Mimpi. Bagaikan bulir-bulir pasir yang jatuh berdesir dari kehendak Sang ilahi. Paham selama masih sedikit, namun buram bila mendapatkan semuanya. Semua arti tetap kembali berputar pada tiga ikatan yang sederhana. Bermakna, tidak bermakna, dan keinginan terdalam.
Untuk apa membahas hal yang tidak penting ini?
Sederhana... semua perjalananku dimulai dari satu kata tersebut. Dimulai ketika pagi hari itu….
Srekk!
Satu sobekan kertas bertuliskan cakar ayam yang membahas daftar belanjaan hari ini aku baca seksama. Mulutku mulai terbuka dan melirik-lirik ke dalam toko. “Permisi! Mau beli!”
Lima menit. Setelah serah-terima uang dan barang sesuai daftar, aku segera pulang. Membawa dua plastik merah besar dengan nafas sedikit terengah namun teratur. Sesekali mendongak ke atas langit, hingga dua kata ‘Semu’ dan ‘Bosan’ terlintas sejenak di kepalaku. Semua terasa monoton. Berangkat sekolah, pulang, aktivitas di rumah, tidur, lalu berangkat sekolah lagi. Tidak, maksudku kurang bersyukur, tapi memang begitulah yang aku rasakan akhir-akhir ini.
Benci kehidupan? Tidak juga aku rasa…
Aku sangat menyukai hidupku. Malah kalau dilihat ke belakang, apa yang kuraih sudah terbilang cukup membanggakan. Menang turnamen kendo, aikido, dan catur tingkat internasional adalah hal yang tiba-tiba terjadi begitu saja padaku. Sayangnya untuk suatu alasan juga, aku serasa hanya melakukan peran dari suatu karakter dalam suatu cerita. Semua terasa asli tapi diwaktu bersamaan palsu.
“Vira, nanti tolong ambilkan baju dinas milik Ibu di penjahit ya!” Seru Ibuku dari arah dapur.
Seorang siswi kelas 1 SMA yang bernama Sefani Viraka. Perempuan berwajah sedikit tirus, kulit kuning langsat, dan tinggi 168 cm. Rambutku hitam lurus sebahu, dan mata hitam yang cukup tajam. Itulah aku.
“Aku berangkat!”
Tepat jam tiga sore, aku selalu pergi ke dojo untuk berlatih. Sekedar menyegarkan kepala setelah tegang seharian menerima mata pelajaran di sekolah. Hanya saja… ‘Membosankan.’ Batinku melepas helm pelindung.
“Mungkin lebih baik hari ini aku pulang saja sudah.” Gumamku mengemas barang ke tas, berpamitan ke pelatih, dan dan berjalan pulang. Tinggal belok di tikungan itu dan…
Brakk!
“Aduh!” Aku menubruk seseorang?
“Kamu tidak apa-apa?”
Pihak yang kutubruk malah menawarkan tangan untuk membantuku berdiri. Pria yang terlihat berumur dua puluhan dengan tatapan sayu?
“Apa ada yang aneh?” Tanya dia mengerutkan dahi.
“T-tidak, saya hanya kaget karena wajah dan penampilan anda terlihat kontras.” Jawabku spontan.
Aku tidak bohong! Gaya pakaian itu seingatku pernah popular di Inggris pada jaman revolusi industri. Bukan gaya pakaiannya yang aneh, malahan pakaian itu terlihat pas sekali kepadanya. Hanya saja aku terkejut masih ada saja orang yang memakainya di fashion pakaian sekarang.
“Hahahaa… apakah ini bentuk godaan anak jaman sekarang? Sekedar info saja aku sudah lebih dari kepala tiga.”
Umurnya juga kontras dengan wajahnya yang terlihat seumuran denganku.
Untuk seseorang yang baru saling kenal, dia punya kharisma unik sendiri yang bisa menutup jarak canggung antara pembicaraan kami. Seorang bule dengan mata biru dan rambut hitam gelap, badannya samar-samar kekar dengan kulit coklat susu.
‘Blasteran?’ Tebakku dalam hati.
Ia mengajakku ke kafe di tepi jalan sebagai permintaan maafnya. Seingatku tadi aku juga salah padahal. Tapi biarlah, kapan lagi minuman gratis, kan? Dia langsung memesan secangkir coklat panas lalu memberikan daftar menu kepadaku.
Teh melati. Singkat, padat, dan jelas.
Sesekali kami tertawa kecil sembari menunggu minuman datang. Namanya adalah Neavan dan katanya dia baru pulang kampung untuk mengurus suatu hal di sini. Benar saja tebakanku, seorang blasteran.
“Ah!? Sudah jam segini? Aku pamit dulu Viraka, sampai jumpa!” Dia pergi begitu saja seolah-olah telat rapat besar.
Neavan, Pak Neavan. Nama panggilannya persis dengan salah satu temanku saat masih SMP dulu. Bagaimana kabarnya sekarang ya? Sudah lama aku tak bertemu Si Dewa Siwa itu. Eh…? Kotak yang dibawa Pak Neavan ketinggalan. Mana aku tidak tanya kontak sama alamatnya lagi tadi.
“Umh…” Oke sudah, aku bawa pulang untuk sekarang. Putusku dalam hati sambil beranjak pulang. Tapi… sepertinya aku kelupaan sesuatu… Apa ya?
Sampai di rumah, pergi ke kamar mandi dan langsung mandi karena kulitku terasa lengket setelah berkeringat dari berlatih di dojo.
Beberapa belas menit kemudian…
Aku meletakkan kotak berbungkus kertas putih di atas kasurku. Menyadari sesuatu yang cukup membuatku kepikiran. Bungkusnya robek. “Apa tadi aku salah bawa posisinya? Haaah…”
Beruntung kertasnya cuma kertas putih tebal biasa sehingga nanti aku bisa memperbaikinya dengan kertas putih yang sama. Aku buka bungkus kotak itu dan menyiapkan bungkus baru. Ternyata isinya sebuah kotak hitam yang berkilau terkena cahaya lampu. Untuk alasan lain kotak ini…
T-terlalu berkilau! Apa ini berlian hitam?!!
‘Pak Neavan, dia tidak melibatkanku ke bisnis dunia bawah ‘kan?’ Batinku was-was khawatir.
Gulp...
Entah tanpa aba-aba tutup dari kotak itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Beruntung isi di dalamnya tidak berisi bom atau sesuatu yang berbahaya seperti di dalam pikiranku yang aneh-aneh. Isinya hanya sebuah jepit rambut biru muda transparan. Benda sepele, untunglah. Sebuah jepit rambut indah yang seperti punya sinar sendiri.
“Sinar?!” Aku melotot kaget.
Kutarik lagi perkataanku, jepit rambut kristal biru ini pasti lebih berharga dari dua rumah mewah sekali pun! Dari penampilannya saja seperti peninggalan artefak kuno. Sontak aku sembunyikan kotak itu agar tidak ada yang tahu.
“Viraka! Baju Ibu sudah diambil tidak?”
Satu, dua, ti-
Ah…! Itu yang kulupakan tadi rupanya! Astaga… alhasil aku langsung pergi lagi tanpa basa-basi daripada mendapat ceramah agama dadakan saat ini juga.
Berlanjut ke hari berikutnya, entah apa yang ada di pikiranku saat nekat membawa benda itu ke sekolah. Aku hanya merasa harus membawanya dan berharap bisa bertemu dengan Pak Neavan lagi meski itu hal yang mustahil. Aku seakan tersugesti untuk selalu fokus ke kotak dan jepit rambut itu, hingga di rumah sekali pun. Entah berapa lama duduk memandang kosong keduanya hingga gelap. Aku ketiduran.
………
“Memang, semuanya gelap. Tapi setidaknya selesaikan yang kamu mulai, Viraka- Tidak… Himena.”
………
“Bagaimana ini Yang Mulia!? Kondisi beliau semakin parah!”
Siapa? Aku tersentak dari tidur mencoba untuk bangun.
“Suhu badannya tinggi! Racunnya telah tersebar!”
‘Ada apa sih ramai sekali? Tunggu seben- AAKH...!!! SAKIT!!? KENAPA INI?!’ Seluruh badanku terasa kram, perih dan kedinginan. Otot dan sendi bagai terjepit belasan gajah tanpa bisa bergerak. Mata dan mulut sama-sama tertutup rapat, bahkan untuk mengangkat jari saja aku tidak bisa!
“Bawa dia ke desa *****, minta bantuan tabib ******! Aku akan menahan para pengkhianat itu di sini!” Suruh suara yang lainnya.
“Tapi, Yang Muli-”
“Cepatlah! Tak ada waktu lagi...!!! Hanya dia satu-satunya harapan kita!”
Tiba-tiba gelap seketika! Hanya warna hitam yang mengelilingi di sekitarku. Sakit luar biasa dan suara tadi juga hilang tanpa bekas. Meninggalkan satu sentuhan dingin yang…
Byuur…! Air dingin mengguyur tubuhku entah dari mana.
“VIRAKA...! BANGUN! SUDAH SIAAANG...!”
Mata ibuku membesar bak hantu siang bolong. Aku melirik sebentar ke jam yang jarumnya membentuk sudut siku-siku. Pukul 6:45 pagi?! Aku terlambat ke sekolah!
“Aah...?!! Hari ini ada ujian matematika lagi!”
Satu, dua... perlahan semua ada yang terasa berubah dari keseharian normalku. Beberapa ada yang mengatakan mimpi adalah sebuah tanda akan sesuatu, atau juga sebuah ingatan lampau. Beberapa lagi mengatakan itu hanya bunga tidur semata, tak berarti apa-apa. Ada juga yang mengatakan mimpi adalah keinginan yang tersembunyi dari lubuk hati kita yang terdalam.
‘Oh tidak! Mimpi ini lagi…’
Satu, dua… tidak. Ini sudah berulang kali aku melihatnya. Seorang gadis kecil berwajah buram itu, rambutnya hitam kecoklatan sebahu dengan pakaian kimono putih. Perangainya menunjukkan Ia adalah seorang anak periang, sesekali dirinya berlari kecil dengan mulut tersenyum hangat.
Mimpi berikutnya adalah peristiwa yang sangat suram. Berlatar pada padang rumput merah gelap, tumpukan tubuh yang tergeletak berantakan, badai hujan mengguyur deras tempat ini tanpa henti, disertai sahutan kilat-kilat tanpa henti di dekat telinga. Aku yang sendirian bertumpu pada sebuah pedang patah sambil melihat ke atas bukit. Ada tujuh orang berdiri di sana dan satu orang bersayap putih nan terbakar api. Badanku yang terasa lelah hanya diam sambil sempoyongan mencoba tetap tak terjatuh. Namun semua berakhir saat satu tombak merah menembus dadaku, saat itulah aku terbangun.
Sepertinya mimpi tadi pun tidak berbeda seperti sebelum-sebelumnya. Bagai kaset perekam kuno yang rusak dan diulang-ulang terus.
“Ukh…! Kepalaku.”
Masa bodoh sudah. Aku segera berangkat sekolah meski kepala serasa dipalu. Ada ujian yang tidak bisa remidi hari ini, makanya tidak bisa kutinggal. Hingga sampai waktu istirahat...
“Kenapa Vira? Kok lesu gitu?” Tanya temanku yang duduk di sebelah, Si Ali.
“Aa... cuma pusing karena telat sarapan aja, tidak apa-apa. Ngomong- ngomong tentang lukamu waktu itu sudah mendingan?” Tanyaku balik.
“Sudah mendingan, lagian sudah seminggu juga. Lalu soal pusingmu itu... apa perlu kuminta obat ke Bu Ita?”
“T-tidak usah, paling makan habis ini juga langsung sembuh. Oh iya! Tadi Mila mencarimu minta data observasi. Dia mungkin ada di perpus sekarang.”
“Ah iya! Kelupaan kemarin laporannya. Kalau begitu aku ke sana dulu.” Ia melambai pergi yang aku balas lambaian lemah.
Argh! Sakit kepalaku semakin menjadi-jadi dalam satu menit pertama, menyesal tadi aku menolak niat baik dari Ali. Terpaksa aku berjalan ke UKS sendirian sambil bersandar ke dinding. Sebelum pingsan.
“Permisi Bu I…ta? Tidak ada orang?”
UKS sekolah, ruangan redup dengan jejeran kasur-kasur kuning bau apek. Ditambah kumpulan obat dari berbagai penyakit pasaran yang tertata rapi di dalam lemari kaca.
“Uuuh… tidur saja dulu dah.”
Atau tidak?!!
Tanpa peringatan atau tanda sebuah siluet warna putih muncul dalam mimpiku, pecah mencampur ribuan warna dalam formasi spiral yang berputar cepat sebelum berubah jadi hitam.
Tik… Tik… Tik…
Hujan? Samar-samar beberapa titik sinar membesar dalam gelap ini. Ini… ini?!
“N-neraka!? T-tidak? Ini…!” Kebakaran besar! Mayat-mayat tergeletak di sepanjang jalan. Malam terang yang basah terbasuh hujan. Ya Tuhan!
Pemandangan ini menjauh cepat diganti kerumunan pohon-pohon besar menjulang tinggi. Namun warna Si Jago merah masih terlihat kontras di malam penuh jerit dan rintihan ini.
“*****, selanjutnya ke mana!?” Teriak suara serak dari atas kepalaku.
“Di depan sana, ke sungai kecil!” Sahut suara yang lain.
Sayup-sayup lolongan anjing menyahut di suatu sisi hutan ini, membuat dinginnya situasi sekarang semakin mencekam dan tegang.
“Sial! Mereka sudah sejauh ini?! *******! Misi kita tetap sama, bawa Nona ****** lari ke tempat tabib ******. Ayo cepat!”
“Siap!” Jawab beberapa suara.
Siiiing…! Cahaya spiral keluar menyelimuti semua pemandangan buram tadi. Berputar bagai naik roller coaster hingga hitam kembali. Semua inderaku hilang meninggalkan pikiran saja.
“Tinggal satu kenangan lagi, Himena...”
“Siapa!?” Tanyaku cepat dalam kepala.
Dari kejauhan tampak satu titik sinar jingga yang redup yang perlahan membesar hingga selaras dengan inderaku yang mulai terasa. Mula-mula terdengar suara bisik-bisik angin, hingga rasa menggigil kedinginan dan... sakit?
Bunyi air hujan.
Dentingan besi-besi.
Disambut tawa keras, mereka…
“HAHAHAA...!!! Lihat siapa yang telah bangun?”
Aku diikat di atas tiang.
“Terima kasih! Berkatmu Nona, aku- Tidak! Kami semua bisa melaksanakan rencana ini dengan sangat sempurna!”
“A… ah… aa…” Bahkan untuk sekedar berbicara aku tak bisa.
“Tidak usah repot-repot berkhutbah, efek dari racunnya masih ada bukan? Hahahaa!”
Siapa orang-orang ini?
Di mana aku sekarang?
Dan kenapa aku dirantai?
Bukannya mendapat jawaban, pria itu malah menarik busur panah dan arahnya ke…
Dat...!
“Aaaaaakh...... aakh....” Rintihku pelan, sakit sekali. Apa ini!? K-kenapa sakitnya nyata?
“Ah… maaf bidikanku meleset. HAHAHAA...!!!”
‘Pengkhianat, dasar pengkhianat…!!’ Batinku tiba-tiba tanpa bisa dikontrol, semuanya lepas dari kendaliku.
Dat...! Anak panah keduanya menancap ke bahu kananku.
“Ah! Maaf meleset lagi rupanya. Biaaar!!! Kucoba lagi.” Ucapnya dengan nada bermain tapi muka serius.
Dat....! Paha kiri. ‘Ukh! Bedebah ini!’ Batinku kesal. Jelas-jelas dia ingin membuatku menjadi sasaran hidup. Gigiku saling bersitegang menahan sakit dan amarah.
“Maaf Nona, aku rasa kualitas anak panah ini jelek. Biaaar!!! Kutembakkan dua langsung. Hahahaha!!! Satu memakai ekstrak racun ular kepala delapan, dan yang satunya... terbakar api Raja Oni!”
Dua bidikan melesat tak terlihat mengenaiku, satu panah racun sekian senti di bawah leher, satunya lagi ke jantung.
Rasa sakit dari panah sebelumnya bahkan tak berarti apa-apa daripada yang kali ini! Aku memejamkan mata, menggigit keras-keras gigi, dan menggenggam rapat jemari! Merintih tanpa bisa berbuat apa pun.
“Ah...!! Kali ini aku tepat sasaran rupanya. Hahahaaa!!!”
Mimpi buruk! Orang biadab! Dan perasaan apa ini!? Semua… kenapa terasa nyata?
Kesadaranku mulai menghilang diganti tempat hitam yang sama seperti sebelumnya. Mendengar suara langkah kaki yang mendekat perlahan-lahan.
“Maaf untuk hal ini, tapi itu adalah syarat yang kamu ajukan sendiri dulu.” Ujar satu suara. Nada yang lembut dan sedikit berat, mirip suara pria muda yang terasa berwibawa. Dia berkata kembali… “Apa yang engkau rasakan tadi adalah memori yang telah tercatat oleh waktu. Hanya soal percaya atau tidak, bila engkau ingin kebenaran yang hakiki.”
“…” Percuma, aku tidak bisa berkata. Hanya pikiran dan pendengaranku saja yang bisa kugunakan.
“Sesuai kontrak yang ada, engkau akan dikembalikan ke realita. Aku akan berusaha membantu semampuku nanti. Terima kasih dan selamat berjuang, penerus Luvius Arista.”
Luvius Arista?
BLAAR! Tempat gelap ini pecah diganti warna putih menyilaukan. Bersamaan dengan adanya dua pintu bermotif beda.
Satu pintu berbalurkan emas nan dipenuhi berbagai batu mulia, bermotifkan garis yang terkesan monoton dan kaku. ‘Kemutlakan.’ Itulah yang bisa kupikirkan. Gagang pintunya terbuat dari kaca yang menyala redup dan ada sebuah simbol yang mirip angka nol di tengah pintu.
Pintu yang lain terlihat alami dengan warna coklat yang masih segar. Motifnya abstrak, dengan satu motif dan motif lainnya saling sambung-menyambung. Gagangnya terbuat dari batu mulia warna hijau tua, dan beberapa sulur hijau disertai daun-dedaunan menjalar di setiap sisi pintunya. Dari semua itu, ada simbol mirip angka satu terukir di tengah-tengah pintu.
Kedua pintu tersebut menyatu membentuk sebuah pintu perpaduan dari dua pintu sebelumnya. Namun tanpa angka 0 dan 1. Aku memberanikan diri dan masuk dengan mata tertutup.
Sruuk…sruuk…
Suara air mengalir? Aku mendapati diri sudah berada di tepi sungai kecil berair jernih yang membelah hutan. Bersama suguhan waktu fajar yang udaranya terasa dingin menusuk tulang.
“Brrr…! H-hutan? D-di mana ini?”
Fakta kedua yang kudapatkan adalah sesuatu yang krusial sekali. Pakaianku hilang!!? Semuanya!!!
Sabar! Tenangkan dirimu Vira. “Huuft… haah… ok.”
Aku lihat tubuhku sekarang mirip anak kecil. Aku segera bercermin di buram dan gelapnya air sungai. Pantulan dibalik air mengalir itu memberi jawaban yang jelas. Ini bukan tubuhku. Wajah yang terlihat masih berumur sepuluh tahunan, bentuknya oval dengan dagu yang sedikit lancip. Mata lebar bagai biji almond dengan tatapan polos. Alis tipis gelap sehingga terkesan serius. Mulut yang manis. Dahi nan normal. Hidung yang standar. Oh! Gadis kecil ini mempunyai lesung pipit lucu di pipinya! Membuatku ingin mencubitnya dan… sakit! Tentu saja! Bodoh sekali aku ini.
“I-ini bukan mimpi, apa yang terjadi padaku?”
Bahkan suaraku jadi sedikit tinggi dan renyah, beda dari suaraku dulu. Aku menggerutu dan duduk di atas batu berdiam diri. Beruntung di sekitarku sangat sepi sekarang.
Pagi harinya, aku memungut daun-daun besar yang berserakan di bawah salah satu pohon. Merubahnya menjadi selembar pakaian ala kadarnya dengan bantuan tali sulur hijau.
Hal berikutnya yang lebih penting adalah makanan dan senjata. Makanan mungkin bisa dicari selama aku tidak pilih-pilih dan hati-hati, tapi kalau senjata... “Bagaimana ya…” Kutelusuri sungai ini berharap menemukan sesuatu, pasirnya yang hitam, beberapa kerang, dan batu-batu keras.
“Kapak batu, itu dia!”
Akhirnya setelah dua jam pembuatan, senjata sederhana selesai! Hasilnya ada lima tombak lempar dan tiga kapak batu. Semua selesai dengan tubuh berkeringat.
“Lengket sekali, uh...” Waktunya mandi.
Byuur!
Aku berenang cukup lama menyusuri tepian sungai hingga sampai di bawah bayangan pohon besar yang rerimbunan daunnya menjorok ke tengah sungai. Aku ambil nafas dan… Huph! Menyelam sekitar lima meteran. Ada karang-karang kecil di bawahku, lalu… ada sesuatu yang meliuk-liuk di depan sana. Benda bewarna hijau kasar dan buram.
‘Buaya!?’ Batinku dengan jantung berdetak kencang. Sesuatu itu meliuk-liuk mengikuti arus air sungai. Ehm… tunggu?
Itu... ternyata bukan seekor buaya, melainkan sebuah jas hijau besar yang menyangkut di karang. ‘Lumayanlah, setidaknya bisa menggantikan pakaian daunku.’ Batinku senang mengambilnya dan berenang ke atas permukaan.
Sayang. Terkadang keinginan berbanding terbalik dengan kenyataan. Saat baru setengah jalan ke permukaan, seekor ikan dari kejauhan berenang mendekat. Ikan biru keabu-abuan yang gesit melawan arah arus sungai. Sejenak aku mengira itu adalah ikan lumba-lumba karena moncongnya yang sedikit lancip. Baru setelah itu aku sadar kalau lumba-lumba hanya berada di laut. Apalagi air sungai di sini juga terasa sedikit asin dan jernih.
Berarti itu... ‘H-hiu Muaraaa…!!?’
Pernah sekali aku mendengar seekor hiu unik karena tempat tinggalnya bukanlah di tengah laut, melainkan di muara sungai yang berhubungan dengan laut. Anehnya hiu yang satu ini kuperhatikan semakin mendekat semakin besar saja!
‘Oi-oi! Kok tambah besar?!’ Sampai seukuran gajah kecil! Gawat!
Kukeluarkan semua tenaga untuk segera berenang menepi ke pinggiran. Sialnya jas yang kupakai malah menghambat lajuku! Tak ada waktu buat melepasnya lagi astaga!
Tidak…
Tidak…
Tidak… Aku tidak boleh mati di sini.
‘YAA TUHAAANN….!!!’
‘EMPAT METER LAGIII…!!!’
Aku tidak berani menoleh ke arah belakang karena sudah pasti hiu seukuran gajah kecil itu masih sangat bergairah mengejarku. Saat tinggal semeter lagi, jasku tiba-tiba tertarik ke belakang! Refleks kutendang kaki sekuat mungkin hingga membuat jas hijau ini robek hingga selutut. Namun berkat itu akhirnya aku sampai ke tepian dan se-
Brukk...
Kakiku tersandung dan jatuh ke tanah berpasir!!?
‘Aaargh! Mati aku! Mati aku! Mati aku! Hiu itu masih bisa menarikku ke dalam air kalau sedekat ini dengan sungai!’ Balikkan badan! Tendang kedua kaki ke atas!
Ternyata benar saja, hiu itu loncat dan hendak menerkam sebelum perutnya tertendang olehku dan menggeser lintasannya sekian senti ke samping kiriku, menabrak tanah berpasir!
Dengan sigap saja aku berguling ke kanan saat hiu itu mencoba menerkam kepalaku. Lalu mengambil kapak batu melempar keras ke dalam mulutnya yang terbuka. Belum cukup?!! Kuambil lagi tombak batuku dan membidik hiu itu!
“Maaf, jika kau siap membunuh, maka kau juga harus siap dibunuh pula!”
Jleb! Perburuan mendadakku untuk pertama kalinya berhasil di hutan antah berantah. Aku rasa hingga seminggu ke depan aku tidak perlu lagi memikirkan masalah makanan.
Mungkin?
“Ok! Segini cukup kali?”
Sebagai penghormatan terakhir kepadanya, aku membuat satu batu nisan tulang sisa dari hiu seminggu kemarin. Sedangkan bagian lain yang tajam aku ubah menjadi belati-belati kecil sederhana. Tentu saja yang tetap utama adalah daging kering asin untuk bekal perjalanan.
Lalu dari jas yang kutemukan ternyata berisi beberapa batu mulia yang indah dan berkilau. Semoga bisa kujual nantinya untuk membeli pakaian yang lebih pantas daripada yang kupakai sekarang.
Aku potong rambut panjang hitam kecoklatanku hingga sebahu dan diikat dengan tali benang sulur kecil ke arah belakang.
Untuk arah perjalanan aku memilih melawan aliran sungai, yaitu ke arah barat. Dimulai dengan berjalan saat pagi, dan beristirahat saat malam. Beristirahat dengan memanjat pohon dan tidur di atasnya, dengan mengikat tali sulur ke perut dan batang pohon agar tidak langsung jatuh.
Yaa... syaratnya memang tidak boleh tidur nyenyak sih. Tapi dengan begitu aku tak perlu khawatir serangan binatang darat, kecuali ular mungkin? Terutama nyamuk sialan yang selalu balapan di tepi telingaku untuk minum di café kulitku. Sial.Tiga hari berlalu dan rutinitas ini berlangsung normal tanpa ada kendala. Hingga hari keempat…
Seseorang di dalam zirah rusak hanyut di tengah sungai. Refleks aku langsung melepas jas dan melompat ke air, menariknya keluar dan membawa orang itu ke tepian. K-kemudian menidurkannya di bawah pohon.
“Haaah... antara karena tubuhku ini kecil atau orangnya yang berat, staminaku.... haaah... hah... hah...”
Setelah tenang, aku segera membuka zirahnya dan mengecek tubuhnya. Ada luka iris yang cukup dalam tepat di bagian perut kiri, beberapa bekas tusukan di lengan, dan sisanya hanya luka ringan saja. Lukanya terhitung masih baru dan segar. Untungnya tidak semuanya buruk, karena…
“D-dia masih hidup! Tapi, luka separah ini...”
Tanpa pikir panjang aku langsung menyusuri hutan untuk mencari tumbuhan yang sekiranya bisa berguna sebagai obat. Sebelum aku berhenti karena melihat seekor beruang cokelat dari kejauhan. Benar-benar diam membatu.
“Dari semua situasi, kenapa selalu muncul masalah di waktu yang tidak tepat sih?!” Gerutuku bersembunyi di semak-semak.
Penciuman dan penglihatan dari beruang terbilang cukup tajam terutama besarnya dia juga tiga kali tubuhku. Untungnya angin berhembus dari arah beruang ke tempatku sehingga aku aman untuk sekarang. Hewan itu juga sibuk mencakar-cakar sarang lebah.
Le…bah? Itu dia! Madu!
Kuremas beberapa daun hingga hancur dan mengoleskannya ke seluruh tubuh ditambah beberapa colekan lumpur hitam. Aku bersiap mengambil ancang-ancang melempar tombak, sekiranya tepat ke leher atau kepala Si beruang. Sekali mengayuh perahu, dua tiga pulau terlampaui dengan target dapat madu dan kulit beruangnya. Lagipula batu yang kupakai senjata ini adalah obsidian yang terkenal tajamnya.
‘Tapi apa aku bisa benar-benar menjatuhkannya?’ Batinku ragu.
Beruang itu meraung kesal karena sibuk dengan kawanan lebah yang marah setelah sarangnya jatuh. Dia menghiraukan area di sekitarnya.
Tunggu dulu, bukankah ini kesempatanku?
Baiklah. “Huft…” Aku bersiap melempar… jarak sekitar sepuluh meteran, dan pengalaman menombakku hanya beberapa kali saat masih di dojo. Sasarannya adalah kepala atau leher, tidak boleh yang lain. Hasilnya buram, seburam hidupku.
‘Ah! Sekarang atau tidak!’ Batinku yakin.
Hanya orang bodoh yang menolak sebuah permata di depannya, meski Ia tahu dirinya bisa mengatasi semua jebakan dan hambatan yang ada di sekeliling permata itu.
Benar! Aku hanya butuh waktu yang pas saja... Percaya!
1...2...
‘Sekarang...!!!’
Kulemparkan tombak sekuat mungkin dan langsung bersembunyi lagi dalam semak-semak. Mengintip seje-
GRAAOW! Suara raungan keras terdengar memecah keheningan hutan. Aku bergidik ngeri mengintip dari balik semak-semak. Berhasil?
“…”
Berhasil dong? Yeaah…! Tombak itu berhasil menancap cukup dalam di bagian lehernya! Dia meraung keras kesakitan dan menoleh-noleh garang mencari dalang yang menyerangnya. Jadi sebelum posisiku ketahuan.... “Maaf.”
Jleb!
Tombak kedua berhasil menusuk telinganya, membuat Ia mati di seketika. Ini memang terbilang aneh, antara aku memang sekuat itu melemparnya atau… Ah sudahlah. Aku menggeleng tidak memikirkannya, masih ada yang lebih penting untuk dipikirkan.
Pertama-tama cek situasi sekitar? Kosong. Cuma suara angin beserta kawanan lebah di hutan yang remang. Aku segera mengambil sarang yang ditinggalkan kawanan lebah itu dan lari menceburkan diri ke sungai. Hingga lebah-lebah itu pergi barulah aku kelua-
“Tunggu, bukankah kalau ada sarang lebah berarti ada bunga juga dong di dekatnya?”
Ternyata benar dugaanku, rimbunan bunga-bunga tumbuh lebat tidak jauh dari tempat tadi. Mulai dari hias, herbal, hingga untuk obat keras. Kupilih beberapa bunga yang berguna untuk luka iris pereda nyeri, dan bius. Meski kalau kebanyakan malah bahaya sih… tapi sekarang adalah darurat! Selama tidak berlebihan tidak apa-apa! Begini-begini aku juga pernah ikut Ibuku ke laboratorium untuk belajar peracikan obat dulu di sekolah kedokterannya.
“J-jadi kumohon Tuhan, jangan hukum aku kalau ini gagal dan mengambil nya-nyawa… uuh… pokoknya aku mohon jangan hukum aku Ya Tuhan!” Pintaku pasrah.
Setelah meracik obat dengan takaran yang (semoga saja) pas, aku kembali lagi ke orang tadi. Tidak ada yang menjamin apakah obat ini manjur, tapi setidaknya berusaha lebih baik daripada menunggu nasib. Benar bukan?
“Seorang pria. Tapi wajah dan rambut ini…” Komentarku saat membuka pelindung kepalanya. Pria yang terlihat berusia tiga puluh tahunan dengan rambut coklat bergelombang. Rahangnya tegas, hidung besar mancung dan dahi cukup sempit. Kulitnya putih pucat karena kehilangan banyak darah dan kehilangan suhu.
Setelah memberikan obat dan pertolongan pertamaku, sekarang tinggal menutup lukanya dan tinggal menunggu takdir pergi ke mana.
“Semoga ke arah baik! Semoga ke arah baik! Semoga ke arah baik!” Ucapku berkali-kali gugup.
Tak terasa satu malam telah lewat. Aku kembali masuk ke dalam hutan lagi untuk mengambil kulit dari mayat beruang kemarin. Beruntung tidak ada hewan lain yang mendatangi tubuhnya. Tetapi ada satu masalah, yaitu aku belum pernah menguliti beruang. Perasaaan saat menguliti beruang itu…
“Hoek...!” Muntahku saat baru selesai di bagian tangan. Aku benar-benar tidak suka dengan bau kuatnya, tapi… kulitnya pasti berguna nanti. “Uh, bertahan! Berta- Hoek!”
Lima jam kemudian....
“Satu kulit beruang siap, juga beberapa cakar dan gigi taring. Ha...”. Akhirnya selesai juga, tinggal mencuci dan mengeringkan kulitnya saja.
Setiap pagi dan sore hari aku selalu merawat Si pria itu dengan hati-hati. Hingga tiga minggu kemudian pria itu akhirnya siuman dengan sedikit kesalahpahaman di antara kami. Dimulai saat aku baru keluar dari hutan dengan membawa beberapa buah tanpa melihat kiri-kanan, langsung mencuci buah-buah itu di sungai dengan senang karena dapat makanan yang manis. Buah pertama, kedua, dan...
Blub! Buah ketigaku jatuh hanyut mengikuti aliran sungai. Pasrah begitu saja! Mau bagaimana lagi, belati tulang yang kubuat kini malah menyentuh leherku. Tidak terlalu tajam memang, tapi cukup bila ingin membunuhku sekarang juga.
“Segðu mér að þú sért það!?”
Ha? “M-maaf aku tidak mengerti apa yang kau katakan.”
“Rödd kvenna? Hvað ertu að gera hér og hvaða tungumál er það?” Katanya lagi.
“Maaf Tuan! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau katakan. Bisakah kau turunkan belati ini dan kita bicarakan baik-baik?” Pintaku spontan gemetaran meski dia pasti tidak mengerti.
Dia menurunkan belatinya dan berjalan mundur. Ah! Dia mengerti maksudku rupanya. Ia mengacungkan belati tulang ke arahku meski masih kesakitan memegangi perutnya. Mimik muka itu, terasa penuh waspada dan menyelidiki
“Kamu tak akan sembuh bila terus bergerak seperti itu tahu!” Aku mengajaknya duduk ke bawah pohon sambil menawarkan buah yang sudah dicuci. Satu alisnya terangkat sebentar, tapi sepertinya Ia mengerti maksudku. Kami melanjutkan pembicaraan kami dengan cara seadanya. Apabila salah satu dari kami tidak mengerti dengan gerakan isyarat yang dimaksudkan, kami menggantinya dengan gambaran sederhana di atas tanah.
Pria itu adalah salah satu dari orang penting. Dia memerintah suatu wilayah dan mengabdi ke seorang pemimpin negeri, dengan kata lain dia adalah seorang Gubernur?
“Nei nei. Það er ekki það...” Tolaknya sambil menggelang kepala.
“Bukan? Kalau bukan berarti...” Aku mengganti gambar struktur pemerintahan sebelumnya menjadi sebuah struktur pemerintahan lain di atas tanah.
“Bangsawan?”.
“Já, þessi!” Ia mengangguk dan melingkari gambaran strukturku yang baru. Bangsawan?
Ini di negara mana kok sampai ada sistem pemerintahan monarki? Inggris? Saudi Arabia? Malaysia? Di mana ini....
“Ef litla daman hvaðan?” Ia membuat gambar anak perempuan dan satu panah yang mengarah ke suatu lingkaran yang berantakan. Di atas panah itu ada tanda yang hampir mirip seperti tanda pertanyaan.
Apa ini? Hmmm… Nona kecil... dari... wilayah... mana?
Nona kecil?
“…” Minta disumpal pakai batu sungai mulut ini orang.
Aku menghela nafas dan mulai menggambar satu-persatu kejadian yang kualami. Mengarang cerita seadanya tentang ingatanku yang hilang sebelum datang ke hutan. Jadi dia tidak akan menanyai apa-apa tentang kehidupanku sebelumnya.
Ada beberapa poin yang membuatnya terkejut. Ia menanyaiku tentang melawan hiu seakan tak percaya. Aku menunjuk ke belati yang digunakan untuk menggambar dan daging kering yang kita makan. Ia kembali menanyaiku tentang cerita membunuh beruang yang kujawab dengan menunjuk jemuran kulit coklat di pohon. Kulit beruang itu telah kucuci dan dikeringkan berulang kali, bahkan sampai menggunakan lumpur! Agar bau kuat menyebalkannya hilang total.
Terakhir, Ia bertanya tentangku yang menyelamatkannya dari sungai dan membuat obat untuknya.
Aku berbicara dalam bahasa isyarat dan menggambar lagi. Sebuah gambar berbentuk awan kecil yang di dalamnya ada gambar lain. Gambar di dalam awan itu ada yang disilang dan ada pula yang tetap utuh. Di luar awan kugambar lagi seorang gadis kecil yang duduk. Gadis kecil yang berjalan sendirian di tempat yang asing dan kebingungan. Salah satu gambar di dalam awan yang tidak kusilang adalah seorang wanita dewasa yang mengenakan jubah. Gambar wanita itu kulingkari dan kutambahkan arah panah ke wujud gadis kecil yang sebelumnya. Di garis panah tersebut kubuat lagi gambar sebuah buku, matahari, bulan, dan tumbuhan.
‘Setidaknya aku tidak berbohong.’
Arti dari gambarku adalah ‘Aku masih ingat beberapa hal, tapi ada juga yang tidak. Aku tiba-tiba berada di tempat asing tanpa tahu alasannya. Untungnya wanita berjubah yang dulu kukenal mengajari beberapa cara dan bahan pengobatan sehingga aku tahu sedikit ilmunya.’
Ia bertanya lagi dengan menggambar wanita berjubah dan menambahkan tanda tanya.
Aku membalasnya dengan gambar dua kotak yang saling berimpitan. Di dalam kotak pertama ada gambar gadis kecil, sedangkan di kotak kedua ada gambar wanita berjubah itu. Di antara kedua kotak itu kutambahkan garis vertikal yang memisahkan keduanya.
‘Aku tidak bisa bertemu dengannya.’ Arti dari gambarku ini.
Pria itu segera meminta maaf karena mungkin mengira wanita di dalam kotak adalah Ibuku yang telah mati. Salah paham dia, tapi aku sendiri enggan untuk membenarkan. Jadi biarlah.
Aku menggeleng pelan mencoba mengatakan tidak apa-apa, kualihkan topik ini dengan memberinya apel segar. Hingga tak terasa bulan semakin meninggi di langit. Ia menawari untuk berjaga dan membiarkanku tidur. Padahal dirinya belum sembuh total, tapi ya sudahlah. Lagipula akhir-akhir ini aku juga kurang tidur.
Aku segera beranjak ke atas pohon yang cukup pas untuk tidur dan melakukan hal rutinan. Mengikatkan tubuh dengan tali sulur ke pohon agar tidak jatuh. Lalu menutup mataku.
...
“Bangun Vi.... Himena.”
“Siapa?” Responku ngantuk. Mengusap mata beberapa kali terkena siluet sinar matahari.
“Oh! Sudah bangun Nona kecil?” Tanya pria yang kutolong menggunakan bahasa isyarat. Aku segera bertanya kepadanya apa ada orang selain dirinya di sini tadi.
“Tidak ada. Kenapa memangnya?” Tanyanya balik dengan bahasa isyarat.
Aku menggeleng dan segera turun dari atas pohon dan membasuh mukaku di air sungai. “Brr...! Dingin sekali.”
“Hei! Setelah ini kamu mau ke mana Nona kecil?” Tanyanya dengan isyarat tangan.
Aku terdiam. Benar. Setelah tiba di hutan belantara ini, aku hanya fokus untuk bertahan hidup tanpa ada tujuan lain. Semisal kalau tiba di kota atau desa nanti, apa yang kulakukan selanjutnya? Pakaianku yang sebatas jas kulit tua dengan dalaman daun saja terlihat seperti makhluk jadi-jadian. Rambutku yang acak-acakan, tidak tahu bahasa di sini, dan...
“Aku akan pulang ke rumahku, bagaimana kalau kamu ikut saja denganku. Setidaknya aku bisa membalas kebaikanmu karena telah menyelamatkanku.” Tawarnya langsung dengan isyarat tangan.
Aku menggeleng pelan menolak. Bagaimana kalau nanti malah terjadi apa-apa, lagipula kami baru kenal.
Seperti tahu apa yang kupikirkan dia langsung membuat bahasa isyarat yang... ya… memang betul sih. Aku tidak bisa menyangkalnya sama sekali. ‘Kalau memang berniat buruk sudah pasti Ia lakukan sejak awal.’
Setelah dia menyampaikan itu sadarlah betapa cerobohnya aku. Dia benar! Dahiku mengkerut serius memikirkannya. Aku terlalu ceroboh.
“Hahahaa...!” Dia tertawa.
Ada hal yang lucu kah?
“Maaf-maaf, saat kamu berpikir dengan dahi mengkerut tadi aku teringat putriku.” Katanya dengan banyak gerakan dan membuat kerutan di dahi.
“Kamu punya anak?” Ucapku spontan tanpa bahasa isyarat.
Dia mengangguk sekali, padahal barusan aku bicara dalam bahasaku sendiri. Segera kubenarkan dan bertanya lagi, kali ini dengan bahasa isyarat. Jawabannya juga masih sama, anggukan.
Ah! Aku kelupaan sesuatu yang penting.
“Bicara tentang keluargamu, kenapa kamu bisa hanyut di sungai dengan luka parah seperti itu? Apa terjadi sesua- Haatchi…!!!” Gerakan tanganku terhenti seketika karena bersin.
Pria itu lalu duduk bersandar di bawah pohon dan mengajakku agar duduk juga. Rasanya ini akan jadi cerita yang berat dan panjang. Kutarik kulit beruang yang telah kujemur dan berselimut. Benar saja firasatku, ini akan jadi cerita yang cukup panjang. Inti yang dapat kuambil dari ceritanya adalah Ia dikhianati oleh bawahannya sendiri.
“Drama harta, tahta, wanita...” Gumamku tak sadar.
“...?” Pria itu menunjukkan raut muka bingung dengan apa yang kukatakan.
“Ah...! Maaf, aku hanya berbicara sendiri.”
Keluarganya tidak dalam bahaya, tapi yang paling mengkhawatirkan adalah situasi. Bawahannya menjual negerinya sendiri ke negara yang paling adikuasa saat ini. Dia ditipu saat di perjalanan untuk negosiasi. Di waktu siang saat keretanya pulang melewati hutan, Ia dan pengawalnya dikepung oleh gerombolan bandit. Bandit-bandit itu berhasil di tahan hingga hal itu terjadi. Bawahannya yang ikut bernegosiasi diam-diam menusuk dirinya dari belakang. Diikuti beberapa pengawalnya yang lain.
Sesaat sebelum pria ini pingsan, Ia melihat bawahannya memberikan sesuatu ke pemimpin bandit itu sambil tersenyum puas. Kemudian kisah berlanjut ke pertemuan kami. Selesai.
Tapi hebat juga Pak tua ini tidak tenggelam dengan zirah logam seperti itu. Negaranya dengan negara tetangga yang adikuasa sudah bersitegang sejak pemimpin baru di sana naik tahta dulu. Tahun ini sudah yang ketiga sejak wilayahnya terus diserang karena tepat di perbatasan.
“Maka dari itu aku harus segera pulang, sayang aku tidak tahu ke arah mana harus pergi.” Ia terlihat sedikit kecewa setelah mengatakan hal itu dengan bahasa tangannya.
“Aku tahu!” Ucapku spontan. Tanganku mahir menggambar dua garis ular yang beriringan di tambah dua orang yang berjalan melawan arah garis ular tersebut.
Pria itu tersenyum mengangguk.
Ya, kami bisa mengikuti sungai ini ke arah berlawanan dari arah dia hanyut. Setidaknya hingga sampai ke suatu pemukiman. Dia menyetujui ide yang kuberikan dan kembali bersemangat. Hanya saja luka di punggungnya memaksa kami menunda selama dua minggu, baru setelahnya kami bisa berangkat.
Tapi cukup menakjubkan juga regenerasi tubuhnya, padahal hanya sebulan lebih sudah sudah menunjukkan hasil yang signifikan. Mengingat lukanya dulu sangat parah.
“Ingat! Kalau tidak kuat bilang saja, kita langsung berhenti.”
“Oke-oke aku mengerti Nona kecil.” Pria itu menjawab dengan gerakan tangan dan menyengir menganggapku candaan. Dasar pak tua bebal.
Kami berjalan mulai dari pagi dan berhenti saat mulai gelap. Untuk seorang pejabat penting ternyata dia cukup berpengalaman saat menjelajah hutan. Beberapa kali dia menutup lubang ular dan menemukan sarang hewan buas, sehingga kami bisa tidur dengan aman.
Namun untuk urusan memasak, aku bersikeras memonopoli penuh semuanya. Alasannya cuma karena ada satu kejadian.
“Apa ini?” Tanyaku datar.
“Ikan bakar, cobalah!” Ia menambahkan satu jempol untuk buatannya.
Gulp... Hitam. Besar. Kaku. Gosong. Iiih... bagaimana ya… jujur saja, menjijikkan. Ternyata itu adalah kali pertamanya dia memasak. Maka dari itu aku yang selalu bertugas di bidang ini demi kemakmuran bersama.
“Oh ya! Ada yang kulupakan. Siapa namamu Nona kecil?” Tanya pria itu dengan gerakan yang membingungkan. Serius dah! Aku harus segera tahu bahasa yang digunakannya.
“Sefani Viraka.” Ucapku dengan mulut.
“Cevanhi Firaca?”
“Sefani Viraka!” Ulangku langsung membetulkan.
“Cefanii Viraca?”
Terserahlah...
“Vira. Oh, Vira!” Ucapnya senang, rupanya nama panggilanku telah ditetapkan. “Looqe Ar Wooseman fi Oevin, Looqe...” Lanjut pria itu memperkenalkan namanya.
“Looqe?”
Pria itu mengangguk membetulkan ucapanku. Di saat-saat luang Ia juga menceritakan beberapa cerita hidupnya. Dirinya bukanlah seorang bangsawan yang asli, melainkan seorang anak dari panti asuhan yang diadopsi oleh ayahnya yang sekarang ini di kerajaan. Sejak kecil dirinya selalu menyelinap pergi berpetualang ke hutan sendirian. Lagipula Ibu angkat dan semua saudaranya tidak ada yang peduli, kecuali ayah angkatnya saja.
Selanjutnya Pak Looqe menceritakan bagaimana Ia bertemu dengan istrinya di tepi danau, dan beberapa kejadian kecil lainnya. Sampai di mana Ia dikaruniai dua orang anak, yang sulung perempuan dan yang bungsu laki-laki.
“Siapa nama mereka berdua Pak Looqe?” Potongku sesaat.
“Sithra Hellena Ar Wooseman, Yhurnomghan Ar Wooseman.” Ucapnya lisan.
Sithra putri pertamanya sekarang berumur tiga belas tahun, Ia mempunyai tanda lahir berbentuk api di wajah sebelah kiri. Sithra adalah anak yang minder dan sedikit berhati-hati. Tapi meski begitu Ia bersikeras menjelaskan bahwa Sithra adalah anak yang baik.
“Hahahaa...”
Aku tertawa kecil melihatnya ngotot sekali meyakinkan poin itu. Lalu kemudian ada Si bungsu Yhurnomghan yang lima tahun lebih muda dari Kakaknya, Sith. Dia anak yang sedikit pendiam dan suka sekali membaca. Bahkan kata Pak Looqe, Ia lebih pintar dibandingkan anak seusianya. Sayang sifat pendiamnya membuat dia sedikit dijauhi oleh anak-anak lain.
Dari apa yang tergambar dan raut muka dari Pak Looqe, Ia pasti sangat mencemaskan Si Yhurno itu. Pak Looqe terdiam beberapa saat yang juga membuat aku jadi kehabisan kata.
“Tidak usah khawatir Pak Looqe, aku bisa menjadi temannya ketika kita sampai di rumahmu nanti. Akan kuajak dia bermain keluar hingga lelah. Ah! Akan kuajak Sith sekalian agar ikut kami.”
Pak Looqe menatapku dengan raut muka lega. “Vira... terima kasih.”
“Tidak apa-apa. Baiklah! Lebih baik kita segera makan saja sambil bercerita lebih jauh, Ok!”
Malam itu kami lewati tanpa ada masalah berarti, dan hari ini hampir dua bulan penuh sejak aku tiba di hutan antah berantah.
Setelah semua yang terjadi, apa aku masih bisa menyebut ini mimpi?
“Para ksatria dari kekaisaran, Vira.”
Tap… Tap… Tap…
Satu kereta kuda hitam mewah bernuansa emas, merah dan putih melintas di depan kami. Kereta yang dikawal oleh belasan ksatria berkuda dengan zirah hitam-putih dengan satu pedang di pinggang.
Hari ini, tepat sudah empat bulan lebih sejak aku bertemu dengan Pak Looqe, dan akhirnya kami menemukan sebuah kota kecil untuk bersinggah setelah menyusuri sungai. Kota yang terlihat sangat ramai dan hidup. Lalu kecewa karena ternyata adalah kota di bawah otoritas kekaisaran yang bersitegang dengan wilayah Pak Looqe.
“Baiklah Vira, ikuti rencananya. Ok?” Aba-aba Pak Looqe.
“Apa kamu yakin dengan hal ini?” Tanyaku ragu.
Aku mempelajari bahasa yang digunakan oleh Pak Looqe sepanjang perjalanan kami. Berkat itu sekarang aku sedikit mengerti dan bisa berkomunikasi sedikit-sedikit.
“Ya, kamu ikut saja. Kita ke pasar gelap.”
Kami masuk ke kota itu di saat tengah malam, di mana penjaga kota tengah bergantian untuk giliran jaga. Berjalan pelan melewati lorong-lorong gelap, naik-turun tangga basah, dan beberapa kali lari kecil untuk menghindari penjaga.
Berbekal petunjuk dari seorang pengemis di salah satu gang, masuk ke bawah gorong-gorong air, dan membuka sebuah pintu kayu tua.
Kreek…
“…” Pasar?
Gambaran pertama yang kudapat dari tempat ini adalah, ramai, remang, penuh dengan berbagai benda-benda ilegal, dan informasi yang tidak tahu keasliannya. Orang yang datang juga bermacam-macam. Mulai dari petinggi negara, hingga seorang pencuri.
“Ke mana selanjutnya?” Tanyaku dari balik jubah kulit beruang.
Pak Looqe menggandeng tanganku sambil menyusuri beberapa stan dan kios. “Kita mencari tempat yang bisa digunakan untuk menjual belatiku ini dulu, baru membeli baju baru untuk kita pakai. Sekalian mencari jasa migrasi di sini.”
Dia menarikku dan menemui satu-persatu pedagang gelap di sini, beberapa kali dia sedikit beradu argumen dengan pedagang. Sampai akhirnya belati mewah itu berhasil terjual. Hanya saja uang yang didapat cuma cukup untuk beli satu pasang pakaiannya saja. Bahkan dengan batu mulia yang kudapat di jas hijau.
“Bagaimana ini?” Gumam Pak Looqe bingung.
Aku melihat sekitar dan mencari apa ada hal yang bisa kami lakukan, setidaknya untuk menggandakan uang yang kami pegang dengan cepat.
Tak!
“Hm?”
Tak. Tak.
Perhatianku teralih ke suara familiar yang sering kali kudengar. Suara khas dari papan kayu permainan penuh strategi. Permainan catur.
Namun catur yang dimainkan dua orang itu terlihat berbeda dari catur yang kukenal. Semua buah catur, cara jalan, dan papannya benar-benar berbeda. Apalagi orang-orang yang antusias melihat pertaruhan uang dalam permainan tersebut.
‘Uang?’ Batinku mendapat ide sekaligus dilanda dilema. Aku tahu pertaruhan uang atau judi itu tidak boleh, bahkan semua orang yang waras pikiran tahu itu hal yang tercela.
Namun situasi kami saat ini apabila tidak segera keluar dari kekaisaran, maka cepat atau lambat pasti akan tertangkap. Lalu syarat untuk keluar dari kekaisaran ini adalah dua pasang pakaian baru, dan jasa migrasi ilegal untuk melewati perbatasan. Semua hal itu bisa didapat di sini asal ada uang.
UANG! Bila ada masalah, maka selalu saja benda ini menjadi salah satu pelarian yang paling simpel.
“Apa pun itu, aku mohon maaf Tuhanku. Aku berjanji setelah ini tidak akan mengulangi lagi. Aku berjanji, aku berjanji, aku berjanji!” Ucapku berulang-ulang.
“Kenapa Vira?”
Aku memberi isyarat agar Pak Looqe mendekatkan telinganya lebih dekat. “Pak Looqe, kamu lihat tempat orang-orang yang berkumpul di sana?”
“Ya, itu adalah crotar. Permainan papan, tapi mereka menambah taruhan di sa-… Jangan-jangan!?”
“Benar Pak Looqe, percayalah kepadaku. Aku tahu permainan yang mirip dengan itu, dan aku tahu cara bermainnya. Hanya dua kali saja! Beri aku dua kali saja untuk bertaruh di sana.” Ucapku sungguh-sungguh.
“Apa kamu yakin Vira? Bukan maksudku melarangmu tapi orang-orang itu juga pastinya bukan orang biasa.”
“Ya, aku sangat yakin! Babak pertama aku akan menggunakan seperempat uangnya, dan yang kedua aku akan gunakan sepenuhnya. Aku berani bersumpah atas hidupku!”
Pak Looqe menutup matanya dalam-dalam, memikirkan dengan matang rencana gilaku ini. Memang tidak masuk akal menyerahkan semua uang yang baru didapat ke anak kecil untuk bertaruh. Apalagi hanya uang ini yang kami punya. Dia mengangguk percaya.
Aku tersenyum dan segera mengajaknya ke tempat itu, mendaftar dua kali permainan dengan penantang yang sama. Masalah taruhan baru dibahas sebelum permainan dimulai.
Lima menit kemudian…
Aku diantar oleh Pak Looqe ke kursi duduk pemain lalu dia meninggalkanku di barisan penonton. Menata bidak di pa-
“Apa ini!?” Tanya lawanku lantang.
“Kenapa Tuan?” Tanyaku pelan tanpa membuka tudung kepala beruangku.
“Lawanku seorang anak kecil! Aku kira pria di sana! Oiii…!! Pak, kau tidak bercanda ‘kan!?” Tanyanya dengan lantang lagi.
Aku menadahkan satu tanganku ke arah papan catur. Uwaah… merepotkan sekali, dia mabuk rupanya. “Tuan, lebih baik segera kita mulai saja. Bukannya Tuan malah senang kalau lawannya seperti aku, sudah pasti kemenangannya. Atau… Tuan takut kalah?” Tantangku memprovokasi.
“Kau… jangan sombong kamu cecunguk kecil. Oke, akan kuhabiskan seluruh uang Ayahmu. Akan kuajarkan kalian tempat apa ini sebenarnya.” Serunya arogan. Dia benar-benar mabuk parah.
Pria lawanku segera duduk dan memulai giliran pertamanya, dia menjalankan sebuah bidak dan aku pun meniru gerakannya. Setiap lawanku mengambil bidak, aku pun mengambil bidak yang sama dan arah yang sama pula.
“Apa ini, kau main-main denganku?’ Tanya lawanku dingin.
“Tentu tidak. Ayo sekarang giliranmu.” Jawabku senang.
Saat bermain ini, aku sama sekali tidak tahu bagaimana jalannya bidak-bidak crotar. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menghafal semua langkahnya. Tanpa terkecuali kebiasaan lawanku.
Tak!
Aku kalah di babak pertama tentu saja.
“Tch! Ternyata memang cuma omong kosong. Sudahlah, kita sudah selesai di sini, aku sudah tahu bagaimana akhirannya.” Ejek lawanku dengan sombong dan mengejek.
Aku melihat Pak Looqe dari kejauhan dan memberi senyuman tipis. Pak Looqe membalas dengan anggukan. Dia percaya kepadaku.
“Baiklah Tuan, bagaimana kalau kita mulai babak kedua?” Tawarku.
“Hah!? Apa kau tidak melihat kenyataan hei bocah, percuma menantangku lagi.”
“Jangan begitu Tuan, bagaimana kalau kali ini aku menambah taruhan kita sebelumnya jadi tiga kali lipat. Kamu juga bisa memperlakukanku sesukamu, tapi taruhanmu juga dengan semua uang yang kamu miliki. Tidak buruk juga bukan?” Ucapku memprovokasinya sekali lagi.
Lawanku menyeringai senang menambah taruhannya. Tahu kalau lawannya seorang bocah bodoh, dia sangat yakin sekali akan menang. “Baiklah, sebaiknya kau pegang omonganmu itu. Juga siapkan salam terakhir dengan Ayahmu di sana.”
Aku membalas dengan senyum tipis.
Kami melanjutkan babak kedua dengan penonton yang lebih ramai, taruhan besar yang dikeluarkan menarik perhatian mereka semua. Meski aku tak peduli dengan hal itu. Kali ini giliran aku yang jalan pertama.
Satu bidakku hilang…
Dua… Tiga…
“Kenapa hah? Ke mana semua rasa percaya dirimu sebelumnya?” Ejek lawanku yang senang karena merasa unggul. Aroma alkohol dari mulutnya benar-benar merebak memberikan bau yang khas.
Aku tetap diam dan tersenyum tipis. Semua tetap berjalan sesuai strategi. Hingga bidak kelimaku hilang, dia tertawa keras merasa telah memenangkan permainan ini. Karena bidak kelima itu hampir memiliki posisi yang sama dengan ratu bila di catur. Tapi tak apa, bidak kelimaku tadi telah menjalankan tugasnya. Lawanku telah masuk jebakan saat dia memakan bidak kelimaku.
Tak!
Raut muka bak seorang juara lawanku mulai hilang perlahan melihat bidaknya hilang satu persatu. Setiap dia mengarahkan bidaknya, maka setiap itu pula bidaknya hilang dan keluar dari papan.
‘Kena kau!’ Batinku senang.
Tak!
“Selesai.” Kataku bangun dari kursi.
Lawanku bingung mencari bagaimana bisa bidak rajanya tiba-tiba tidak dapat bergerak. Dia memikirkan berbagai cara agar bidak raja itu bisa jalan.
“Percuma, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi.” Ujarku memperjelas.
“I-ini tidak mungkin, kau pasti curang!”
“Bagaimana aku bisa curang di permainan yang tidak bisa dicurangi? Ini adalah permainan strategi dan kau tahu itu. Di permainan strategi semua kemungkinan bisa terjadi, Tuan.” Kataku sedikit sebal.
“K-kau…!!!”
Lawanku mencabut pedangnya dan tanpa banyak bicara hendak menebasku. Arg! Inilah alasan aku tidak mau berurusan dengan orang mabuk. Batasan rasionalitas mereka seakan hilang tidak terkendali. Refleks aku menjatuhkan diri ke belakang dan pedang miliknya membelah papan crotar menjadi dua.
Penonton sedikit menjauh dari area dan sialnya malah menonton kejadian ini, membiarkan seorang bocah kecil tanpa senjata melawan orang dewasa dengan pedang tajam di tangan. Aku memberi isyarat agar Pak Looqe tetap di posisi awal dan tidak ikut membantu, dia baru saja sembuh dari lukanya. Jangan sampai luka itu terbuka kembali.
“Seseorang tolong!” Pintaku sambil menghindar. Tapi tetap tidak ada yang menghiraukan, mereka semua asik melihat dan membicarakan pertarungan tidak seimbang ini.
Ckk!
Pria itu tetap menebaskan pedangnya membabi buta dan merusak benda-benda disekitar. Bukan perkara mudah menghindar dari kilatan logam itu. Mantel beruang yang kugunakan saja sudah robek sana-sini.
“Siapa saja?!” Teriakku sekali lagi.
“Kenapa Nona kecil, ke mana semua rasa sombongmu barusan! Sini biar aku ajarkan dirimu sopan santun.” Kata bedebah itu.
Tanpa diduga ada seseorang yang melempar sebuah pedang pendek kepadaku. Panjangnya sekitar semeteran lebih sedikit dan cukup ringan untuk kugunakan. Siapa yang memberikan peda-
Deg!
Dia adalah seorang pria dengan mata biru, rambut hitam gelap, dan kulit coklat susu. Aku diam menganga melihatnya berdiri tersenyum. Dialah asal-muasal sebab aku ada di tempat asing ini. Pak Neavan? Dia di sini?
TRAANG….!!!
Pedang yang kupegang berdenting menahan tebasan mendadak lawanku, tanpa ba-bi-bu dia menyerangku lagi.
Dalam hati aku ingin mengejar Pak Neavan dan bertanya maksud dari semuanya, tapi manusia satu di depanku ini sangat menjengkelkan. Dia tidak membiarkanku meski sedetik pun untuk melihat ke mana Pak Neavan pergi. Percuma! Dia telah hilang ditelan kerumunan penonton.
Ckk…!!!
Aku mengambil beberapa langkah mundur dan menjaga jarak, sudah cukup bermain perannya. Aku merasa kesal dan jengkel karena kehilangan kesempatan emas untuk tanya cara pulang ke rumah. Saatnya menyelesaikan dengan jalur kasar.
“Tuan, aku berharap kita segera hentikan semua ini.” Tawarku serius.
“HAH…!? Kau bermimpi? Aku baru mau berhenti bila kau dan Ayahmu itu mati di sini. Atau kalau bisa kalian menyerah saja dan ikut denganku.” Responnya angkuh. Dia benar-benar mabuk berat.
“Aku sudah memperingatkanmu.”
Mungkin semua yang melihat di sini bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan dengan ancang-ancang mata pedang terarah ke depan. Posisi badan yang menyampingi lawan dan tangan yang sejajar bahu. Dari sorot mata mereka aku tahu di tempat ini tidak ada yang pernah melihat aliran pedang ini.
Jarak antara aku dan lawanku sekitar tiga meteran, dan aku harus bisa memendekkannya dalam satu kedipan mata. Lalu mengeksekusinya.
Sedetik berlalu…
Aku menarik nafas yang dalam, menahannya, lalu maju secepat mungkin. Secepat yang kubisa.
Tap!
“Haah!!?” Respon lawanku kaget.
Dia terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Sontak saja dia langsung mundur dan menebas keras ke depan. Namun aku sudah tidak ada di sana.
Slaash!!!
Sabetan pertamaku ke tangan dominannya yang memegang pedang. Namun karena ternyata aku hanya bisa menggoresnya cukup dalam. Tidak sampai terputus.
“Aaakh…!!!” Raung dia sakit melepas jatuh pedangnya.
Berikutnya aku menusuk betis kirinya hingga dia jatuh tengkurap ke tanah. Darahnya mengucur deras dari setiap luka yang ada. Kemudian menusukkan pedangnya sendiri ke telapak kiri dia hingga menancap tembus tanah. Menempelkan pedangku ke lehernya dan…
Tinggal ekseku-
“Viraa…!” Panggil suara khas yang selalu bersamaku. Refleks tanganku berhenti dengan sendirinya. Kepalaku serasa kosong, a-aku… aku…
Kenapa aku berbuat sejauh ini? Padahal tadi aku cuma berniat membuatnya jatuh pingsan. B-bukan sampai hendak... aku menoleh ke arah Pak Looqe yang berdiri tegap di tengah-tengah para penonton yang tercengang. Dia menggelengkan kepalanya seolah berkata ‘Hentikan Vira, sudah cukup’.
Aku mengambil nafas sesaat dan segera berdiri. Sebelum para penonton di sekitarku bisik-bisik. Ada yang tersenyum puas, ada yang iba, ada yang jijik. Beragam ekspresi mereka perlihatkan, tapi tetap tidak ada satu pun yang tergerak untuk mengobati pria lawanku.
Apa karena ini pasar gelap?
Apa membiarkan hal yang tidak salah bagi mereka adalah wajar?
Kalau bukan urusan mereka, maka acuhkan saja?
Ckk! Gigiku bergemeletukan menahan rasa kesal, mencabut pedang yang menancap di tangan lawanku, mengambil uang taruhan yang ada, dan membopong pria lawanku yang masih kesakitan keluar dari kerumunan ini.
“Ke-napa, kenapa kau…”
“Diamlah bedebah, kalau kau mati di sini aku akan menyesal seumur hidup. Bukan kau saja yang salah, aku juga tadi sedikit kehilangan kendali.” Jawabku sambil membopongnya dibantu Pak Looqe.
Kami pergi keluar dari distrik pasar gelap, dan mencari penginapan seadanya di kota atas. Tapi beberapa penginapan menolak orang yang mencurigakan seperti kami meski sudah membawa uang.
Hal kedua yang kusesali adalah ternyata pedang milik pria ini terdapat sedikit racun di kedua ujungnya. Baik itu di gagang atau mata pedang. Meski tidak kuat, tapi racun tetaplah racun. Untungnya aku hanya menyentuhnya sedikit karena tertutupi kulit beruang. Lain halnya dengan pria lawanku, yang beberapa kali hampir pingsan karena efeknya.
“Bangunan apa pun tidak apa-apa sudah Pak Looqe. Yang penting sekarang kita mengobati dia dulu.”
Pak Looqe mengangguk dan menyuruh kami menunggu di bawah kolong jembatan. Dia sendiri yang akan mencari agar lebih cepat. Sementara aku mengobati pria ini seadanya.
“Tuan, racun di pedangmu itu racun apa sebenarnya?” Tanyaku sambil meracik obat pereda panas dari tanaman-tanaman di tasku. Lalu meminumkannya ke pria itu.
“Pedang i-tu… bukan pedang milik-ku. Aku mendapatkannya sebagai hadiah setelah diberi-kan oleh adik angkatku. Saudara terkutuk, dia hendak membunuhku.” Ucapnya sedikit marah.
‘Kau sendiri juga jahat.’ Batinku pendek.
Tap…Tap…Tap… “Vira, aku dapat satu penginapan, ayo!” Panggil Pak Looqe dari atas jembatan. Setelah melewati beberapa blok, tibalah kami di penginapan dekat daerah kumuh. Pak Looqe menyewa sebuah kamar dengan durasi seminggu untuk kami bertiga.
Aku menyiapkan peralatan seadanya untuk mulai pengobatan sederhana, pria itu terlihat seperti berumur dua puluhan dengan tubuh sedikit kekar. Kalau boleh dibilang sih, dia tidak cocok dengan gambaran seorang brandalan. Karena dari semua sudut perawakannya sangat terawat sekali. Tidak ada bekas tato atau luka kecuali yang baru aku buat.
“Ngomong-ngomong Tuan, siapa namamu?” Tanyaku menyiapkan kompres dingin. Kondisi mabuknya terlihat sudah mulai memudar.
“Hmm… aku? Panggil saja Surtr.”
“Baiklah Tuan Surtr, kamu masih ingat dengan perjanjian kita ‘kan?”
“Soal itu terserah kau saja sudah, lagian aku juga tidak bisa melakukan apa pun saat ini.” Jawabnya enteng tak peduli.
Aku tersenyum. “Tidak, aku tidak sedingin itu hingga meninggalkan seseorang yang sakit dan butuh perawatan. Anggap saja itu sebagai layanan tambahan dari uang milikmu yang kami ambil.” Jawabku sambil membuka tudung kepala beruangku.
“Seorang gadis kecil? K-kau seorang gadis?! Aku kalah oleh seorang gadis kecil?!” Serunya shock. Dia seperti belum pernah kalah sebelumnya.
“Tidak usah diambil hati, masih banyak hal di dunia ini yang tidak kita ketahui, begitu pula manusia. Waktu itu aku beruntung saja ada yang memberiku pedang, dan kebetulan juga permainan crotar itu juga keahlianku.”
Surtr memiliki rambut coklat dan kulit yang cerah. Terkesan liar sih. Dia pasti terlihat bermartabat kalau saja sifat angkuhnya itu berkurang sedikit.
“Hi- Hahaha… HAHAHAAA!!!” Tiba-tiba Surtr tertawa keras.
Aku menatap heran, kenapa dia tertawa?
“Menarik sekali, sangat langka! Nona kecil, siapa namamu?” Lanjutnya bertanya.
“…” Aku beranjak berdiri membuka jendela kamar dan melihat bintang malam. Sebelum berbalik menatap Surtr yang terbaring lemah di tempat tidur. Hanya ada kami berdua saja di sini, Pak Looqe sedang keluar untuk membeli makanan.
“Namaku ya…”
Siapa nama dari tubuh gadis yang kurasuki ini? Apa maksud dari semua mimpi buruk sebelum aku masuk ke tubuh ini? Lalu suara yang memanggilku Himena sebelumnya itu, apakah ada hubungannya denganku atau tubuh ini …
…Vira…
“…panggil saja aku Vira.” Jawabku tersenyum merasa sedikit sedih karena membayangkan harus menerima kenyataan yang ada bahwa aku di sini. Benar, inilah kenyataanku sekarang.
Semilir angin malam masuk mengelus rambutku yang pendek, menyibak lemah gemulai seakan ikut bersimpati. Aku tersenyum senang, aroma angin yang sangat segar sekali.
Hmm? Kenapa dia diam dan menatapku?
“Kalau begitu Vira, bolehkah aku meminta sesuatu?” Kata Surtr.
“Ya?”
“Maukah kamu menikah denganku? Akan kuberikan seluruh kekaisaran ini hanya untukmu. Aku Kaisar ke-1 dari kekaisaran Musplehein, Surtr Vi Musplehein menginginkanmu sebagai Permaisuriku, Vira”
Termangu diam sesaat…
“M-maaf!? Bisa diulang?!!” Tanyaku panik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!