Setelah membeli joran pancing dan mata kail dari hasil penjualan kerang, Alvarez memutuskan untuk kembali ke Desa Mosuh. Hari sudah mulai sore, dan perjalanan pulang memakan waktu sekitar satu setengah jam. Ketika akhirnya ia tiba, langit telah berubah jingga, tanda malam segera datang. Ia pun bergegas menuju pulau kecilnya, tempat ia biasa tinggal dan mencari nafkah.
Sementara itu, di restoran tempat Alvarez menjual kerangnya, Pak Hendri tengah melakukan uji coba. Ia duduk bersama para koki, mencicipi kerang abalon yang baru saja ia beli dari pemuda misterius itu. Kerang-kerang tersebut dimasak dengan metode yang sama seperti biasa—tanpa bumbu tambahan, hanya garam laut dan sedikit perasan jeruk nipis.
Pertama, Pak Hendri mencicipi kerang dari stok lama. Rasanya enak, seperti biasanya, gurih dan kenyal. Namun saat ia mencoba satu suapan dari kerang milik Alvarez, tubuhnya membeku. Pandangannya kosong, seperti sedang melayang di antara langit dan laut.
Melihat itu, kepala koki bertanya khawatir, “Pak… bagaimana rasanya?”
Pak Hendri tersadar dari lamunannya, matanya membulat. “Ini… ini luar biasa! Kita harus menyetok kerang ini. Rasanya jauh lebih nikmat dari yang biasa kita punya. Kamu coba sendiri.”
Kepala koki mengambil satu, lalu mengunyah perlahan. Setelah beberapa detik, ia pun membeku seperti Pak Hendri. “Rasanya sepuluh kali lipat lebih lezat dari biasanya… dagingnya lembut, aroma lautnya terasa alami sekali.”
Tanpa menunggu lama, Pak Hendri langsung menelpon Nisa. “Halo, Nisa?”
“Iya, ada apa, Paman?” jawab Nisa di seberang.
“Nis, Paman butuh nomor kontak anak yang jual kerang tadi!”
Nisa terdiam sejenak, lalu menepuk dahinya sendiri. “Maaf, Paman… aku lupa menanyakannya.”
“A…APA?! Kamu nggak ambil nomornya?” seru Pak Hendri sambil menepuk jidatnya.
“Maaf, Paman… Nisa lupa,” jawabnya pelan, malu.
Pak Hendri menghela napas panjang. “Ya sudah, Paman tutup dulu ya.”
Setelah menutup telepon, kepala koki mendekat. “Pak, kalau begini kita tidak bisa menjual kerang ini… stoknya terlalu sedikit.”
Pak Hendri mengangguk pasrah. “Nikmati saja dulu malam ini. Besok aku akan panggil owner restoran. Dia harus coba sendiri.”
Di pulau kecil miliknya, Alvarez tengah bersiap tidur. Malam itu, ia bermimpi aneh—sebuah buku melayang di hadapannya dan membuka sendiri. Di halaman pertamanya tertulis: Cara Membuat Pakan Ikan.
Alvarez menatap bingung. “Buku apaan ini…?”
Namun ia tetap membaca. Anehnya, ia memahami isi halaman-halaman itu dengan cepat. Dan saat terbangun keesokan harinya, cahaya mentari menembus celah-celah dinding gubuk kayunya. Ia meregangkan tubuhnya, lalu mengumpat pelan.
“Aduh… aku lupa pasang perangkap semalam. Ya sudah, hari ini aku mancing saja. Lagipula kemarin aku sudah beli joran baru.”
Ia mengambil joran, menyiapkan kail, lalu menyelam sebentar untuk mencari umpan. Sasarannya: bulu babi. Setelah cukup mengambil, ia kembali ke tambak tempat ia menyimpan kerang hasil tangkapannya.
Tapi kali ini, kerangnya berubah—yang semula abalon, kini berubah menjadi tiram. Ia menatap dengan bingung. “Kemarin aku ambil abalon… kenapa sekarang jadi tiram?”
Setelah mengingat-ingat, ia sadar bahwa kemarin memang ada beberapa tiram yang ikut tertangkap. Ia pun mencari kerang-kerang lain, dan melihat bahwa kerang abalon menepi ke sudut tambak, menjauhi tiram-tiram itu.
Dengan hati-hati, Alvarez mengambil tiram yang tersisa. Saat ia membuka cangkangnya, matanya membelalak—di dalamnya terdapat mutiara berkilau. Satu… dua… hingga lima tiram ia buka, dan semuanya memiliki mutiara.
Ia terdiam. “Apa ini semua kebetulan?”
Kemudian, ia teringat akan mimpinya tadi malam—tentang jenis tiram bernama Pinctada maxima, yang cocok dipadukan dengan bulu babi sebagai bahan pakan. Tapi kali ini, ia punya ide berbeda.
“Mutiara ini… bagaimana kalau jadi umpan?” gumamnya pelan.
Ia mengambil semua mutiara, lalu merebus tiram untuk sarapan. Setelah makan, ia membawa joran dan umpannya ke laut. Di dekat kapalnya, seekor ikan besar—Marshu—sudah menunggunya.
“Hei, kamu datang juga ya? Ayo, kita berangkat,” kata Alvarez sambil tersenyum.
Setelah sampai di tengah laut, ia menghaluskan sedikit mutiara dengan batu, mencampurnya dengan bulu babi. Ia memberi Marshu sedikit—ikan itu tampak senang bukan main, melompat-lompat di air seperti anak kecil yang baru dikasih mainan.
“Kalau kamu suka, berarti ikan lain juga pasti suka…”
Ia memasang umpan di kail, lalu melemparkannya ke laut. Tak butuh waktu lama—sebuah tarikan kuat membuat reel-nya berteriak. Joran melengkung tajam, dan Alvarez hampir kehilangan pegangan.
Namun ia bertahan. “Kau pikir bisa kabur dariku? Tidak semudah itu!”
Pertarungan pun terjadi. Lima… Sampai sepuluh menit berlalu. Keringat menetes dari dahinya, namun tekadnya tak luntur. Hingga akhirnya, dari kedalaman laut, muncul bayangan besar yang berkilau.
Seekor tuna sirip biru—Bluefin Tuna—menggeliat di permukaan, besar dan bertenaga. Beratnya tak kurang dari 150 kilogram.
Dengan hati-hati, Alvarez mengikat ikan itu di belakang perahunya. “Hah! Untung joranku mahal… kalau tidak, pasti sudah patah.”
Ia pun tertawa keras, diiringi desiran ombak dan matahari yang mulai meninggi.
“Ini… ini adalah awal dari sesuatu yang besar.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments