Adipati Agung semakin tua…
Penerusnya hanya semata wayang—Huan Wenzhao.
Dan dia masih sangat muda!
“Tuan Besar meminta Anda pulang,” seorang pengawal bayangan membungkuk di depan sosok misterius itu. Sebelah tangannya terkepal di lantai dengan kepala tertunduk.
“Ayah baik-baik saja?”
“Tidak apa-apa,” jawab pengawal itu setengah berbisik. “Ini… tentang Dekret Kaisar.”
“Dekret Kaisar?”
Kaisar selalu mencari cara menyuap prajurit keluarga Huan. Tapi selalu gagal.
Kabarnya sekarang sering sakit-sakitan. Namun posisi putra mahkota masih kosong.
Pangeran ketujuh sudah berperang selama tujuh tahun. Tentaranya terus berjaya dan sangat populer. Namun tak pernah dihargai oleh ayahnya.
Sementara Pangeran kelima…
Perdana Menteri Shi yang sangat berkuasa adalah pamannya.
Kedua pangeran selalu bertengkar. Tidak ada yang mengalah.
Dalam keadaan ini…
Kaisar menurunkan titah, meminta penerus Huan belajar di Sekolah Kekaisaran.
Yang belajar di sana adalah orang-orang hebat.
Selain Pangeran ketujuh…
Ada juga Shi Xia, putri tertua Perdana Menteri.
“Kali ini ke ibu kota untuk suatu misi,” ungkap Adipati Agung setelah putranya tiba di kediaman mereka. “Keluarga Huan memimpin banyak pasukan. Begitu masuk ke ibu kota, kau akan jadi rebutan. Kedua pangeran akan mendekatimu. Jangan memihak dengan mudah. Jadi… kau harus menyamar!”
“Aku mengerti!”
“Ke depannya akan banyak bahaya,” Adipati Agung mengingatkan. “Jangan sampai identitasmu terbongkar.”
“Ayah tenang saja! Bukankah aku sudah cukup berlatih?”
“Jangan lakukan hal yang serius,” Adipati Agung menambahkan. “Tidak perlu belajar! Yang perlu kaulakukan hanya bermain saja. Jika ada yang mengajakmu berpihak, pura-pura bodoh saja!”
“Pura-pura tidak berguna… aku memang ahlinya!”
.
.
.
Sementara itu, di Gerbang Timur Laut…
“Kalau ada yang berani menyembunyikannya, jangan salahkan aku bertindak kejam!” Panglima wanita itu merutuk di sepanjang koridor sambil berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar.
“Jenderal!” Seorang prajurit menegur panglima itu. “Anda sudah mencari Tuan Muda sepanjang hari, apa tidak merasa lelah?”
“Tunggu sampai aku menemukannya!” Geram wanita itu tak mau tahu. “Akan kupatahkan kakinya!”
.
.
.
Beberapa hari kemudian…
“Tempat menyenangkan di ibu kota… sudah kalian cari tahu?” Huan Wenzhao---mengenakan hanfu sutera glamor bercorak mencolok berwarna emas---mengipasi dirinya meski cuaca tidak begitu panas. Bagian dada hanfu-nya terbelalak dan rambutnya yang panjang berwarna hitam mengkilat selurus penggaris dibiarkan tergerai di bahunya yang lebar.
Dua wanita cantik berpakaian terbuka mengapitnya di kiri-kanan.
Satunya mengenakan hanfu semata kaki berlengan panjang namun terbuka di bagian dada. Rambutnya yang panjang sepinggang hanya disanggul sebagian dengan hiasan rambut glamor dan tusuk sanggul berumbai mutiara. Wajah cantiknya memberi kesan jinak-jinak merpati.
Satunya lagi mengenakan qipao merah kirmizi setinggi lutut dengan belahan rok sampai ke pangkal paha. Wajah cantiknya tertutup cadar merah transparan. Rambutnya disanggul bulat di kedua sisi kepala. Gaya bicaranya yang manja memberi kesan imut dan menggemaskan.
Namun sebenarnya, kedua-duanya adalah prajurit khusus dari Divisi Mata-mata yang sangat terlatih—sejenis mesin pembunuh berdarah dingin dari Gerbang Timur Laut.
Lebih dikenal dengan nama Yue'er dan A Nuo.
“Tuan Muda tenang saja, kami sudah menemukannya,” cerocos si gadis manja—A Nuo. “Di ibu kota, Xieyuanyuan yang paling menyenangkan!”
“Benar!” Si jinak-jinak merpati—Yue'er menimpali. “Malam ini ada drama kesukaan Tuan Muda!”
Xieyuanyuan adalah nama salah satu tempat hiburan paling lengkap menurut selera Huan Wenzhao. Sebuah penginapan sekaligus restoran dan kedai minuman, juga toko buku dengan panggung hiburan.
“Baiklah!” Huan Wenzhao memukulkan kipas lipatnya di telapak tangan. “Sudah diputuskan,” katanya dengan suara yang sengaja dibuat congkak. “Malam ini, kita ke Xieyuanyuan saja!”
Sekonyong-konyong kereta mereka tersentak, disertai suara berderak nyaring yang membahana.
Kereta berhenti mendadak, dan kedua wanita dalam kereta itu tersapu dalam teriakan panik di antara ledakan logam yang berbenturan di sisi kereta.
Huan Wenzhao menarik cepat-cepat kedua wanita di kiri-kanannya ke dalam pelukannya—berpura-pura sedang intim!
Kedua wanita itu langsung mengerti.
“Orang kampung dari mana tak punya mata, berani menabrak kereta kami?” A Nuo mendelik dengan kepala tetap bersandar di dada Huan Wenzhao.
Seseorang menyentakkan tirai kereta mereka hingga terbuka. “Jelas-jelas kereta kalian yang menabrak kereta kami!” Seorang pria meneriaki mereka.
Huan Wenzhao dan kedua wanita di kiri-kanannya menoleh acuh tak acuh.
“Semua ada aturannya, seharusnya kalian beri jalan!” Pria itu semakin meninggikan suaranya. “Kalian tahu siapa pemilik kereta ini? Tuan Qin dari Sekolah Kekaisaran!”
Sekolah Kekaisaran? Pikir Huan Wenzhao, matanya berkilat-kilat penuh semangat. Ia melepaskan kedua wanita di sisinya, kemudian beranjak dari bangkunya dan melongok keluar. “Siapa itu Tuan Qin?” Selorohnya dengan raut wajah malas. Lalu menguap dan menggeliat. Ia tertunduk memeriksa roda kereta mereka yang bertabrakan dengan dahi berkerut-kerut, pura-pura berpikir keras.
“Coba lihat!” Kata Huan Wenzhao sambil menunjuk roda kereta mereka dengan kipasnya. “Lihat posisi kereta ini!”
Orang banyak serentak menoleh dan mulai berkerumun.
“Siapa yang melanggar duluan masih belum jelas,” cerocos Huan Wenzhao acuh tak acuh. “Namun…” ia menggantung kalimatnya dan menyeringai. “Aku tahu! Kau melihat aku kaya. Jadi sengaja berhenti di sini untuk memerasku, kan?”
“Kau—” wajah kusir itu memerah karena kesal.
“LANCANG!” Orang dalam kereta akhirnya menyentakkan tirai dan melongokkan wajahnya keluar jendela. Seorang pria paruh baya berwajah kaku khas pejabat kekaisaran. “Bicara sembarangan apa?” Hardiknya sambil menudingkan telunjuk ke wajah Huan Wenzhao. “Berani memfitnah abdi negara!”
“Aku penerus Adipati Agung...” Sanggah Huan Wenzhao dengan gaya bicara pelan yang menjengkelkan seakan menekankan bahwa apa yang dikatakannya jauh lebih penting. “Apakah mungkin aku memfitnah?”
“Sudahlah!” Pejabat itu mengibaskan tangannya, “Beri uang dan usir mereka!” Katanya pada saisnya.
“Aku belum selesai!” Sela Huan Wenzhao sambil memukulkan kipasnya ke atap kereta pejabat itu. “Lihat dulu!” Sungutnya semakin tengil. “Kuda kesayanganku sangat terkejut sampai stres. Uang kalian itu, tak akan cukup untuk biaya rehabilitasinya.”
“Kau mau apa lagi?” Pejabat itu melotot tak sabar.
Huan Wenzhao menggulirkan bola matanya ke atas dan mengerutkan dahi, pura-pura berpikir sambil mengusap-usap dagunya dengan buku jarinya. “Sudahlah!” Katanya tanpa beban. “Aku… penerus keluarga Huan, orang terkaya yang sangat terpandang di Perbatasan Utara, Huan Wenzhao, terkenal sebagai orang berlapang dada. Melihatmu sudah tua, aku tak akan perhitungan.”
Bocah tengik! Geram pejabat itu dalam hatinya. Kedua tangannya terkepal gemetar di atas kedua lututnya.
“Ingat!” Huan Wenzhao meninggikan suaranya sembari memukulkan kipasnya ke atap kereta pejabat itu sekali lagi. “Lain kali, cari uang dengan benar,” katanya menggurui. “Jangan selalu ingin memeras orang!”
“Kau—” pejabat itu nyaris meledak karena murka.
Tapi Huan Wenzhao sudah berbalik tanpa rasa bersalah. “Ayo!” Katanya pada saisnya.
Pejabat itu merenggut tirai dan menutupnya dengan sentakan ketus. “Penerus Huan…” geramnya sambil mencatat nama itu dalam benaknya dan menggarisbawahinya.
Tak sampai setengah hari, kabar itu sudah mendarat di meja Pangeran Ketujuh.
“Ada kabar dari Gerbang Kota,” seorang informan melaporkan. “Siang ini, penerus Huan sudah tiba di ibu kota. Kabarnya, sifatnya angkuh dan keras kepala. Baru masuk saja sudah hampir berkelahi. Cukup merusak nama baik Adipati Agung!”
Seulas senyuman samar tersungging di sudut bibir pangeran itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Jimmy Avolution
lanjut
2024-06-14
0
Oe Din
Pangeran telah masuk "jebakan"
2024-06-11
0
Oe Din
Huan Wenzhao, kau bilang "jangan memeras"...
Tapi kau baru saja "memeras" orang di depanmu ...
2024-06-11
0