My Lovely SPG

My Lovely SPG

Tagihan Sekolah

Di dalam ruang kesiswaan SMA Bakti Jaya Angkasa. Duduk seorang siswi berhadapan dengan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

"Danisa, ibu minta maaf, tapi ibu harus menyampaikan ini," ujar wakepsek itu.

"Apakah kamu sudah menyampaikan pesan pada orang tuamu? Kamu sudah menunggak uang SPP selama enam bulan lamanya. Ini sudah di luar batas toleransi. Kamu mengerti kenapa ibu memanggilmu kemari, kan?" ujar seorang guru wanita berkaca mata besar.

"Apa tanggapan orang tuamu mengenai ini?" tanya guru itu lagi.

Danisa, gadis berkuncir kuda itu meremas jemarinya sendiri. Dia hanya bisa menunduk. Suatu saat, ini semua pasti akan terjadi lagi dimana dirinya akan dipanggil oleh pihak kesiswaan untuk yang kesekian kali.

Dan inilah bagian terburuk dari masa sekolahnya, mendapat teguran untuk membayar uang bulanan yang seringnya nunggak.

Dulunya tidak seperti itu, hanya saja saat ibunya jatuh sakit uang sekolah menjadi sangat sulit dibayarkan. Jangankan uang sekolah, untuk makan sehari-hari saja dia yang harus pontang-panting serabutan.

Di rumahnya sudah tidak ada yang bekerja mencari nafkah. Ayahnya sudah lama pergi meninggalkan keluarga tanpa kabar dan pesan, sedang kini ibunya tidak bisa lagi melakukan aktivitas pada umumnya.

"Orang tua saya sedang tidak punya uang, Ibu. Maaf, jadi belum bisa melunasi," kata Danisa walau sebenarnya dia tidak pernah menyampaikan pesan dari pihak sekolah kepada ibunya sejak beberapa bulan lalu sebab satu-satunya orang tuanya itu tengah sakit stroke dan sulit diajak berkomunikasi.

Tidak mungkin baginya membahas uang sekolah pada sang ibu.

"Baiklah, ini sudah di luar kebijaksanaan sekolah, Danisa. Jadi, tolong sampaikan pada orang tuamu, kami memberikan batas satu minggu untukmu bisa melunasi iuran SPP itu jika tidak, maka mohon maaf kamu harus dikeluarkan dari sekolah ini. Semoga kamu memahami aturan sekolah ini, Nak," ujar wakepsek itu yang tega tidak tega tetapi memang seperti itulah aturan sekolah, terlebih sekolah swasta, dan cukup prestige.

Danisa hanya bisa mengangguk.

"Baik, Bu, akan saya usahakan untuk melunasinya," ujar Danisa. Setidaknya masih ada kesempatan esok hari walau dia pun tidak tahu harus mencari uang kemana dalam waktu seminggu dan jumlah yang sebanyak itu.

Sekembalinya ke ruang kelas, saat itu saatnya jam istirahat. Berbeda dengan siswa-siswi yang lain, mereka berburu dan berebut jalan menuju ke kantin karena memang saatnya makan siang.

Namun, Danisa hanya duduk di kursinya seraya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk membayar tagihan sekolah.

Nadira teman sebangkunya menepuk bahu Danisa. Sontak gadis itu terkejut dan langsung melirik ke arah temannya.

"Nis, ke kantin, yuk?" ajak gadis bernama Nadira itu.

Danisa menggeleng dengan senyuman, dia sudah biasa menahan lapar jika tidak ada uang, hari ini dia tidak mendapat uang saku karena memang tidak ada uang di rumahnya. Namun, bukan Dira namanya jika tidak memaksa untuk mentraktirnya.

"Biasa, aku yang bayar. Ayolah, temani aku," pinta Nadira.

Gadis itu baik, sebisa mungkin dia akan membantu Danisa karena dia tahu kondisi keluarga Danisa sedang sulit dan bisa dikatakan keluarga yang tidak berpunya.

"Tapi, Nad," kata Danisa yang tidak enak hati saat Nadira menarik lengannya untuk bangkit dan ikut dia ke kantin.

"Bu, bakso komplit dua porsi, ya," kata Nadira di depan kantin nomor 2.

Tanpa menawarkan temannya itu mau makan apa, Nadira langsung memesankan apa yang sekiranya enak dimakan di waktu siang. Jika tidak seperti itu, maka temannya itu akan menolak memesan makan.

"Ra, makasih, ya," ujar Danisa saat dua mangkuk bakso tiba di meja mereka.

Walau mereka mengatakannya dengan senyuman di bibirnya, tetapi ai rmuka gadis itu tidak bisa ditutup-tutupi ada kesedihan di balik wajah sendunya.

"Iya, sama-sama. Tapi, kalau boleh tahu. Tadi ada apa sih, Nis? Kamu di panggil Bu Jani lagi," tanya Nadira.

Awalnya Danisa menggeleng, dia tidak ingin temannya itu tahu apa yang sedang menjadi kesedihannya. Namun, Nadira yang tetap memaksa ingin tahu masalahnya, Danisa pun menceritakan apa yang terjadi di ruang kesiswaan tadi.

"Oh, jadi soal uang bulanan? Berapa? Sebisa mungkin aku akan bantu," kata Nadira.

Cepat-cepat Danisa menggelengkan kepalanya.

"Tidak, jumlahnya terlalu banyak, Nad," ujar Danisa

"Berapa katakan," pungkas Nadira tetap ingin mengetahui jumlahnya.

"8 juta," jawab Danisa lesu.

"Yah ... kalau segitu, aku juga tidak punya, Nis. Coba aku bilang sama papaku, ya?" kata Nadira segera dia ingin menelepon sang papa.

Namun, saat itu juga Danisa merebut ponsel Nadira sebelum dia menghubungi ayahnya.

Memang temannya itu terlampau baik, tetapi semester lalu pun uang sekolah Danisa dia yang membayarkan uang bulanannya. Bagaimana Danisa tidak merasa merepotkan?

"Jangan, Nad, sudahlah. Aku akan mencoba bekerja saja dulu. Kamu sudah terlalu banyak membantuku," kata Danisa.

"Kamu mau bekerja apa dalam seminggu harus menghasilkan 8 juta, Nis?"

Danisa pun belum kepikiran kira-kira pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang 8 juta dalam waktu seminggu. Sepertinya mustahil, tetapi dia akan tetap mencoba.

Mereka sama-sama berpikir, kira-kira pekerjaan apa itu.

"Aha! Kerja di hotel papaku saja, bagaimana Nis?" usul Nadira.

"Pernah kudengar, katanya pekerja perempuan dibayar mahal di hotel papaku," lanjut Nadira.

"Oh ya? Kerja jadi apa itu, Nad?" tanya Danisa yang antusias.

Terpopuler

Comments

Eti Sumitri

Eti Sumitri

awal yg bagus..lnjut Thor🥰

2024-03-05

1

Alif 33

Alif 33

aku mampir Thor,
semoga cerita selanjutnya² menarik...
semangat 😊😊😊😊

2024-03-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!