NovelToon NovelToon

Queen Of Melody

Cita-cita yang Mustahil

Aku kumpulkan kepercayaan diriku sebelum tampil di panggung dan membawakan lagu perpisahan untuk guru dan teman-teman sekolahku.

Beberapa hari sebelumnya Bapak Kepala Sekolah sudah memberitahukan kepada seluruh siswa-siswi sekolah, jika ada yang memiliki karya lagu ataupun puisi, maka karyanya harus ditampilkan di panggung untuk meramaikan acara perpisahan sekolah ini.

“Hei anak cupu, kamu mau menyanyikan lagu apa?”, kata temanku si Mona yang duduk disampingku menunggu giliran tampil di panggung.

Memang sudah biasa dipanggil seperti itu oleh beberapa teman sekolahku karena penampilan ku.

“Hemm... Aku ingin menyanyikan lagu terimakasih guru”, jawabku.

Mona dan kedua temannya saling bertatapan lalu mereka tertawa menertawakanku.

“Wahh... Percaya dirimu tinggi sekali yaa? Jelas-jelas kamu tidak punya suara indah dan penampilanmu saja wong deso”, kata Mona yang terus mengejekku.

“Luna... Luna... Sebaiknya kamu batalkan saja, daripada membuat telinga semua orang sakit karena mendengar suaramu”, kata Dina.

Lalu mereka bertiga menertawakan ku kembali. Aku mencoba untuk tidak menghiraukannya, lagipula kata-kata ejekan itu sudah biasa terdengar di telingaku.

“Ayo Kak Luna, sekarang giliranmu”, salah satu siswa adik kelasku yang bertugas sebagai panitia acara perpisahan sekolah datang menghampiriku.

“Iya”, aku pun mengikutinya untuk naik ke atas panggung.

Sebenarnya aku memang orang yang tidak memiliki kepercayaan diri tinggi jika tampil di depan banyak orang. Entah mengapa hari ini aku ingin sekali tampil di atas panggung, karena aku ingin berterima kasih pada semua guruku yang telah membimbingku hingga saat ini.

Tangan ku mulai terasa dingin saat berada di atas panggung, aku menjadi semakin gugup dan tegang. Aku melihat ada beberapa orang temanku yang tertawa, mereka seperti tidak yakin dengan suaraku, namun kedua sahabatku Hani dan Adi terus meneriaki namaku di kursi penonton untuk memberikan semangat padaku. Sebelum memulai bernyanyi, aku mencoba untuk menenangkan diriku dan mengambil nafas panjang.

Awalnya terdengar jelas suaraku yang gemetar karena tegang pada saat menyanyi, namun akhirnya sedikit demi sedikit aku berhasil menghilangkan suara gemetar itu. Terdengar suaraku yang menyatu dengan alunan musiknya, membawa semua guru dan beberapa siswa yang duduk di kursi penonton ikut terhanyut dalam alunan laguku dan ikut serta menyanyikannya. Melihat hal itu membuat rasa gugup dan tegang itu hilang dengan sendirinya, sampai tak terasa lirik lagu itu berhasil ku selesaikan.

Plok... Plok... Plok... Plok... Plok...

Suara gemuruh tepuk tangan itu terdengar dari kursi penonton. Aku pun ikut senang bercampur haru karena mereka semua menikmati lagu yang telah aku bawakan.

“Lagumu itu tadi bagus sekali”, puji Hani yang datang menghampiriku saat aku turun dari panggung.

“Terimakasih Hani”, aku tidak bisa menyembunyikan rasa haruku.

“Kamu cocok sekali jadi penyanyi”, saran Hani.

“Apanya yang bagus?! Lihat saja laguku lebih bagus!”, kata Mona yang sengaja menabrak tubuh saat akan naik ke atas panggung.

Bahuku jadi terasa sedikit sakit akibat ditabrak tubuh Mona tadi.

“Sombong sekali”, kata Hani terlihat kesal.

Suara gemuruh dari kursi penonton sudah terdengar saat Mona baru akan menaiki panggung. Yaa... Mona memang bintang sekolah di sekolahan ini, ia adalah siswi tercantik dan selalu menjadi juara kelas. Ia pun mengikuti beberapa kegiatan sekolah sehingga semua orang pasti sudah mengenalinya.

