Setelah pelajaran berakhir, Vazal berjalan menuju ruang latihan sekolah. Tempat itu selalu menarik perhatiannya—bukan hanya karena ia ingin berlatih, tetapi juga karena ia suka mengamati para mutasi bertarung. Selama ini, ia hanya bisa meniru beberapa gerakan dari jauh, tanpa benar-benar berpartisipasi.
Hari ini, semuanya akan berubah.
Saat ia memasuki ruangan, suara dentuman dan ledakan terdengar dari berbagai sudut. Para siswa berlatih mengendalikan kekuatan mereka, melemparkan bola api, memanipulasi angin, atau memperkuat tubuh mereka dengan kekuatan fisik yang luar biasa.
Vazal menelan ludah, lalu melangkah lebih dekat.
"Apakah aku boleh bergabung? Aku juga ingin berlatih penguasaan power."
Seketika, ruangan itu hening.
Beberapa siswa menoleh dengan ekspresi terkejut, sementara yang lain mulai berbisik satu sama lain. Mereka tahu Vazal adalah salah satu dari ‘manusia tanpa mutasi’. Lalu, kenapa sekarang dia berbicara seolah-olah punya kekuatan?
Guru Misa, yang mengawasi latihan, melipat tangannya dan menatapnya tajam.
"Ruangan ini hanya untuk manusia yang memiliki power. Itu sudah aturan sejak dulu. Kenapa kau berada di sini?"
Vazal menatapnya tanpa gentar.
"Aku sekarang memiliki power seperti kalian. Seharusnya aku juga bisa ikut latihan, bukan?"
Mata Guru Misa menyipit, mencoba menilai apakah Vazal serius atau hanya bercanda.
"Apa kau serius? Baiklah. Kalau memang begitu, tunjukkan kekuatanmu. Serang target boneka di sana."
Vazal menegang.
Tepat saat ia hendak mengerahkan kekuatannya, suara Gerad berbisik dalam pikirannya.
"Jangan pernah menunjukkan power Pelahap kepada mereka!"
"Kenapa?" balas Vazal dalam pikirannya.
"Kekuatan kita melanggar hukum sebab akibat. Manusia tidak akan bisa menerima sesuatu yang tidak mereka pahami. Jika kau menunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya, mereka akan menganggap mu sebagai monster dan memburu dirimu."
Vazal mengepalkan tangannya.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?"
"Gunakan kekuatan monster yang telah kau lahap. Salah satu dari mereka memiliki elemen api. Gunakan itu untuk menyembunyikan kekuatan Pelahapku."
Vazal menarik napas dalam. Ia memfokuskan pikirannya, mencoba memanggil energi yang tersimpan di dalam dirinya. Dalam sekejap, bola api terbentuk di telapak tangannya, berkobar dengan intensitas yang stabil.
Ia mengayunkan tangannya, melemparkan bola api ke arah boneka target. Api membakar boneka itu dalam hitungan detik, menyisakan abu yang berterbangan di udara.
Ruangan kembali hening.
Lalu, tepuk tangan bergema.
"Luar biasa! Aku tidak menyangka kau bisa mengendalikan api dengan begitu stabil!" seru salah satu siswa.
Guru Misa mengangguk puas.
"Baiklah, karena kau telah menunjukkan bukti, mulai hari ini kau bisa ikut latihan bersama kami."
Para siswa segera mengerumuni Vazal, berusaha berkenalan lebih dekat dengannya. Wajahnya dipenuhi senyuman.
"Jadi begini rasanya dihargai... dan dianggap setara," pikirnya.
Latihan pun berlanjut. Mereka diajarkan teknik dasar untuk bertarung melawan monster serta cara menghadapi orang yang menyalahgunakan kekuatan mereka. Setelah beberapa jam, Guru Misa akhirnya mengakhiri sesi latihan.
"Baiklah, latihan hari ini selesai. Kita lanjutkan lain hari."
Saat Vazal hendak pulang, seorang gadis mendekatinya dengan senyum manis.
"Vazal, mau pulang bersama?"
Ia menoleh dan melihat Putri—salah satu mutasi berbakat di sekolah mereka.
"Atau... mau mampir ke rumahku? Ayahku memiliki ruang latihan pribadi. Kita bisa menggunakannya untuk mengasah kemampuanmu."
Vazal terdiam sejenak, lalu mengangguk.
"Baiklah, aku ikut. Aku juga ingin belajar mengendalikan kekuatanku lebih baik lagi."
Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Putri.
Namun, dari kejauhan, sepasang mata mengawasi mereka dengan intens.
Bayangan yang Mengintai
Zera berdiri di sudut jalan, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Matanya menatap tajam ke arah Vazal dan Putri yang berjalan berdampingan.
"Kenapa perempuan sialan itu bersama Vazal...?"
Pikirannya berkecamuk.
Selama ini, Vazal selalu sendirian. Tidak ada yang peduli padanya—kecuali dirinya. Ia yang selalu memperhatikannya dari jauh.
Namun sekarang… ada orang lain di sisinya.
Zera menggigit bibirnya.
"Ini tidak bisa dimaafkan…"
Tangannya bergetar saat hawa membunuhnya mulai menyebar di udara.
Putri tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Vazal menatapnya bingung.
"Ada apa?"
Putri tersenyum, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda.
"Aku baru ingat, ada urusan mendadak. Maaf ya, Vazal. Mungkin lain kali kita bisa latihan bersama."
Vazal mengangkat bahu.
"Baiklah, sampai jumpa nanti."
Setelah Vazal pergi cukup jauh, Putri menoleh ke arah pepohonan di belakangnya.
"Kau bisa keluar sekarang."
Suara langkah terdengar, dan dari balik bayangan pepohonan, Zera muncul dengan tatapan membara.
"Mengapa kau bersembunyi sambil menyebarkan niat membunuh?" tanya Putri santai.
Zera mendengus.
"Berhenti bersama Vazal."
Putri mengangkat alis.
"Oh? Kalau tidak, kau mau apa?"
Zera mengepalkan tangannya.
"Aku akan membunuhmu."
Putri terkekeh.
"Kau? Membunuhku? Lucu sekali."
Amarah Zera memuncak. Dalam sekejap, ia mengayunkan sabit anginnya, mengarahkannya tepat ke leher Putri.
Namun, sebelum sabit itu menyentuhnya, dunia di sekeliling mereka berubah.
Zera tersentak.
Kegelapan menyelimuti mereka.
Putri menatapnya dengan mata penuh kemenangan.
"Selamat datang di dimensiku."
Tiba-tiba, jarum-jarum bayangan muncul dari segala arah dan menghantam tangan serta kaki Zera, membuatnya tak bisa bergerak.
Zera menggertakkan giginya.
Putri mendekat dan berbisik di telinganya.
"Kau sebaiknya menjauh dari Vazal. Aku telah lama memperhatikannya... dan aku menyukainya."
Zera menatapnya dengan penuh kebencian, putri mengeluarkannya dari dalam dimensi dan meninggalkan nya sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments