Mimpi

Ibu Sara meneteskan air mata ketika motor yang dikendarai Robin dan Naya menghilang dari pandangannya. Ia sangat sedih melihat hubungan anaknya yang sedang tidak baik-baik saja dan ia hanya mampu berdoa kepada Tuhan agar Naya diberi kesabaran dan Robin akan memaafkannya.

Hampir tiga puluh menit Ibu Sara duduk di bangku kayu yang ada di dapur. Air matanya semakin deras saja membayangkan anak perempuannya yang akan hidup di tengah-tengah keluarga lain. Ada mertua dan tentunya kakak atau adik ipar.

"Kenapa Mama menangis?" tanya Pak Rusdi yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang membuat istrinya kaget lalu cepat-cepat mengeringkan air mata di wajahnya dengan sarung lusuh yang ia kenakan.

"Nggak apa-apa Pa, hanya terbawa perasaan karena Naya dan suaminya sudah pergi.

"Ohh, itu masalahnya, nggak usah terlalu dipikirin, toh, dia pergi dengan suaminya!"

Ibu Sara mengangguk lalu bergegas menyiapkan makanan buat suaminya.

Pak Rusdi pergi ke sawah ketika hari masih gelap dan pulang ke rumah bila tiba saatnya untuk makan siang.

Ibu Sara tidak memberitahu bahwa ada masalah yang sedang terjadi dengan anaknya karena ia tidak mau suaminya akan ikut kepikiran.

"Apa isinya kotak itu, Ma?" tanya Pak Rusdi usai makan sambil menunjuk ke arah kotak yang ada di rak piring.

Ibu Sara meraih kotak tersebut yang dibawa oleh Leo tadi. Ternyata isinya adalah kue kesukaan Naya. Sayangnya, Naya tidak sempat menikmati kue tersebut karena keburu berangkat ke kota

"Silahkan dinikmati Pa, tadi Nak Leo yang datang kemari dan membawa kue ini,"

"Leo?"

"Iya Pa, itu loh, anaknya Ibu Jasmin, teman Naya sejak dari kecil, sekarang dia udah gede dan tampan. Tadi Saya nggak mengenalinya.

"Oh, iya, sekarang saya ingat,"

Pak Rusdi menikmati kue tersebut dengan lahap, sementara istrinya kembali teringat kepada Naya membuat matanya berkaca-kaca.

***

Sepanjang perjalanan menuju ke kota, Robin dan Naya saling diam membisu bahkan Robin mengendarai motornya terbilang ngebut di jalanan yang berbatu membuat Naya harus berpegangan kuat pada jaket yang dikenakan oleh suaminya itu. Ingin protes tapi takut jika Robin semakin emosi akhirnya ia pasrah saja dan sesekali memejamkan mata ketika tubuhnya terangkat dari sadel motor.

Tiba dari kampung, keduanya disambut ramah oleh orang tuanya serta Rien dan Rara, adik iparnya namun Robin masih menampakkan wajah muram membuat ayah, ibu, dan adik-adiknya heran.

Naya berusaha menampakkan wajah yang biasa-biasa saja meskipun tatapan suaminya terlihat sinis.

"Ibu sudah siapkan kamar buat kalian," kata Ibu Noni sambil menggandeng tangan Naya dan menunjukkan kamar yang dimaksud.

"Waoww, cantik sekali!" ucap Naya.

Sementara itu Robin masuk mendahului istrinya dan langsung menghempaskan tubuhnya di tempat tidur yang empuk.

"Kok, kamu kelihatan kurang bersemangat?" tanya ibunya kepada Robin.

"Capek, Bu," sahut Robin singkat.

"Kalau begitu, kalian makan dulu baru istirahat!" kata Ibu Noni.

Ia mengajak Naya ke dapur dan di sana sudah ada ayah mertua bersama adik-adik ipar sudah menunggu.

Aneka makanan yang enak-enak tertata rapi di atas meja dan baunya yang harum sangat menggugah selera. Ibu Noni sengaja menyiapkan makanan yang sepesial untuk menyambut anak dan mantunya.

Ketika mereka semua sudah berkumpul, Pak Melki membaca doa lalu mereka makan bersama dengan nikmat.

Usai makan mereka masih berbincang-bincang, kecuali Robin yang sudah pamit lebih dulu untuk ke kamar dengan alasan ingin cepat-cepat istirahat karena capek sedangkan Naya bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Silahkan istirahat dulu, Naya!" ujar Pak Melki yang melihat anak mantunya tampak gelisah setelah beberapa lama duduk di ruang tengah.

"Iya Pak, terima kasih!" ucap Naya dengan sopan lalu beranjak dari duduknya dan masuk ke kamar dengan perasaan yang tidak menentu.

Di tempat tidur ia melihat suaminya sedang tidur dan ia pun perlahan dan sangat hati-hati merebahkan tubuhnya.

Tiba-tiba rasa sedih datang menghampiri. Ia pun terisak-isak karena merasa sangat asing di tempat tersebut.

Robin yang hanya pura-pura tidur merasa terganggu dengan suara Isak tangis istrinya.

"Kenapa tadi kamu nggak bilang kalau masih mau tinggal di kampung karena belum puas bertemu dengan laki-laki yang bernama Leo itu? Pake acara nangis lagi,"

Naya makin terisak mendengar ucapan sang suami.

"Seandainya saya tahu bahwa ternyata kamu punya kekasih di kampung, pasti saya enggan melamar dan menjadikan kamu sebagai istri, kirain gadis polos yang belum pernah pacaran, ternyata...," sambung Robin lagi.

"Cukup, asal Kakak tahu, Kakak adalah cinta pertamaku dan saya nggak punya hubungan apa-apa dengan Leo, dari kecil kami berteman dan bersahabat, jadi Kakak jangan asal nuduh aja!" ucap Naya dengan air mata yang masih mengalir di pipi.

"Katanya teman, tapi pelukan di depan suami,"

"Ya, udah kalau Kakak nggak percaya,"

Robin masih mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Naya hingga ia capek sendiri lalu tertidur.

"Naya! Naya! Jangan pergi! Jangan pergi! Mohon, jangan tinggalkan saya! Naya! Naya!"

Naya yang tertidur lelap karena lelah menangis terbangun oleh suara Robin yang mengigau dan dengan ragu ia menggoyang-goyang tubuh suaminya hingga terbangun.

"Sepertinya Kakak sedang mimpi," kata Naya sambil menatap wajah suaminya yang penuh peluh.

Robin termenung dan memikirkan mimpi yang baru saja ia saksikan dalam tidurnya. Dalam mimpi tersebut, ia berpura-pura mengusir Naya dari rumah karena pikirnya tidak mungkin perempuan itu akan pergi, tidak mungkin Naya berani meninggalkan segala kemewahan yang ia sudah dapatkan di rumah ini. Tidur di kasur empuk dan selalu makan makanan yang enak, namun dalam mimpinya itu ia Naya benar-benar pergi setelah ia memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam tas. Tampak ayah dan ibu mertua menghalangi bahkan Iren dan Rara mencoba memegang tangannya dan menahan agar Naya tidak pergi tapi tampaknya perempuan itu sudah terlalu sakit dan kesabarannya sudah habis hingga hanya satu kali hentakan, tangannya sudah lepas dari genggaman kedua adik iparnya dan ia segera berlalu. Bersamaan dengan itu sebuah mobil lewat dan berhenti di depannya. Naya segera naik dan mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi. Saat itulah Robin berteriak-teriak memanggil-manggil nama Naya.

Naya kaget karena tiba-tiba Robin berbalik dan menatap wajahnya dengan lekat sambil meraih tangannya lalu menggenggam erat.

"Maafkan saya, Naya!"

Naya yang merasa masih sakit hati karena kata-kata suaminya masih terngiang-ngiang di telinga tidak segera menjawab. Ia pikir, semudah itukah Robin meminta maaf setelah menorehkan luka yang tidak berdarah di hatinya?

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!