Tiara dan resepsionis itu saling lirik, ini terlalu aneh bagi si resepsionis, tapi ini manis bagi Tiara. Levin tanpa ragu berlutut di hadapan Metta yang hanya bisa duduk itu, dengan lembut Levin menatap mata yang terbilang bengkak itu, wajah pucat dan penampilan yang cukup buruk itu tak lantas membuat Levin merasa risih.
"Gadis 4 tahun difoto kini ada di hadapan mata ku!"
Tak ada respon apa pun, Metta hanya diam saja menatap wajah manis di depannya.
"Kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi, kenapa kamu seperti ini?"
Bukan menjawab, Metta justru menangis karena kembali teringat Mamanya. Jelas saja itu membuat Levin dan yang lainnya bingung, kini tak hanya resepsionis dan suster itu saja yang memperhatikan keduanya, tapi karyawan di sana mulai tertarik untuk melihat hal langka seperti itu.
"Ada apa ini? Dia tidak bisa bicara?" tanya Levin.
Tiara menggeleng, dengan sedikit senyuman Tiara meminta Levin melihat sekitarnya, mungkin saja Metta tidak senang jadi tontonan.
"Ada apa? Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Levin pada mereka semua.
Tanpa berkata, mereka lantas membubarkan diri hingga tak ada seorang pun di sana. Levin menggeleng, apa mereka berfikir sedang ada tontonan drama, bagaimana bisa mereka meninggalkan pekerjaannya demi menonton Levin.
"Metta...."
Belum sempat kalimatnya terselesaikan, Metta yang duduk tanpa bersandar itu tersungkur ke bahu Levin. Seketika suster dan resepsionis itu mendekat, tapi Levin mengangkat tangannya agar membiarkannya sendiri saja.
"Metta pasti pingsan lagi," ucap Tiara.
"Maaf," gumam Levin seraya menjauhkan tubuh Metta.
Benar saja, Metta terkulai tak berdaya dalam tahanan kedua tangan Levin. Apa yang terjadi, ini terlalu buruk.
Metta kembali dalam penanganan dokter Rumah Sakit, kondisinya semakin hari semakin memburuk. Depresi yang semakin meningkat, dan keputus asaan yang jadi pilihan menambah buruk semuanya.
"Bagaimana?" tanya Levin.
"Sebentar, Pak. Dokter masih memeriksanya, permisi."
Levin membiarkan suster itu pergi, sepertinya ada sesuatu yang dibutuhkan sehingga terlihat tergesa-gesa. Levin membatalkan pertemuan pentingnya siang ini karena Metta, itu masalah bagi kantor, tapi masalah bagi Levin adalah Metta.
"Penyakit apa yang dideritanya? Kondisinya sangat buruk!"
Levin melihat kembali lembar foto di tangannya, 2 kertas foto dengan gambar yang sama, Levin benar-benar telah menemukannya sekarang. Tapi wanita seperti apa dia, sepertinya tidak ada yang baik-baik saja.
Kring..... Levin meraih ponsel di saku dalam jasnya, ada panggilan masuk dari Monica. Bisa sekali, disaat seperti itu Monica tiba-tiba menghubunginya.
"Kenapa, Mami?"
Kalimat cukup panjang didapatkan Levin dari Monica, wanita itu meminta Levin pulang saat makan siang karena orang yang ditunggunya telah datang dan ingin bertemu. Jelas saja itu membuat Levin bingung, kenapa bisa bersamaan dengan kedatangan Metta.
"Aku akan pulang, tunggu saja!"
Levin segera menutup panggilannya ketika melihat dokter yang keluar dari ruangan Metta, Levin bertanya tentang semuanya, tidak ada yang mau dilupa untuk ditanyakannya.
"Jika terus seperti ini, entah jiwanya yang akan kehilangan kesadaran, atau waktu kehidupannya akan berakhir!"
"Apa maksudnya? Bagaimana bisa Anda berkata seperti itu terhadap pasien Anda sendiri?"
"Seperti itu keadaannya, kondisinya bukan sesuatu yang bisa disepelekan!"
Levin mengernyit, apa bisa yang dimengertinya dari kalimat semacam itu. Dokter mengangguk dan menjelaskan semuanya pada Levin, tentang bagaimana Metta bisa masuk di Rumah Sakit tersebut, tentang Renata yang meninggal, dan kondisi Metta saat ini.
"Dia seorang diri?"
Dokter mengangguk, dulu setelah bertahun-tahun, ayah Metta juga meninggal di Rumah Sakit tersebut. Disusul oleh mamanya empat hari lalu, dan sekarang tersisa Metta dengan perawatan ditangan dokter yang sama.
"Depresi bisa merusak semuanya, jika terus seperti itu kejiwaannya yang akan rusak."
"Lalu harus bagaimana?"
"Maaf, tapi Anda siapa?"
Levin diam, siapa Levin dan apa yang harus dikatakannya pada dokter itu. Mereka baru saja bertemu hari ini, belum ada perbincangan apa pun untuk saling mengenal.
"Anda yang bernama Levin?"
"Benar, bagaimana Dokter tahu?"
Sudah jelas semuanya, Metta memenuhi keinginan Renata untuk menemui lelaki itu. Dokter tersebut tersenyum seraya mengangguk, sekilas menepuk pundak Levin dan meremas nya juga.
"Kau yang diandalkan menjaga Metta, bukan?"
"Diandalkan?"
Dokter kembali berbicara kalimat panjang, perihal nasihat dan permintaan Renata pada Metta tentang sosok Levin. Levin yang mendengar itu jadi teringat kembali dengan sosok papinya, mereka memang sudah membuat kesepakatan itu dengan sempurna, dan Metta juga tahu tentang itu.
"Metta tidak percaya dengan keyakinan Mamanya, sehingga dia memilih menyerah atas hidupnya. Hidup bersama orang asing tak akan bisa membuatnya bahagia, bahkan Mamanya bilang jika hanya Anda yang bisa menjaganya selayaknya orang tua Metta sendiri."
"Dia berbicara seperti itu?"
"Tentu saja, tapi itu omong kosong bagi Metta, tidak ada yang dipercayanya atas kalimat tersebut, dan berakhir dengan kondisinya seperti saat ini!"
Levin mengusap bibir hingga dagunya, benar-benar sama persis seperti apa yang dikatakan papinya dulu. Hanya Metta yang akan mengerti dan bisa membahagiakan Levin, benarkah keyakinan orang tua itu, jika pada kenyataannya Levin dan Metta tidak pernah mengenal sebelumnya.
"Jika tidak sakit, jika kondisinya normal dengan kesehatan sepenuhnya, dia sangatlah cantik!"
"Apa maksudnya?" tanya Levin seraya tersenyum.
"Anda akan menyukainya setelah mengenalnya meski sedikit saja."
Levin kembali tersenyum, tidak ada yang jadi harapannya saat ini. Semua terlalu tiba-tiba, Levin tidak menyangka jika pertemuannya dengan Metta akan seperti keadaan saat ini.
Percakapan panjang itu telah usai, kini Levin telah berdiri di samping Metta. Mata itu terpejam, wajah pucatnya masih sama saja, kasihan sekali melihat Metta seperti itu. Levin yang hanya kehilangan papi dulu sudah nyaris gila, bagaimana lagi dengan Metta yang kehilangan kedua orang tuanya sekarang.
"Orang tuamu dan orang tuaku, mereka begitu percaya jika kita bisa saling menjaga, apa aku bisa percaya padamu? Atau mungkin, apa kau bisa percaya padaku?"
"Jangan terlalu berfikir, pergilah!" sahut Metta tanpa terduga.
Levin melihat sekitar, rupanya wanita itu sudah sadar sekarang, apa Levin perlu memanggil dokter.
"Kita sudah saling bertemu, aku sudah menemuimu sesuai permintaan Mama, jadi pergilah!"
"Istirahatlah, kita akan bicara banyak setelah kamu pulih!"
"Aku tidak akan pulih, pergilah jangan berharap apa pun dari keadaan ini, kecuali kau berharap aku mati!"
Levin diam, benarkah yang didengarnya barusan. Memang tidak ada semangat lagi di wajahnya, sorot matanya pun hanya menggambarkan keputus asaan saja.
"Ayahmu sudah menyelamatkan ayahku di masa lalu, aku berjanji akan membayarnya."
"Apa itu hutang jasa? kau bisa membayarnya dengan menguburkan jasadku beberapa waktu lagi, hutangnya selesai!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments