Tak terasa sudah seminggu waktu berlalu, hatiku menjadi tidak tenang saat akan melihat pengumuman hasil kelulusan tes universitas ilmu pemerintahan.
Setelah aku buka website tempat pengumumannya, aku menjadi panik saat melihat tidak ada namaku di deretan nama lainnya yang tercantum lulus masuk ke universitas ilmu pemerintahan.
Aku jadi semakin bingung dan takut, bagaimana harus menyampaikannya kepada kedua orang tua ku, pasti mereka akan marah besar kepadaku. Aku mencoba untuk mengeceknya kembali, namun namaku benar-benar tidak ada.
Seharian aku hanya mengurung diri di dalam kamar, sesekali aku keluar kamar untuk ke kamar mandi dan mengambil makan atau minum. Sampai suara bapak sepulang dari kantor memanggilku.
“Lunaaaa”, suaranya terdengar dari ruang televisi.
“Iya, Pak”, aku bergegas keluar kamar dan pasrah dengan apa yang akan bapak katakan kepada aku nanti.
“Gimana hasil tesnya?”, tanya Bapak.
“Aku... Aku tidak lulus, Pak”, jawabku menundukkan kepala.
“Bagaimana kamu bisa tidak lulus?! Anak Om mu saja si Dwi, ia bisa diterima disana. Terus anak teman kantor bapak itu dia juga bisa lulus. Kenapa kamu sendiri yang tidak lulus? Makanya kamu kerjaannya jangan main melulu”, bapak terlihat marah dan mengomeliku karena tidak terima dengan kegagalan ku untuk masuk di universitas ilmu pemerintahan itu.
“Kalau begini, harapan bapak dan ibu pupus semua”, kata ibu menambahkan.
Aku sebenarnya ingin menangis, tetapi air mata ini tidak bisa aku keluarkan di hadapan kedua orang tua ku.
Setelah aku kembali ke kamar, aku baru bisa menumpahkan seluruh air mataku. Hingga malam hari itu tiba, aku hanya ingin berdiam diri di dalam kamar saja.
Terdengar suara pesan masuk di ponselku, saat aku buka ternyata Adi mengirimkan pesan yang menanyakan bagaimana dengan hasil kelulusan tes yang kemarin. Aku hanya membaca pesan itu saja karena hari ini aku hanya ingin berdiam diri dan menangis saja.
Sepertinya Adi masih penasaran dengan keadaan diriku, lalu ia melanjutkan dengan meneleponku, aku sengaja tidak mengangkat ponselnya. Hingga akhirnya aku tertidur di atas kasurku.
Hari sudah menjelang pagi, aku baru tersadar kalau semalam aku telah ketiduran. Kedua mataku terasa berat dan terlihat bengkak saat aku duduk di depan cermin.
Perutku pun sudah mulai keroncongan karena semalam aku lupa makan. Ku lihat ponselku dan ternyata ada banyak bekas telepon dan pesan masuk dari Adi dan Hani.
Aku sengaja tidak membalas pesan-pesannya, hari ini aku putuskan untuk di rumah saja, lagipula kedua mataku sedang bengkak akibat menangis semalam, yang pastinya aku akan malu jika keluar rumah, apalagi jika bertemu Adi.
Aku jadi teringat dengan Adi, perasaan apa yang aku rasakan saat berdua dengan Adi kemarin itu? Apalagi jika aku sudah berada di dekatnya, aku pasti akan merasa tenang dan nyaman. Apa ini yang dinamakan jatuh cinta?
Hah, jatuh cinta? Aku pun bingung sama diriku sendiri. Adi kan sahabatku kenapa aku bisa jatuh cinta sama sahabat sendiri.
Lalu ku tatap wajahku di depan kaca rias, terlihat wajah dan penampilanku yang cupu, tidak seperti wanita lainnya yang berpenampilan menarik. Apakah Adi mau mencintai seorang wanita yang rupanya hanya biasa saja.
Aku mencoba untuk melupakan itu semua. Lebih baik aku memikirkan apa yang bisa aku lakukan untuk menentukan nasibku di masa depan nanti.
Tiba-tiba saja ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku. Aku mendengar suara Hani memanggil namaku.
Tokk... Tokk... Tokk...
“Lunaaa... Lunaaa....”, suaranya terdengar dari balik pintu.
Aku pun langsung membukakan pintu nya.
“Kamu baik-baik saja kan, Na?”, tanya Hani yang merasa khawatir saat melihat kedua mataku yang bengkak dan wajahku yang kusut.
“Masuk Han”, aku meminta Hani untuk masuk ke kamar ku.
“Na, kalau ada masalah, aku dan Adi pasti akan selalu membantumu”, kata Hani.
Aku tidak bisa menahan air mataku yang sudah menggenang di pelupuk mataku.
“Ceritakan saja semuanya padaku”, kata Hani menenangkan ku.
Aku pun mulai menceritakan semua tentang kedua orang tua ku yang sangat menginginkan diriku masuk di universitas ilmu pemerintahan dan tidak menyetujui cita-cita yang selama ini aku impikan.
“Ya sebenarnya apa yang dikatakan oleh orang tuamu itu benar, hanya saja kalau takdir kita memang bukan di jalan yang mereka inginkan, kita mau bagaimana lagi. Ditambah kalau keahlian kita bukan disana”, kata Hani menjelaskan.
"Setelah ini aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya, Han. Aku ingin seperti mu, semua keputusan mu tidak pernah ditentang oleh orang tuamu, selama itu masih dalam perbuatan baik", kataku merasa putus asa.
“Tenang, Na. Aku dan Adi pasti akan membantumu mencari lowongan kerja seorang penyanyi, nanti kalau kami menemukannya kami akan segera menghubungimu”, kata Hani.
"Kemarin kamu juga tahu sendiri, Han. Kalau aku ikut kursus bernyanyi biayanya juga sangat mahal, orang tuaku mana mungkin menyetujuinya", kataku
“Sudah jangan sedih ya, Na. Pasti ada jalan lain. Kamu juga harus bisa menunjukkan kalau bakatmu memang ada di menyanyi”, Hani memberikan semangat kepadaku.
Hati ini menjadi sedikit lega setelah mencurahkan semua yang ada di dalam hatiku.
Hari terus berganti sementara aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Hani sudah disibukkan dengan kursus menjahit dan pekerjaan sambilannya, ia mendapat pekerjaan sambilan di salon perias pengantin. Sementara Adi disibukkan dengan kegiatan kuliahnya. Aku menjadi malu karena hanya aku sendiri yang masih belum jelas dengan masa depanku.
Sepulang aku dari pasar, aku bertemu dengan Mona yang sedang olahraga joging mengelilingi komplek perumahan, Rumah aku dan Mona berbeda komplek hanya saja komplek rumah kami saling bersebelahan.
“Heii,, kita bisa bertemu disini, habis darimana kamu?”, tanya Mona.
“Aku dari pasar”, jawabku singkat dengan menunjukkan belanjaanku.
“Kamu tidak kuliah?”, tanya Mona.
“Aku tidak melanjutkan kuliah, tapi aku sedang mencari pekerjaan yang berkaitan dengan bakat menyanyiku”, jelasku.
“Ohh... begitu”, kata Mona.
“Aku duluan, Mona”, aku segera pergi meninggalkan Mona, sebelum ia mengejekku sebagai seorang pengangguran.
Siang harinya ada sebuah pesan yang masuk ke ponselku, tapi nomor itu tak ada namanya yang artinya nomor itu belum terdaftar di ponselku.
Saat aku baca ternyata itu nomor Mona, ia mengatakan kalau di tempat kerja teman bapaknya sedang membutuhkan tenaga kerja seorang penyanyi cafe.
Aku pun menjadi semangat karena sudah 2 bulan aku menganggur di rumah. Tapi, aku sedikit agak heran, kenapa tiba-tiba hatinya Mona yang suka mengejekku, kali ini ia mau menolong ku. Apa hatinya sudah berubah? Pikirku dalam hati.
Mona pun meminta aku untuk datang ke rumahnya besok pagi dan sekalian membawa perlengkapan baju ganti, karena pegawai cafe disana akan di tempatkan di mess, dan diperbolehkan pulang seminggu sekali.
Semangat ku yang tadinya mulai pupus, kali ini menjadi bangkit kembali untuk mengejar mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments