Esok paginya, Nadira mengantarkan Danisa ke hotel bintang lima yang sangat terkenal di kotanya, tidak lain milik ayahnya. Mereka datang saat masih menggunakan seragam sekolah.
Di depan pintu lobby, Nadira sedikit mewanti Danisa atas kemungkinan yang terjadi supaya Danisa tidak berharap mendapatkan pekerjaan di luar ekspetasi.
"Nis, tapi palingan kamu diterima kerja jadi office girl atau cleaning service. Bagaimana?" tanya Nadira pada sahabatnya.
Mengingat mereka baru berusia 18 tahun, pun masih siswa kelas 11 dan belum ada title yang sesuai apalagi pengalaman kerja yang relevan untuk bisa bergabung bekerja menjadi staf di hotel itu.
"Gapapa, asal dibayar dengan upah sesuai, Nad." jawab Danisa bersemangat.
Diterima bekerja di hotel mewah itu sudah sepatutnya Danisa bersyukur. Sadar diri jika pendidikannya belum tinggi dan apa yang lebih diharapkan selain upah kerja yang bisa menghasilkan 8 juta untuk membayar biaya sekolahnya?
Danisa tidak berharap lebih apalagi soal posisi, itu bisa dipikirkan nanti.
Di sinilah kini Danisa berada.
Di depan sebuah ruangan, di depan seorang pria dengan name tag bertuliskan official manager yang menggantung di dada sebelah kirinya.
Pria itu menatap Danisa dari atas ke bawah.
"Siapa yang mau melamar kerja?" tanya pria berambut hitam klimis itu.
"Saya, Pak," jawab Danisa tanpa keraguan.
"Masuklah, tapi hanya yang berkepentingan," titah orang itu. Danisa masuk ke dalam ruangan seorang diri, meninggalkan Nadira yang menunggu di tempat duduknya.
Pria itu duduk di kursinya dan mengetuk-ketukkan pulpen di atas meja berbahan kaca.
Dia menyangga dagunya, memperhatikan Danisa yang sejak tadi menjelaskan sekilas CV dan riwayat hidupnya.
"Sebenarnya postur tubuhmu mendukung untuk bekerja di sini, tetapi lulus SMA saja belum. Mau melamar kerja di bagian apa?" tanya pria itu.
"Apa saja, Pak. Saya benar-benar sedang membutuhkan pekerjaan, saya akan mengerjakan pekerjaan dengan baik. Membersikan ruangan, tukang pel, pencuci piring, laundry, atau apapun itu," ujar Danisa yang tidak segan dalam mempromosikan diri.
"Terlalu buruk untukmu bekerja di dapur. Punya pengalaman atau magang apa sebelumnya?" tanya pria itu lagi.
Danisa kelimpungan saat manager menanyakan tentang pengalaman dirinya. Dia sama sekali tidak punya pengalaman kerja apapun di kantor atau instansi resmi. Kecuali, "Saya hanya pernah bekerja menjadi buruh cuci dan seterika, Pak. Hampir setiap hari saya menjual nasi keliling, titipan orang yang saya jajakan ke warga sekitar."
Benar, dia pernah bekerja serabutan menjadi buruh cuci dan setrika di rumah tetangganya demi sesuap nasi keluarganya.
Pria itu mengangguk-angguk. "Public speaking-mu bagus. Apa daganganmu itu laku keras?" tanya pria itu lagi.
Danisa mengangguk mantap, dagangan nasi rames yang dia jajakan setiap sore hari sepulang sekolah selalu ludes terjual ke orang-orang di sekitar tempat tinggalnya.
"Baguslah, saya tahu pekerjaan apa yang cocok untuk kamu," ujar si manager.
"Apa itu, Pak?" tanya Danisa.
"LO (Liaison Officer) di bagian bar dan spa. Apa kamu mau? Dengan upah 800k per shift dan tambahan 50 persen total tips yang kamu dapatkan dari pelanggan," terang pria itu.
Sempat Danisa berpikir, dibayangkannya pekerjaan itu. Bekerja shift tidaklah sulit jika hanya menjadi LO yang kurang lebih jobdecs-nya mengarahkan mereka yang akan ke bar atau spa.
Dengan pertimbangan gaji 800 ribu per hari ditambah tip yang didapatkan, itu upah yang lumayan besar. Untuk kekurangannya, bisa dipikirkan lagi dan cari kerjaan di tempat lain.
"Apa kamu mau?"
Danisa pun mengangguk.
"Kalau setuju, besok datanglah sore hari dan melakukan masa training selama seminggu. Akan ada yang memandumu selama bekerja," ujar pria itu.
Danisa membuka pintu ruangan itu. Dia langsung disambut Nadira, tanpa meminta penjelasan pun, Nadira sudah tahu jika Danisa mendapat pekerjaan di sini terlihat dari senyumannya yang pertama kali muncul saat membuka pintu ruangan itu.
"Selamat, ya, Nis!" ujar temannya itu memeluk Danisa dengan erat.
Mereka cekikikan di sepanjang jalan, tidak disangka ternyata semudah itu mendapatkan pekerjaan. Walau pun tidak tahu pasti pekerjaan apa yang akan didapatkannya esok hari, asalkan hari ini ia sudah mendapat pekerjaan dengan upah yang cukup menjanjikan.
"Jangan lupa nanti traktir aku, ya?" kata Nadira senggol menyenggol dengan Danisa di anak tangga.
"Siap, bosku! Bakso paket komplit di kantin 2, bagaimana?" tawar Danisa.
"Nggak, belikan aku caramel choco cream iced dan cromboloni lava yang ada di kafe seberang sekolah," ujar Nadira.
"Ealah, gileeee. Mahal banget itu, Nad," kata Danisa menggeleng-gelengan kepalanya. Bisa langsung ludes uang gajian hari pertamanya.
Skutt. Nadira menyikut lengan Danisa.
"Nggaklah, becanda aku mah, Nis."
"Aduh! Ish .... " Terdengar suara desisan wanita yang tidak sengaja tersenggol lengan Danisa.
"Oh, maaf, Tante," ujar Danisa seraya membungkukkan badan pada wanita cantik berkharisma tante-tante yang sedang berwajah kesal.
"Kalau mau main jangan di sini, ganggu jalan orang saja," hardik wanita cantik itu.
"Iya, maaf, Tante. Saya tidak sengaja," kata Danisa dengan rasa bersalah.
"Tante-tante, dipikir aku tantemu!" sentak wanita itu pada Danisa.
"Lagi pula ini di tangga, kalau saya jatuh bagaimana? Kalau tubuh saya lecet, kalian mau mengganti rugi, hah?! Nggak tahu aturan banget sih, kayak baru pertama kali ke hotel aja, kampungan!" lanjutnya mencibir pada dua remaja di depannya.
"Lho, apa yang Anda bilang, Nyonya?! Kampungan? Kur–" Nadira yang tidak terima segera memprotes, tetapi segera Danisa membekap mulut temannya itu daripada membuat kekacauan yang berujung menjadi masalah panjang.
"Ini lagi, apaan 'Nyonya'?! Aku masih lajang, tahu! Tak punya sopan santun! Makanya, kalau jalan pakai mata!" ucap wanita itu dengan nada bengis.
"Jalan ya pakai kaki dong! Kok dia makin nyolot sih, Nis? Kan, kamu sudah minta maaf," ucap Nadira merasa emosi. Sejauh ini, baru kali ini dia merasa direndahkan karena dibentak-bentak di depan umum.
"Gila, nih bocah marah-marah sama gue. Gak tahu kali ya siapa gue? Calon menantu pemilik hotel ini. Lo pikir ini hotel milik bapak kamu?!" serbu wanita asing itu di depan wajah Nadira, sebelum dia melangkah pergi meninggalkan kedua bocah SMA itu.
"Lha? Apa dia bilang? Calon menantu pemilik hotel ini? Maksudnya apa? Perasaan kakak gue gak punya pacar modelan nenek lampir macam dia," ucap Nadira menimpali.
"Ngaku-ngaku, gua aja yang anak si pemilik hotel 'b' aja kali. Ogah gue punya calon kakak ipar kayak dia. Udah gue tandain tuh muka," geremeng Nadira yang tak kunjung usai.
"Kamu kayaknya harus banyak sabar selama bekerja di sini deh, Nis. Akan banyak orang-orang berduit yang nggak ngotak dan rese seperti dia, sok ngartis ketimbang bisa booking kamar di hotel ini meski semalam," kata Nadira.
Jauh di dalam hatinya, Danisa merasa ketakutan. Dia tidak seberani Nadira dalam bersikap, ia takut jika menemui pengunjung yang setipe dengan wanita tadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Ai Sri Kurniatu Kurnia
crezy up
2024-03-06
3