Penduduk yang hening berubah menjadi seruan menggila akan ketakutan. Jeritan bising memenuhi desa kecil itu. Kaca raksasa yang berkilau di langit pecah. Seperti hujan kristal menghujam tiada ampun. Jeritan yang tak berlangsung lama, sebab dalam sekejap hujan kristal bak peluru itu menerjang seisi desa.
Tempat damai dan indah itu hancur. Mayat-mayat bergelimpangan. Rumah-rumah kayu roboh. Lenyap sudah kebisingan, kepanikan dan ketakutan itu. Sebab lenyap pula nyawa mereka. Malapetaka baru, yang tak pernah terdengar dari sejarah turun temurun desa Hyacinth.
Embusan napas lenyap sudah. Pedesaan tepi tebing dan ujung hutan telah tamat. Kecuali tangan mungil yang bergerak-gerak meraih sebuah apel yang tidak terlihat lagi bentuknya. Tubuh gadis itu terasa hancur. Anehnya, ia masih bertahan hidup.
"Apel, Yolaine," ucapnya lemas.
Deru napasnya berat. Terlalu cepat semua terjadi. Disaksikannya tubuh-tubuh bergelimang kaku di mana-mana. Dengan darah-darah bersimbah. Pecahan-pecahan kristal masih menancap.
Lama sekali Finley menyadari, bahwa ada kejanggalan di sana. Tubuhnya mati rasa berjam-jam. Itu yang membuatnya sulit untuk berpikir. Namun, akhirnya ia bisa bergerak juga. Pada saat itulah ia menyadari beberapa hal.
Tak ada satupun pecahan kristal yang menusuk tubuhnya. Luka-luka pun tak ada. Sekali pun sekujur tubuhnya dipenuhi darah. Rasa sakit itu juga telah hilang. Menyisakan perasaan bingung bercampur cemas akan keadaan keluarganya. Kini Finley dalam posisi duduk.
Sebelum itu, ia mendengar suara embusan napas berat lainnya di dekatnya.
Cashel. Terlihat bersusah-payah untuk bangkit. Sama halnya dengan dirinya. Tak ada pecahan kristal yang menusuk tubuh Cashel. Hanya darah melimpah tanpa luka sebenarnya.
"IBU! ADIK-ADIKKU!" seru Finley sudah seperti orang gila.
Tak peduli dengan keanehan yang juga dialami Cashel. Tak peduli dengan adanya penduduk yang selamat selain dirinya. Sebab itu adalah Cashel. Seseorang yang tak pernah disenangi. Mana peduli ia dengan keadaan seseorang yang selalu mencari masalah dengannya.
"IBU!"
Finley menyusuri desa. Dengan pecahan-pecahan kristal yang memenuhi tanah. Juga mayat-mayat bergelimpangan kaku. Hampir saja ia muntah sebab wajah dan tubuh para penduduk itu hancur dan terlihat organ dalamnya.
Rumah Finley tidak jauh dari tempatnya terbaring tadi. Dengan begitu juga tak perlu waktu lama untuk mengetahui keadaan keluarganya. Berakhir sudah. Tak ada yang tersisa lagi. Bahkan dirinya sendiri dianggap bukanlah sesuatu yang berarti lagi. Ibu dan ketiga adiknya sama dengan seluruh penduduk yang terlihat. Tubuh mereka hancur tertusuk pecahan hujan kristal. Semuanya. Tanpa sisa. Bergelimpang kaku tak bernyawa di halaman rumahnya.
"Apel itu sudah menjadi petunjuk akan keadaan kalian," ucap Finley.
Tangisannya pecah. Jeritannya melengking melebihi jeritan Alaric ketika marah. Ingin sekali ia memeluk tubuh-tubuh orang tersayangnya itu. Namun ia juga harus berberat hati karena merasa jijik. Seumur hidupnya, akhirnya ia bisa melihat bagaimana rupa organ dalam manusia. Biasanya, ia selalu menolak untuk membantu ibunya membersihkan organ dalam ayam atau ikan Ternyata, itu tidak lebih buruk dari apa yang disaksikannya sekarang.
Warna langit telah normal. Tapi tidak dengan kondisi desa.
Sekujur tubuh Finley bergetar. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan hidup tanpa luka sedangkan seluruh penduduk mati tertusuk hingga hancur. Satu lagi, mengapa orang pertama yang didapati selamat adalah Cashel? Bukan berarti ia mengharapkan Cashel bernasib sama dengan mayat-mayat itu. Akan tetapi, ia hanya diliputi tanda tanya besar.
Tapak gemetar Finley kembali melangkah. Meninggalkan rumah dan keluarganya yang tak tersisa. Ia akan menyusuri desa. Memastikan siapa saja yang selamat selain Cashel.
Harapan itu tak jua tampak. Hingga malam berkuasa. Lentera-lentera yang menjadi penerang desa Hyacinth tak ada lagi. Sempurna gelap. Berkali-kali Finley tersandung tubuh penduduk yang kaku itu. Berkali-kali pula terjatuh. Lantas berteriak ketakutan. Sampai suaranya serak. Beberapa kali berpasangan dengan Cashel yang tidak dianggap kehadirannya.
Nihil. Tak ada penduduk yang selamat. Semua tewas oleh hujan kristal itu. Gadis itu menyerah. Kini, ia terduduk lesu di rerumputan yang jauh dari mayat-mayat. Di sanalah ia berusaha untuk menghentikan tangisnya. Sembari memandang langit, di mana bintang-gemintang bertaburan. Setidaknya, ia bisa menganggap itulah temannya malam ini.
"Kenapa aku selamat? Aku melihat dengan jelas bagaimana hujan kristal itu menghujam tubuhku. Sakit sekali hingga tubuhku terasa hancur. Namun, nyatanya aku masih hidup dan tanpa luka. Apa maksud darah-darah ini jika tak ada setitik goresan luka pada tubuhku," ucap Finley berbicara dengan aksesoris langit malam.
Suara dedaunan kering yang terinjak terdengar. Finley tak menoleh, sebab ia mengetahui pemilik suara langkah itu.
Tak tahu harus bagaimana, air mata Finley kembali menetes. Kini tanpa suara. Sebab suaranya nyaris habis.
Dengan langkah ragu-ragu, Cashel duduk di hadapan Finley. Berjarak satu meter. Laki-laki nakal itu tampak lebih tenang. Tak tersisa wajah menjengkelkan yang biasa memancing amarah Finley. Entah bagaimana, mereka bisa selamat dari fenomena mematikan itu tanpa terluka sedikit pun. Mungkin memang luka, namun sembuh seketika.
Cashel menarik napas panjang. Giginya bergemeletuk sebab dingin.
"Teriakanmu memenuhi desa," ujar Cashel.
"Untuk apa kamu datang ke tempatku."
"Entahlah. Aku tidak suka menyendiri. Jadi, aku butuh teman," Cashel menjawab.
Laki-laki nakal itu tampak seperti sosok berbeda. Sorot matanya menyimpan sendu. Tak begitu tampak sebab disembunyikan ekspresi, juga disembunyikan gulita malam.
"Aku tak mau berteman denganmu!" Ketus Finley.
"Aku juga. Sudah kubilang, aku tak suka menyendiri. Dua temanku yang selalu bersamaku sudah mati. Begitu juga dengan keluargaku. Kau pun begitu, kita sama-sama kehilangan semuanya. Aku juga enggan berteman denganmu. Tapi, aku hanya tidak ingin sendirian. Tak peduli jika besok-lusa kita selalu berkelahi atau tak pernah akur. Biarlah, yang terpenting aku tidak sendirian."
Dua remaja yang saling berhadapan di tengah kegelapan. Tak ada yang tahu bagaimana ekspresi satu sama lain. Gelap sekali. Cashel menemukan tempat Finley karena ia diam-diam mengikuti.
Desa antah-berantah. Tak ada yang tahu di mana pemukiman lain berada. Pasti jauh sekali. Jauh sejauh-jauhnya. Apalagi bagi mereka yang tidak pernah mengenal teknologi. Kendaraan yang diketahui hanyalah kuda atau sapi.
Mereka kehilangan semuanya di usia yang sangat muda. Masih terlalu dini untuk mempelajari cara bertahan hidup. Bahkan untuk pelatihan menggunakan tombak pun usia mereka belum mencapai. Bagaimana jika ada ancaman hewan buas? Para penjaga sudah tewas semua. Menyisakan mereka yang biasanya hanya menonton dan mendapati hewan-hewan buas yang telah tewas tanpa disaksikan cara melumpuhkannya.
Sama-sama keras kepala, egois, saling membenci, namun akhirnya terpaksa harus menjalani hidup berdua entah sampai kapan. Jalan hidup rumit dan penuh lika-liku segera terjadi.
"Hujan kristal itu tidak membunuh kita, Finley."
"Apakah kamu merasakan tubuhmu hancur juga?"
"Iya. Seperti utuh kembali. Itu sakit sekali. Seperti tidak ada kesempatan untuk selamat. Darah-darah ini. Mungkin memang punya kita. Tapi luka-luka itu segera sembuh tak tersisa. Menyisakan darah yang memang pernah keluar darinya."
Embusan angin malam mengantarkan gigil. Sekaligus mendatangkan ketenangan untuk mereka sejenak melepaskan ego masing-masing.
"Kenapa luar desa tidak terkena hujan itu?"
"Entahlah. Mungkin karena memang sengaja dibuat untuk memusnahkan desa kita. Entah bagaimana caranya. Mungkin peradaban manusia di luar sana."
"Sebelum kaca warna-warni raksasa itu pecah, kenapa wajahmu pucat. Seolah mengetahui apa yang terjadi?" Finley bertanya untuk ke sekian kalinya.
"Karena aku pernah memimpikannya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments