NovelToon NovelToon

Hyacinth

Prolog

Asap mengepul, beradu dengan debu-debu. Dedaunan kering kecoklatan berubah menjadi hitam rapuh. Dengan sisa hawa panas bekas api. Postur tegas dua pengembara itu berhiaskan peluh di sekujur tubuh. Deru napas terdengar berat. Jantung berdegup kencang bekas ketegangan, bersanding embus napas lega sebab semua telah usai. Berbagai macam jenis luka, gores, tikam, cakar, gigitan, cucuran darah menjadi saksi. Betapa tangguhnya mereka. Berusaha bertahan hidup. Sebab hampir setiap hari ancaman tiada henti. Silih berganti, memaksa mereka kuat. Melangkah tanpa arah. Ke mana pun. Sebab tak ada lagi tempat pulang. Rumah, sudah lama menjadi istilah yang dihilangkan dalam kamus kehidupan.

"Kita sungguh masih hidup, Cashel?"

Pemuda bermata tajam seperti mata kucing itu mengangguk. Sebilah tomhak pada genggamannya sempurna merah. Tak tersisa warna aslinya. Poni panjangnya yang lepek oleh keringat menutupi sebelah mata. Seorang gadis yang bertanya padanya meringkuk. Rasa sakit yang ke sekian kalinya.

Sama halnya dengan tombak si pemuda, tombak gadis tersebut juga sempurna merah oleh darah. dibiarkan terlantar di tanah. Di antara dedaunan kering yang telah terbakar.

Rambut gadis yang sebelumnya terkepang rapi, kini sudah hilang bentuknya. Acak-acakkan. Mengalahkan rambut si raja hutan, singa.

"Aku sudah lelah, Cashel! Untuk apa perjalanan panjang kita selama ini? Banyak hal telah kita lalui. Tapi semua nihil! Tak ada petunjuk apa-apa. Ini hanya perjalanan sia-sia. Seharusnya kita tak pernah pergi dari desa. Sekalipun tempat itu sudah tidak tersisa apa-apa selain pecahan kristal sialan itu, juga kerangka manusia. Setidaknya, di sana aku bisa memeluk kenangan, bersama ingatan dengan ibu dan adik-adikku. Lantas mencari arwah mereka. Hingga suatu hari, mati di dekat kerangka mereka. Itu tidaklah jauh lebih buruk dibanding perjalanan tak berujung ini," keluh si gadis penuh sesak.

Sebagai dua orang yang sama-sama membenci satu sama lain. Kebersamaan mereka terjadi karena tak ada satu pun penduduk yang selamat. Tak ada pilihan lain untuk bertahan hidup. Dari bekas desa yang hancur. Selain saling membantu satu sama lain. Sekali pun sebelum bencana itu terjadi, mereka tak pernah sudi untuk menjadi teman.

Fenomena mengerikan itu merenggut semuanya, namun mendatangkan ikatan baru. kekuatan baru. Ambisi baru. Berkat bertahun-tahun mengembara, mereka melatih kekuatan bertahan hidup. Sampai saat ini, mereka mendapatkan postur kokoh itu.

Berkat segala marabahaya yang menerjang selama ini. Sekali pun mental kerap kali merongrong tak sanggup. Terutama bagi si gadis. Si lelaki menguatkan dengan caranya sendiri. Bukan dengan rangkulan, apalagi pelukan. Terlalu enggan dilakukan bagi yang lekat dengan gengsi.

"Enak saja kau mengatakan ini sia-sia. Kau pikir, berapa lama waktu kita untuk membentuk tubuh ini? Cara menggunakan tombak, bertahan, tempat-tempat baru. Semuanya. Dari mana lagi itu berasal kalau bukan karena petualangan panjang ini. Diam di desa yang telah musnah itu? Enak saja. Sudah jelas kristal aneh itu membuat tanah retak. Aku yakin sekarang tempat itu telah jatuh ke dalam tebing tak berdasar. Jika kita tak pernah pergi, tak ada bedanya bahkan lebih buruk dari di sini. Untuk apa kau ingin menjadi lebih kuat? Tubuhmu kuat, tapi jiwamu rapuh. Dasar cengeng!" ketus Cashel.

Lelaki itu mengendus tombak yang berdarah, lantas memetik daun lebar untuk mengelap. Mata tajam bak mata kucing itu tak sedikit pun melihat si gadis. Sejak mendengar keluhan itu, ia hanya fokus melihat sekeliling yang dihiasi mayat-mayat ahool. Sekilas, ia juga menyimpan keluh. Tentu saja ia juga mengerti berapa sulitnya masalah yang dihadapi si gadis. Bagaimana pun, nasib mereka sama persis.

"Dasar mata kucing bermulut kasar. Lihat saja, jika aku sudah menemukan orang lain. Aku akan membunuhmu!"

"Memang harusnya begitu, bukan? Kita bersama hanya karena sama-sama tak ingin hidup sendirian. Jika salah satu dari kita telah menemukan orang lain, maka kau atau aku akan saling melepaskan."

Padahal, seharusnya mereka merayakan kemenangan atas keberhasilan mereka melawat ahool-ahool. Namun, mereka justru bertengkar. Seperti itu seterusnya. Sejak dulu. Ketika desa masih ada. Sampai sekarang, tatkala mereka telah lama bersama menjadi dua orang pengembara di tempat antah-berantah. Lelaki yang bernama Cashel dan gadis yang bersama Finley itu, masih konsisten dengan kegengsian Masing-masing.

Tujuan perjalanan mereka adalah mencari pemukiman lain, berserta orang lain. Sebab desa mereka terletak di tempat yang jauh dari mana pun. Tak pernah ada pengunjung yang mengetahui tempat tersebut. Seperti sebuah desa yang mengasingkan diri. Terletak di ujung hutan. Dekat dengan tebing tak berdasar. Semua rumah terbuat dari kayu dan di bawahnya dibuatkan kaki. Mirip rumah panggung.

Di sana, penduduknya berjumlah ratusan orang. Tidak terlalu banyak namun tidak terbilang sedikit pula. Dipimipin oleh seorang kepala suku secara turun temurun. Mereka hidup rukun satu sama lain. Desa yang damai.

Ada pun untuk menjaga keamanan desa, ada pelatihan wajib bagi pemuda berusia 17 tahun dan dipakai untuk keamanan di usia 20 tahun. Sedangkan untuk perempuan, sukarela. Pelatihan tersebut ialah penggunaan tombak. Berfungsi untuk berjaga dan berburu.

Sampai pada suatu hari, terjadi bencana tak terduga. Sebuah fenomena yang tidak dapat diatasi dengan tombak tertajam, juga penjaga terkuat desa. Itu bukan tandingan untuk fenomena dahsyat yang meluluhlantakkan semua hal yang ada di desa. Menyisakan Finley dan Cashel yang entah bagaimana mereka bisa selamat.

Ada kejanggalan dari fenomena mematikan itu, yakni bagian luar desa yang tidak terkena dampak hujaman hujan kristal. Itulah tujuan utama Finley dan Cashel. Walaupun dikatakan tujuan mereka adalah mencari pemukiman beserta orang lain yang sekiranya bisa ditemukan di luaran sana, namun tujuan sebenarnya adalah karena kecurigaan terhadap kejanggalan hujaman hujan kristal. Begitu dahsyat menghancurkan desa namun tidak merambat sampai luar wilayah desa.

Akhirnya, dua orang dari desa terasing itu menjadi mengembara. Sekali pun tidak mengetahui arah dan jalur. Melangkah ke mana pun. Sampai mana pun. Lambat laun, usia mereka bertambah, tubuh mereka menguat. Sebab perjalanan mereka tidaklah selalu menyenangkan. Ada banyak sekali marabahaya yang mengitari.

Finley perlahan bangkit, lalu memungut tombaknya. Lantas memetik daun yang sama seperti Cashel untuk mengelap darah pada tombak. Matanya menatap Cashel tajam.

"Tombak ini sudah tua," keluh Finley.

"Jadi, bergegaslah. Lanjutkan perjalanan hingga menemukan orang lain. Dengan begitu, kau dapat meninggalkanku atau aku dapat meninggalkanmu. Semoga ada senjata yang lebih hebat di luar sana. Agar aku lebih jarang mendengar keluhan dari gadis cengeng sepertimu," ujar Cashel.

"Apa kau yakin kita akan menemukan orang lain atau desa lain?" tanya Finley, kini ia sudah meredakan kejengkelannya.

"Yakin. Seperi cerita turun temurun. Dua nenek moyang kita menyusuri hutan lebat sejauh mungkin. Demi menjalin cinta yang tidak direstui. Dari sanalah desa kita tercipta. Artinya, mereka menjauhi keramaian. Jauh entah di mana. Ada banyak manusia di luar bayangan kita."

"Aku sudah bosan mendengar kisah itu dari ibu dan nenekku. Kau tak perlu menceritakannya lagi," Finley berseru ketus.

"Tentu saja aku mengetahui kau yang sudah mengetahui. Aku hanya sedang memantapkan tebakanku."

"Apa?"

"Hujan kristal itu adalah buatan manusia sebagai hukuman sebab nenek moyang kita."

Apel Merah Besar

Suara merdu seruling terdengar. Dari salah satu rumah kayu kecil di pertengahan desa. Dindingnya dipenuhi ukiran indah berbentuk bunga-bunga. Setiap telinga yang mendengarnya akan selalu terhipnotis. Yang sedang berisik menjadi senyap, yang sulit tidur menjadi lebih cepat ke alam mimpi, yang bercakap-cakap seketika terjeda. Tiupan seruling dari pemilik rumah kayu kecil itu selalu menjadi saat-saat yang ditunggu penduduk desa.

Banyak anak-anak berlatih memainkan seruling di sana. Lantas, sang pelatih tersebut diberi upah dengan bahan makanan. Jual-beli tidak berlaku di sana. Bahkan tidak dikenali. Sebab, di sana ialah sebuah desa yang jauh dari mana pun. Tidak terjangkau teknologi apa pun. Menyendiri di tepi tebing tak berdasar. Di ujung hutan paling lebat. Tak pernah ada orang dari luar sana yang berkunjung. Tak pernah ada yang menemukannya.

Sebuah desa kecil namun indah, damai, serta makmur. Hasil alam melimpah. Jika ingin makan daging, tinggal berburu ke hutan. Dengan tombak yang menjadi alat pertahanan desa, sekaligus alat berburu.

"Dyvette mulai memainkan serulingnya, Kak Finley," seru seorang gadis 7 tahun kepada kakak sulungnya.

"Iya, itu selalu mengagumkan," seorang gadis 13 tahun menjawab.

Tak lama, menyusul dua orang lainnya dari rumah yang sama. Kini, mereka berempat berasa di teras rumah kayu. Semua rumah di desa tersebut terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung.

"Cepat, Kakak-kakak!" si bungsu berseru makin semangat.

Seorang gadis berusia 9 tahun dan lelaki berusia 11 tahun berdiri di antara di bungsu dan si sulung. Tampaknya, mereka lebih suka mendengarkan suara seruling dari teras.

Tak lama setelah itu, ada 3 anak laki-laki melintasi rumah mereka. Wajah-wajah mereka tampak menyebalkan. Terutama yang berada di paling depan. Ia dan Finley saling menatap tajam. Seperti musuh bebuyutan. Ya, sebenarnya memang mirip seperti itu hubungan mereka. Tidak pernah akur dan sering berkelahi. Namun kali ini, mereka hanya saling melemparkan tatapan kebencian. Tidak lebih dari itu.

"Dasar Cashel yang menyebalkan. Ingin rasanya aku memukul perutnya," celetuk si anak kedua, namanya Alaric.

"Jangan berbicara seperti itu di depan adik-adikmu, Alaric. Nanti mereka bisa mengikuti kata-kata seperti itu dan itu tidak baik," tegas Finley.

Tak hanya Finley, adik laki-lakinya itu juga kerap kali berkelahi dengan anak nakal bernama Cashel itu. Ia adalah ketua geng dari dua anak nakal lainnya.

Lihatlah, bahkan suara seruling merdu Dyvette tak mampu melerai rasa kesal mereka terhadap Cashel. Si biang kerok itu memang sudah banyak merepotkan orang.

Pernah suatu waktu, Finley membalas perlakuan Cashel yang membuat Alaric menangis dengan meletakkan kodok pada bekal Cashel ketika jam istirahat kelas seruling. Dalam sekejap, terjadilah perkelahian hebat antara mereka berdua. Cashel lebih muda setahun dibanding Finley. Tubuh Finley pun lebih tinggi beberapa senti. Sehingga, kekuatan mereka seimbang. Cashel karena gendernya dan Finley karena posturnya.

Tak ada yang berani melerai, sampai pada akhirnya Dyvette keluar dari ruangannya. Lantas bergegas menengahi hingga tak sengaja Cashel mematahkan seruling kesayangan Dyvette yang di genggamnya.

Sejak saat itu, Dyvette mengeluarkan Cashel. Sedangkan Finley hanya dihukum. Karena itulah mereka benar-benar seperti musuh bebuyutan.

"Kapan kita berlatih seruling lagi dengan Dyvette?" tanya polos si bungsu, namanya Yolaine.

Sedangkan anak ketiga bernama Birdella.

"Hari ini libur. Artinya, hari ini adalah khusus mendengarkan alunan seruling indah dari Dyvette," jawab Birdella ketika kedua kakaknya itu masih fokus menyisakan kesal terhadap Cashel.

Alunan musik itu masih terdengar. Kini mereka kembali fokus hanya untuk mendengarkan itu. Terdiam satu sama lain. Cukup suara seruling yang menari di hadapan gendang telinga.

Mereka semua kembali ke dalam rumah setelah Dyvette selesai memainkan seruling. Finley dan Alaric tersenyum senang. Sudah terlupakan perasaan kesal mereka. Terhapuskan alunan seruling tadi tentunya.

Di dalam rumah kayu, sudah terlihat banyak makanan yang memenuhi alas rotan. Dengan seorang wanita dewasa di sampingnya. Tengah duduk manis menanti anak-anaknya.

Makanan melimpah tersebut bukan apa-apa bagi si bungsu, sebab ia langsung berlari ke arah si wanita sambil langsung memeluknya. Hampir saja semangkuk sup rusa tumpah karenanya.

Nyaris saja semua berteriak panik.

Seperti yang diceritakan di awal, sumber alam melimpah di desa tersebut. Sehingga, tak ada penduduk yang kelaparan. Semua kebutuhan gizi terpenuhi. Tak perlu teknologi dan tata cara hidup sehat, mereka telah melakukan semuanya secara alami.

"Buah apel merah besarnya mana, Bu?" tanya Yolaine.

"Tanyakan pada Alaric. Ibu sudah menyuruhnya untuk memetikkanmu," jawab si wanita sambil melemparkan pandangan pada Alaric.

Yang disebut namanya justru berwajah panik. Lirikannya liar ke sana ke mari. Birdella tampak menahan tawa.

"Apel merah besarku mana, Kak?"

Alaric menggaruk kepala, "Nanti, ya. Kakak lupa."

Seketika raut wajah merajuk tampak pada Yolaine. Gadis kecil 7 tahun itu begitu menggemaskan. Membuat sang ibu mencubit-cubit pipinya. Satu untuk menghiburnya, satu untuk melampiaskan rasa gemas. Sebuah keluarga kecil yang harmonis, walaupun tanpa kehadiran seorang ayah. Seseorang yang seharusnya menjadi kepala itu telah dikabarkan hilang dulu. Hingga kini, tak pernah kembali. Berawal dari pertengkaran hebat, berakhir pergi dari rumah dan tak kembali lagi.

Butuh waktu lama untuk memulihkan keluarga itu, namun setelah pulih. Tak ada lagi yang terlalu mempersalahkan hilangnya ayah mereka. Ia dinyatakan meninggal dunia. Tentu saja karena tak ada pemukiman lain di wilayah itu selain sebuah desa tepi tebing, ujung hutan lebat yang jauh dari mana pun. Itu pun sudah lama sekali terjadi, tepatnya ketika Yolaine baru terlahir beberapa hari.

"Ayo, makan!" pinta si wanita.

Dalam sekejap, mereka menyerang makan-makanan tersebut dengan lahap. Sup daging rusa, ikan sungai panggang, Sate kelinci, berbagai macam buah-buahan, sayur-sayuran. semuanya tersedia di atas alas rotan. Jika bosan lauk satu, masih ada lauk lainnya yang dapat diolah. Jika kondisi bahan makanan kurang segar, di luar sana masih banyak hewan dan tumbuhan yang dapat dijadikan bahan makanan. Sebuah tempat sempurna. Sekali pun tidak mengetahui bagaimana pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar sana.

Nama desa tersebut adalah desa Hyacinth.

"Yolaine makanannya tambah lagi, ya!"

Yolaine menggeleng, "Aku tidak semangat makan karena Kak Alaric tidak jadi memetik apel merah besar."

Yang disebut namanya sedang lahap-lahapnya memakan daging kelinci. Tak peduli dengan kalimat adiknya. Sebab, ia sudah mengatakan bahwa ia akan memetik buah itu nanti.

Finley menepuk pundak Alaric dengan cukup keras. Nyaris membuat tusuk sate yang besar itu mengenai wajah Alaric.

"Hei, itu berbahaya! Bagaimana jika mataku tertusuk!" Bentak Alaric dengan mulut penuh makanan.

"Dengarkan adikmu. Jangan pura-pura tidak peduli. Dia tidak mau makan. Petiklah apelnya dulu. Nanti lanjut lagi," pinta Finley tegas.

"Kau juga tidak peduli setelah aku benar-benar terkejut karena tusukan tajam ini hampir menusuk mataku," keluh Alaric benar-benar kesal.

"Sudahlah, Finley dan Alaric. Semua fokus makan saja dulu. Perkara rengekan Yolaine itu jangan terlalu dianggap serius, yang penting semua kenyang dulu," ucap ibunya melerai.

Mendung Berwarna

Tengah hari yang cerah. Dyvette kembali memainkan seruling. Wajahnya muncul pada bingkai jendela. Para penduduk ramai dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang di ladang sedang memanen gandum, menguliti hewan buruan, anak-anak perempuan yang bermain masak-masakkan, anak laki-laki bermain kejar-kejaran sambil sesekali mengganggu anak-anak perempuan hingga menangis, ibu-ibu menyapu halaman, atau sekedar bincang-bincang santai keluarga di teras rumahnya.

Walaupun tengah hari, desa Hyacinth memiliki hawa dingin. Sejuk tetap terasa sekali pun sedang musim kemarau.

"Hai, Finley!" Sapa salah satu tetangga.

"Hai!"

Gadis 13 tahun itu berjalan sendirian menuju ke luar desa untuk masuk ke dalam hutan. Tempat di mata pohon apel berada. Tidak terlalu jauh. Akan ada banyak penduduk juga di sana. Kali ini, ia sendiri yang akan memetik apel untuk Yolaine karena Alaric merajuk akibat tusuk sate yang hampir menusuk mata.

