Belum Ada Jalan

Hari ini aku diajak Hani dan Adi untuk ikut bersama mereka pergi padahal kakiku yang terkilir saja belum sembuh total walaupun kemarin sudah dibawa ke tukang urut.

Adi akan melakukan pendaftaran kuliah di kampus ternama, sementara Hani akan mencari tempat kursus menjahit dan lowongan pekerjaan sambilan agar ia bisa kursus sekalian membantu orang tua nya.

“Ayoo... Pak Sopir.. kita jalan!!!”, kata aku dan Hani dengan semangat.

Adi memasang wajah memelasnya saat menjalankan mobil, seperti kemarin kami berdua memilih duduk di kursi belakang.

Tempat pertama yang kami tuju adalah universitas ternama di kota ini. Bangunan kampusnya terlihat besar dan megah, tempat lapangan parkir nya pun juga luas. Terlihat berjajar mobil-mobil mewah di lapangan parkir. Yang pasti hanya orang-orang kaya saja yang bisa kuliah di kampus ini, pikir ku dalam hati.

“Aku mau ke dalam membayar biaya registrasi masuk. Kalian mau ikut tidak?”, tanya Adi yang membuka pintu mobilnya.

“Aku dan Hani menunggu di parkiran saja, Di”, jawabku.

“Iya. Kami disini saja”, kata Hani menambahkan.

Adi pun akhirnya keluar dan berjalan menuju ke dalam kampus itu.

Baru beberapa menit berlalu aku sudah merasa jenuh menunggu di dalam mobil, lalu aku pun mengajak Hani untuk keluar mobil.

“Han, kita jalan-jalan keliling parkiran aja yuk”, ajak ku.

“Ayukk”, balas Hani.

Aku dan Hani pun berjalan-jalan mengelilingi taman yang ada di parkiran itu. Karena kakiku masih terasa sedikit sakit, maka aku hanya bisa berjalan pelan saja.

Di depan kami ada seorang wanita yang sedang menelepon di samping mobilnya. Dan ternyata dia adalah Mona. Aku ingin segera pergi menjauh darinya, karena jika bertemu dengannya yang ada ia pasti akan mengejekku. Belum sempat pergi menjauh, Mona sudah melihat aku dan Hani terlebih dahulu.

“Ehh... Kalian sedang apa disini?”, ucapnya sambil menutup ponselnya.

“Kami sedang...”, belum selesai aku menjawabnya, Mona sudah memotong pembicaraanku.

“Tunggu... Tunggu... Tidak mungkin kan kalian mau mendaftar di kampus mahal ini?”, ucapnya sambil tertawa.

“Kita pergi aja yuk, Na”, bisik Hani yang wajahnya sudah mulai terlihat kesal.

“Heh!! Kalian ditanyain malah kabur”, kata Mona.

“Aku malas bicara dengan kamu!”, balas Hani yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.

“Kita pergi aja, Na”, ajak Hani menarik tanganku.

Sepertinya Mona melihat kakiku yang sedang diperban, lalu ia menendang kakiku yang sedang sakit itu.

“Aduhhhh....”, Aku pun terjatuh, kakiku menjadi terasa sangat sakit akibat tendangan keras dari Mona.

"Lunaaaaaa!!!”, teriak Hani.

“Kamu ini benar-benar orang yang tidak punya otak, kamu tidak lihat kaki Luna yang sedang diperban itu sedang sakit”, ucap Hani marah.

“Ohh...Kakinya sedang sakit? Aku kan tidak tahu”, ucap Mona dengan nada mengejek.

“Ada apa ini?!”, Adi tiba-tiba datang.

“Ini Di, kaki Luna ditendang sama Mona”, jelas Hani.

“Mona, perbuatanmu itu membuat kaki Luna menjadi parah lagi”, kata Adi dengan nada kesal.

"Adi, kenapa sih kamu itu selalu membela mereka berdua?", kata Mona.

"Terserah saya mau membela siapa, lagipula kamu tidak punya hak untuk melarang ku", jelas Adi.

Adi langsung menghampiriku yang masih terduduk di aspal, tanpa aku duga ia mengangkat tubuhku dan menggendongku.

Deg... Kenapa perasaanku jadi berubah seperti ini? Kataku dalam hati. Jantung ku pun semakin berdegup kencang tak karuan.

Saat ku menengok ke arah belakang, Mona terlihat terkejut lalu menatapku dengan sinis.

“Terimakasih, Di”, kataku, Adi langsung membawaku ke dalam mobilnya.

“Eh.. Iyaa”, jawabnya tersenyum.

“Na, kenapa kamu tidak membalas menendang kakinya saja? Kamu jangan diam saja”, kata Hani menasihati ku.

“Han, kayak kamu tidak tahu Luna saja. Dia itu tidak segarang kamu”, balas Adi.

“Kalau aku jadi kamu, aku akan menghabisi nya”, kata Hani yang meremas-remas tangannya.

Yaa,, aku memang bukan orang yang jago dalam beradu mulut ataupun fisik. Aku juga tidak suka kekerasan sehingga lebih baik memilih untuk mengalah daripada membuat keributan.

Setelah dari kampus Adi, kami bertiga keliling kota sesuai dengan permintaan Hani yang ingin mencari tempat kursus menjahit dan lowongan kerja untuk nya. Sepanjang perjalanan entah mengapa jantung ini masih terus berdegup kencang.

Sesekali aku mencoba melirik ke arah kaca spion depan yang terlihat wajah serius Adi saat sedang menyetir mobil.

“Stop... Stop... Stop”, kata Hani sambil menepuk-nepuk pundak Adi.

Adi pun mengerem mobilnya secara mendadak.

“Ada apa?”, tanya Adi.

“Tadi aku melihat ada tempat kursus menjahit, aku mau coba tanya berapa biaya kursus nya”, jawab Hani dan membuka pintu mobil.

“Ya sudah, kami menunggu di mobil saja”, kata Adi.

“Iya”, Hani pun keluar dari mobil, lalu berjalan dengan cepat menuju tempat kursus yang sudah terlewati tadi.

Di dalam mobil hanya ada aku dan Adi, semakin lama jantungku menjadi berdegup semakin tak karuan.

“Kakimu jadi parah lagi ya, Na?”, tanya Adi sambil membalikkan badannya ke arah kursi belakang.

“Eh.. I.. Iya”, jawabku menjadi gugup karena merasakan degup jantung yang tak karuan ini.

“Itu sepertinya bengkak lagi”, Adi memperhatikan kakiku.

“Nanti aku minta adikku diantarkan ke tempat tukang urut lagi”, jawabku.

“Aku benar-benar heran dengan Mona, padahal Bapaknya kan seorang camat, seharusnya ia punya perilaku yang baik”, kata Adi menggelengkan kepalanya.

Mungkin karena bapaknya orang kaya dan seorang camat, bisa saja yang membuat sifat Mona menjadi sombong seperti ini, pikirku dalam hati.

Beberapa menit kemudian Hani pun kembali.

“Bagaimana, Han?", tanya Adi.

“Biaya kursusnya tidak begitu mahal, aku bisa pinjam uang orang tua ku terlebih dahulu untuk membayar kursus, lalu aku akan mencari pekerjaan sambilan untuk mengganti dan membantu keuangan orang tuaku”, jawab Hani.

Aku senang mendengar Hani sudah menemukan apa yang ia harapkan untuk menggapai mimpinya, begitupula dengan Adi yang akan melanjutkan jenjang pendidikannya di kampus ternama itu, sementara masa depanku sendiri saja belum jelas dan tidak tahu akan seperti apa?

"Kenapa, Na?", terdengar suara Adi yang menyadarkan aku dari lamunan.

"Eehh... Tidak apa-apa kok. Perutku hanya terasa lapar. Apa kalian tahu dimana tempat makan yang enak?", jawabku sengaja berbohong.

"Iya, aku tahu tempatnya", kata Adi, lalu ia memutar balikkan mobilnya untuk menuju tempat makan itu.

Sesampai di tempat makan itu, disampingnya terdapat ruko dan aku melihat ada tempat kursus bernyanyi.

Tempat kursus itu milik seorang penyanyi terkenal. Aku menjadi penasaran dan ingin melihat berapa biaya kursusnya, siapa tahu harganya terjangkau. Jadi aku bisa kursus dan bekerja seperti Hani tadi.

Karena kakiku sedang sakit, aku meminta Hani menemaniku sebentar ke tempat kursus bernyanyi itu.

"Han, antarkan aku sebentar", pinta ku.

"Iya", Hani pun membantuku berjalan ke tempat itu, sementara Adi menunggu kami di warung makan.

Namun, tanpa disangka-sangka harga biayanya jika dihitung sekitar 5 kali lipat dari gaji bapakku, kalau begini yang ada malah menyusahkan orang tua ku. Akhirnya aku putuskan untuk membatalkannya.

Terpopuler

Comments

Inari

Inari

Author jago bener bikin cerita, sukses terus! 🙌

2024-03-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!