"Mereka itu cocok banget, kan, Bang?"
Arif terkejut, di sisi kirinya sudah berdiri Zahra yang juga sedang menatap ke arah Fahri dan Cahaya dengan tatapan bahagia.
"Rencananya aku mau jodohin mereka. Soalnya dari yang aku liat, Bang Fahri kayaknya tertarik sama Cahaya. Kalau menurut Abang gimana?"
"Gak cocok. Gak pantes. Fahri itu bisa mendapatkan yang lebih sempurna, Zahra. Bukan gadis seperti Cahaya," ketus Arif yang seketika mengundang atensi Zahra memandang bingung ke arahnya.
"Aku gak ngerti sama sikap Abang akhir-akhir ini. Setiap ngeliat Cahaya, Abang selalu marah-marah gak jelas. Ada masalah apa, sih, Bang? Cahaya kenapa sampai Abang gak suka sama dia?"
Arif tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa. Sejujurnya, dia pun tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Di satu sisi, dia membenci Cahaya. Namun, di sisi lain, dia khawatir jika Cahaya benar-benar menyukai Fahri. Bukankah seharusnya mereka tak boleh bersama?
* * *
Jarum jam telah menunjukkan angka empat sore dan Cahaya bersiap-siap untuk pulang. Namun, kedatangan Zahra menghentikan langkahnya.
"Aku mau nanya sesuatu, boleh gak?"
"Mau nanya apa, Kak?"
Zahra mengulum senyum. Ekspresi wajahnya tampak berbeda. "Pendapat kamu tentang Bang Fahri gimana, Ya?"
"Baik, sopan, pintar, dan dewasa."
"Tipe kamu bukan?"
Cahaya berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kalau dibilang tipe, sih, aku gak tau pasti, ya, Kak. Tapi, kalau misalkan aku dapat yang modelannya kayak Bang Fahri, aku pasti bakalan bersyukur banget."
"Nah, ini yang mau aku dengar," ucap Zahra membuat Cahaya makin menatap bingung ke arahnya. "Kamu jadian sama Bang Fahri aja, ya, Ya? Bang Fahri juga tertarik sama kamu. Nanti aku bakalan bantuin kalian buat lebih dekat lagi. Gimana? Mau, 'kan?"
"Kak, tapi, aku──"
"Tapi, kenapa? Kamu udah punya pacar?"
"Bukan, Kak."
"Ya, terus? Kamu udah tunangan?"
"Gak juga. Tapi──"
"Kamu udah punya suami?"
Cahaya terdiam di pertanyaan terakhir. Akan tetapi, Zahra tidak curiga sama sekali.
"Apa? Gak ada jawaban, 'kan? Udah, gak usah malu-malu kucing gitu. Nanti aku bilangin ke Bang Fahri. Kalian itu emang ditakdirkan bersama tau gak? Rumahnya aja bisa satu kompleks gitu. Mana waktu di rumah sakit pernah ketemu juga, 'kan?"
Cahaya hanya bisa menganggukkan kepala. Napasnya berembus pelan.
Sesampainya di rumah, Cahaya terus-terusan dihantui ucapan Zahra. Membuatnya tak bisa tidur hingga semalam penuh.
Keesokan harinya, Cahaya tidak ke toko karena tutup. Dalam seminggu, Zahra memang meliburkan para karyawannya saat weekend.
Saat ini, Cahaya terlihat sedang menyiram tanaman. Ekspresi wajahnya tampak sedikit lesu.
"Padahal bunganya udah mekar gitu. Tapi, kenapa yang nyiram malah gak bersemangat?"
Cahaya menoleh, mendapati Fahri yang berdiri di balik pagar rumah dengan pakaian khas orang berolahraga.
"Ngantuk, Bang," jawab Cahaya seadanya.
"Udah pagi masa masih ngantuk? Hm, anak gadis suka males-malesan ini."
Cahaya tertawa lalu mematikan keran agar lebih fokus berbicara dengan Fahri.
Fahri sendiri memang tidak tahu jika Arif sudah membeli rumah ini tiga bulan yang lalu. Kesibukannya di kantor membuat Fahri tidak tahu menahu tentang apa saja yang terjadi di kompleks perumahannya.
Keduanya berbincang selama beberapa menit ke depan. Saat obrolannya selesai, Fahri pamit pulang.
Cahaya juga akan bersiap untuk masuk. Saat tangannya nyaris menutup pintu, Arif muncul dan detik itu juga masuk ke dalam rumah.
"Enak banget, ya, ngobrolnya tadi? Udah mulai suka sama Fahri?"
"Ck, apaan, sih, Pak? Gak jelas!" ketus Cahaya sambil berlalu ke dalam kamar.
"Cahaya, saya lagi bicara sama kamu!" teriak Arif saat Cahaya sama sekali tidak menggubris perkataannya.
Arif pun mengejar Cahaya hingga ke dalam kamar. Saat keduanya berdiri berhadapan, Arif kembali menatap Cahaya dengan tajam.
"Saya lagi ngomong. Kenapa kamu main pergi gitu aja? Kamu gak menghargai saya?"
"Saya belajar itu dari Bapak," timpal Cahaya membuat Arif terdiam seribu bahasa. "Lagian Bapak mau apa lagi, sih? Kalau Bapak mau memperingati saya tentang Bang Fahri, oke, saya dengerin. Saya juga tau diri, Pak. Walau pada kenyataannya, saya hanyalah istri yang disembunyikan."
"Akhir-akhir ini kamu pintar ngelawan saya, ya? Gak tau terima kasih. Gak tau balas budi."
"Balas budi ke orang yang menabrak Bapak saya hingga meninggal? Bapak yakin?"
Arif menipiskan bibir, menekuri Cahaya dengan api berkobar dalam mata. Saat dirinya akan kembali membuka suara, Mbok Tun datang dan mengabarkan sarapan sudah siap.
Dan, untuk pertama kali setelah pernikahan mereka, Arif dan Cahaya berada dalam satu meja yang sama.
Diam-diam Arif memperhatikan Cahaya. Jika penglihatannya tak salah, Arif menemukan setetes air mata di atas meja.
* * *
Cahaya tidak mengerti jalan pikiran Arif sebenarnya. Pria itu seolah ingin dirinya terus-terusan menderita. Dan, sewaktu Cahaya menangis karena sikap atau perkataannya, Arif malah menatapnya dengan penuh rasa bersalah dan penyesalan yang amat kentara.
Hari ini, saat Cahaya sibuk merampungkan sebuah guci, matanya malah tak sengaja menatap Arif dan Zahra sedang berpelukan mesra. Bahkan kadang-kadang pria itu dengan sengaja mencium Zahra di depannya.
Arif seolah ingin menegaskan bahwa cuma Zahra yang ada di hatinya. Sementara Cahaya, hanya dianggap kerikil dalam sepatu olehnya.
"Bang, minggu depan bakalan ada pameran di Bali. Aku boleh ke sana, ya?"
"Gak boleh, Zahra. Kamu lagi hamil. Abang gak mau kamu kenapa-kenapa."
"Cuma tiga hari, Bang. Kalau aku melewatkan kesempatan ini, aku bakalan rugi besar. Momen inilah yang ditunggu-tunggu seniman seperti kami. Boleh, ya, Bang? Aku janji bakalan jaga diri. Aku bakalan terus ngabarin Abang, minum obat tepat waktu, dan gak akan kecapean. Aku bakalan bawa karyawan tiga orang dari toko ini. Jadi, aku gak bakalan sendiri."
"Tapi, janji harus selalu kasih kabar, ya?"
"Janji."
Cahaya menjauh dari area dapur. Niatnya tadi mau mengambil minum. Namun, obrolan Zahra dan Arif membuatnya tertarik untuk mendengarnya.
Saat hari itu tiba, Zahra berangkat bersama tiga orang karyawannya yang sudah lama jauh sebelum Cahaya. Dan, selama rentang waktu itu, Zahra juga menutup toko karena ingin meliburkan karyawan yang lain.
Malam makin larut. Arif menutup laptop lalu bersiap untuk pulang dari supermarket menggunakan motornya. Saat masih dalam perjalanan, hujan turun dengan deras. Sialnya, Arif lupa membawa jas hujan.
Arif memutuskan untuk berhenti di rumah Cahaya. Cahaya yang kebetulan baru selesai salat malam, langsung menyadari kedatangan Arif ke rumah.
Ia membuka pintu dan menemukan Arif yang menggigil kedinginan. Bukan main paniknya Cahaya. Dengan jalan tertatih-tatih, Cahaya bolak-bolik pergi mengambil handuk dan juga air hangat.
"Udah mendingan, Pak?"
Arif menggeleng dengan tubuh menggigil. Wajahnya pucat dan bibirnya berwarna biru keunguan.
Arif sudah mengganti pakaian basahnya. Karena dirinya memang selalu menyediakan pakaian bersih di dalam jok motornya.
"Di──dingin, Cahaya ... Dingin sekali ...."
"Duh, saya harus bagaimana, Pak? Saya kompres lagi, ya, Pak?"
"To──tolong, peluk saya seperti yang Zahra lakukan. Itu akan membantu saya."
Cahaya terdiam beberapa saat ke depan. Dengan ragu, kedua tangannya terangkat perlahan-lahan. Cahaya menutup mata seraya membawa Arif ke dalam dekapannya. Tubuhnya yang hangat, bersentuhan langsung dengan Arif yang kedinginan. Sesaat kemudian, getaran di tubuh Arif berkurang.
"Pak, Pak Arif?" Cahaya memanggil setelah keduanya telah lama terdiam.
Saat Cahaya mencari wajah Arif, ia malah menemukan pria itu terlelap dalam tidurnya.
Tanpa sadar seulas senyuman muncul di bibir Cahaya. Getaran di tubuh Arif, kini berpindah ke hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Hiatus
cahaya km jgn terlalu cinta
2024-07-07
1
piyo lika pelicia
semangat ☺️
2024-06-07
1
piyo lika pelicia
hah rumit
2024-06-07
1