Hanya beberapa puluh meter dari desa, Finley telah sampai di kebun apel. Lain halnya dengan gandum yang harus dirawat, kebun apel akan selalu ditumbuhi buah-buahan yang banyak sekali tanpa perawatan apa pun. Sangat melimpah. Kebun milik bersama. Tak akan habis sebanyak apa pun dipetik karena jumlah pohon dan buahnya yang benar-benar banyak.

Tak hanya kebun apel, dari jarak beberapa meter juga ditumbuhi banyak sekali macam perkebunan buah dan sayur. Bosan buah apel, bisa pindah buah anggur, bosan anggur bisa pindah ke buah jeruk, dan lain sebagainya. Tak ada alasan untuk bosan di desa indah seperti Hyacinth.

"Kamu mau aku ambilkan, Nona kecil?" ucap ramah seorang pria tua yang masih kokoh itu kepada Finley.

Sebenarnya Finley bisa memanjat, namun untuk menghargai tawaran si pria tua itu ia mengangguk.

Dua buah apel besar dilemparkan si pria tua dari atas pohon. Finley berhasil menangkap satu. Satunya lagi jatuh ke tanah dan menerjang bebatuan.

"Maaf, Nona kecil. Aku lupa tanganmu tidak cukup besar untuk menangkap dua sekaligus. Baiklah, ini gantinya!" Seru si pria tua dengan lemparan satu buah apel merah besar.

Dalam sekejap, dua buah apel merah besar ada di tangan Finley. Saking besarnya, ia tak mungkin bisa membawa lebih dari itu dengan kedua telapak tangan mungilnya.

"Terima kasih," ucap Finley.

"Sama-sama. Kau butuh berapa lagi?"

"Sudah cukup. Aku hanya ingin membawakan adik bungsuku," jawab Finley.

Pria tua itu tersenyum dari atas pohon. Lantas, melompat dari jarak dua meter dengan gagah. Janggut putih panjangnya melambai. Tulus sekali senyumannya kepada Finley. Bahkan untuk semua orang. Ia terkenal di desa sebagai orang paling ramah dan baik hati. Ia adalah suami Dyvette, sang master seruling.

"Kau mau buah apa lagi, Nona?" Pria itu bertanya lagi.

"Sudah. Aku akan pulang sekarang," jawab Finley berusaha seramah mungkin.

Ia langsung berlari kencang setelah si pria tua mengangguk.

Beberapa langkah ke depan, Finley tak terhindar dari hal menyebalkan. Padahal, ia sudah membayangkan wajah bahagia adiknya dengan kedatangannya bersama dua apel merah besar itu. Tapi, sepertinya itu tidak mudah sekarang. Sebab ada anak-anak nakal yang menghadang.

"Apel yang terlihat enak dan segar," ujar Cashel, si musuh bebuyutan Finley.

"Iya, pergilah ke kebun. Masih banyak di sana. Menyingkir!" tegas Finley.

"Membiarkanmu pergi dengan senyuman lebar tadi? Kamu tersenyum sambil memandangi apel. Artinya, apel itu adalah sebab senyumanmu. Itu tidak bisa dibiarkan. Aku tidak bisa membiarkan sesuatu yang mudah diambil membahagiakanmu, gadis jelek!"

Wajah Finley merah padam sebab ucapan Cashel. Dua anak nakal lainnya tak akan diizinkan Cashel untuk ikut mengganggu Finley, sebab ia ingin menjadi satu-satunya yang mencari masalah terhadap Finley. Agar puas hati. Kejadian seekor kodok dalam bekal makanannya tak pernah luruh seiring waktu.

"Lalu, apa yang kau inginkan mata kucing cacat!" seru Finley tak kalah ketus.

Lelaki 12 tahun itu mendongak. Ia memang lebih pendek dibandingkan Finley. Walaupun beberapa tahun ke depan, ia akan tumbuh lebih tinggi.

Langkah cepat Cashel seketika mendekati genggaman Finley yang ada apel di atasnya. Membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Karena ukurannya terlalu besar, ia sulit menyembunyikannya di mana pun. Tak ada pilihan lain selain melawan.

"Berikan aku apel itu, gadis jelek!"

"Enak saja!" Tolak Finley membentak.

Dua teman atau anak buah Cashel duduk. Seperti sedang menonton pertunjukkan. Finley dan Cashel benar-benar mirip dalam hal keras kepala. Itu yang membuat mereka terus berseteru.

"Ayo, Cashel! Ambil buah besar itu!" seru salah satu si anak nakal.

"Jangan berhenti sampai dia menangis," timpal yang satunya.

Cashel menoleh dengan tatapan tajam, "Diamlah! Kalian jangan berisik. Ini hanya urusanku dengan gadis jelek ini. Bukan kalian!"

Tangan lelaki bermata tajam seperti kucing itu menepis apel yang ada di tangan kanan Finley. Berhasil. Sebuah apel tersebut jatuh menggelinding. Adegan yang membuat Cashel tertawa puas. Namun di luar dugaannya, bukannya Finley berusaha memungut buah itu dan Cashel bersiap untuk menginjaknya, Finley justru menggenggam sebuah apel tersisa dengan kedua telapak tangannya dan berlari menjauh dari Cashel. Ia hanya butuh satu buah. Jadi, membawa satu saja sudah lebih dari cukup untuk diberikan kepada Yolaine.

"Dasar bodoh!" seru Finley dengan ekspresi mengejek kepada Cashel yang baru mengambil ancang-ancang untuk mengejar.

Dua remaja itu langsung kejar-kejaran. Kali ini, Finley yang tertawa puas setelah sebelumnya Cashel begitu percaya diri bisa merebut apel milik Finley. Jarak Finley masih cukup jauh untuk bisa terkejar. Itu sudah lebih dari cukup untuk sampai rumah sebelum terkejar oleh Cashel.

Sedikit lagi jarak untuk sampai rumah, saat itulah fenomena aneh terjadi. Langkah Finley terhenti. Begitu pun Cashel. Sebuah apel itu terabaikan kini. terjatuh dari genggaman Finley. Dalam sekejap, penduduk berkeluaran dari dalam rumah Masing-masing. Yang sedang bekerja juga menghentikan gerak tangannya semua. Orang-orang dari kebun berdatangan ke desa. Turut menyaksikan fenomena aneh yang berada di langit-langit desa.

Semua penduduk melayangkan pandangnya pada langit. Seperti sebuah kaca raksasa warna-warni dan berkilau. Memenuhi langit. Namun, fenomena tersebut tak sampai pada luar kawasan desa Hyacinth.

"Apa yang terjadi dengan langit?" salah satu penduduk bertanya.

Seorang tetua keluar dari rumahnya yang paling klasik dari rumah-rumah lainnya. Ia berjalan menggunakan tongkat kayu. Rambutnya menipis, namun janggutnya lebih panjang dibanding pria tua yang memetik apel untuk Finley. Sejenak, ia mendongak.

Seluruh penduduk benar-benar berada di luar rumah masing-masing sekarang. Saling bertanya, kebingungan, namun juga takjub karena pemandangan langit yang teramat indah.

"Apakah semua penduduk sudah berada di kawasan desa?" Tanya tetua yang merupakan kepala suku.

"Sepertinya sudah, tetua. Tidak ada lagi yang ada di luar. Seluruh perkebunan buah dan sayur telah kosong," jawab salah satu penjaga desa.

Cashel berjalan maju. Menyejajarkan dirinya dengan Finley. Kali ini bukan untuk berkelahi. Dua teman Cashel ada di belakang mereka.

"Ada apa? Kenapa kamu berdiri di sampingku?" Finley bertanya.

"Entahlah," jawab Cashel, wajahnya pucat entah karena apa.

"Kalau begitu menyingkirlah!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!