“Aku benar-benar tidak menyangka kalau kamu punya suara yang indah”, puji Adi yang tiba-tiba datang menghampiri aku dan Hani.

“Terimakasih”, jawabku tersipu malu.

Sejak kecil aku memang hobi menyanyi, hanya saja aku tidak punya rasa percaya diri jika tampil di depan banyak orang. Aku merasa suaraku tidak bagus, tapi untung saja pada penampilan ku di panggung sekolah saat ini, banyak orang yang memberikan tepuk tangan untuk ku.

“Rencananya kita mau pergi kemana ini untuk merayakan perpisahan sekolah?”, tanya Adi.

“Benar juga yang dikatakan Adi, pasti setelah selesai sekolah ini kita akan disibukkan dengan kegiatan masing-masing, entah itu kuliah atau kerja”, kata Hani.

“Hemm.... Bagaimana kalau kita naik ke gunung Harapan? Setelah sampai di puncaknya, aku akan memohon cita-citaku. Lagipula untuk naik ke puncaknya kan hanya butuh waktu 5 jam tidak sampai seharian”, aku memberikan saran.

Dengar dari cerita orang-orang, siapa saja yang menulis impiannya saat datang ke puncak gunung Harapan itu, maka mimpinya akan terwujud. Aku pun ingin mengukir mimpiku menjadi seorang penyanyi.

“Boleh juga idemu, Na. Selain itu aku juga belum pernah naik gunung”, Hani menyetujuinya.

“Berarti kita akan berangkat siang dan naik ke puncaknya saat malam hari, agar kita bisa melihat sunrise”, kata Adi.

Aku senang karena kedua sahabatku menyetujui saranku.

Tak terasa hari sudah sore, acara perpisahan sekolah itu pun akhirnya selesai. Aku, Hani, dan Adi selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Rumah kami saling berdekatan, sehingga kami sudah menjadi sahabat sejak kecil. Apalagi rumah aku dengan Hani saling bersebelahan, hanya dengan membuka jendela saja kami sudah bisa saling bertegur sapa.

“Jangan lupa besok yaa!”, kata Adi mengingatkan saat tiba di rumahnya terlebih dahulu.

“Iyaa”, balas aku dan Hani.

Rumah Adi terlihat besar dan berlantai dua, ia juga memiliki sebuah mobil dan beberapa motor. Ia merupakan anak dari orang kaya, tapi sejak kecil ia tidak pernah sombong, bahkan ia selalu melindungi aku dan Hani, karena ia mengetahui dirinya lah yang laki-laki dari ketiga sahabat ini. Bapaknya seorang pengusaha pabrik mebel. Mebel-mebel itu akan dikirimkan ke luar kota kepada para costumernya.

Setelah beberapa langkah lagi aku dan Hani baru tiba di rumah. Kami berdua hanya saling melambaikan tangan.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku, ku baringkan tubuhku di kasur untuk melepaskan rasa lelahku, hingga tak terasa aku pun menjadi ketiduran.

Aku tersentak kaget dan bangun dari tidurku, saat mendengar suara adikku Banu yang yang memanggil dan mengetuk kamarku.

“Kaakk... Kakk Lunaaaa... Kakak tidak makan malam”, suaranya terdengar dari balik pintu.

“Iyaa”, jawabku.

Saat aku melihat jam dinding ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Aku pun bergegas mandi terlebih dahulu setelah itu baru akan bergabung makan malam di ruang makan.

Di meja makan tinggal ada Bapak dan Ibu saja.

“Luna, kamu sudah ikut pendaftaran tes jalur beasiswa di kampus ilmu pemerintahan itu?”, tanya Bapakku.

“Belum, Pak”, jawabku.

“Coba kamu ikut mendaftar saja. Kalau kamu diterima di kampus itu kan kamu bisa dapat beasiswa dan biaya kuliahnya tidak mahal jadi bapak bisa membayarkannya. Lagipula setelah selesai kuliah kamu akan ditempatkan di kantor-kantor pemerintahan. Kamu tidak perlu pusing untuk mencari kerja”, jelas bapak.

“Pak, Bu. Tapi, cita-cita Luna ingin sekali menjadi penyanyi”, aku mencoba mengungkapkan mimpiku yang selama ini aku pendam.

“Jadi penyanyi itu tidak mudah, suaramu harus benar-benar bisa menarik perhatian para pencipta lagu. Kalau kamu tidak bisa, yaa... selamanya kamu akan jadi pengangguran. Lagipula kita juga harus punya modal untuk beli baju dan lainnya”, kata bapak yang tidak sejalan dengan mimpiku.

“Yang dikatakan bapak itu benar, Na. Kami sangat menginginkan kamu menjadi pegawai negeri seperti bapakmu”, tambah Ibu.

Aku sudah menduganya, pasti inilah yang akan dikatakan oleh kedua orang tuaku. Mereka sangat menginginkan aku menjadi pegawai negeri. Lalu, aku harus bagaimana? Haruskah aku membuang jauh-jauh mimpiku untuk mewujudkan semua keinginan kedua orang tua ku. Lagipula aku tidak mungkin bisa menentang kedua orang tuaku. Rasa putus asa itu tak bisa aku ungkapkan, yang ada hanya bisa ku pendam di dalam hati.

Mendaki Gunung Harapan

Keesokan harinya aku dan Hani telah siap untuk berangkat ke gunung Harapan itu. Tidak banyak peralatan yang aku bawa, hanya satu tas kamping saja yang berisikan sebuah baju ganti beserta makanan dan minumannya. Kami berdua menghampiri Adi ke rumahnya.

Di teras rumahnya Adi terlihat sedang mengecek mobil bapaknya yang akan digunakan sebagai kendaraan kami untuk berangkat ke gunung Harapan.

“Kalian sudah siap?”, tanya Adi setelah selesai mengecek mobil.

“Sudahhhh!!”, jawabku dan Hani serentak, kami berdua sudah tidak sabar untuk berangkat ke gunung Harapan.

Adi lalu memasukkan tas-tas kami ke dalam bagasi mobilnya. Aku melihat bapaknya Adi sedang berdiri di depan rumahnya.

“Om, kami pinjam mobilnya ya”, kataku mencoba meminta ijin kepadanya.

“Iya, pakai saja. Bilang kepada Adi kalau menyetir mobil jangan ngebut-ngebut”, balasnya.

“Terimakasih, Om”, aku pun merasa senang.

“Cepat kalian masuk ke mobil”, perintah Adi yang sudah siap duduk dibalik kemudinya.

Aku dan Hani pun segera masuk ke mobil itu, kami berdua memilih duduk di belakang.

“Kenapa tidak ada yang menemaniku duduk di depan?”, tanya Adi mengernyitkan dahinya dan menolehkan kepalanya ke arah aku dan Hani yang duduk di kursi belakang.

“Aku tidak suka duduk di depan”, jawab Hani, aku ikut menganggukkan kepala dan tertawa.

“Benar-benar ya kalian,, aku jadi seperti pak sopir”, keluh Adi. Aku dan Hani terus tertawa di kursi belakang.

Waktu perjalanan untuk menempuh perjalanan dari rumah ke gunung Harapan itu kira-kira sekitar 4 jam. Adi menjalankan mobilnya dengan santai dan tidak terburu-buru.

“Na... Lunaa...”, terdengar suara Adi yang memanggil namaku.

“Eh, iya”, jawabku saat tersadar dari lamunan.

“Ada apa, Na?”, tanya Adi yang melirikkan matanya sesekali ke arah ku lewat kaca spion yang berada di dalam mobil. Adi seperti mengetahuiku kalau aku sedang ada masalah.

“Tidak ada apa-apa kok”, jawabku mencoba menutupi rasa sedih itu dari balik senyum ceria ku.

“Iya, ada apa Luna? Kalau ada masalah ceritakan saja semuanya pada kami”, kata Hani yang duduk di dekatku.

“Benar, tidak ada apa-apa”, jawabku.

Ku lihat mata Adi masih sesekali melirik ke arahku dari kaca spion, sepertinya ia tidak percaya dengan apa yang aku katakan tadi, dari raut wajahnya pun terlihat rasa penasarannya itu.

Akhirnya kami pun tiba di gunung Harapan itu, jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, sehingga suasana disana pun sudah semakin gelap. Sebelum melakukan Pendakian, kami bertiga harus melapor dan registrasi terlebih dahulu ke petugas gunung Harapan.

Selesai registrasi, kami bertiga pun siap untuk memulai pendakian. Tidak hanya kami saja yang akan mendaki gunung itu, ada satu kelompok juga yang berjalan di depan kami bertiga.

Hani berjalan paling depan mengikuti kelompok tadi dan Adi paling belakang, sehingga aku berada di tengah-tengah mereka. Kami memegang senter masing-masing yang digunakan sebagai penerang jalan kami saat mendaki. Jalan yang dilaluinya pun tidak begitu terjal.

Gunung ini memiliki tinggi yang tidak begitu tinggi sehingga waktu kami untuk menempuh perjalanan menuju puncaknya tidak terlalu lama.

Setelah kami menempuh setengah perjalanan, udara di hutan itu berubah drastis menjadi sangat dingin. Pohon dan semak belukar yang ada juga semakin banyak dan rapat, jalanannya juga udah bukan jalan setapak yang mudah kami lalui. Kadang terdapat batang-batang pohon yang tumbang menghalangi jalan kami.

Saat aku sedang mencoba untuk melewati batang pohon besar yang tumbang itu, tiba-tiba saja kakiku terpeleset.

“Ahhhh......”, teriakku saat kaget dan merasakan tubuh ini akan terjatuh.

Ku coba untuk memejamkan mata saja, namun terasa seperti ada yang menampani tubuhku saat sudah hampir mengenai tanah.

Ku buka mataku, dan ternyata Adi telah menopang tubuh ku dengan kedua tangannya. Deg.... Tatapan dari kedua bola mata itu membuat jantung ini berdegup kencang.

“Hati-hati jalannya, Na”, Adi membantuku berdiri dengan memegangi tubuhku.

“Ii..iyaaa... Batang pohon itu terasa licin sekali”, jelasku.

Saat aku mencoba berdiri dengan kedua kakiku, salah satu kakiku terasa sakit sekali seperti ada yang terkilir.

“Aduhhh.... duhh...”, rasa sakit itu begitu terasa saat kaki ini mencoba menopang tubuh ini.

“Ada yang terkilir ya, Na? Ayo aku bantu jalan, nanti baru akan diberi perban setelah sampai di puncak”, kata Adi.

Tangan kanan ku diletakkan di pundaknya, sementara tangannya diletakkan di pinggang ku. Tercium bau aroma parfum yang menjadi ciri khasnya. Adi pun memapah ku berjalan hingga puncak gunung Harapan.

Entah mengapa seperti ada perasaan aneh yang muncul di hatiku, padahal aku kan sudah biasa bersamanya. Perasaan apa ini? Lagipula Adi juga sahabatku sejak kecil, kenapa aku baru merasakan perasaan ini sekarang? Aku menjadi bertanya-tanya kepada diriku sendiri.

“Adii,, Luna kenapa?!”, Hani terlihat cemas dan berlari ke arah kami, saat melihat kami sudah tiba di atas puncak.

“Tadi dia terpeleset hingga salah satu kakinya terkilir”, jelas Adi.

“Ya ampunn,, pantas saja kalian berdua aku tunggu sudah 3 jam tapi belum sampai”, kata Hani.

“Han, tolong berikan obat dan perban agar bisa mengurangi rasa nyeri di kaki Luna. Aku yang akan mendirikan tendanya”, kata Adi.

“Iya”, Hani pun segera membantuku untuk bisa duduk lalu mengambil kotak p3k yang berada di tasku.

Setelah dibalut perban, rasa nyeri di kaki itu menjadi sedikit berkurang. Karena hari sudah malam, kami bertiga memutuskan untuk makan malam bersama terlebih dahulu. Hani yang telah menyiapkan makan malamnya, karena kakiku sakit sehingga aku tak bisa membantunya.

Rasanya semua rasa sedih itu menjadi hilang, jika sudah berkumpul dengan mereka. Kami bercerita dan bercanda hingga tengah malam. Tiba-tiba turun rintik hujan, Adi pun langsung mengajak aku dan Hani segera masuk ke dalam tenda.

“Semoga hujannya tidak deras”, ucapku.

“Sudah malam, sebaiknya kita tidur saja yukk.. Biar besok kita bisa lihat sunrise”, kata Hani yang memilih tidur di pinggir.

Aku mendapat tempat tidur di tengah, di sebelah ku ada Adi yang tidur di dekat pintu tenda. Ku coba untuk memejamkan mataku, tapi entah mengapa sepertinya pikiranku masih melayang-layang. Selain itu, udara dingin pun semakin terasa menusuk ke dalam tulang.

Sudah satu jam berlalu tapi aku belum juga bisa tidur, udara yang semakin dingin itu juga menjadi salah satu penyebabnya. Aku putuskan untuk duduk saja, saat ku tengok kanan kiriku, Hani dan Adi sepertinya sudah tertidur pulas.

Tubuh Adi yang tadinya membelakangi ku, tiba-tiba berbalik ke arah ku.

“Luna, kamu belum tidur?”, kata Adi yang ikut bangun dan duduk bersamaku.

“Wajahmu pucat, Na. Tanganmu juga dingin sekali”, kata Adi setelah menatap wajahku dan memegang tanganku.

Adi melepaskan jaketnya yang tebal lalu memakaikannya ke tubuhku.

“Tidak usah Adi. Nanti kamu kedinginan”, ucapku.

“Aku sudah biasa dengan udara dingin. Sudah sana kamu tidur, dengan jaket itu pasti kamu akan terasa lebih hangat”, kata Adi.

Aku pun mencoba untuk membaringkan tubuhku, rasa dingin yang menusuk kulitku itu sudah tidak terasa lagi. Dengan tubuh yang hangat secara perlahan aku bisa memejamkan mataku.

Tak terasa hari sudah menjelang pagi, Adi membangunkan aku dan Hani.

“Sudah pagi, katanya mau lihat sunrise”, kata Adi, lalu ia beranjak keluar dari tenda.

Aku pun segera bangun namun aku lupa kalau kakiku yang satu sedang terkilir.

“Aduhhhh....”, kaki ku masih terasa sakit saat akan beranjak keluar dari tenda.

Melihat aku, Adi pun segera menolongku.

“Hati-hati, Na”, ia memapahku berjalan ke tempat dimana sunrise itu bisa dilihat.

Seperti ada yang berbeda, saat yang berada disini hanya kami berdua, Aku dan Adi.

“Aku masih mengantuk”, ucap Hani yang datang menyusul.

Tak lama kemudian, sinar matahari mulai muncul dari balik persembunyiannya, pemandangan terlihat begitu indah sekali. Aku menoleh ke arah Adi, lalu Adi juga pun menoleh ke arahku.

“Pemandangannya cantik kan?”, katanya dengan tersenyum.

Suasana saat ini terasa begitu istimewa dan berkesan, kami bertiga tidak lupa untuk mengabadikan foto-foto yang bisa dijadikan kenangan.

“Oh iya. Dimana tempat kita menulis harapan itu?”, tanya Hani.

“Disana”, Tangan Adi menunjuk ke sebuah batu besar.

Kami pun berjalan menuju batu itu. Batu itu sudah dipenuhi dengan berbagai macam tulisan yang merupakan cita-cita atau mimpi dari setiap para pendaki gunung Harapan.

Disana kami bertiga menuliskan mimpi kami masing-masing. Hani ingin menjadi seorang desainer, Adi ingin menjadi pengusaha, sementara aku ingin menjadi penyanyi.

Mungkin ini sebuah cita-cita yang mustahil untukku tapi aku sangat berharap cita-cita itu dapat terwujudkan, padahal saat ini saja aku masih belum tahu harus memulai darimana, ditambah kedua orang tua ku tidak menyetujuinya, jika mengingat itu rasanya ingin menangis.

“Ayo disini kita berjanji kalau kita bisa menggapai mimpi kita!!”, kata Adi dengan semangat.

Kami bertiga pun menyatukan tangan kami bertiga di atas baru itu. Setelah selesai menuliskan mimpi kami di batu itu. Kami bertiga membereskan perlengkapan kami untuk kembali pulang.

Adi yang membantu memapahku sepanjang perjalanan menuruni gunung. Suasana di hutan itu tidak begitu menyeramkan seperti malam tadi, karena ada sinar matahari yang menerangi perjalanan kami.

Belum Ada Jalan

Hari ini aku diajak Hani dan Adi untuk ikut bersama mereka pergi padahal kakiku yang terkilir saja belum sembuh total walaupun kemarin sudah dibawa ke tukang urut.

Adi akan melakukan pendaftaran kuliah di kampus ternama, sementara Hani akan mencari tempat kursus menjahit dan lowongan pekerjaan sambilan agar ia bisa kursus sekalian membantu orang tua nya.

“Ayoo... Pak Sopir.. kita jalan!!!”, kata aku dan Hani dengan semangat.

Adi memasang wajah memelasnya saat menjalankan mobil, seperti kemarin kami berdua memilih duduk di kursi belakang.

Tempat pertama yang kami tuju adalah universitas ternama di kota ini. Bangunan kampusnya terlihat besar dan megah, tempat lapangan parkir nya pun juga luas. Terlihat berjajar mobil-mobil mewah di lapangan parkir. Yang pasti hanya orang-orang kaya saja yang bisa kuliah di kampus ini, pikir ku dalam hati.

“Aku mau ke dalam membayar biaya registrasi masuk. Kalian mau ikut tidak?”, tanya Adi yang membuka pintu mobilnya.

“Aku dan Hani menunggu di parkiran saja, Di”, jawabku.

“Iya. Kami disini saja”, kata Hani menambahkan.

Adi pun akhirnya keluar dan berjalan menuju ke dalam kampus itu.

Baru beberapa menit berlalu aku sudah merasa jenuh menunggu di dalam mobil, lalu aku pun mengajak Hani untuk keluar mobil.

“Han, kita jalan-jalan keliling parkiran aja yuk”, ajak ku.

“Ayukk”, balas Hani.

Aku dan Hani pun berjalan-jalan mengelilingi taman yang ada di parkiran itu. Karena kakiku masih terasa sedikit sakit, maka aku hanya bisa berjalan pelan saja.

Di depan kami ada seorang wanita yang sedang menelepon di samping mobilnya. Dan ternyata dia adalah Mona. Aku ingin segera pergi menjauh darinya, karena jika bertemu dengannya yang ada ia pasti akan mengejekku. Belum sempat pergi menjauh, Mona sudah melihat aku dan Hani terlebih dahulu.

“Ehh... Kalian sedang apa disini?”, ucapnya sambil menutup ponselnya.

“Kami sedang...”, belum selesai aku menjawabnya, Mona sudah memotong pembicaraanku.

“Tunggu... Tunggu... Tidak mungkin kan kalian mau mendaftar di kampus mahal ini?”, ucapnya sambil tertawa.

“Kita pergi aja yuk, Na”, bisik Hani yang wajahnya sudah mulai terlihat kesal.

“Heh!! Kalian ditanyain malah kabur”, kata Mona.

“Aku malas bicara dengan kamu!”, balas Hani yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.

“Kita pergi aja, Na”, ajak Hani menarik tanganku.

Sepertinya Mona melihat kakiku yang sedang diperban, lalu ia menendang kakiku yang sedang sakit itu.

“Aduhhhh....”, Aku pun terjatuh, kakiku menjadi terasa sangat sakit akibat tendangan keras dari Mona.

"Lunaaaaaa!!!”, teriak Hani.

“Kamu ini benar-benar orang yang tidak punya otak, kamu tidak lihat kaki Luna yang sedang diperban itu sedang sakit”, ucap Hani marah.

“Ohh...Kakinya sedang sakit? Aku kan tidak tahu”, ucap Mona dengan nada mengejek.

“Ada apa ini?!”, Adi tiba-tiba datang.

“Ini Di, kaki Luna ditendang sama Mona”, jelas Hani.

“Mona, perbuatanmu itu membuat kaki Luna menjadi parah lagi”, kata Adi dengan nada kesal.

"Adi, kenapa sih kamu itu selalu membela mereka berdua?", kata Mona.

"Terserah saya mau membela siapa, lagipula kamu tidak punya hak untuk melarang ku", jelas Adi.

Adi langsung menghampiriku yang masih terduduk di aspal, tanpa aku duga ia mengangkat tubuhku dan menggendongku.

Deg... Kenapa perasaanku jadi berubah seperti ini? Kataku dalam hati. Jantung ku pun semakin berdegup kencang tak karuan.

Saat ku menengok ke arah belakang, Mona terlihat terkejut lalu menatapku dengan sinis.

“Terimakasih, Di”, kataku, Adi langsung membawaku ke dalam mobilnya.

“Eh.. Iyaa”, jawabnya tersenyum.

“Na, kenapa kamu tidak membalas menendang kakinya saja? Kamu jangan diam saja”, kata Hani menasihati ku.

“Han, kayak kamu tidak tahu Luna saja. Dia itu tidak segarang kamu”, balas Adi.

“Kalau aku jadi kamu, aku akan menghabisi nya”, kata Hani yang meremas-remas tangannya.

Yaa,, aku memang bukan orang yang jago dalam beradu mulut ataupun fisik. Aku juga tidak suka kekerasan sehingga lebih baik memilih untuk mengalah daripada membuat keributan.

Setelah dari kampus Adi, kami bertiga keliling kota sesuai dengan permintaan Hani yang ingin mencari tempat kursus menjahit dan lowongan kerja untuk nya. Sepanjang perjalanan entah mengapa jantung ini masih terus berdegup kencang.

Sesekali aku mencoba melirik ke arah kaca spion depan yang terlihat wajah serius Adi saat sedang menyetir mobil.

“Stop... Stop... Stop”, kata Hani sambil menepuk-nepuk pundak Adi.

Adi pun mengerem mobilnya secara mendadak.

“Ada apa?”, tanya Adi.

“Tadi aku melihat ada tempat kursus menjahit, aku mau coba tanya berapa biaya kursus nya”, jawab Hani dan membuka pintu mobil.

“Ya sudah, kami menunggu di mobil saja”, kata Adi.

“Iya”, Hani pun keluar dari mobil, lalu berjalan dengan cepat menuju tempat kursus yang sudah terlewati tadi.

Di dalam mobil hanya ada aku dan Adi, semakin lama jantungku menjadi berdegup semakin tak karuan.

“Kakimu jadi parah lagi ya, Na?”, tanya Adi sambil membalikkan badannya ke arah kursi belakang.

“Eh.. I.. Iya”, jawabku menjadi gugup karena merasakan degup jantung yang tak karuan ini.

“Itu sepertinya bengkak lagi”, Adi memperhatikan kakiku.

“Nanti aku minta adikku diantarkan ke tempat tukang urut lagi”, jawabku.

“Aku benar-benar heran dengan Mona, padahal Bapaknya kan seorang camat, seharusnya ia punya perilaku yang baik”, kata Adi menggelengkan kepalanya.

Mungkin karena bapaknya orang kaya dan seorang camat, bisa saja yang membuat sifat Mona menjadi sombong seperti ini, pikirku dalam hati.

Beberapa menit kemudian Hani pun kembali.

“Bagaimana, Han?", tanya Adi.

“Biaya kursusnya tidak begitu mahal, aku bisa pinjam uang orang tua ku terlebih dahulu untuk membayar kursus, lalu aku akan mencari pekerjaan sambilan untuk mengganti dan membantu keuangan orang tuaku”, jawab Hani.

Aku senang mendengar Hani sudah menemukan apa yang ia harapkan untuk menggapai mimpinya, begitupula dengan Adi yang akan melanjutkan jenjang pendidikannya di kampus ternama itu, sementara masa depanku sendiri saja belum jelas dan tidak tahu akan seperti apa?

"Kenapa, Na?", terdengar suara Adi yang menyadarkan aku dari lamunan.

"Eehh... Tidak apa-apa kok. Perutku hanya terasa lapar. Apa kalian tahu dimana tempat makan yang enak?", jawabku sengaja berbohong.

"Iya, aku tahu tempatnya", kata Adi, lalu ia memutar balikkan mobilnya untuk menuju tempat makan itu.

Sesampai di tempat makan itu, disampingnya terdapat ruko dan aku melihat ada tempat kursus bernyanyi.

Tempat kursus itu milik seorang penyanyi terkenal. Aku menjadi penasaran dan ingin melihat berapa biaya kursusnya, siapa tahu harganya terjangkau. Jadi aku bisa kursus dan bekerja seperti Hani tadi.

Karena kakiku sedang sakit, aku meminta Hani menemaniku sebentar ke tempat kursus bernyanyi itu.

"Han, antarkan aku sebentar", pinta ku.

"Iya", Hani pun membantuku berjalan ke tempat itu, sementara Adi menunggu kami di warung makan.

Namun, tanpa disangka-sangka harga biayanya jika dihitung sekitar 5 kali lipat dari gaji bapakku, kalau begini yang ada malah menyusahkan orang tua ku. Akhirnya aku putuskan untuk membatalkannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!