“Para ksatria dari kekaisaran, Vira.”
Tap… Tap… Tap…
Satu kereta kuda hitam mewah bernuansa emas, merah dan putih melintas di depan kami. Kereta yang dikawal oleh belasan ksatria berkuda dengan zirah hitam-putih dengan satu pedang di pinggang.
Hari ini, tepat sudah empat bulan lebih sejak aku bertemu dengan Pak Looqe, dan akhirnya kami menemukan sebuah kota kecil untuk bersinggah setelah menyusuri sungai. Kota yang terlihat sangat ramai dan hidup. Lalu kecewa karena ternyata adalah kota di bawah otoritas kekaisaran yang bersitegang dengan wilayah Pak Looqe.
“Baiklah Vira, ikuti rencananya. Ok?” Aba-aba Pak Looqe.
“Apa kamu yakin dengan hal ini?” Tanyaku ragu.
Aku mempelajari bahasa yang digunakan oleh Pak Looqe sepanjang perjalanan kami. Berkat itu sekarang aku sedikit mengerti dan bisa berkomunikasi sedikit-sedikit.
“Ya, kamu ikut saja. Kita ke pasar gelap.”
Kami masuk ke kota itu di saat tengah malam, di mana penjaga kota tengah bergantian untuk giliran jaga. Berjalan pelan melewati lorong-lorong gelap, naik-turun tangga basah, dan beberapa kali lari kecil untuk menghindari penjaga.
Berbekal petunjuk dari seorang pengemis di salah satu gang, masuk ke bawah gorong-gorong air, dan membuka sebuah pintu kayu tua.
Kreek…
“…” Pasar?
Gambaran pertama yang kudapat dari tempat ini adalah, ramai, remang, penuh dengan berbagai benda-benda ilegal, dan informasi yang tidak tahu keasliannya. Orang yang datang juga bermacam-macam. Mulai dari petinggi negara, hingga seorang pencuri.
“Ke mana selanjutnya?” Tanyaku dari balik jubah kulit beruang.
Pak Looqe menggandeng tanganku sambil menyusuri beberapa stan dan kios. “Kita mencari tempat yang bisa digunakan untuk menjual belatiku ini dulu, baru membeli baju baru untuk kita pakai. Sekalian mencari jasa migrasi di sini.”
Dia menarikku dan menemui satu-persatu pedagang gelap di sini, beberapa kali dia sedikit beradu argumen dengan pedagang. Sampai akhirnya belati mewah itu berhasil terjual. Hanya saja uang yang didapat cuma cukup untuk beli satu pasang pakaiannya saja. Bahkan dengan batu mulia yang kudapat di jas hijau.
“Bagaimana ini?” Gumam Pak Looqe bingung.
Aku melihat sekitar dan mencari apa ada hal yang bisa kami lakukan, setidaknya untuk menggandakan uang yang kami pegang dengan cepat.
Tak!
“Hm?”
Tak. Tak.
Perhatianku teralih ke suara familiar yang sering kali kudengar. Suara khas dari papan kayu permainan penuh strategi. Permainan catur.
Namun catur yang dimainkan dua orang itu terlihat berbeda dari catur yang kukenal. Semua buah catur, cara jalan, dan papannya benar-benar berbeda. Apalagi orang-orang yang antusias melihat pertaruhan uang dalam permainan tersebut.
‘Uang?’ Batinku mendapat ide sekaligus dilanda dilema. Aku tahu pertaruhan uang atau judi itu tidak boleh, bahkan semua orang yang waras pikiran tahu itu hal yang tercela.
Namun situasi kami saat ini apabila tidak segera keluar dari kekaisaran, maka cepat atau lambat pasti akan tertangkap. Lalu syarat untuk keluar dari kekaisaran ini adalah dua pasang pakaian baru, dan jasa migrasi ilegal untuk melewati perbatasan. Semua hal itu bisa didapat di sini asal ada uang.
UANG! Bila ada masalah, maka selalu saja benda ini menjadi salah satu pelarian yang paling simpel.
“Apa pun itu, aku mohon maaf Tuhanku. Aku berjanji setelah ini tidak akan mengulangi lagi. Aku berjanji, aku berjanji, aku berjanji!” Ucapku berulang-ulang.
“Kenapa Vira?”
Aku memberi isyarat agar Pak Looqe mendekatkan telinganya lebih dekat. “Pak Looqe, kamu lihat tempat orang-orang yang berkumpul di sana?”
“Ya, itu adalah crotar. Permainan papan, tapi mereka menambah taruhan di sa-… Jangan-jangan!?”
“Benar Pak Looqe, percayalah kepadaku. Aku tahu permainan yang mirip dengan itu, dan aku tahu cara bermainnya. Hanya dua kali saja! Beri aku dua kali saja untuk bertaruh di sana.” Ucapku sungguh-sungguh.
“Apa kamu yakin Vira? Bukan maksudku melarangmu tapi orang-orang itu juga pastinya bukan orang biasa.”
“Ya, aku sangat yakin! Babak pertama aku akan menggunakan seperempat uangnya, dan yang kedua aku akan gunakan sepenuhnya. Aku berani bersumpah atas hidupku!”
Pak Looqe menutup matanya dalam-dalam, memikirkan dengan matang rencana gilaku ini. Memang tidak masuk akal menyerahkan semua uang yang baru didapat ke anak kecil untuk bertaruh. Apalagi hanya uang ini yang kami punya. Dia mengangguk percaya.
Aku tersenyum dan segera mengajaknya ke tempat itu, mendaftar dua kali permainan dengan penantang yang sama. Masalah taruhan baru dibahas sebelum permainan dimulai.
Lima menit kemudian…
Aku diantar oleh Pak Looqe ke kursi duduk pemain lalu dia meninggalkanku di barisan penonton. Menata bidak di pa-
“Apa ini!?” Tanya lawanku lantang.
“Kenapa Tuan?” Tanyaku pelan tanpa membuka tudung kepala beruangku.
“Lawanku seorang anak kecil! Aku kira pria di sana! Oiii…!! Pak, kau tidak bercanda ‘kan!?” Tanyanya dengan lantang lagi.
Aku menadahkan satu tanganku ke arah papan catur. Uwaah… merepotkan sekali, dia mabuk rupanya. “Tuan, lebih baik segera kita mulai saja. Bukannya Tuan malah senang kalau lawannya seperti aku, sudah pasti kemenangannya. Atau… Tuan takut kalah?” Tantangku memprovokasi.
“Kau… jangan sombong kamu cecunguk kecil. Oke, akan kuhabiskan seluruh uang Ayahmu. Akan kuajarkan kalian tempat apa ini sebenarnya.” Serunya arogan. Dia benar-benar mabuk parah.
Pria lawanku segera duduk dan memulai giliran pertamanya, dia menjalankan sebuah bidak dan aku pun meniru gerakannya. Setiap lawanku mengambil bidak, aku pun mengambil bidak yang sama dan arah yang sama pula.
“Apa ini, kau main-main denganku?’ Tanya lawanku dingin.
“Tentu tidak. Ayo sekarang giliranmu.” Jawabku senang.
Saat bermain ini, aku sama sekali tidak tahu bagaimana jalannya bidak-bidak crotar. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menghafal semua langkahnya. Tanpa terkecuali kebiasaan lawanku.
Tak!
Aku kalah di babak pertama tentu saja.
“Tch! Ternyata memang cuma omong kosong. Sudahlah, kita sudah selesai di sini, aku sudah tahu bagaimana akhirannya.” Ejek lawanku dengan sombong dan mengejek.
Aku melihat Pak Looqe dari kejauhan dan memberi senyuman tipis. Pak Looqe membalas dengan anggukan. Dia percaya kepadaku.
“Baiklah Tuan, bagaimana kalau kita mulai babak kedua?” Tawarku.
“Hah!? Apa kau tidak melihat kenyataan hei bocah, percuma menantangku lagi.”
“Jangan begitu Tuan, bagaimana kalau kali ini aku menambah taruhan kita sebelumnya jadi tiga kali lipat. Kamu juga bisa memperlakukanku sesukamu, tapi taruhanmu juga dengan semua uang yang kamu miliki. Tidak buruk juga bukan?” Ucapku memprovokasinya sekali lagi.
Lawanku menyeringai senang menambah taruhannya. Tahu kalau lawannya seorang bocah bodoh, dia sangat yakin sekali akan menang. “Baiklah, sebaiknya kau pegang omonganmu itu. Juga siapkan salam terakhir dengan Ayahmu di sana.”
Aku membalas dengan senyum tipis.
Kami melanjutkan babak kedua dengan penonton yang lebih ramai, taruhan besar yang dikeluarkan menarik perhatian mereka semua. Meski aku tak peduli dengan hal itu. Kali ini giliran aku yang jalan pertama.
Satu bidakku hilang…
Dua… Tiga…
“Kenapa hah? Ke mana semua rasa percaya dirimu sebelumnya?” Ejek lawanku yang senang karena merasa unggul. Aroma alkohol dari mulutnya benar-benar merebak memberikan bau yang khas.
Aku tetap diam dan tersenyum tipis. Semua tetap berjalan sesuai strategi. Hingga bidak kelimaku hilang, dia tertawa keras merasa telah memenangkan permainan ini. Karena bidak kelima itu hampir memiliki posisi yang sama dengan ratu bila di catur. Tapi tak apa, bidak kelimaku tadi telah menjalankan tugasnya. Lawanku telah masuk jebakan saat dia memakan bidak kelimaku.
Tak!
Raut muka bak seorang juara lawanku mulai hilang perlahan melihat bidaknya hilang satu persatu. Setiap dia mengarahkan bidaknya, maka setiap itu pula bidaknya hilang dan keluar dari papan.
‘Kena kau!’ Batinku senang.
Tak!
“Selesai.” Kataku bangun dari kursi.
Lawanku bingung mencari bagaimana bisa bidak rajanya tiba-tiba tidak dapat bergerak. Dia memikirkan berbagai cara agar bidak raja itu bisa jalan.
“Percuma, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi.” Ujarku memperjelas.
“I-ini tidak mungkin, kau pasti curang!”
“Bagaimana aku bisa curang di permainan yang tidak bisa dicurangi? Ini adalah permainan strategi dan kau tahu itu. Di permainan strategi semua kemungkinan bisa terjadi, Tuan.” Kataku sedikit sebal.
“K-kau…!!!”
Lawanku mencabut pedangnya dan tanpa banyak bicara hendak menebasku. Arg! Inilah alasan aku tidak mau berurusan dengan orang mabuk. Batasan rasionalitas mereka seakan hilang tidak terkendali. Refleks aku menjatuhkan diri ke belakang dan pedang miliknya membelah papan crotar menjadi dua.
Penonton sedikit menjauh dari area dan sialnya malah menonton kejadian ini, membiarkan seorang bocah kecil tanpa senjata melawan orang dewasa dengan pedang tajam di tangan. Aku memberi isyarat agar Pak Looqe tetap di posisi awal dan tidak ikut membantu, dia baru saja sembuh dari lukanya. Jangan sampai luka itu terbuka kembali.
“Seseorang tolong!” Pintaku sambil menghindar. Tapi tetap tidak ada yang menghiraukan, mereka semua asik melihat dan membicarakan pertarungan tidak seimbang ini.
Ckk!
Pria itu tetap menebaskan pedangnya membabi buta dan merusak benda-benda disekitar. Bukan perkara mudah menghindar dari kilatan logam itu. Mantel beruang yang kugunakan saja sudah robek sana-sini.
“Siapa saja?!” Teriakku sekali lagi.
“Kenapa Nona kecil, ke mana semua rasa sombongmu barusan! Sini biar aku ajarkan dirimu sopan santun.” Kata bedebah itu.
Tanpa diduga ada seseorang yang melempar sebuah pedang pendek kepadaku. Panjangnya sekitar semeteran lebih sedikit dan cukup ringan untuk kugunakan. Siapa yang memberikan peda-
Deg!
Dia adalah seorang pria dengan mata biru, rambut hitam gelap, dan kulit coklat susu. Aku diam menganga melihatnya berdiri tersenyum. Dialah asal-muasal sebab aku ada di tempat asing ini. Pak Neavan? Dia di sini?
TRAANG….!!!
Pedang yang kupegang berdenting menahan tebasan mendadak lawanku, tanpa ba-bi-bu dia menyerangku lagi.
Dalam hati aku ingin mengejar Pak Neavan dan bertanya maksud dari semuanya, tapi manusia satu di depanku ini sangat menjengkelkan. Dia tidak membiarkanku meski sedetik pun untuk melihat ke mana Pak Neavan pergi. Percuma! Dia telah hilang ditelan kerumunan penonton.
Ckk…!!!
Aku mengambil beberapa langkah mundur dan menjaga jarak, sudah cukup bermain perannya. Aku merasa kesal dan jengkel karena kehilangan kesempatan emas untuk tanya cara pulang ke rumah. Saatnya menyelesaikan dengan jalur kasar.
“Tuan, aku berharap kita segera hentikan semua ini.” Tawarku serius.
“HAH…!? Kau bermimpi? Aku baru mau berhenti bila kau dan Ayahmu itu mati di sini. Atau kalau bisa kalian menyerah saja dan ikut denganku.” Responnya angkuh. Dia benar-benar mabuk berat.
“Aku sudah memperingatkanmu.”
Mungkin semua yang melihat di sini bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan dengan ancang-ancang mata pedang terarah ke depan. Posisi badan yang menyampingi lawan dan tangan yang sejajar bahu. Dari sorot mata mereka aku tahu di tempat ini tidak ada yang pernah melihat aliran pedang ini.
Jarak antara aku dan lawanku sekitar tiga meteran, dan aku harus bisa memendekkannya dalam satu kedipan mata. Lalu mengeksekusinya.
Sedetik berlalu…
Aku menarik nafas yang dalam, menahannya, lalu maju secepat mungkin. Secepat yang kubisa.
Tap!
“Haah!!?” Respon lawanku kaget.
Dia terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Sontak saja dia langsung mundur dan menebas keras ke depan. Namun aku sudah tidak ada di sana.
Slaash!!!
Sabetan pertamaku ke tangan dominannya yang memegang pedang. Namun karena ternyata aku hanya bisa menggoresnya cukup dalam. Tidak sampai terputus.
“Aaakh…!!!” Raung dia sakit melepas jatuh pedangnya.
Berikutnya aku menusuk betis kirinya hingga dia jatuh tengkurap ke tanah. Darahnya mengucur deras dari setiap luka yang ada. Kemudian menusukkan pedangnya sendiri ke telapak kiri dia hingga menancap tembus tanah. Menempelkan pedangku ke lehernya dan…
Tinggal ekseku-
“Viraa…!” Panggil suara khas yang selalu bersamaku. Refleks tanganku berhenti dengan sendirinya. Kepalaku serasa kosong, a-aku… aku…
Kenapa aku berbuat sejauh ini? Padahal tadi aku cuma berniat membuatnya jatuh pingsan. B-bukan sampai hendak... aku menoleh ke arah Pak Looqe yang berdiri tegap di tengah-tengah para penonton yang tercengang. Dia menggelengkan kepalanya seolah berkata ‘Hentikan Vira, sudah cukup’.
Aku mengambil nafas sesaat dan segera berdiri. Sebelum para penonton di sekitarku bisik-bisik. Ada yang tersenyum puas, ada yang iba, ada yang jijik. Beragam ekspresi mereka perlihatkan, tapi tetap tidak ada satu pun yang tergerak untuk mengobati pria lawanku.
Apa karena ini pasar gelap?
Apa membiarkan hal yang tidak salah bagi mereka adalah wajar?
Kalau bukan urusan mereka, maka acuhkan saja?
Ckk! Gigiku bergemeletukan menahan rasa kesal, mencabut pedang yang menancap di tangan lawanku, mengambil uang taruhan yang ada, dan membopong pria lawanku yang masih kesakitan keluar dari kerumunan ini.
“Ke-napa, kenapa kau…”
“Diamlah bedebah, kalau kau mati di sini aku akan menyesal seumur hidup. Bukan kau saja yang salah, aku juga tadi sedikit kehilangan kendali.” Jawabku sambil membopongnya dibantu Pak Looqe.
Kami pergi keluar dari distrik pasar gelap, dan mencari penginapan seadanya di kota atas. Tapi beberapa penginapan menolak orang yang mencurigakan seperti kami meski sudah membawa uang.
Hal kedua yang kusesali adalah ternyata pedang milik pria ini terdapat sedikit racun di kedua ujungnya. Baik itu di gagang atau mata pedang. Meski tidak kuat, tapi racun tetaplah racun. Untungnya aku hanya menyentuhnya sedikit karena tertutupi kulit beruang. Lain halnya dengan pria lawanku, yang beberapa kali hampir pingsan karena efeknya.
“Bangunan apa pun tidak apa-apa sudah Pak Looqe. Yang penting sekarang kita mengobati dia dulu.”
Pak Looqe mengangguk dan menyuruh kami menunggu di bawah kolong jembatan. Dia sendiri yang akan mencari agar lebih cepat. Sementara aku mengobati pria ini seadanya.
“Tuan, racun di pedangmu itu racun apa sebenarnya?” Tanyaku sambil meracik obat pereda panas dari tanaman-tanaman di tasku. Lalu meminumkannya ke pria itu.
“Pedang i-tu… bukan pedang milik-ku. Aku mendapatkannya sebagai hadiah setelah diberi-kan oleh adik angkatku. Saudara terkutuk, dia hendak membunuhku.” Ucapnya sedikit marah.
‘Kau sendiri juga jahat.’ Batinku pendek.
Tap…Tap…Tap… “Vira, aku dapat satu penginapan, ayo!” Panggil Pak Looqe dari atas jembatan. Setelah melewati beberapa blok, tibalah kami di penginapan dekat daerah kumuh. Pak Looqe menyewa sebuah kamar dengan durasi seminggu untuk kami bertiga.
Aku menyiapkan peralatan seadanya untuk mulai pengobatan sederhana, pria itu terlihat seperti berumur dua puluhan dengan tubuh sedikit kekar. Kalau boleh dibilang sih, dia tidak cocok dengan gambaran seorang brandalan. Karena dari semua sudut perawakannya sangat terawat sekali. Tidak ada bekas tato atau luka kecuali yang baru aku buat.
“Ngomong-ngomong Tuan, siapa namamu?” Tanyaku menyiapkan kompres dingin. Kondisi mabuknya terlihat sudah mulai memudar.
“Hmm… aku? Panggil saja Surtr.”
“Baiklah Tuan Surtr, kamu masih ingat dengan perjanjian kita ‘kan?”
“Soal itu terserah kau saja sudah, lagian aku juga tidak bisa melakukan apa pun saat ini.” Jawabnya enteng tak peduli.
Aku tersenyum. “Tidak, aku tidak sedingin itu hingga meninggalkan seseorang yang sakit dan butuh perawatan. Anggap saja itu sebagai layanan tambahan dari uang milikmu yang kami ambil.” Jawabku sambil membuka tudung kepala beruangku.
“Seorang gadis kecil? K-kau seorang gadis?! Aku kalah oleh seorang gadis kecil?!” Serunya shock. Dia seperti belum pernah kalah sebelumnya.
“Tidak usah diambil hati, masih banyak hal di dunia ini yang tidak kita ketahui, begitu pula manusia. Waktu itu aku beruntung saja ada yang memberiku pedang, dan kebetulan juga permainan crotar itu juga keahlianku.”
Surtr memiliki rambut coklat dan kulit yang cerah. Terkesan liar sih. Dia pasti terlihat bermartabat kalau saja sifat angkuhnya itu berkurang sedikit.
“Hi- Hahaha… HAHAHAAA!!!” Tiba-tiba Surtr tertawa keras.
Aku menatap heran, kenapa dia tertawa?
“Menarik sekali, sangat langka! Nona kecil, siapa namamu?” Lanjutnya bertanya.
“…” Aku beranjak berdiri membuka jendela kamar dan melihat bintang malam. Sebelum berbalik menatap Surtr yang terbaring lemah di tempat tidur. Hanya ada kami berdua saja di sini, Pak Looqe sedang keluar untuk membeli makanan.
“Namaku ya…”
Siapa nama dari tubuh gadis yang kurasuki ini? Apa maksud dari semua mimpi buruk sebelum aku masuk ke tubuh ini? Lalu suara yang memanggilku Himena sebelumnya itu, apakah ada hubungannya denganku atau tubuh ini …
…Vira…
“…panggil saja aku Vira.” Jawabku tersenyum merasa sedikit sedih karena membayangkan harus menerima kenyataan yang ada bahwa aku di sini. Benar, inilah kenyataanku sekarang.
Semilir angin malam masuk mengelus rambutku yang pendek, menyibak lemah gemulai seakan ikut bersimpati. Aku tersenyum senang, aroma angin yang sangat segar sekali.
Hmm? Kenapa dia diam dan menatapku?
“Kalau begitu Vira, bolehkah aku meminta sesuatu?” Kata Surtr.
“Ya?”
“Maukah kamu menikah denganku? Akan kuberikan seluruh kekaisaran ini hanya untukmu. Aku Kaisar ke-1 dari kekaisaran Musplehein, Surtr Vi Musplehein menginginkanmu sebagai Permaisuriku, Vira”
Termangu diam sesaat…
“M-maaf!? Bisa diulang?!!” Tanyaku panik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments