Setelah berhasil menemukan tas yang dimaksud, Alvarez segera kembali ke area parkiran. Ketika ia tiba, matanya menangkap sosok seorang wanita yang tengah duduk di bangku besi tua. Bahunya berguncang pelan, suara isak tangisnya terdengar jelas.
"Hiks... hiks..."
Alvarez mendekatinya dengan langkah hati-hati. Di tangannya, tas kulit wanita itu tergenggam erat.
"Nona, ini tas Anda," ucapnya tenang, sambil menyerahkan tas tersebut.
Wanita itu menoleh dengan mata sembab, lalu mendongak menatap wajah Alvarez. Rasa syukur seketika menggantikan kepanikan di wajahnya. “Terima kasih… terima kasih banyak sudah menolong saya.”
“Coba dicek dulu isinya, siapa tahu ada yang hilang,” kata Alvarez.
“Tidak perlu. Yang penting tas ini kembali,” jawab wanita itu cepat.
“Oh, begitu ya...” Alvarez mengangguk singkat, lalu berpaling.
Ia berjalan kembali ke depan restoran, mengambil Styrofoam yang sempat ditinggalkannya. Tanpa banyak bicara, ia beranjak pergi, melanjutkan langkah mencari restoran lain.
Wanita itu menatap kepergian pria misterius itu. Alisnya mengernyit. “Lho... ke mana pria itu pergi?”
Ia segera menghampiri satpam di dekat pintu masuk restoran. “Pak, tadi lihat pria berbaju hitam lewat sini?”
“Lihat, Nona. Dia tadi sempat mau masuk ke restoran ini,” jawab satpam itu.
“Sekarang dia di mana?”
“Barusan pergi, ke arah sana.” Satpam itu menunjuk ke arah jalan kecil di samping bangunan.
“APA?! Pak, tolong kejar dia sekarang!” seru wanita itu dengan cemas.
Mengira telah terjadi sesuatu yang buruk, satpam itu langsung sigap. “Siap, Nona!”
Salah satu dari mereka langsung mengejar Alvarez. Dari kejauhan, Alvarez tengah memperhatikan poster-poster restoran yang tertempel di kaca etalase.
Tiba-tiba, sebuah lengan kokoh menariknya dari belakang. “Nah! Ketangkap juga kau!”
Alvarez terkejut. “Eh! Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap?!”
“Jangan banyak tanya! Ikut kami. Nona kami mencarimu. Kalau kau buat dia marah… awas saja!”
“Nona? Saya tidak melakukan apa-apa!”
“Sudah! Jelaskan saja nanti di depan nona kami.”
Alvarez sebenarnya bisa saja melepaskan diri. Tapi ia tak ingin membuat keributan. Dengan enggan, ia mengikuti mereka.
Beberapa saat kemudian, Alvarez dibawa seperti pencuri dengan tangan diikat ke belakang. Styrofoam miliknya dibawa satpam lainnya. Mereka membawanya ke depan restoran, di mana wanita tadi duduk di kursi satpam.
“Nona, ini pria yang Anda cari,” ujar salah satu satpam.
Wanita itu menoleh. Saat matanya bertemu dengan wajah Alvarez, ia baru benar-benar memperhatikannya. Diam-diam ia mengakui, pria itu cukup tampan.
“Apa yang kalian lakukan? Kenapa dia diperlakukan seperti pencuri?!”
“Kami kira dia mengambil sesuatu dari Anda, Nona,” jawab satpam, agak kebingungan.
“Lepaskan dia sekarang juga!”
Dengan sigap, ikatan di tangan Alvarez dilepas. Styrofoam diletakkan di atas meja. Sang wanita segera menghampirinya.
“Maaf… atas perlakuan penjaga restoran tadi.”
Alvarez hanya mengangguk pelan.
Tiba-tiba, sebuah tangan terulur di depan wajahnya. “Kenalin, nama saya Nisa.”
Alvarez menatap mata Nisa dan tangannya yang terulur, lalu dengan tenang menjawab, “Saya Alvarez… dan saya ingin mengambil Styrofoam saya.”
Ia meraih kembali kotaknya, hendak pergi.
“Tunggu!” panggil Nisa. “Kalau boleh tahu, apa isi Styrofoam itu? Tadi petugas bilang kamu menjual sesuatu. Saya tertarik untuk membeli.”
Alvarez menoleh sebentar. “Tidak bisa. Saya hanya ingin menjualnya ke restoran-restoran.”
Ia kembali berjalan pergi. Tapi Nisa mengejarnya lagi.
“Tunggu dulu! Restoran ini milik orang tua saya. Saya bisa minta manajernya bicara denganmu!”
Langkah Alvarez langsung terhenti. Ia berbalik, matanya berbinar. “Serius? Kalau begitu, cepat bawa saya ke manajernya!”
Ekspresi antusiasnya membuat Nisa terkejut. Dalam hati ia membatin, Tadi misterius banget, sekarang berubah total…
“Cepat pertemukan saya dengan manajernya!” ulang Alvarez, setengah bersemangat.
“Baik, ayo ikut saya.”
Mereka masuk melalui pintu belakang restoran. Di dalam, Alvarez melihat barisan stok makanan yang tertata rapi, beberapa akuarium besar penuh seafood hidup.
“Tunggu di sini ya, aku akan panggil manajernya,” ujar Nisa.
“Cepat ya. Rumah saya jauh, saya tak bisa lama-lama.”
“Tenang saja.”
Nisa pun berjalan ke ruang manajer. Ia mengetuk pintu, lalu masuk.
“Pak Hendri, tolong bantu saya!”
“Ada apa, Nona?” tanya sang manajer.
“Ada seorang pemuda. Tolong beli barang yang ia bawa.”
“Barang apa itu?”
“Saya juga tidak tahu. Pokoknya beli saja!”
Tak bisa menolak permintaan anak bos, Pak Hendri mengangguk.
Mereka kembali ke ruang belakang, di mana Alvarez masih berdiri sambil mengamati sekitar.
“Permisi, saya Hendri, manajer restoran ini. Ada yang bisa saya bantu?”
Nisa langsung mencolek lengan Hendri, berbisik cepat, “Saya bilang beli, bukan bantu!”
Tapi sebelum Hendri sempat menjawab, Alvarez memotong, “Saya membawa kerang. Saya ingin menjualnya kepada Anda.”
Ia membuka kotak Styrofoam, memperlihatkan kerang-kerang besar di dalamnya. Ia mengangkat satu.
“Ini kerangnya, Pak. Cukup besar, bukan?”
Pak Hendri memeriksa kerang itu dengan mata terbelalak. Ia terdiam sejenak, lalu membatin, Saya kira ini hanya bantuan untuk Nona... ternyata saya dapat harta karun.
“Bagaimana, Pak? Kalau Anda berminat, saya bisa jual semuanya.”
Pak Hendri mengangguk penuh semangat. “Saya beli semuanya. Harga 500 dolar per kilogram.”
Alvarez tersenyum lebar. Tujuh kilogram berarti 3.500 dolar.
Setelah menerima uangnya, ia mulai berpikir, Kayaknya sekarang saat yang tepat beli joran pancing baru yang bagus...
kemudian ia menyimpan uang hasil penjualannya di dalam kantong kecil di balik jaket lusuhnya, Alvarez berdiri sejenak, memandangi ruang penyimpanan restoran itu. Wajahnya sedikit memerah karena bahagia, tapi tetap ia sembunyikan di balik raut tenangnya.
“Terima kasih, Pak Hendri,” ucapnya sambil sedikit membungkuk.
Pak Hendri mengangguk, matanya masih menatap kerang-kerang abalon yang kini menjadi miliknya. “Kapan-kapan kalau kamu punya lagi, datang saja ke sini. Bawa langsung ke saya.”
“Baik, saya ingat itu.” Alvarez menatapnya sesaat, lalu berbalik hendak pergi.
Namun sebelum kakinya melangkah lebih jauh, suara lembut memanggilnya dari belakang.
“Tunggu dulu, Alvarez…” suara itu milik Nisa.
Ia menoleh pelan. Nisa berdiri di ambang pintu, kedua tangannya saling menggenggam di depan perutnya, tampak ragu-ragu.
“Ada apa?”
“Boleh aku tahu… kamu tinggal di mana? Maksudku, kamu dari mana datangnya membawa kerang-kerang itu?” tanyanya pelan, penuh rasa ingin tahu.
Alvarez menatapnya, lalu menoleh sebentar ke arah Pak Hendri yang mulai sibuk mencatat sesuatu. Ia kembali menatap Nisa. “Aku tinggal di daerah pesisir. Jauh dari sini. Rumahku berdinding kayu, atapnya seng karatan. Tapi lautnya… lautnya indah sekali.”
Nisa tersenyum tipis, matanya sedikit memerah karena sisa tangis tadi belum sepenuhnya hilang. “Aku tidak menyangka kamu berasal dari tempat seperti itu. Kamu seperti…”
“Seperti apa?” tanya Alvarez, suaranya tenang tapi tajam.
Nisa menggeleng, malu. “Misterius. Tapi ternyata kamu baik… dan jujur.”
Alvarez hanya diam.
“Kalau kamu butuh tempat untuk menitipkan hasil tangkapanmu, kamu bisa ke sini,” lanjut Nisa. “Biar restoran ini jadi langganan tetapmu.”
“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Alvarez tiba-tiba. “Kamu bahkan tidak tahu aku siapa.”
Nisa menunduk sesaat, lalu menjawab, “Mungkin karena… aku merasa kamu pernah menolongku. Dan aku percaya, orang yang bisa mengembalikan sesuatu tanpa diminta adalah orang yang layak dipercaya.”
Alvarez terdiam. Lalu, untuk pertama kalinya, bibirnya membentuk senyuman kecil. “Kamu terlalu baik.”
“Aku hanya ingin mengenalmu,” jawab Nisa jujur.
Suasana menjadi hening beberapa saat. Di luar, matahari mulai condong ke barat. Cahaya keemasan menerobos celah-celah dapur restoran, menciptakan bayangan hangat di dinding ruangan.
“Aku harus pergi. Masih banyak hal yang harus kulakukan,” kata Alvarez akhirnya.
“Tunggu,” Nisa kembali melangkah mendekat, merogoh tas kecilnya, lalu mengeluarkan sesuatu—sebuah kartu nama.
“Ini. Nomor telepon restoran. Atau kalau kamu mau… kamu bisa cari namaku di media sosial. Namaku lengkap: Nisa Ardiani.”
Alvarez menatap kartu nama itu, lalu mengambilnya pelan. “Baiklah. Aku tidak janji, tapi… mungkin kita akan bertemu lagi.”
Saat ia melangkah pergi, Nisa menatap punggungnya lama. Di dalam hatinya, entah kenapa, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti kisah baru akan dimulai.
Dan di luar restoran, di tengah jalanan kota yang mulai ramai, Alvarez menatap langit sore, lalu tersenyum kecil sambil berbisik sendiri:
"Mungkin… dunia ini nggak sekeras yang kupikir."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments