Setelah menghangatkan champurrado yang beberapa saat tadi Valir berikan, Lenka membawa bubur tersebut ke dalam kamar Airen. Mengetuk beberapa kali daun pintu berwarna putih di hadapannya, Lenka mendengar seruan sang majikan dari dalam.
“Masukklah Lenka, aku tidak menguncinya.” Ujar Airen mempersilahkan Lenka masuk, tadi Valir sudah berpesan jika bubur yang pria itu beli sudah dititip kepada Lenka.
Memutar handle pintu hingga benda tersebut terbuka, Lenka mengayunkan langkah memasuki kamar sang majikan. Manik perempun itu membeliak sempurna saat ia mendapati Airen terbaring lemah di atas ranjang dengan separuh tubuh dibalut selimut.
“Nyonya, apa yang terjadi?” Menaruh champurrado yang ia bawa ke atas nakas, Lenka segera meletakkan tangannya di atas kening Airen. “Tubuhmu sangat dingin Nyonya, ki—kita harus ke rumah sakit.” Ujar Lenka penuh rasa khawatir. Kehilangan Ayah dan Ibunya disebabkan sakit—penyakit, membuat perempuan itu tak mau kejadian buruk terjadi pada Airen.
“Aku baik-baik saja Lenka, aku hanya sedikit kelelahan.” Suara parau Airen membuat Lenka menggeleng samar, dia tidak percaya jika kondisi sang majikan baik-baik saja sebab wajah perempuan cantik di hadapannya itu tampak pucat.
“Bukankah akan lebih baik jika dokter memeriksa kondisi Nyonya? Mungkin Nyonya juga memerlukan beberapa vitamin untuk mempercepat pemulihan dari rasa lelah.” Ujar Lenka berusaha membujuk Airen.
“Terimakasih sudah mengkhawatirkanku. Tapi percayalah, aku akan segera pulih Lenka.” Menolak dengan halus permintaan Lenka, Airen justru menyingkap selimut yang ia pakai dan beranjak bangun dari ranjang. Dia mengambil champurrado yang terletak di atas nakas.
“Kau sudah sarapan, Lenka?” Mengabaikan kekhawatiran Lenka terhadapnya, Airen kini sibuk menyantap champurrado dengan lahapnya.
Sempat tertegun melihat cara Airen memasukkan suapan demi suapan bubur ke dalam mulut perempuan itu, Lenka bisa memastikan jika Airen sangat menikmati champurrado tersebut.
“A—aku sudah makan dari rumah. Kalau begitu, aku izin pamit untuk kembali bekerja. Jika ada yang Nyonya Airen butuhkan, segera panggil aku.” Ujar Lenka undur diri. Dia dapat melihat wajah Airen kini menjadi cerah setelah sarapan yang ia berikan ludes dalam sekejap dibuat sang majikan, “mungkin Nyonya sedang kelaparan.” Batinnya.
Airen mengangguk, mempersilahkan Lenka meninggalkannya seorang diri.
Dengan langkah pelan, Lenka berjalan menuju taman belakang. Sesampainya disana, dia segera menyiram bunga lily kesayangan Airen. Di tengah kesibukannnya sekarang, dalam benak perempuan itu masih saja memikirkan perihal champurrado yang Airen makan.
“Apa kepala pelayan salah menyebutkan makanan yang tidak disukai Nyonya Airen? Buktinya tadi beliau sangat menikmati bubur manis itu. Atau aku perlu bertanya lagi kepada kepala pelayan.” Kebingungan itu terus bercokol di pikiran Lenka, takut jika ia membuat kesalahan. Menyajikan makanan yang tidak disukai Airen nantinya tentu akan membuat sang majikan kecewa, sedangkan dia sudah berjanji akan melayani perempuan itu dengan sangat baik sebab Airen sudah banyak membantu keluarga mereka.
***
Lenka baru saja selesai memasak makan malam untuk Airen. Sebelum pulang, dia memutuskan menemui sang majikan untuk bertanya terkait makanan yang tidak disukai perempuan itu.
Kembali Lenka mengetuk pintu kamar Airen.
Jika tadi pagi Airen segera memintanya masuk, kali ini tidak ada sahutan dari perempuan itu meski Lenka sudah berkali-kali mengetuknya bahkan menyerukan nama sang majikan.
“Nyonya Airen!!” Seru Lenka, tetap tak ada sahutan dari dalam. Karena rasa khawatir, Lenka memberanikan diri membuka pintu kamar Airen.
Pintu terbuka sempurna, Lenka tidak menemukan sang majikan di dalam sana. Tampak gulungan selimut tergeletak di lantai kamar.
“Nyonya!” Kecemasan menghiasi wajah Lenka. Tak berhenti, dia terus memanggil sang majikan. Sedari pagi Airen tak kunjung menampakkan diri, perempuan itupun tadi meminta agar makan siangnya diantar oleh kepala pelayan ke dalam kamar. Hal tersebut membuat Lenka semakin khawatir, menebak jika kondisi sang majikan belum membaik.
Mengayunkan langkah menuju kamar mandi, Lenka berharap menemukan Airen disana. Tapi nihil, sosok yang Lenka cari tidak ada. Tak mendapati Airen di dalam kamar mandi, Lenka justru dikejutkan dengan sebuah testpack yang tergeletak di sisi cermin.
Meraih benda yang biasa digunakan untuk melihat kehamilan, tubuh Lenka bergetar hebat melihat dua garis merah di testpack tersebut.
“Apakah wajah pucat Nyonya Airen tadi pagi disebabkan oleh kehamilan beliau? Dan champurrado itu— Nyonya sedang mengidam?” Batin Lenka, sampai sebuah suara yang sangat ia kenal memenuhi indra pendengaran perempuan itu. Membuat seluruh otot kakinya melemas, dia seperti kehilangan pijakan.
“Lenka.”
Belum hilang keterkejutannya, Lenka dibuat panik ketika melihat Airen berdiri di ambang pintu. Testpack yang ia pegang sampai terjatuh dari genggaman perempuan itu.
“Nyo—nya, ma—maafkan aku.” Ujar Lenka lirih. Dia menundukkan pandangan, perempuan itu tak berani menatap Airen. Dia merasa bersalah karena sudah lancang masuk ke dalam kamar sang majikan tanpa izin.
Mendekat ke arah Lenka, Airen meraih tangan perempuan itu.
“Kau sudah mengetahuinya?” Tanya Airen, tak ada nada kemarahan dari pertanyaan perempuan itu.
“Maafkan aku.” Lenka memberanikan diri menatap Airen, manik perempuan itu membola saat mendapati sang majikan tersenyum selebar wajah kepadanya.
“Maukah kau menemaiku ke rumah sakit? Aku perlu memastikan.” Pinta Airen, perempuan itu seakan tidak mempermasalahkan keberadaan Lenka di dalam kamar miliknya.
Lenka mengangguk dengan cepat, “dengan senang hati, Nyonya.” Ujar Lenka. Sikap ramah sang majikan dia artikan sebagai pemberian maaf padanya.
"Tapi aku ingin kita pergi dengan menggunakan gaun yang sama. Kau mau, Lenka?"
Kembali Lenka menyanggupi permintaan Airen, ia mengira sang majikan sedang mengidam.
Sesaat setelah Lenka mengenakan gaun yang diberikan Airen padanya, mereka pun bersiap untuk pergi.
***
“Apa Nyonya yakin kita pergi berdua? Bukankah lebih baik jika supir mengantar kita?” Tanya Lenka sebab Airen mengatakan akan mengemudikan mobil tanpa sang supir. Langit sudah menggelap. Gerimispun mulai turun, memercikkan tetesan air ke atas tanah yang sempat berdebu. Lenka menduga, hujan deras akan menerpa perjalanan mereka nanti. Bukankah akan lebih aman jika sang supir ada bersama mereka?
“Aku ini pengemudi handal, Lenka. Kau tidak perlu cemas,” Airen masih sempat berseloroh. “Ayo, kau tidak berubah pikiran dan memutuskan untuk tinggal ‘kan?” Tanya Airen saat melihat Lenka belum beranjak dari pijakannya.
“Tidak, Nyonya.” Ujar Lenka cepat, ia segera mengikuti langkah panjang Airen yang sudah berjalan lebih dulu.
Setelah berada di halaman depan, kedua perempuan berkulit putih itu secara bersamaan masuk ke dalam mobil berwarna silver. Airen mengambil kemudi, dia menjalankan roda empat tersebut setelah seatbelt yang mereka pakai terpasang sempurna.
Airen terlihat fokus mengemudi, sedangkan Lenka memilih menatap keluar jendela. Menyaksikan serpihan hujan yang kini mulai membasahi kaca jendela mobil sang majikan, pandangan Lenka kini tak bisa menembus keluar dengan jelas. Dia menjadi tidak leluasa melihat kondisi jalanan yang mereka lewati.
“Ehm, Lenka. Kapan kau berencana menikah dengan kekasihmu? Maksudku, apa kau sudah menjawab lamaran pria yang menyematkan cincin di syalmu?” Pertanyaan Airen membuat Lenka terdiam beberapa saat.
Kesalahpahaman itu ternyata masih berlanjut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
muna aprilia
lnjut
2024-03-02
0