"Kak Zahra, ini mangkuknya bagusan dibuat begini atau ... astagfirullah! Maaf-maaf, aku gak tau, Kak!"
Tak ingin menunggu lama, Cahaya langsung melesat pergi dari area dapur.
Adegan tadi terlalu asing buatnya. Membuat ia kepanasan, sekaligus menjadikan detak jantungnya berubah tak tenang.
"Tuh, kan .... Abang, sih," gerutu Zahra tak santai sambil memukul dada bidang Arif dengan kepalan tangan.
"Kok, Abang?"
"Ya, iya. Abang nyosor gak liat tempat. Jadi, kepergok, kan, kita."
Arif memutar bola mata. Ekspresi wajahnya tampak sangat kesal. "Emang siapa, sih, tadi yang ganggu kita?"
"Karyawan baru aku. Cahaya."
"Cahaya?" tanya Arif membuat Zahra kontan menganggukkan kepala.
"Kenapa, Bang? Abang kenal sama Cahaya?"
"Oh, enggak. Abang gak kenal," sahut Arif tersenyum pelan. Biar bagaimanapun, dirinya tetap berharap jika mereka bukanlah orang yang sama.
Hari di mana Arif menyerahkan sebuah rumah untuk Cahaya, saat itulah dia bertekad bahwa inilah pertemuan terakhir mereka. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu.
Arif tetap harus mengunjungi rumah itu. Bertemu Cahaya yang saat itu sedang membersihkan kasur, bersiap untuk tidur.
"Siapa yang nyuruh kamu kerja di toko Zahra?"
"Emangnya kenapa? Saya kerja pun gak ngurangin duit Bapak, 'kan?"
"Masalahnya Zahra itu istri saya!"
Cahaya menoleh. Sorot matanya menampilkan keterkejutan yang luar biasa.
"Kamu mau merusak keluarga saya, hah? Di saat saya mati-matian menyembunyikan kamu dari Zahra, kamu malah menampakkan diri sama dia?"
"Saya gak menampakkan diri, Pak. Kak Zahra yang ngajakin saya buat kerja di sana."
"Alasan. Saya tau tujuan kamu sebenarnya. Kamu mau menghancurkan keluarga saya, 'kan? Apa belum cukup kamu menghantui saya dengan pernikahan sialan ini? Kamu mau Zahra tau segalanya? Kamu mau saya menderita? Apa cuma dengan itu kamu baru bahagia, Cahaya?"
Kata per kata yang Arif ucapkan menusuk hati Cahaya hingga ke titik terdalam. Ia meremas udara. Menarik napas sebanyak-banyaknya.
"Saya gak mau tau. Besok kamu harus keluar dari tempat itu. Jangan berpikir karena kamu cacat, kamu bisa menarik simpati Zahra untuk menyukaimu. Malah sebaliknya, kekurangan ini hanya akan membuat Zahra kerepotan."
"Saya memang cacat, Pak. Saya memang punya banyak kekurangan. Tapi, apa Bapak tau? Di dunia ini, gak ada seorang pun yang mau hidup dengan keadaan seperti ini," ucap Cahaya dengan tegas, tetapi di akhir kalimat air matanya malah mengalir deras.
Cahaya tidak menduga. Telah sampai di kota pun, masih saja ada orang yang dengan tega mematahkan hatinya.
* * *
"Kak Zahra, boleh aku masuk?"
Zahra mendongakkan kepala. Saat matanya menemukan Cahaya yang berdiri di ambang pintu, Zahra tersenyum dan mengangguk seketika.
"Kenapa, Cahaya? Kok, keliatannya lemes gitu? Kamu sakit?"
Cahaya menggeleng. "Aku mau mengundurkan diri, Kak."
"Lo, kenapa? Kamu gak nyaman ada di sini? Karyawan di sini ada yang menyakiti kamu, ya? Atau ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?"
"Bukan itu, Kak. Tapi, aku rasa, pekerjaan ini gak cocok buatku. Gak seharusnya aku berada di sini."
Zahra akan memberikan jawaban. Namun, sudut matanya malah menemukan Arif yang berdiri di ambang pintu dengan sorot mata tajam.
"Abang, liat, nih, Cahaya. Masa baru sehari kerja udah mau ngundurin diri, sih."
"Terus?" Arif bersikap cuek.
Sementara Cahaya diam-diam menggigit bibirnya bagian dalam. Hanya karena memikirkan perkataan Arif malam tadi, hatinya terasa sakit kembali.
"Ya, mana aku bolehinlah. Cahaya ini salah satu karyawan yang aku butuhkan. Bahkan hasil kerajinan yang dia buat kemarin, udah dilirik pembeli, lo."
"Tapi, aku ini cacat, Kak. Aku takut Kak Zahra bakalan kerepotan. Apalagi Kak Zahra baru keluar dari rumah sakit dan lagi hamil. Aku gak mau dituduh menarik simpatinya Kak Zahra," jelas Cahaya membuat Arif seketika menatap ke arahnya.
"Eh, apa, sih? Siapa yang ngomong begitu ke kamu? Aku sama sekali gak mempersalahkan hal itu, Cahaya. Kamu berkompeten, kamu mampu, kamu mempunyai skills. Makanya aku milih kamu buat kerja di sini. Jangan mikir yang bukan-bukan, ya, Cahaya."
"Udahlah, Zahra. Kalau dia udah gak mau kerja di sini lagi, lebih baik kamu lepasin. Buat apa, sih, mempertahankan sesuatu yang jelas-jelas udah gak mau sama kita? Hanya merendahkan diri sendiri aja tau gak?"
"Abang, kok, gitu? Harusnya Abang bantu aku buat bujuk Cahaya."
"Suami Kak Zahra benar. Gak seharusnya Kak Zahra merendahkan diri sendiri. Apalagi buat orang cacat seperti aku."
"Cahaya ...." Zahra melirih lalu memeluk Cahaya perlahan. "Aku gak tau apa yang membuat kamu seperti ini. Tapi, siapa pun yang udah menyakiti kamu, percayalah dia gak suka melihat kamu bahagia. Buktikan kalau kamu bisa, Cahaya. Bungkam mulutnya dengan semangat dan usaha kamu."
"Kak──"
"Udah, jangan berpikir buat keluar dari sini lagi. Sana, balik. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."
Senyuman Zahra tampak begitu tulus. Namun, Arif malah memandangnya dengan tatapan tak suka.
Saat semua pekerjaan di toko diselesaikan, Cahaya memutuskan untuk langsung pulang. Akan tetapi, Arif mencegat dirinya saat selangkah lagi akan masuk ke dalam rumah.
"Apa lagi, sih, Pak? Bapak mau marahin saya tentang hal apa lagi? Saya udah turutin semua kemauan Bapak. Tapi, Bapak liat, kan, apa yang terjadi tadi? Kak Zahra melarang saya."
"Dan, gara-gara kamu, saya jadi bertengkar dengan istri saya. Ini, kan, yang kamu mau sebenarnya? Kamu mau saya pisah dengan istri saya. Kenapa kamu licik sekali, Cahaya? Apa begini didikan orang taumu selama ini?"
"Bapak jangan gila, ya! Saya gak selicik Bapak yang menerima pernikahan paksa cuma karena gak mau dipenjara. Harusnya Bapak ngaca siapa yang paling licik dan paling jahat di sini. Setiap hari Bapak nuduh saya! Setiap hari Bapak menyudutkan saya! Apa Bapak pernah memikirkan perasaan saya untuk sehari aja, hah?"
Arif mendadak terdiam hanya karena Cahaya yang mulai menangis sesegukan. Perasaan bersalah itu kembali muncul dan Arif menepisnya kuat-kuat. Akan tetapi, perasaan itu tetap bertahan bahkan hingga seminggu kemudian. Berulang kali Arif mendatangi toko Zahra. Namun, jangankan bertatap mata dengan Cahaya, melihat bayangannya saja tidak. Cahaya menghindar darinya.
Arif juga berusaha untuk tidak terus-terusan memikirkan gadis itu. Selain kesehatan Zahra, ada banyak hal lain yang harus diurus olehnya.
Di usia yang sudah melewati kepala tiga, Arif sudah membuka usaha supermarket. Dia juga menggeluti usaha perkebunan dan peternakan. Namun, dua-duanya terletak jauh di desa. Arif sendiri hanya akan memeriksanya sesekali. Itu pun jika ada masalah yang terlalu serius.
Siang ini, Arif kembali mendatangi toko kerajinan tanah liat milik Zahra. Tepat di pintu masuk, langkah kaki Arif dibuat tertahan.
Dia melihat Cahaya sedang tertawa lepas untuk pertama kalinya. Sialnya, di sebelah gadis itu terdapat Fahri. Abang kandung Zahra sekaligus seseorang yang sudah lama bersahabat baik dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
🔵꧁ঔৣ⃝𝐊ꪶꪖ𝘳ꪖ❦꧂
kubaca sampai sini dulu, /Rose//Rose//Rose/meluncur..
2024-07-23
1
🔵꧁ঔৣ⃝𝐊ꪶꪖ𝘳ꪖ❦꧂
mulutmu bang, sini aku ketok magic biar aluss.../Drowsy//Drowsy/
2024-07-23
1
Hiatus
semua manusia ingin terlahir sempurna, tlong jgn prnh menghina fisik org
2024-07-07
1