Takdir Cinta
Air mata yang mengalir deras melintas di pipi mulus Metta seolah tak akan pernah surut, ketika baru saja Metta memejamkan mata, suster dengan tergesa memasuki ruangan rawatnya dan mengatakan jika mamanya kritis.
Tak mau mendengar kalimat lain lagi, Metta segera bangkit hingga terjatuh di lantai karena kakinya yang memang lemah. Suster itu membantunya bangkit dan duduk di kursi roda, dengan tidak sabar, Metta meminta suster itu mendorong kursi rodanya dengan cepat.
"Ini terlalu lambat, apa Suster tidak mengerti?" tanya Metta jengkel.
Ketika sampai di ruang ICU, Metta melihat dokter dan mamanya di sana. Renata yang terbaring di ranjang itu sudah sangat lemah, bahkan untuk berkedip pun sudah sangat kesulitan.
"Mama, ada apa? Mama kenapa? Katakan mana yang sakit, biar Dokter obati segera!" ucap Metta bergetar.
Disisa tenaga yang ada, wanita itu meraih tangan Metta, tak ada tenaga sama sekali, karena kenyataannya Metta yang menggenggam erat tangan lemah itu.
"Mama mau apa? Mau minum? Tolong ambilkan minum!" pinta Metta pada suster di sampingnya.
"Diamlah!" ucap Renata terbata.
"Kenapa? Ada apa?"
"Bawalah ini!"
Metta melihat satu tangan Renata yang lain yang memberinya selembar kertas kecil, setelah diraih, ternyata itu ada foto Metta sewaktu kecil.
"Lihatlah tulisan di belakangnya, setelah Mama tidak ada, kamu harus datangi tempat itu dan cari pemilik nama tersebut!"
Metta membalik fotonya, memang ada tulisan di sana, seperti alamat perusahaan yang pernah Metta ketahui sebelumnya. Tapi Metta tidak tahu pemilik nama yang tertulis, tapi masa bodoh dengan itu untuk saat ini.
"Metta, waktu Mama untuk menemani kamu sudah selesai sekarang."
"Jangan berbicara seperti itu!"
"Jadilah wanita kuat, doakan Mama agar bisa bertemu dengan Papa kamu di sana!"
"Nggak! Diamlah! Dokter akan menyembuhkan Mama!"
Tangis Metta semakin menjadi, bagaimana bisa mamanya berkata seperti itu. Benarkah wanita itu tega membiarkan Metta hidup sendirian, setelah papanya meninggal, hanya Renata yang dimiliki Metta. Akan seperti apa jika Metta kehilangan keduanya sekarang, Metta tidak akan bisa bertahan hidup tanpa orang tuanya itu.
"Jangan menangis! Dengar, orang yang akan kamu temui ini, dia akan menjaga dan menyayangimu persis seperti Mama dan Papa selama ini! Jaga dia, jangan pernah kecewakan dia! Kamu wanita baik, kamu hanya boleh menunjukan sikap dan sifat baikmu saja terhadapnya!"
Metta menggeleng, sesaat Metta menunduk dengan mata yang terpejam kuat. Tidak ada yang mau didengarnya lagi, bagaimana mungkin orang asing bisa menyayangi Metta persis orang tua kandungnya sendiri.
"Metta, terimakasih sudah jadi Anak yang baik, tetaplah seperti itu agar Tuhan selalu menjagamu setiap saat sepanjang hidupmu!"
"Apa Mama tidak bisa diam? Mama akan lelah jika terus berbicara, lebih baik Mama istirahat agar cepat pulih!"
Renata tersenyum, tangan yang bergetar itu perlahan menyentuh pipi Metta. Anak gadisnya sudah berusia 23 tahun sekarang, anak gadisnya sudah tahu perbedaan salah benar, baik dan buruk. Renata tidak bisa untuk tidak mempercayai anak gadisnya dalam hal apa pun, bahkan meski Renata harus pergi sekarang, Metta pasti akan baik-baik saja dengan hidupnya.
"Mama sayang Metta, setelah ini berikan kepercayaan Metta pada orang yang akan Metta temui, jangan ragu jika Metta percaya Mama dan Papa tidak akan membuat Anaknya terluka!"
Kalimat itu nyaris tak terdengar, kalimat terakhirnya yang dibarengi dengan tangan lemah itu terkulai begitu saja, dengan mata yang terpejam begitu saja, dan garis monitor detak jantung yang menunjukan garis lurus.
"Nggak! Mama! Mama bangun! Dokter, ada apa ini?" tanya Metta panik.
Sesaat Dokter memeriksa untuk memastikan semuanya, tapi memang sudah takdirnya, Renata tak lagi bisa diselamatkan. Jerit histeris Metta begitu menggema di ruangan tersebut, Metta berontak saat suster berusaha menenangkannya. Berulang kali Metta mengoyak tubuh Renata, berharap wanita itu terganggu dan kembali membuka matanya.
"Mama!" jeritnya hingga semua berubah gelap dan Metta ambruk seraya memeluk Renata.
"Bawa! Cepat bawa dia kembali ke kamar rawatnya!" ucap Dokter yang mengembalikan Metta ke kursi rodanya.
"Pastikan dia baik-baik saja!"
"Baik Dokter, permisi."
Dalam keadaan tak sadarkan diri, Metta kembali dibaringkan di ranjang rawatnya seperti biasa. Mereka membantu mengurusi jenazah Renata, karena mereka tahu jika pasiennya itu hanya hidup berdua saja selama ini.
Semalaman Metta tak henti menangis setelah sadar dari pingsan, semalaman juga Metta menemani jenazah Renata. Hingga pagi menjelang siang pemakaman telah siap, Metta bersama beberapa petugas Rumah sakit ikut mengantarkan jenazah Renata.
"Bagaimana bisa kalian tinggalkan aku sendiri seperti ini?"
Metta nyaris pingsan lagi ketika melihat jenazah mamanya terbaring diliang lahat sana, bisakah Metta ikut saja dengan Renata. Lemah sekali Metta saat ini, dadanya terasa sesak, ini lebih sakit dari sewaktu ditinggalkan papanya dulu.
"Mama," panggil Metta lemah.
Kedua tangannya mengepal tanpa kekuatan, apakah Tuhan jahat padanya? Atau ini justru salah satu kebaikan Tuhan untuknya?. Metta tidak mau kehilangan mama setelah kehilangan Papa, tapi kenapa hal seperti ini yang terjadi.
"Metta," panggil suster.
"Tidak, Mama tidak boleh pergi seperti ini!"
"Kamu harus kuat, ingat pesan Bu Renata!"
"Seharusnya Tuhan kembalikan Papa, bukan justru mengambil Mama juga!"
Suster mengusap kedua pundak Metta yang hanya bisa duduk di kursi roda itu, memang sedih dan pasti terluka dengan apa yang dialami Metta saat ini. Tapi sudah seharusnya seperti itu, takdir tidak bisa diubah meski seberapa keras manusia memaksa merubahnya juga.
"Mama," gumamnya seraya menunduk.
Kini galian tanah itu kembali padat, jenazah itu tak terlihat lagi, bahkan taburan bunga sudah memenuhi kuburan tersebut. Metta benar-benar tak bisa berfikir, Metta masih berharap jika keadaannya saat ini hanya mimpi, Metta akan segera terbangun dan kembali memeluk mamanya itu.
"Ini tidak adil, kenapa Tuhan jahat sekali!"
"Tidak boleh seperti itu, Metta. Hidup atau mati seseorang sudah ditentukan!"
Tak ada jawaban, Metta benar-benar hilang akal, bagaimana Metta melanjutkan hidup setelah pemakaman ini. Siapa yang membantu dan melindunginya ketika kesulitan, siapa yang akan mendengarkan keluh kesah Metta jika pendengar terbaik dalam hidupnya telah meninggalkannya untuk selamanya.
"Bisakah Dokter menghilangkan nyawaku juga?"
"Metta, hidupmu akan lebih berarti setelah ini!"
"Tidak! Aku hanya akan menderita setelah ini!"
Suster menggeleng, wajah pucat itu, kelopak mata sembab yang nyaris menutupi bola matanya itu, lemah tubuhnya ditambah dengan air mata yang tak kunjung surut, sangatlah menyakitkan. Hidup sebatang kara mungkin akan cukup menyulitkan, tapi Metta tidak bisa melawan takdir, Metta hanya perlu menerima dan terus menjalani kehidupannya dengan segala teka-teki yang telah Tuhan siapkan untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments