Segelas susu coklat tumpah ke atas karpet berbulu yang digelar di teras rumah Hafa. Itu adalah perbuatanku. Tidak sengaja kena tendangan kakiku saat hendak berdiri untuk mencuci tangan di keran samping rumah. dalam sekejap, raut wajah cemas membersamai.
“Aduh, bagaimana ini?” tanyaku panik kepada Hafa.
Bukannya menjawab rasa panikku, Hafa langsung bergegas ke dalam rumahnya dan dengan cepat kembali ke teras dengan membawa kain lap. Tanpa rasa cemas sepertiku, ia langsung meletakkan kain lap itu pada karpet yang terkena tumpahan susu coklat. Kemudian ia melayangkan pandangnya padaku sambil tersenyum. Seolah sebagai ucapan bahwa itu tidak apa-apa.
Sedikit lega, namun ini tak berselang lama karena papa Hafa sudah terlihat keluar dari pintu. Ia terlihat sibuk memasukkan kancing baju di lengannya. Sesekali melihat ke arah kami dan tersenyum kecil. Tak lama, ia langsung bergegas menuju luar gerbang dengan motornya yang telah tersedia di depan sana.
Baguslah, papa Hafa tidak melihat karpet yang tertutup kain lap.
“Tenang saja, papa tidak melihat ke sini,” ujar Hafa yang menyadari kegundahanku.
Kemudian aku menarik lap yang digunakan Hafa dan ia turut menariknya keras sebagai tanda penolakan karena aku ingin menggantikannya untuk membersihkan bekas susu coklat yang tumpah.
“Biar aku aja Hafa! Ini tumpah karena ulahku!” tegasku kepada Hafa.
Dengan cepat ia langsung menggeleng dan mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya untuk mempertahankan kain lap di genggamannya.
“Lepasin, Falih! Biar aku aja. Kamu duduk aja sambil makan cemilan buatan mama. Nanti keburu dilihat mama kalau kamu yang ngelapnya.”
“Siapa pun yang bersalah maka ialah yang bertanggung jawab. Karena inu kesalahanku, maka biarkan aku saja yang membersihkannya!” tegasku tak mau kalah.
Maka terjadilah adegan rebut-rebutan kain lap kotor yang telah kecoklatan karena susu yang tumpah itu. Kami berdua usia 8 tahun pada saat itu. Bagaimana pun, ini sangat menjengkelkan. Hafa begitu keras kepala, membuatku turut demikian. Padahal ia tinggal melepaskannya saja dan membiarkanku mengelapnya. Maka masalah selesai. Dasar perempuan, suka sekali menjadikan sesuatu rumit.
“Eh, jangan bertengkar!” seru tante Zainab yang baru keluar dari pintu dengan membawa nampan berisi kue bolu.
Ia segera meletakkan nampan di karpet dan langsung berdiri di tengah-tengahku dan Hafa. Kain lap kotor itu langsung direbut oleh tante Zainab.
“Kalian itu, loh. Masa kain lap jelek kayak gini aja diperebutkan. Di lemari dapur masih banyak yang baru, loh. Aduh, sekarang ayo berjabat tangan. Masa sahabat bertengkar cuma gara-gara kain lap,” ujar tante Zainab.
“Huh!” Hafa mengembuskan napas.
Kami terdiam sejenak. Aku melirik tante Zainab yang ternyata sedang melihat noda susu coklat pada karpet berbulu. Warnanya yang cerah membuat noda terlihat sangat jelas.
Namun, tak berselang lama. Kami akhirnya menuruti permintaan tante Zainab untuk berjabat tangan.
“Nah, gitu dong. Kalau gini ‘kan enak lihatnya. Sekarang saling ucapkan maaf!” pinta tante Zainab.
Kami kembali terdiam. Saling menunggu tentang siapa yang lebih dulu mengucapkan maaf. Hafa menatap tajam ke arahku. Sedangkan aku berusaha setenang mungkin. Terlebih karena ada tante Zainab di sini dan masalah ini berawal karena aku menumpahkan susu.
Beberapa saat kemudian, Hafa tak mengubah ekspresi. Tante Zainab pun melihat kami satu persatu. Menunggu. Tentu saja. Ia adalah sosok ibu yang penyabar.
“Maafin aku, ya,” ucapku akhir mengucapkan maaf terlebih dahulu.
Hafa menarik napas, “Aku juga minta maaf.”
Melihat pemandangan yang diinginkan, tante Zaianb yang dalam keadaan jongkok itu tersenyum ke arahku dan Hafa bergiliran. Kemudian ia menengok ke belakang untuk mengambil nampan berisi bolu yang ia bawa tadi.
“Lihatlah apa yang Mama bikin buat kalian. Bolu coklat. Enak banget, loh. Karena kalian sudah baikan, maka sekarang kalian boleh makan ini. Tapi tahan dulu, ya. Biar Mama panggil Rais dan Raisa dulu,” ujar tante Zainab.
Rais dan Raisa sendiri adalah adik Hafa. Mereka kembar. Satu laki-laki dan satu perempuan. Pada saat itu, mereka masih berusia 3 tahun. Jarak 5 tahun dariku dan Hafa.
“Tapi tante, aku udah numpahin susu ke karpet ini,” ungkapku mengakui perbuatanku.
Tante Zainab menanggapinya dengan tersenyum, “Jadi hanya karena itu kalian bertengkar. Kamu yang ingin bertanggungjawab dan Hafa yang ingin menghilangkan kecemasanmu. Itu perbuatan yang baik sekali. Mama bangga sama kalian, walaupun justru membuat kalian bertengkar satu sama lain. Apalagi karena kain lap kotor doang. Tidak apa-apa, Falih. Tinggal tante cuci sampai bersih. Beres, deh.”
Ucapan tante Zainab membuat lega, juga tersipu. Ternyata aku tidak dimarahi.
“Tapi Mama nggak marahin Falih, ‘kan? Dia nggak sengaja,” timpal Hafa.
“Tentu saja tidak, Hafa. Apakah wajah Mama terlihat marah? Lihatlah, sekarang kamu malah langsung membelanya. Padahal baru saja kalian bertengkar,” ujar tante Zainab yang membuat Hafa seketika memukul bahunya karena malu.
***
“Bar, tahu Hafa, nggak?” tanyaku di siang hari. Masih berada di rumah Bara.
“Tahu. Temen kelasmu waktu SD. Kalian berdua ‘kan adik kelasku. Jadi, tahu lah.”
Benar juga. Bara adalah kakak kelasku dan Hafa. Dua tahun di atas kami. Artinya ia lebih tua dua tahun. Satu tahun lalu keluarganya pindah ke kota lain. Namun, Bara memilih untuk tetap tinggal dan bekerja di sini. Ia sama dengan Hafa. Pernah mengatakan bahwa tidak rela untuk meninggalkan daerah pesisir. Seolah separuh hidupnya berada di tempat ini.
“Kamu pernah melihatnya baru-baru ini?”
“Nggak. Aku lupa terakhir kapan. Yang jelas, waktu itu ia mengenakan cadar. Aku langsung mengenalinya hanya dengan melihat matanya. Tapi itu udah lama sekali. Dia juga jarang sekali terlihat.”
“Iya sudah jelas kalau itu. dia selama 8 tahun berada di pondok pesantren,” jawabku.
Bara ber-oh tanda mengerti. Ia sedang mencuci piring. Sedangkan aku hanya melihat-lihat sambil menyelonjorkan kaki di sofanya yang banyak sobekan. Terdengar suara ramai di luar. Pantai terletak belasan meter dari sini. Tidak seperti rumahku dan Hafa yang tak kurang dari 5 meter. Dekat sekali.
“Kirain kamu nggak tahu,” lirihku.
“Memangnya kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal Hafa?”
“Nggak apa-apa, sih. Cuma nanya.”
Suasana yang membosankan membuatku bingung harus membicarakan apa dengan Bara. Sehingga yang terlintas hanya wajah Hafa. Padahal, aku ingin sekali berkunjung lagi ke rumahnya. Membawa tiket berupa ikan kerapu seperti yang dikatakan nenek Kai. Lantas berbincang hangat bersama Hafa. Atau menunggu pagi hari sebelum azan subuh berkumandang. Dan berangkat ke masjid. Setelah itu berlari bersama ke dermaga sebelum matahari terbit. Lantas melihat keindahan dengan jingga yang berkuasa. Juga pantulan ronanya pada samudera. Seraya bersenandung perlahan agar suasana tentram pagi hari tidak terganggu. Tak lupa, mukena Hafa yang melambai bersamaan dengan poninya yang sedikit keluar. Ah, bagaimana mungkin aku menemukan hal yang lebih indah dari itu.
Lagipula, siapa seseorang yang menjadi cinta pertama Hafa? Orang seperti apa kira-kira. Dan sejak usianya berapa?
“FALIH!” tegas Bara memanggilku hingga lamunanku buyar.
“Eh, iya Bar?”
“Ditanya dari tadi malah bengong. Masih mabuk kamu, hah?” tanya Bara kesal.
“Tadi kamu nanya apa?”
“Nanti malem mau nginep lagi, nggak?”
“Oh, nggak deh. Takutnya tergoda buat minum lagi. Makin lama taubatnya nanti.”
“Yaelah, dengan kamu datang ke sini aja udah menunjukkan bahwa kamu nggak ada niat serius untuk berhenti.”
Aku menyeringai sambil menggaruk kepala yang tak gatal karena ucapan Bara. Lagi-lagi benar. Tanggapannya seringkali sesuai dengan apa yang terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments