Suster itu berjalan mendekati kursi di halaman belakang Rumah Sakit, Suster Tiara yang difokuskan untuk merawat Metta di tempat tersebut.
"Metta, ayo makan!" ucapnya lembut.
Untuk kesekian kalinya, Metta menjatuhkan nampan berisikan makanan itu. Empat hari setelah kepergian Monica, Metta tak sekali pun makan atau sekedar minum. Kondisinya semakin memburuk karena depresi kehilangan tersebut, Metta sudah 3 minggu di Rumah Sakit yang berawal karena kecelakaan mobil yang dialami bersama Renata.
"Metta, sampai kapan kamu seperti ini? Mama kamu tidak akan senang jika kamu seperti ini!"
"Aku juga tidak senang dengan Mama yang pergi begitu saja!"
"Jika takdirmu masih untuk di dunia maka itu yang harus kamu jalani! Jangan menyerah karena keadaan, semakin kamu menyerah akan semakin berat juga dunia mengujimu, Metta!"
"Lalu kenapa aku tidak mati saja?"
Tatapan kosong Metta tidak pernah berubah selama 4 hari terakhir, Metta memang bisa diajak bicara, tetapi tidak lantas bisa bertatapan dengannya. Penampilannya sangat menyedihkan, Metta bahkan menolak untuk membersihkan diri selama 4 hari, Metta hanya menangis saja sepanjang harinya.
"Metta, bagaimana kalau kita temui orang itu?"
"Temui Mama?"
"Tidak! Temui orang yang menjadi pesan terakhir Mama."
Metta tak menjawab, apa guna semua itu, Metta tidak mengenalnya sama sekali. Metta tidak membutuhkannya dan mungkin begitu juga dengan orang tersebut, siapa mereka? bukan siapa-siapa untuk satu sama lain.
"Metta, jika kamu terus terpuruk seperti ini, keadaan tidak akan pernah berubah!"
"Lalu kalau aku kembali bangkit, apa Mama bisa kembali padaku juga?"
"Metta, kamu pintar untuk mengerti semuanya. Tidak ada kuasa Tuhan yang bisa kamu tentang, kesempatan hidup setiap orang berbeda, keadaan, nasib dan takdir setiap orang berbeda, kamu paham itu."
Tak ada jawaban, Metta hanya mau mamanya kembali dan kalau bisa papanya pun ikut kembali. Metta tidak menginginkan orang lain, Metta hanya inginkan mereka berdua dalam hidupnya dan diselama hidupnya. Tiara menggeleng dan memutar kursi rodanya, mendorong perlahan untuk membawa Metta kembali ke ruang rawatnya.
"Dia mau makan?" tanya dokter yang berpapasan.
"Tidak! Dia kembali membuang makanannya."
Dokter mengangguk dan sempat menatap Metta, tapi saat ini ia harus menangani pasien lainnya, hingga akhirnya ia pergi dan membiarkan suster merawat Metta.
"Foto ini sudah jadi awal untuk kelanjutan hidupmu, Metta."
Metta menoleh dan melihat foto yang diberikan Renata kala itu, foto yang di belakangnya terdapat tulisan yang menjadi PR untuk Metta. Tiara tersenyum, ia teringat jika ia menikah juga atas perjodohan orang tuanya, dan hasilnya sungguh manis, pilihan orang tuanya adalah kebahagiaan untuk Tiara sampai detik ini.
"Metta, keputusan Mama adalah keputusan Tuhan. Kalau kamu tidak percaya itu, lalu kamu akan percaya pada apa dan siapa?"
"Orang asing tidak menjamin apa pun!"
"Kamu tidak akan tahu jika tidak mencoba, Metta kamu terpuruk karena merasa tidak memiliki teman lagi. Dan orang yang dimaksud Mama kamu adalah pilihan untuk temanmu, bagaimana bisa kamu tidak percaya itu?"
Kalimat demi kalimat panjang itu disampaikan Tiara dengan penuh kesabaran, Metta terlalu putus asa untuk hidupnya sendiri sehingga tidak bisa melihat apa yang masih mungkin terjadi suatu hari ini. Hal baik akan selalu berdampingan dengan hal buruk, dan begitu juga sebaliknya, Tiara hanya ingin pasiennya itu tidak menyia-nyiakan kesempatan hidupnya yang masih ada.
Hasil akhirnya, Tiara membawa Metta meninggalkan rumah sakit untuk mendatangi alamat yang tertulis difoto. Sepanjang perjalanan keduanya hanya terdiam, berulang kali Tiara mengajak Metta berbicara akan tetapi tidak mendapatkan jawaban.
"Anugerah Grup," ucap sopir taxi.
"Benar, Pak," sahut Metta.
"Silahkan, ini tempatnya."
Tiara melihat bangunan di sana, benar sekali, tingga dan benar-benar menggambarkan Perusahaan sukses. Dengan bantuan sopir, Tiara biasa memindahkan Metta ke kursi roda dan membawa memasuki Perusahaan tersebut.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" sambut resepsionis di sana.
"Kami mau bertemu dengan Levin Anugerah."
"Sudah ada janji sebelumnya?"
"Tidak, tapi ini sangat penting, tolong sampaikan saja padanya."
"Atas nama siapa?"
"Metta."
Resepsionis itu mengangguk dan meraih teleponnya, berulang kali ia melirik Metta yang duduk di kursi roda. Ingin sekali ia bertanya tentang siapa wanita itu, kenapa menyedihkan sekali dalam pandangnya. Dan lagi ada urusan apa mereka dengan pimpinan Perusahaannya, apakah mungkin jika pimpinannya itu melakukan kesalahan fatal atas wanita tersebut.
"Baik, Pak," ucapnya kembali menutup telepon.
"Bagaimana?" tanya Tiara.
"Tunggu saja, Beliau akan turun sebentar lagi karena ada urusan di luar Kantor."
"Baik, terimakasih!"
Tiara melihat sekitar, apakah bekerja di kantoran seperti itu lebih menyenangkan dari pada di Rumah Sakit. Tiara melihat mereka yang tampak menikmati kesibukannya itu, terlihat lebih santai sepertinya pekerjaan mereka.
"Itu Pak Levin," ucap resepsionis memecah fokus Tiara.
Sesosok lelaki di sana terlihat begitu rupawan, dengan tubuh tinggi tegap, dan langkah kaki yang begitu berwibawa.
"Metta, itu orang yang harus kamu temui," ucap Tiara.
Metta menoleh bersamaan dengan resepsionis itu yang melirik Metta, Levin terlihat berbincang dengan seorang wanita ditengah langkahnya. Hingga akhirnya keduanya terhenti sebelum sampai di hadapan Metta, Levin menunjuk salah satu arah di ruangan luas tersebut, dan si wanita itu mengangguk saja mendengarkan kata demi kata yang dilontarkan Levin.
"Menurut saya, itu tidak terlalu buruk."
Metta hanya diam memperhatikan Levin di sana, memang asing, Metta tidak pernah melihatnya sama sekali sebelum hari ini.
"Pak Levin," panggil resepsionis itu.
Levin menoleh dengan tangan yang masih terangkat menunjuk tempat yang sama, sekilas Levin melirik Metta dan suster itu, kemudian berbicara lagi dengan wanita di sampingnya hingga memintanya pergi lebih dulu. Levin kembali melirik dua orang itu, siapa mereka, Levin tidak memiliki janji dengan orang baru untuk hari ini.
"Ini tamunya, Pak," ucap resepsionis setelah Levin menghampiri.
"Untuk urusan apa?" tanya Levin.
Tiara justru melirik Metta tanpa berkata apa pun, begitu juga dengan dua orang itu. Metta mengangkat tangannya yang bergetar tak bertenaga, memberikan foto yang didapatkannya dari Renata pada Levin.
Tanpa ragu Levin menerimanya, Levin sedikit terkejut ketika tangan itu terkulai lemah dan Metta yang memejamkan matanya kuat. Setelah melihat foto yang diterimanya, raut wajah Levin berubah, entah reaksi apa yang ditunjukkannya itu. Dengan cepat Levin membuka dompetnya da mengambil foto yang ukurannya lebih kecil, foto yang sama seperti yang Levin simpan di dashboard mobilnya, dan foto yang sama seperti yang diberikan Metta.
"Kamu datang hari ini," ucap Levin bergetar.
Metta hanya diam, kenapa mata lelaki itu terlihat memerah, genangan air mata jelas terlihat di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments