondisi kamu terlalu rentan buat hamil. Tapi, Abang tetap memaksa. Apa sebaiknya dia kita──"

"Abang ...." Zahra menyela dengan ekspresi memelas. Dia bukannya tak tahu kalimat macam apa yang akan Arif katakan. "Ini bukan salah Abang. Gak ada yang memaksa di sini. Memang udah seharusnya, kan, Bang? Kita udah menundanya hampir delapan tahun. Dan, aku rasa, ini memang waktu yang tepat."

"Tapi, kamu jadi gak baik-baik aja, Sayang. Abang takut kamu kenapa-kenapa. Abang takut kehilangan kamu. Abang takut ...." Arif menunduk. Suaranya tercekat, terhenti di tenggorokan. Sedetik kemudian, air matanya menetes dan mengenai punggung tangan Zahra yang ditusuk jarum infus.

"Kita lewatin sama-sama, ya. Bahkan kalau suatu hari aku beneran harus pergi, setidaknya aku meninggalkan buah hati kita di sini."

"Gak mau .... Kamu gak boleh pergi ...."

Arif bangkit lalu memeluk Zahra yang tanpa sadar juga ikut meneteskan air mata. Kondisinya memang sakit. Namun, jika Arif terus ada dan setia bersamanya, Zahra yakin semua akan baik-baik aja.

"Maaf. Mau nyari siapa, ya?"

Cahaya tersentak. Tubuhnya otomatis berputar dan sedikit menjauh dari pintu ruangan yang diisi oleh Arif dan seorang wanita yang terbaring di atas ranjang. "Em, enggak. Kayaknya saya salah kamar, Pak."

Fahri mengangguk pelan. Manik matanya menekuri sosok gadis berpakaian sederhana dengan sebuah kruk kayu yang menopang tubuhnya. "Mau saya antar ke kamar ke kamar yang benar? Mungkin kamu butuh bantuan?" Fahri menawarkan, tetapi Cahaya menggelengkan kepala.

"Gak apa-apa, Pak. Saya permisi dulu. Terima kasih."

Gadis itu berlalu sambil membawa sebuah tas lusuh dengan susah payah. Langkah kaki yang memaksanya mengikuti Arif, nyatanya malah membawanya ke sebuah kenyataan yang menyakitkan.

Pria itu mempunyai istri yang tentu saja sangat dicintai olehnya. Lantas, akan dikemanakan dirinya nanti?

2. Bertemu Zahra

Arif tiba-tiba tersentak. Membuat Zahra yang tengah memegang ponsel jadi ikutan kaget karena tingkahnya.

"Kenapa, Bang? Mimpi buruk?"

"Ini udah pagi, ya, Ra?" tanya Arif kemudian.

Zahra mengangguk, lantas menatap bingung ke arah Arif yang buru-buru bangkit dari duduknya. "Kenapa, sih, Bang? Semua baik-baik aja, 'kan?"

Tidak. Tidak ada yang baik-baik saja saat Arif melupakan keberadaan Cahaya. Arif bahkan tidak tahu gadis itu di mana dan semalam tidur di tempat apa.

Alhasil, Arif mencari alasan bahwa dia harus pergi sebentar. Ada pekerjaan mendesak di toko. Beruntung, Zahra langsung mengiyakan.

Keadaan seolah kembali seperti kemarin. Kali ini, raut wajah panik Arif disebabkan karena Cahaya tidak ada di mobilnya. Arif terus mencari pada semua sudut yang ia lalui. Hingga akhirnya, sosok bertubuh ringkih dengan sebuah kruk kayu itu menampakkan batang hidungnya pada sebuah taman.

"Kamu ke mana aja? Saya capek nyari kamu tau gak?"

Cahaya menoleh. Bola matanya berotasi malas karena omelan Arif tak berbeda jauh dengan Bibi Wati yang selalu menyalahkan dirinya dalam berbagai situasi.

"Bapak yang ke mana aja? Saya dari semalam di sini terus. Gak ke mana-mana," jawab Cahaya dengan berani.

"Ya, udah. Ayo kita pulang."

"Ke mana?" Cahaya bertanya, "Ke rumah yang ada istrinya Bapak?"

"Bukan. Saya sudah menyiapkan tempat yang lain. Dan, yang harus kamu tau, sampai kapan pun, gak bakalan ada perkenalan antara kamu dan istri saya. Hubungan ini rahasia karena hanya sebatas pertanggungjawaban. Jadi, jangan berharap terlalu banyak."

Mendengar kalimat yang Arif ucapkan, Cahaya tertarik untuk mengulas senyum ringan. Ia berkata dengan intonasi yang lebih tenang.

"Bapak jangan khawatir. Gak mungkin juga saya berharap pada orang yang sudah merenggut nyawa Bapak saya. Bukankah sebelumnya saya bersumpah agar Bapak menderita? Bapak lupa, bukan cuma Bapak yang dipaksa, tapi saya juga. Kalau Bapak hanya menginginkan agar hubungan ini dirahasiakan, saya malah menginginkannya dijadikan gak ada. Mudah sekali, kan, Pak?"

Berselang waktu, Arif dan Cahaya akhirnya tiba di sebuah rumah yang terletak paling ujung di sebuah kompleks perumahan elite. Arif turun dari mobil, disusul Cahaya yang menatap takjub pada bangunan yang besarnya mencapai tiga kali lipat dibanding rumah Paman Bahar di desa.

"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini. Rumah ini baru saya beli tiga bulan yang lalu. Semua perabot di dalamnya lengkap dan belum pernah ditempati sama sekali. Nanti saya juga bakalan cari supir dan ART buat nemenin kamu. Gimana? Ada yang mau ditanyakan lagi?"

"Em ...." Cahaya berpikir sebentar dan bertanya beberapa detik kemudian, "Kalau rumah Bapak di mana? Dekat-dekat sini juga?"

"Soal itu kamu gak perlu tau. Lagian kalau saya jawab pun, kamu gak bakalan tau alamat-alamat yang ada di sini."

Cahaya mengerucutkan bibir. Selain pantas dibenci, ternyata Arif juga mempunyai lidah yang teramat tajam. Cahaya jadi heran. Benarkah Arif adalah pria yang sama, yang dilihatnya tengah menangis di rumah sakit kemarin?

"Ya, udah, tunggu apa lagi? Masuk sana. Saya gak mau, ya, tetangga-tetangga di sini pada ngeliatin kita. Dan, satu lagi, jangan sampai mereka tau kalau kita udah nikah. Bersikaplah seolah kita tidak saling kenal. Paham?"

"Soal itu gak perlu diatur, Pak. Saya paham, kok, apa status saya sebenarnya."

* * *

Duduk di atas kasur berukuran besar, Cahaya meneteskan air mata seraya menatap lama foto keluarga kecilnya.

"Pak, Bu, Cahaya rindu kalian. Kapan Cahaya bisa bareng-bareng sama kalian?"

Tuk! Tuk! Tuk!

"Non, makan malamnya sudah siap."

"Iya, Mbok."

Setelah memastikan bahwa tidak ada air mata yang membekas di pipinya, Cahaya lantas keluar dan berjalan ke arah meja makan.

Mbok Tun terlihat tengah mengalaskan nasi untuk Cahaya. Senyum di bibirnya tak pernah luntur walau sedetik saja.

"Masak apa, Mbok?" tanya Cahaya kepada wanita paruh baya yang direkrut Arif sebagai ART sekaligus agar menjadi teman untuknya.

"Tumis kangkung, ayam kecap, sama telur balado, Non. Semoga Non Cahaya suka, ya, sama masakan Mbok."

Cahaya tertawa kecil. Bagaimana mungkin dia tak akan suka, dari penampilannya saja sudah tampak begitu menggiurkan.

"Oh, iya, Mbok. Pak Arif ke mana? Udah pergi, ya?"

"Iya, Non. Tapi, tadi sempat balik lagi buat antar barang."

Mbok Tun memang diberitahukan bahwa Cahaya dan Arif memang pasangan suami istri. Wanita ini sendiri merupakan orang desa yang juga pertama kalinya datang ke kota. Arif pikir akan sangat minim pertemuan Mbok Tun dengan dirinya di luar rumah nanti. Jadinya, kemungkinan untuk Mbok Tun tahu tentang dirinya akan sangat kecil.

Setelah makan malam selesai, Mbok Tun menyerahkan barang-barang titipan dari Arif. Cahaya menerimanya dengan kening berkerut dalam. Selain mendapatkan ponsel baru, Cahaya juga mendapatkan sebuah kruk siku baru. Tentu saja, terlihat lebih bagus dari sebelumnya juga lebih mahal harganya.

Keesokan harinya, Cahaya memutuskan untuk mencoba kruk barunya dengan cara berjalan-jalan di sekitaran taman kompleks. Puas berkeliling, Cahaya memilih untuk beristirahat. Namun, Cahaya malah dikagetkan dengan seorang wanita yang tiba-tiba datang ke arahnya.

"Boleh saya duduk di sini gak? Ban mobil saya kempes. Jadi, saya harus nunggu supir buat gantiin bannya dulu."

Cahaya mengangguk setelah matanya menatap ke sebuah mobil. Di mana sang supir terlihat tengah mengganti ban belakang.

"Saya sering ke sini. Tapi, gak pernah liat kamu. Penghuni baru, ya?"

"Iya. Baru kemarin," jawab Cahaya singkat. Sejujurnya, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Kemudian, tangan wanita berkulit pucat itu terulur ke arah Cahaya. Seulas senyuman terukir indah di bibirnya. "Nama saya Zahra. Salam kenal, ya. Kalau kamu, namanya siapa?"

"Cahaya, Kak."

"Oh, Cahaya. Namanya bagus. Cocok banget buat orangnya. Cantik."

"Terima kasih, Kak."

Cahaya tak tahu, jika sosok wanita yang baru saja berkenalan dengannya ini merupakan istri pertama dari suaminya. Karena saat di rumah sakit kemarin, wajah Zahra tidak terlihat jelas.

"Saya baru pulang dari rumah sakit. Karena suami lagi gak ada di rumah, makanya saya memutuskan buat pulang sebentar ke rumah Abang saya. Rumahnya juga di kompleks ini, sih. Nanti, ya, kalau ketemu, saya kenalin ke kamu. Siapa tau nanti malah tetanggaan."

Cahaya mencoba tertawa. Walau nyatanya, tak ada bagian lucu dari perkataan Zahra. Saat ia menundukkan kepala, manik mata Cahaya dibuat bertahan selama beberapa detik ke depan.

"Itu ... apa, Kak?"

"Oh, ini?" Zahra mengangkat sebuah hasil kerajinan tanah liat yang sejak tadi dipegang olehnya. Sebuah guci kecil yang mungil. Penuh corak dan tampak berkilau saat terkena cahaya. "Ini hasil kerajinan tanah liat dari toko saya. Bagus gak?"

"Bagus banget," jawab Cahaya. "Waktu di desa, saya juga suka banget buat kerajinan yang seperti ini."

"Iyakah? Gabung di toko saya aja gimana? Setiap hari, toko saya selalu memproduksi barang. Gajinya juga lumayan. Gimana? Mau gak?"

"Eh, emang boleh?"

"Kenapa enggak? Sekarang ini, saya lagi butuh karyawan. Kalau kamu memang tertarik, ini kartu nama saya. Ada nomor hp dan alamat toko saya di sana. Saya tunggu kamu kapan aja."

Setelah melewati banyak pertimbangan sekaligus meminta pendapat Mbok Tun di rumah, alhasil Cahaya menerima tawaran tersebut. Sehari setelahnya, Cahaya langsung mendatangi toko milik Zahra. Dan, seperti janjinya, Zahra memang tengah menunggunya.

Cahaya diperkenalkan dengan karyawan-karyawan Zahra yang sudah ada jauh sebelum dirinya. Ia juga diajarkan menggunakan beberapa barang yang nantinya akan digunakan saat proses pembuatan kerajinan. Karena memang sudah mempunyai skills yang mendasar, tak sulit untuk Cahaya langsung menjadi pintar.

Zahra kemudian meminta Cahaya untuk membuatkan sebuah kerajinan apa saja agar bisa dilihat olehnya. Setelah hasil buatannya selesai, Zahra berdecak kagum. Memang tak sia-sia dirinya merekrut Cahaya sebagai karyawan. Gadis ini benar-benar membuktikan kebolehannya.

"Kalian lanjut dulu aja, ya. Pokoknya barang yang dihasilkan harus sesuai dengan jumlah list yang dibutuhkan. Saya mau ke belakang sebentar."

Di dapur, Zahra tampak sedang menuangkan segelas air hangat. Sebelum minuman tersebut masuk ke tenggorokannya, dua buah lengan seketika memeluknya dari belakang.

"Dicariin ke mana. Eh, taunya malah di sini," ucap Arif sambil mengecup pipi Zahra dari belakang. "Lagi ngapain, Yang?"

"Minum vitamin, Bang. Biar dedeknya selalu selalu sehat dan kuat kayak mamanya," tutur Zahra sebelum akhirnya terlihat menelan beberapa vitamin berbeda ukuran.

"Tadi ngapain aja?" tanya Arif. Tangannya bergerak merapikan beberapa anak rambut Zahra yang tampak berantakan.

"Cuma ngajarin karyawan baru, sih."

"Karyawan baru? Kamu rekrut orang lagi?"

Zahra mengangguk semangat. "Anaknya manis banget. Kebetulan, aku kenalan sama dia pas lagi di taman kompleksnya Bang Fahri."

"Baru kenal, kok, main rekrut-rekrut aja, sih, Yang? Emang kamu yakin sama orangnya? Karyawan baru Abang yang di supermarket aja udah Abang pecat. Orangnya gak jujur ternyata. Lah, kamu? Baru juga kenal, 'kan?"

"Tapi, aku yakin kalau dia jujur, Bang. Aku bisa liat kalau dia itu anak baik-baik."

"Cuma dilihat dari mukanya aja, 'kan? Sekarang ini, banyak orang yang begitu, Sayang. Di depan, mah, kayak orang lurus banget. Aslinya malah gak bisa dipake."

"Dia gak mungkin gitu, Abang. Aku yakin betul. Beneran."

Arif akhirnya menyerah dan tak lagi melanjutkan perdebatan karena takut Zahra kenapa-kenapa. Namun, senyum-senyum kecil Zahra malah membuatnya gemas. Saat jarak wajah antara keduanya nyaris terkikis, Cahaya tiba-tiba datang dengan sebuah hasil kerajinan di tangan.

3. Gadis Cacat

"Kak Zahra, ini mangkuknya bagusan dibuat begini atau ... astagfirullah! Maaf-maaf, aku gak tau, Kak!"

Tak ingin menunggu lama, Cahaya langsung melesat pergi dari area dapur.

Adegan tadi terlalu asing buatnya. Membuat ia kepanasan, sekaligus menjadikan detak jantungnya berubah tak tenang.

"Tuh, kan .... Abang, sih," gerutu Zahra tak santai sambil memukul dada bidang Arif dengan kepalan tangan.

"Kok, Abang?"

"Ya, iya. Abang nyosor gak liat tempat. Jadi, kepergok, kan, kita."

Arif memutar bola mata. Ekspresi wajahnya tampak sangat kesal. "Emang siapa, sih, tadi yang ganggu kita?"

"Karyawan baru aku. Cahaya."

"Cahaya?" tanya Arif membuat Zahra kontan menganggukkan kepala.

"Kenapa, Bang? Abang kenal sama Cahaya?"

"Oh, enggak. Abang gak kenal," sahut Arif tersenyum pelan. Biar bagaimanapun, dirinya tetap berharap jika mereka bukanlah orang yang sama.

Hari di mana Arif menyerahkan sebuah rumah untuk Cahaya, saat itulah dia bertekad bahwa inilah pertemuan terakhir mereka. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu.

Arif tetap harus mengunjungi rumah itu. Bertemu Cahaya yang saat itu sedang membersihkan kasur, bersiap untuk tidur.

"Siapa yang nyuruh kamu kerja di toko Zahra?"

"Emangnya kenapa? Saya kerja pun gak ngurangin duit Bapak, 'kan?"

"Masalahnya Zahra itu istri saya!"

Cahaya menoleh. Sorot matanya menampilkan keterkejutan yang luar biasa.

"Kamu mau merusak keluarga saya, hah? Di saat saya mati-matian menyembunyikan kamu dari Zahra, kamu malah menampakkan diri sama dia?"

"Saya gak menampakkan diri, Pak. Kak Zahra yang ngajakin saya buat kerja di sana."

"Alasan. Saya tau tujuan kamu sebenarnya. Kamu mau menghancurkan keluarga saya, 'kan? Apa belum cukup kamu menghantui saya dengan pernikahan sialan ini? Kamu mau Zahra tau segalanya? Kamu mau saya menderita? Apa cuma dengan itu kamu baru bahagia, Cahaya?"

Kata per kata yang Arif ucapkan menusuk hati Cahaya hingga ke titik terdalam. Ia meremas udara. Menarik napas sebanyak-banyaknya.

"Saya gak mau tau. Besok kamu harus keluar dari tempat itu. Jangan berpikir karena kamu cacat, kamu bisa menarik simpati Zahra untuk menyukaimu. Malah sebaliknya, kekurangan ini hanya akan membuat Zahra kerepotan."

"Saya memang cacat, Pak. Saya memang punya banyak kekurangan. Tapi, apa Bapak tau? Di dunia ini, gak ada seorang pun yang mau hidup dengan keadaan seperti ini," ucap Cahaya dengan tegas, tetapi di akhir kalimat air matanya malah mengalir deras.

Cahaya tidak menduga. Telah sampai di kota pun, masih saja ada orang yang dengan tega mematahkan hatinya.

* * *

"Kak Zahra, boleh aku masuk?"

Zahra mendongakkan kepala. Saat matanya menemukan Cahaya yang berdiri di ambang pintu, Zahra tersenyum dan mengangguk seketika.

"Kenapa, Cahaya? Kok, keliatannya lemes gitu? Kamu sakit?"

Cahaya menggeleng. "Aku mau mengundurkan diri, Kak."

"Lo, kenapa? Kamu gak nyaman ada di sini? Karyawan di sini ada yang menyakiti kamu, ya? Atau ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?"

"Bukan itu, Kak. Tapi, aku rasa, pekerjaan ini gak cocok buatku. Gak seharusnya aku berada di sini."

Zahra akan memberikan jawaban. Namun, sudut matanya malah menemukan Arif yang berdiri di ambang pintu dengan sorot mata tajam.

"Abang, liat, nih, Cahaya. Masa baru sehari kerja udah mau ngundurin diri, sih."

"Terus?" Arif bersikap cuek.

Sementara Cahaya diam-diam menggigit bibirnya bagian dalam. Hanya karena memikirkan perkataan Arif malam tadi, hatinya terasa sakit kembali.

"Ya, mana aku bolehinlah. Cahaya ini salah satu karyawan yang aku butuhkan. Bahkan hasil kerajinan yang dia buat kemarin, udah dilirik pembeli, lo."

"Tapi, aku ini cacat, Kak. Aku takut Kak Zahra bakalan kerepotan. Apalagi Kak Zahra baru keluar dari rumah sakit dan lagi hamil. Aku gak mau dituduh menarik simpatinya Kak Zahra," jelas Cahaya membuat Arif seketika menatap ke arahnya.

"Eh, apa, sih? Siapa yang ngomong begitu ke kamu? Aku sama sekali gak mempersalahkan hal itu, Cahaya. Kamu berkompeten, kamu mampu, kamu mempunyai skills. Makanya aku milih kamu buat kerja di sini. Jangan mikir yang bukan-bukan, ya, Cahaya."

"Udahlah, Zahra. Kalau dia udah gak mau kerja di sini lagi, lebih baik kamu lepasin. Buat apa, sih, mempertahankan sesuatu yang jelas-jelas udah gak mau sama kita? Hanya merendahkan diri sendiri aja tau gak?"

"Abang, kok, gitu? Harusnya Abang bantu aku buat bujuk Cahaya."

"Suami Kak Zahra benar. Gak seharusnya Kak Zahra merendahkan diri sendiri. Apalagi buat orang cacat seperti aku."

"Cahaya ...." Zahra melirih lalu memeluk Cahaya perlahan. "Aku gak tau apa yang membuat kamu seperti ini. Tapi, siapa pun yang udah menyakiti kamu, percayalah dia gak suka melihat kamu bahagia. Buktikan kalau kamu bisa, Cahaya. Bungkam mulutnya dengan semangat dan usaha kamu."

"Kak──"

"Udah, jangan berpikir buat keluar dari sini lagi. Sana, balik. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."

Senyuman Zahra tampak begitu tulus. Namun, Arif malah memandangnya dengan tatapan tak suka.

Saat semua pekerjaan di toko diselesaikan, Cahaya memutuskan untuk langsung pulang. Akan tetapi, Arif mencegat dirinya saat selangkah lagi akan masuk ke dalam rumah.

"Apa lagi, sih, Pak? Bapak mau marahin saya tentang hal apa lagi? Saya udah turutin semua kemauan Bapak. Tapi, Bapak liat, kan, apa yang terjadi tadi? Kak Zahra melarang saya."

"Dan, gara-gara kamu, saya jadi bertengkar dengan istri saya. Ini, kan, yang kamu mau sebenarnya? Kamu mau saya pisah dengan istri saya. Kenapa kamu licik sekali, Cahaya? Apa begini didikan orang taumu selama ini?"

"Bapak jangan gila, ya! Saya gak selicik Bapak yang menerima pernikahan paksa cuma karena gak mau dipenjara. Harusnya Bapak ngaca siapa yang paling licik dan paling jahat di sini. Setiap hari Bapak nuduh saya! Setiap hari Bapak menyudutkan saya! Apa Bapak pernah memikirkan perasaan saya untuk sehari aja, hah?"

Arif mendadak terdiam hanya karena Cahaya yang mulai menangis sesegukan. Perasaan bersalah itu kembali muncul dan Arif menepisnya kuat-kuat. Akan tetapi, perasaan itu tetap bertahan bahkan hingga seminggu kemudian. Berulang kali Arif mendatangi toko Zahra. Namun, jangankan bertatap mata dengan Cahaya, melihat bayangannya saja tidak. Cahaya menghindar darinya.

Arif juga berusaha untuk tidak terus-terusan memikirkan gadis itu. Selain kesehatan Zahra, ada banyak hal lain yang harus diurus olehnya.

Di usia yang sudah melewati kepala tiga, Arif sudah membuka usaha supermarket. Dia juga menggeluti usaha perkebunan dan peternakan. Namun, dua-duanya terletak jauh di desa. Arif sendiri hanya akan memeriksanya sesekali. Itu pun jika ada masalah yang terlalu serius.

Siang ini, Arif kembali mendatangi toko kerajinan tanah liat milik Zahra. Tepat di pintu masuk, langkah kaki Arif dibuat tertahan.

Dia melihat Cahaya sedang tertawa lepas untuk pertama kalinya. Sialnya, di sebelah gadis itu terdapat Fahri. Abang kandung Zahra sekaligus seseorang yang sudah lama bersahabat baik dengannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!