KERANG ABALON

Setelah membeli mesin perahu di sebuah toko di pinggiran desa Mosuh, Alvarez duduk di tepi pantai, menunggu mobil pengangkut barang yang akan mengantarkan mesinnya. Sinar matahari sore mulai meredup, angin laut berembus lembut, membuat ombak bergulung dengan ritme tenang. Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil tersebut tiba, debu-debu kecil beterbangan saat kendaraan itu berhenti.

Seorang pria bertubuh kekar turun dari mobil, membuka bak belakang, dan bersama Alvarez menurunkan mesin perahu. "Hati-hati, benda ini berat," ujar si sopir.

Alvarez terkekeh. "Tenang, aku lebih kuat dari yang kau kira."

Setelah selesai, Alvarez mengucapkan terima kasih kepada sopir itu. Karena pria tersebut merupakan karyawan toko, ia tak perlu membayar biaya pengantaran.

Dengan penuh semangat, Alvarez mengangkat mesin tersebut ke perahunya, lalu mulai memasangnya di bagian belakang. Tangannya lincah bekerja, memastikan tiap baut dan mur terpasang dengan benar. Setelah tiga puluh menit berlalu, ia akhirnya menyelesaikan pemasangan.

"Baiklah, mari kita lihat apakah kau bisa berlari di air," gumamnya sambil menyalakan mesin.

Begitu perahu mulai melaju, tiba-tiba dari dalam air muncul Marshu, lumba-lumba sahabatnya, dengan gerakan yang mengejutkan. Alvarez terlonjak kaget, hampir kehilangan keseimbangan. Marshu tampak senang melihat reaksi temannya dan mulai melompat-lompat, seolah menertawakannya.

Alvarez mendengus, menyipitkan mata ke arah sahabatnya itu. "Binatang sialan... Kau senang melihatku kaget, ya?"

Marshu kembali melompat, lalu mengeluarkan suara ceria, seakan membenarkan tuduhan Alvarez.

Setelah menguji mesinnya di laut, Alvarez menepikan perahunya di perairan dangkal dekat terumbu karang. Airnya jernih, sehingga dari atas perahu ia bisa melihat dasar laut yang dipenuhi bebatuan dan pasir. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu mengenakan kacamata selamnya.

"Baiklah, saatnya berburu kerang," gumamnya sebelum melompat ke dalam air.

Begitu tubuhnya menyentuh air, sensasi dingin menyergap kulitnya. Ia membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan, menggerakkan kakinya dengan lembut agar tidak mengganggu ekosistem bawah laut. Cahaya matahari menembus air, menciptakan pemandangan indah dengan bayangan ikan kecil yang berenang di antara karang.

Alvarez mulai menyelam lebih dalam, matanya tajam mengamati celah-celah batu dan pasir. Beberapa kali ia melihat kerang kecil yang umum ditemukan di sekitar perairan ini, tetapi ia mencari sesuatu yang lebih besar. Ia mengulurkan tangan, menarik satu kerang dari sela-sela batu, lalu memeriksanya.

"Hmm, ini masih terlalu kecil," gumamnya dalam hati. Dengan hati-hati, ia mengembalikan kerang itu ke tempatnya, memastikan tidak merusak habitatnya.

Ia melanjutkan pencariannya, berenang perlahan agar tidak mengusik kehidupan laut di sekitarnya. Tiba-tiba, di antara beberapa karang yang lebih besar, matanya menangkap sesuatu yang menarik—kerang berukuran jauh lebih besar dari biasanya, cangkangnya tampak kokoh dan sedikit tertutup pasir.

"Ini dia..."

Dengan sigap, ia menyelam lebih dalam dan mencoba menarik kerang itu. Namun, cangkangnya melekat erat pada batu, seolah tak mau dilepaskan. Alvarez menghela napas, naik ke permukaan untuk mengambil udara. Setelah menarik napas panjang, ia kembali menyelam.

Ia mengamati posisi kerang tersebut, lalu menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeramnya dengan kuat. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia menggoyangkan cangkang itu dari sisi ke sisi, mencoba melemahkan pegangan alami kerang pada batu. Butuh beberapa detik, tetapi akhirnya... krak! Kerang itu terlepas.

"Gotcha!" serunya dalam hati.

Ia kembali ke permukaan, mengangkat kerang besar itu ke atas perahu. Napasnya sedikit tersengal, tetapi senyumnya merekah puas.

Tak ingin berhenti di satu tangkapan, Alvarez kembali menyelam. Kali ini, ia menemukan beberapa kerang lain dengan ukuran cukup besar tersembunyi di antara pasir dan batu. Setiap kali ia menemukan satu, ia memastikan untuk tidak merusak ekosistem di sekitarnya. Ia bahkan memperhatikan beberapa jenis kerang yang berbeda, mencoba mengenali mana yang bernilai tinggi dan mana yang lebih baik dikembalikan ke laut.

Setelah sekitar satu jam berburu, ia memutuskan untuk berhenti.

"Tangkapan hari ini cukup bagus," katanya sambil melihat hasil tangkapannya di dalam ember kecil di perahu. "Ada yang bisa ku makan, ada yang bisa ku budidayakan."

Ia menyalakan mesin perahunya, lalu mulai kembali ke pulau dengan hati puas, tak menyadari bahwa salah satu kerang yang ia ambil adalah sesuatu yang jauh lebih berharga dari yang ia kira.

Sesampainya di pulau, ia membawa beberapa kerang ke tambaknya. Namun saat mengamati isi tambak, dahinya mengernyit.

"Tunggu... Seingatku, aku tidak pernah menaruh kerang sebesar ini," gumamnya sambil memeriksa lebih teliti.

Ia mencari kerang yang sebelumnya ia tangkap, tetapi tak satupun ia temukan.

"Apa aku salah ingat? Atau ada yang menggantinya?"

Alvarez mengangkat bahu. "Ah, sudahlah. Lagi pula, kerang ini cukup besar."

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia masuk ke rumah dan mulai mengolah beberapa kerang untuk makan malam. Aroma sedap menguar dari dapurnya, membuat perutnya semakin lapar. Setelah makan, ia memutuskan untuk tidur.

Ke esokan harinya ia ke toko paman Jao untuk menjual kerangnya sekaligus membeli joran pancing.

Di toko, ia mengeluarkan kerang-kerang nya dan menunjukkan kepada paman Jao.

"Paman, berapa harga kerang ini?" tanyanya.

Tanpa melihat, paman Jao menjawab santai, "Paling 2,5 dolar per kilo."

Alvarez mengerutkan kening. "Tapi paman, coba lihat dulu. Kerangnya cukup besar!"

Paman Jao mendesah, menghentikan pekerjaannya, lalu melirik ke arah kerang yang dibawa Alvarez. Begitu melihat ukurannya, matanya membelalak.

"Apa...? Ini kan kerang abalon! Dan ukurannya sebesar ini?"

Alvarez mengangkat alis. "Kerang apa?"

Paman Jao menatapnya seolah ia baru saja mengatakan hal paling bodoh di dunia. "Abalon! Ini salah satu kerang termahal di dunia!"

Alvarez mene cak. "Serius? Pantas harganya aneh."

Paman Jao menghela napas. "Di mana kau menangkapnya?"

"Di dekat pulauku."

Paman Jao mengangguk. "Begini, aku bisa membeli dua kilo saja. Kalau kau ingin harga lebih tinggi, jual saja di restoran bintang lima di kota. Mereka bisa menjadikanmu pemasok tetap."

"Harga pasarannya berapa?"

"Bisa mencapai 150 dolar per kilo."

Alvarez berpikir sejenak. "Paman, bagaimana kalau aku jual ke paman 100 dolar per kilo? Jadi dua kilo, totalnya 200 dolar."

Paman Jao tersenyum. "Baiklah, karena kau anak baik, aku beli."

Setelah menerima uangnya, Alvarez langsung bergegas ke kota dengan bus. Dalam perjalanan, ia termenung, mengingat kembali masa lalunya—bagaimana ayahnya pergi meninggalkannya, bagaimana ia diperlakukan oleh ibu tirinya. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan.

"Kalian berdua akan merasakan apa yang aku rasakan," bisiknya penuh tekad.

Setelah satu setengah jam perjalanan, ia tiba di pusat kota. Dengan membawa kotak Styrofoam berisi kerang, ia berjalan mencari restoran mewah. Akhirnya, matanya menangkap bangunan megah dengan interior mewah di dalamnya. Ia melangkah menuju pintu masuk, tetapi sebelum sempat masuk, seorang satpam menghadangnya.

"Permisi, Pak. Anda tidak bisa masuk dengan pakaian seperti itu," kata satpam itu, menatapnya dari atas ke bawah.

Alvarez menelan ludah. "Tapi saya ingin menjual kerang di sini! Bisa saya bertemu pemilik restoran?"

"Maaf, pemilik restoran ini bukan orang sembarangan," kata satpam dengan nada tegas.

Alvarez mendesah lesu. "Begitu, ya? Baiklah, saya permisi dulu."

Namun, sebelum ia pergi, terdengar suara wanita berteriak dari parkiran.

"Tolong... tolong! Tas saya dicuri!"

Alvarez langsung menaruh Styrofoam di tanah dan berlari ke arah sumber suara. "Ada apa, nona?"

"Tolong, tas saya dicuri! Pencurinya lari ke arah sana!" Wanita itu menunjuk ke sebuah gang sempit.

Tanpa pikir panjang, Alvarez langsung mengejar. Ia berlari kencang, matanya fokus pada sosok pencuri yang semakin jauh. Begitu masuk ke gang buntu, pencuri itu berhenti dan menoleh.

"Heh, kau pikir bisa menangkap ku?" katanya sambil mengeluarkan pisau.

Alvarez mendengus, membuka bajunya. "Hah, pisau sekecil itu? Kau yakin mau melawan aku?"

Begitu melihat tubuh Alvarez yang penuh bekas luka, wajah pencuri itu berubah. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dalam hati, ia bergumam, "Orang ini pasti sudah melalui neraka... Aku tak mungkin menang."

Dengan gerakan hati-hati, pencuri itu meletakkan tas di tanah dan—bukannya menyerang—ia malah berbalik dan berlari sekencang mungkin, meninggalkan gang tersebut.

Alvarez mengerjap, menatap punggung pencuri yang menghilang. "Eh, aku sudah bersiap bertarung, loh! Aku buka baju bukan buat pamer luka, tapi takut bajuku kotor! Lagipula, aku mau masuk restoran, harus pakai baju bersih!"

Ia menggelengkan kepala, mengambil tas itu, lalu kembali ke wanita yang dirampok tadi. Hari yang awalnya hanya untuk berjualan kerang kini berubah menjadi petualangan tak terduga.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!