Suara merdu seruling terdengar. Dari salah satu rumah kayu kecil di pertengahan desa. Dindingnya dipenuhi ukiran indah berbentuk bunga-bunga. Setiap telinga yang mendengarnya akan selalu terhipnotis. Yang sedang berisik menjadi senyap, yang sulit tidur menjadi lebih cepat ke alam mimpi, yang bercakap-cakap seketika terjeda. Tiupan seruling dari pemilik rumah kayu kecil itu selalu menjadi saat-saat yang ditunggu penduduk desa.
Banyak anak-anak berlatih memainkan seruling di sana. Lantas, sang pelatih tersebut diberi upah dengan bahan makanan. Jual-beli tidak berlaku di sana. Bahkan tidak dikenali. Sebab, di sana ialah sebuah desa yang jauh dari mana pun. Tidak terjangkau teknologi apa pun. Menyendiri di tepi tebing tak berdasar. Di ujung hutan paling lebat. Tak pernah ada orang dari luar sana yang berkunjung. Tak pernah ada yang menemukannya.
Sebuah desa kecil namun indah, damai, serta makmur. Hasil alam melimpah. Jika ingin makan daging, tinggal berburu ke hutan. Dengan tombak yang menjadi alat pertahanan desa, sekaligus alat berburu.
"Dyvette mulai memainkan serulingnya, Kak Finley," seru seorang gadis 7 tahun kepada kakak sulungnya.
"Iya, itu selalu mengagumkan," seorang gadis 13 tahun menjawab.
Tak lama, menyusul dua orang lainnya dari rumah yang sama. Kini, mereka berempat berasa di teras rumah kayu. Semua rumah di desa tersebut terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung.
"Cepat, Kakak-kakak!" si bungsu berseru makin semangat.
Seorang gadis berusia 9 tahun dan lelaki berusia 11 tahun berdiri di antara di bungsu dan si sulung. Tampaknya, mereka lebih suka mendengarkan suara seruling dari teras.
Tak lama setelah itu, ada 3 anak laki-laki melintasi rumah mereka. Wajah-wajah mereka tampak menyebalkan. Terutama yang berada di paling depan. Ia dan Finley saling menatap tajam. Seperti musuh bebuyutan. Ya, sebenarnya memang mirip seperti itu hubungan mereka. Tidak pernah akur dan sering berkelahi. Namun kali ini, mereka hanya saling melemparkan tatapan kebencian. Tidak lebih dari itu.
"Dasar Cashel yang menyebalkan. Ingin rasanya aku memukul perutnya," celetuk si anak kedua, namanya Alaric.
"Jangan berbicara seperti itu di depan adik-adikmu, Alaric. Nanti mereka bisa mengikuti kata-kata seperti itu dan itu tidak baik," tegas Finley.
Tak hanya Finley, adik laki-lakinya itu juga kerap kali berkelahi dengan anak nakal bernama Cashel itu. Ia adalah ketua geng dari dua anak nakal lainnya.
Lihatlah, bahkan suara seruling merdu Dyvette tak mampu melerai rasa kesal mereka terhadap Cashel. Si biang kerok itu memang sudah banyak merepotkan orang.
Pernah suatu waktu, Finley membalas perlakuan Cashel yang membuat Alaric menangis dengan meletakkan kodok pada bekal Cashel ketika jam istirahat kelas seruling. Dalam sekejap, terjadilah perkelahian hebat antara mereka berdua. Cashel lebih muda setahun dibanding Finley. Tubuh Finley pun lebih tinggi beberapa senti. Sehingga, kekuatan mereka seimbang. Cashel karena gendernya dan Finley karena posturnya.
Tak ada yang berani melerai, sampai pada akhirnya Dyvette keluar dari ruangannya. Lantas bergegas menengahi hingga tak sengaja Cashel mematahkan seruling kesayangan Dyvette yang di genggamnya.
Sejak saat itu, Dyvette mengeluarkan Cashel. Sedangkan Finley hanya dihukum. Karena itulah mereka benar-benar seperti musuh bebuyutan.
"Kapan kita berlatih seruling lagi dengan Dyvette?" tanya polos si bungsu, namanya Yolaine.
Sedangkan anak ketiga bernama Birdella.
"Hari ini libur. Artinya, hari ini adalah khusus mendengarkan alunan seruling indah dari Dyvette," jawab Birdella ketika kedua kakaknya itu masih fokus menyisakan kesal terhadap Cashel.
Alunan musik itu masih terdengar. Kini mereka kembali fokus hanya untuk mendengarkan itu. Terdiam satu sama lain. Cukup suara seruling yang menari di hadapan gendang telinga.
Mereka semua kembali ke dalam rumah setelah Dyvette selesai memainkan seruling. Finley dan Alaric tersenyum senang. Sudah terlupakan perasaan kesal mereka. Terhapuskan alunan seruling tadi tentunya.
Di dalam rumah kayu, sudah terlihat banyak makanan yang memenuhi alas rotan. Dengan seorang wanita dewasa di sampingnya. Tengah duduk manis menanti anak-anaknya.
Makanan melimpah tersebut bukan apa-apa bagi si bungsu, sebab ia langsung berlari ke arah si wanita sambil langsung memeluknya. Hampir saja semangkuk sup rusa tumpah karenanya.
Nyaris saja semua berteriak panik.
Seperti yang diceritakan di awal, sumber alam melimpah di desa tersebut. Sehingga, tak ada penduduk yang kelaparan. Semua kebutuhan gizi terpenuhi. Tak perlu teknologi dan tata cara hidup sehat, mereka telah melakukan semuanya secara alami.
"Buah apel merah besarnya mana, Bu?" tanya Yolaine.
"Tanyakan pada Alaric. Ibu sudah menyuruhnya untuk memetikkanmu," jawab si wanita sambil melemparkan pandangan pada Alaric.
Yang disebut namanya justru berwajah panik. Lirikannya liar ke sana ke mari. Birdella tampak menahan tawa.
"Apel merah besarku mana, Kak?"
Alaric menggaruk kepala, "Nanti, ya. Kakak lupa."
Seketika raut wajah merajuk tampak pada Yolaine. Gadis kecil 7 tahun itu begitu menggemaskan. Membuat sang ibu mencubit-cubit pipinya. Satu untuk menghiburnya, satu untuk melampiaskan rasa gemas. Sebuah keluarga kecil yang harmonis, walaupun tanpa kehadiran seorang ayah. Seseorang yang seharusnya menjadi kepala itu telah dikabarkan hilang dulu. Hingga kini, tak pernah kembali. Berawal dari pertengkaran hebat, berakhir pergi dari rumah dan tak kembali lagi.
Butuh waktu lama untuk memulihkan keluarga itu, namun setelah pulih. Tak ada lagi yang terlalu mempersalahkan hilangnya ayah mereka. Ia dinyatakan meninggal dunia. Tentu saja karena tak ada pemukiman lain di wilayah itu selain sebuah desa tepi tebing, ujung hutan lebat yang jauh dari mana pun. Itu pun sudah lama sekali terjadi, tepatnya ketika Yolaine baru terlahir beberapa hari.
"Ayo, makan!" pinta si wanita.
Dalam sekejap, mereka menyerang makan-makanan tersebut dengan lahap. Sup daging rusa, ikan sungai panggang, Sate kelinci, berbagai macam buah-buahan, sayur-sayuran. semuanya tersedia di atas alas rotan. Jika bosan lauk satu, masih ada lauk lainnya yang dapat diolah. Jika kondisi bahan makanan kurang segar, di luar sana masih banyak hewan dan tumbuhan yang dapat dijadikan bahan makanan. Sebuah tempat sempurna. Sekali pun tidak mengetahui bagaimana pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar sana.
Nama desa tersebut adalah desa Hyacinth.
"Yolaine makanannya tambah lagi, ya!"
Yolaine menggeleng, "Aku tidak semangat makan karena Kak Alaric tidak jadi memetik apel merah besar."
Yang disebut namanya sedang lahap-lahapnya memakan daging kelinci. Tak peduli dengan kalimat adiknya. Sebab, ia sudah mengatakan bahwa ia akan memetik buah itu nanti.
Finley menepuk pundak Alaric dengan cukup keras. Nyaris membuat tusuk sate yang besar itu mengenai wajah Alaric.
"Hei, itu berbahaya! Bagaimana jika mataku tertusuk!" Bentak Alaric dengan mulut penuh makanan.
"Dengarkan adikmu. Jangan pura-pura tidak peduli. Dia tidak mau makan. Petiklah apelnya dulu. Nanti lanjut lagi," pinta Finley tegas.
"Kau juga tidak peduli setelah aku benar-benar terkejut karena tusukan tajam ini hampir menusuk mataku," keluh Alaric benar-benar kesal.
"Sudahlah, Finley dan Alaric. Semua fokus makan saja dulu. Perkara rengekan Yolaine itu jangan terlalu dianggap serius, yang penting semua kenyang dulu," ucap ibunya melerai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments