Episode 4

“Lihatlah, Falih. Matahari sudah hampir terbit!” Hafa berseru semangat.

Kami berdua duduk di dermaga sejak pukul 05:00 dini hari. Langsung melesat menuju dermaga usai menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Hafa dengan mukena bunga-bunga berwarna merah muda. Lalu aku dengan celana panjang yang kebesaran. Itu membuatku tertinggal dari Hafa. Ia lebih dahulu sampai. Lalu disusul aku beberapa detik kemudian. Kami adalah dua anak-anak berusia 10 tahun. Kelas 4 SD.

“Iya, kita selalu menyaksikannya di tempat ini setiap hari,” jawabku.

“Apakah kamu bosan, Fal?”

“Tidak juga. Ini selalu menyenangkan setiap paginya. Tak peduli walaupun warna dan suadana matahari terbit tak pernah berubah,” jawabku.

Seperti bola api jingga, perlahan menampakkan wujudnya yang teramat serenada. Kami memantau tak berkedip dibuatnya. Rambatan sinarnya memantul pada samudera. Memanjakan mata. Diselingi angin pagi yang lembut. Mukena bunga-bunga merah muda milik Hafa berkibar-kibar. Kami mengayunkan kaki di tepi dermaga. Bahkan Hafa sampai bersenandung dengan suara berbisik agar ketentraman di pagi ini tidak terganggu. Kemudian aku turut menyanyikan lagu tersebut. Seketika beradu nada di antara jingga yang berkuasa. Beberapa siluet burung melintas di atas kami. Terbang cepat ke arah bola api raksasa, yakni matahari. Mungkin saja kawanan burung itu mengira bahwa dengan terbang ke sana akan membawanya menuju tempat matahari itu berada. Padahal kalau pun bisa, mereka hanya akan hangus sebelum benar-benar sampai.

Bukan hanya aku dan Hafa, ada banyak orang lain juga yang memandangi matahari ufuk timur. Siapa pun pasti mabuk akan pesonanya. Di antaranya ialah para nelayan, penduduk biasa atau pun orang-orang dengan pakaian salat sepertik dan Hafa. Namun, kami selalu menjadi yang tercepat. Sisanya akan berdatangan, sesaat sebelum matahari terbit.

“Aku jadi kasihan dengan orang-orang yang tinggal jauh dari pantai. Mereka tidak bisa menikmati keindahan semacam ini setiap hari. Aku bersyukur menjadi penduduk pesisir,” ungkap Hafa.

“Benar. Aku juga bersyukur,” jawabku setuju.

“Falih,” panggil Hafa lirih.

“Iya?”

“Jika sudah besar nanti? Apakah kamu akan tetap di sini? Atau memilih tinggal di tempat lain?”

Pertanyaan Hafa membuatku tergelitik untuk melihat ekspresi yang tercurah. Ia tak melihat ke arahku saat menanyakan hal itu. ia justru terlihat fokus menghadap depan sambil menyipitkan mata karena sedikit silau sebab sinar matahari. Ada raut keseriusan di sana.

Sejenak, aku mengembuskan napas. Membiarkan aroma pantai menyeruak bersama dengan angin pagi yang menyejukkan. Untuk kali kesekian yang tak dapat kami hitung. Kami selalu berada di tempat ini hamir setiap hari. Terutama dini hari sampai terbit matahari. Ada banyak hal yang kami lalui. Sekali pun usia kami baru 10 tahun. Memangnya tidak terlalu terkesan dewasa bagi Hafa dengan memasang wajah serius seperti itu? Sebab ia terlihat seperti seseorang yang mencemaskan masa depan. Masa depan di mana yang menjalaninya ada Hafa versi dewasa.

“Entahlah. Aku nggak tahu ke depannya seperti apa. Tapi, aku hanya berpikir bahwa ingin menua dan mati di sini. Tanah kelahiranku,” jawabku yang turut berekspresi serius menghadap matahari.

Itu membuat Hafa langsung melayangkan pandang padaku. Aku turut menghadap ke arahnya. Poninya keluar dari mukena. Turut berkibar bersama mukena bunga-bunga merah mudanya. Membuat matanya sedikit tertutupi.

“kenapa jawabanmu seperti seseorang yang lebih tua dari ayahmu sendiri?” tanya Hafa sambil memasukkan poninya yang menghalangi penglihatannya.

“Aku hanya menjawab pertanyaanmu, Hafa.”

Hafa mengangkat bahu. Lantas mengangguk. Dan kembali menghadap sumber jingga itu berasal. Kini ia seperti seseorang yang lega. Tidak lagi menampakkan ekspresi cemas. Mungkin memang jawaban semacam itu yang ia inginkan.

“Dulu aku pengen sekali tinggal di kota besar seperti sepupuku. Soalnya di sana serba lengkap. Tempat main yang banyak, makanan yang mewah, gedung-gedung menjulang, kendaraan yang padat, juga malam yang selalu ramai. Itu selalu yang terpikirkan setiap kali aku ke sana,” ujar Hafa.

“Jadi, kenapa kamu bilang bersyukur tinggal di pantai?”

“Ya, karena setiap kali aku kembali ke rumah. Perasaan cinta pesisir itu kembali lagi. Semacam, tidak rela jika harus pergi dari tempat ini. Kota besar memang punya banyak hal menyenangkan. Tapi, di sini jauh lebih banyak sesuatu berharga yang tidak dapat ditemukan di kota-kota besar.”

“Contohnya?” tanyaku.

“Jingga yang indah di antara samudera, pasir yang lengket, juga aroma pantai yang menenangkan,” jawab Hafa dengan tersenyum.

Senyum yang menular. Aku turut tersenyum karena jawaban indahnya, juga senyuman tulusnya.

“Jawabanmu jauh lebih dewasa dibandingkan mamamu sendiri,” ucapku membalas.

“Enak aja!” seru Hafa sambil memukul bahuku.

***

Lalu, adakah yang tersisa dari tawa lepas kala itu?

Dunia berputar-putar. Langkah gontaiku meraih segelas air putih. Lantas meneguknya cepat, seperti orang yang enggan berbagi dan khawatir jika ada yang meminta. Beberapa tetes gagal masuk ke mulut dan jatuh ke lantai yang di bawahnya banyak berserakan bungkus makanan ringan. Semalam penuh kepenatan. Satu hari setelah acara memanggang ikan kerapu di rumah Hafa, aku bahkan tak dapat tertidur dengan baik. Malam harinya di hari berikutnya, aku menuju rumah temanku selain Gema yang tinggal sendiri. Ia menyadari raut wajah menyedihkanku.

Kami berpesta minuman keras ketika malam telah layu. Ya, seperti itulah aku. Seorang pemuda yang masih terjebak dalam maksiat. Bertolak belakang dengan Hafa, perempuan solehah yang semua orang pun tahu hanya dengan melihat raganya. Aura menenangkan sudah terpancar begitu saja.

Gema juga pernah bersamaku di tempat ini pula. Namun, ia sudah lama tidak melakukannya sebab ada lebih banyak kesibukan yang harus ia jalani. Aku tak mengatakan ia berhenti. Namun, aku tak mengatakan pula kalau ia bisa melakukannya lagi dalam waktu dekat. Gema sudah lama tidak membahasnya.

Tempatku saat ini, rumah teman yang menjadi rekan kerjaku di kafe. Biasa menjadi tempat tongkrongan wisatawan. Dari tempat ini dan orang-orang yang bekerja di sana pula aku mengenal gemerlap dunia hina ini. Minum sampai mabuk untuk menghilangkan stres, serta banyak di antaranya meninggalkan ibadah. Walaupun aku yang termasuk paling rajin dalam hal ibadah. Ibadah jalan terus namun maksiat juga demikian. Sekalipun terkadang aku memang sesekali meninggalkan ibadah jika dalam keadaan mabuk.

Seonggok rasa malu menerjang seketika tatkala aku membayangkan wajah Hafa. Dunianya yang penuh taman bunga indah, sedangkan aku dipenuhi gunung-gunung sampah tak terhingga. Aku kotor, ia suci. Namun tetap nekat menyimpan rasa selama bertahun-tahun lamanya. Walaupun aku beberapa kali memang pernah memiliki pacar. Berbeda dengan Hafa yang dilihat wajahnya oleh lelaki saja enggan, walau sekarang ia telah melepaskan kain penutup wajah tersebut.

Di mana kau, wahai Falih yang polos dan senantiasa menjaga diri? Juga menjaga Hafa? Bukankah kau sudah terlalu dalam terbawa lingkungan hina?

Sialnya, padahal aku tahu itu salah. Ya, aku tahu itu dosa. Siapa pun muslim pasti mengetahuinya, kecuali mereka yang tak pernah mencari tahu. Tapi aku, sejak kecil sudah mengaji di masjid dekat rumah. Bersama dengan Hafa tentunya. Bedanya, sekarang ia lebih mendalami ilmu itu. Sedangkan aku justru tenggelam dan membiarkan ilmu itu terapung tanpa amalan. Akulah si buruk Iman. Bersimbah dosa namun masih terbayang ampunan.

“Fal, lama sekali kamu bangunnya. Sudah aku bilang semalam jangan minum terlalu banyak!”

Walaupun dunia masih terlihat berputar-putar, aku sudah dapat melihat dengan jelas wajah seseorang dengan ekspresi sebal itu.

“Apakah matahari sudah terbit, Bara?” tanyaku lemas.

“Sekarang udah jam 10, Fal!” tegas Bara.

Mendengar jawaban itu, aku segera bangkit dari lantai tempatku tidur semalam dan melihat ke luar jendela rumah yang terbuka. Di luar sudah terlihat ramai sekali orang yang memulai aktivitasnya. bahkan wisatawan juga sudah berdatangan. Aku dan Bara memilik jadwal malam untuk bekerja di kafe pada hari ini. Syukurlah. Hampir saja aku mengira pagi ini adalah jadwalku. Namun, dari penampilan bara yang masih acak-acakan, aku langsung menyadari bahwa pagi ini bukan jadwal kami.

“Kenapa kamu nggak bangunin aku?”

Bara mengangkat bahu, “Kamu udah kayak mayat tidurnya. Nggak tega aku banguninnya.”

“Aku jadi terlewat subuh, tahu!”

“Bagaimana kamu salat dengan mulut masih berbau alkohol?”

Ucapan Bara seketika membuatku terdiam. Ia benar. Alkohol yang telah masuk dalam tubuhku menjadi penghalang panggilan ibadah itu. sudah sepantasnya Tuhan tak mengizinkanku untuk terbangun dan menyembah-Nya. Sial, aku selalu membenciku yang seperti ini. Namun aku juga tidak mudah untuk melepaskannya, karena itu sangat nikmat.

Sial, Hafa pasti sudah menyaksikan matahari terbit seorang diri. Padahal ini kesempatan untuk mengulang masa-masa itu. masa di mana kami melihat matahari terbit. Dengan mukena Hafa yang berkibar-kibar bersama rambutnya yang ikut keluar dari bagian depan mukena. Ah, tentu saja. Ini juga karena niatku yang tidak benar.

“Huh, ini menyebalkan. Kenapa pula aku harus minum-minum lagi,” keluhku.

“Tinggal nggak usah minum,” Bara menanggapi santai.

Ia memungut sampah-sampah bekas makanan ringan semalam. Lalu memasukkannya ke dalam kantong plastic besar berwarna hitam. Aku membantu dengan membawa gelas-gelas bekas minum dengan langkah gontai. Rasanya kepalaku benar-benar berputar.

“Hati-hati, gelasku bisa pecah nanti kalau jalanmu kayak gitu,” ucap Bara.

“Iya, Bara. Tenang aja, kalau pecah juga bakal tumbuh lagi.”

“Ternyata sisa mabuk semalam masih ada. Lain kali minumlah lebih banyak agar kamu bangunnya malem,” tukas Bara sambil cekikikan.

Setidaknya, aku harus benar-benar berhenti sampai Hafa melihatku sebagai sosok Falih di masa kecilnya. Sosok Falih yang sellau bersama dan senantiasa menjaganya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!