Penikmat Mentari Ufuk Timur
Aroma khas pantai menyeruak memasuki indera penciuman. Bersama lajunya angin di sela terik surya. Pasir yang putih menyilaukan. Berhiaskan kerang-kerang, karang-karang, bebatuan hingga sampah-sampah. Puluhan perahu nelayan mengapung di tepi. Berwarna-warni. Dengan para nelayan yang lalu lalang membawa segala bentuk peralatan untuk menangkap ikan.
Usapan peluh ke sekian kali. Embusan napas panjang ke sekian kali pula. Aku merebahkan tubuh kekarku pada kain tipis yang aku gelas di tepi pantai. Seraya membiarkan pasir-pasir menempel lengket pada tubuh basahku.
Biru berkuasa di atas sana. Bertemankan sedikit guratan putih dari awan. Burung-burung membentuk formasi. Terbang ke sana ke mari dengan rapi. Seolah mengadakan pertunjukan dengan aku dan orang-orang lain yang mengarah sebagai penontonnya.
Hari-hari biasa yang selalu aku jalani sebagai penduduk pesisir pantai. Pohon kelapa menjadi tempat berteduh di bawahnya. Kerap kali aku tertidur dengan suasana seperti ini. Menyatu dengan alam. Begitulah aku menyebutnya.
"Fal!" panggil seseorang dari arah barat.
Sesaat aku melemparkan pandang ke arah suara yang memanggilku. Masih dalam posisi telentang. Hanya kepala saja yang menoleh.
Kudapati seorang lelaki sebayaku sedang berlari mendekat sambil membawa ember berukuran sedang berwarna hitam. Kaki kanannya mengenakan sandal jepit berwarna hijau. Sedangkan kaki kirinya tidak mengenakan apa pun. Entah apa yang terjadi pada sandal sebelahnya.
"Ada apa, Gema?" tanyaku.
Nama temanku atau sahabatku ini adalah Gema. Kami sudah satu sekolah sejak TK namun baru akrab ketika SMP. Bahkan kami selalu bersekolah di sekolah yang sama sejak TK sampai SMA. Kami lulus dua tahun lalu. Namun tidak berencana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Sehingga pekerjaan kami sehari-hari hanya menjadi seorang pegawai di salah satu kafe dekat sini dan seringkali dikunjungi turis atau wisatawan dan membantu para nelayan yang tidak lain dan tidak bukan adalah pekerjaan orang tuaku dan Gema.
"Aku dapat ikan kerapu!" Gema berseru sumringah.
Mendengar itu, aku segera menarik ember yang dibawa Gema dan mendapati adalah empat ekor ikan kerapu di dalamnya. Itu adalah ikan favorit kami berdua.
"Wah, banyak banget nih. Giliran aku ikut aja malah dapet ikan tongkol doang," keluhku.
Gema mengibaskan rambutnya yang basah. Ia jelas terlihat sangat senang dengan hasil tangkapan kali ini setelah beberapa hari kami gagal menangkap ikan kerapu.
"Falih, nanti bawa rantang sama termos yang ada di perahu pulang, ya," pinta seseorang ketika aku dan Gema sedang melihat ikan-ikan kerapu dalam ember.
Itu adalah ayahku. Seorang pria 40-an tahun dengan tubuh lebih pendek dariku. Terlihat membawa peralatan nelayannya dengan pakaian basah kuyup.
"Baik, Yah."
"Om, Gema nangkep ikan kerapu. Om mau juga, nggak?" tanya Gema menawarkan ikan kepada ayahku.
"Tidak usah, Gema. Terima kasih. Lebih baik ikannya kasih ke neneknya Hafa saja. Ini ikan kesukaannya."
Demi mendengar nama seseorang yang disebutkan ayah, jantungku berdegup tak karuan. Tentang semua hal yang terjadi. Terlewati. Sudah jauh sekali di masa lalu. Semua telah berubah. Aku telah tumbuh dewasa. Begitupun ia. Namun masih seperti dua orang bersua bisu tanpa sedikit pun terlihat bahwa senda gurau, senandung tawa juga kebersamaan selalu kami geluti semasa kecil. Masa di mana semua masih baik-baik saja.
Sekilas, aku melihat Gema melirik ke arahku sambil tersenyum mengejek. Sedangkan aku membalasnya dengan tatapan tajam. Sebagai kode agar ia tidak berbicara lebih tentang seseorang itu kepada ayah.
Suasana mentari yang terik, berangsur memasuki relungku dengan perasaan peluh gundah. Tak cukup nostalgia membersamai, aku mengingat perkataan Gema tadi pagi bahwa seseorang itu akan pulang hari ini. Bukan sekedar pulang untuk berlibur, namun pulang karena tugasnya sebagai seorang santri selama 8 tahun telah usai.
Ya, semua berawal dari pesantren itu. Ia mulai menjadi santri sejak SMP. Lalu memakai cadar di sana. Sejak itu pula, kami tak lagi bercengkerama atau bertegur sapa. Melihatku pun ia seolah tak mendapati adanya siapa pun. Bagaimana pun, sikapnya membuatku turut canggung. 8 tahun yang panjang. 6 tahun bersekolah dan 2 tahun masa mengabdi. Itulah yang ia lakukan. Sahabat masa kecilku telah menjadi gadis pendiam dan pemalu di hadapan para laki-laki.
"Bener juga. Ayo, Falih. Kita ke rumahnya Hafa," ajak Gema.
"Eh?"
Tanpa menunggu jawabanku, Gema langsung menarik lenganku dengan kencang. Seraya berlari membawa ember berisi ikan kerapu. Tak lupa ia melambaikan tangan pada ayah. Kalung bermata kerang yang dikenakan bergoyang-goyang.
Pasir lengket menempel teramat banyak pada kaki hingga betis kami. Bertelanjang kaki. Tangan besar Gema terasa semakin mencekam. Seperti berjaga-jaga agar aku tidak kabur.
"Lepasin, Gema!" seruku sebal.
"Ini kesempatan, Fal. Kamu udah lama nggak ketemu Hafa, 'kan. Sekarang lah saatnya. Dia pasti sudah pulang juga."
Sejenak, aku terdiam untuk berpikir. Hafa memang jarang sekali pulang ke rumahnya. Hanya dua kali setahun. Selama 8 tahun. Oleh sebab itu, setiap kali ia pulang aku akan melihatnya dari kejauhan. Tepatnya di tepi pantai sebelum matahari terbit. Tanpa menghampiri. Tanpa menampakkan diri. Beberapa kali aku ketahuan Gema. Untungnya, ia tidak iseng dengan memberitahu Hafa tentang kebiasaanku itu.
Berbicara tentang cadar. Selama 8 tahun itu pula aku tidak pernah lagi melihat wajahnya. Sebab selalu tertutup kain cadar yang selalu berwarna gelap. Aku hanya mengingat bagaimana wajahnya di usia 12 tahun. Tepatnya setelah lulus SD. Itu pula menjadi hari terakhir kami berbincang dengan akrab.
"Ada apa, Fal? Kenapa diem aja? Kita akan ke rumah Hafa, loh."
***
Sebuah rumah berlantai dua terlihat dengan cat dinding berwarna hijau pudar. Di halamannya terdapat banyak sekali jenis bunga. Berwarna-warni. Itu adalah hobi dari ibunya Hafa. Ada beberapa mainan anak tergeletak di teras. Membuatku teringat. Dulu sekali aku seringkali bermain di sini. Sambil menyantap camilan keju favorit kami yang selalu dibuatkan oleh ibu Hafa.
Kami telah memasuki gerbang yang terbuka. Ada bekas pohon besar yang telah tumbang di samping rumah. Dulunya, kami sering bermain ayunan di sana. Sambil memetik buah mangga. Lalu, nenek Hafa akan memarahi kami jika memetik yang masih muda. Sebab katanya memakan makanan asam dapat membuat perut sakit.
Walaupun Hafa adalah seorang perempuan, pada waktu itu ia bisa menyeimbangkan diri denganku ketika memanjat. Bahkan sampai dahan tertinggi. Lalu ketika nenek Hafa terlihat, maka kami buru-buru turun dan kembali bermain ayunan. Ah, sialnya itu sudah jauh sekali tertinggal.
Kini Hafa menjalani hidup dengan pemahaman agama yang baik. Sedangkan aku sebaliknya, pemuda yang jauh dari kata soleh. Justru lebih dekat dengan gemerlap dunia. Pengaruh lingkungan bersanding keluarga yang tidak agamis. Seperti itulah aku. Bagaimana pun, sebenarnya aku selalu mengagumi Hafa. Bahkan sebelum kami benar-benar berpisah sebagai dua orang sahabat.
Begitu tangan Gema henda mengetuk pintu, aku segera menepis tangannya cepat-cepat.
Bukannya marah, ia justru menampakkan ekspresi mengejek.
"Ada apa, Fal? Mau kamu aja yang ngetuk?"
Entah seperti apa ekspresiku karena ucapan Gema. Salah tingkah yang tak terkontrol. Kurang lebih seperti itu. Bagaimana pun, aku sepertinya membutuhkan kesiapan mental sebelum bertemu dengan Hafa. Apalagi di rumahnya. Andai si Gema sialan ini tidak terburu-buru mengajakku tanpa sempat membiarkan berpikir. Namun aku tetap saja membiarkannya melakukan itu. Ya, entahlah. Setelah sekian lama, aku memang ingin sekali bertemu Hafa. Sekali pun kini wajahnya selalu ditutup cadar.
"Sebentar, Gema. Jangan main ngetok aja. Tunggu dulu!" tegasku mulai tak tentu arah.
Gelisah seolah menyergap. Ditambah kali ini benar-benar di depan kediamannya. Ingin rasanya aku mundur sejenak sebelum akhirnya kembali lagi. Namun itu sudah tak mungkin. Seharusnya ini benar-benar sederhana. Baiklah, cukup ketuk dan menyapa seperti biasanya. Seperti biasanya di atas 8 tahun lalu.
Untuk ke sekian kali, aku menarik napas. Sambil berkali-kali mencegah Gema mengetuk pintu. Untung saja ia adalah orang yang sabar. Jika orang lain, mungkin sudah beda cerita.
"Baiklah, Fal. Silakan. Kamu aja yang ketuk pintunya. Kalau nggak mau, maka dipastikan aku akan berteriak memanggil Hafa."
"Enak, aja. Nggak usah nyari gara-gara, deh," ujarku.
"Ya, udah."
Gema menarik lenganku dan bertukar posisi dengannya. Ember yang aku bawa langsung ia ambil. Seraya menunjuk gagang pintu.
Walaupun agak berlebihan, namun aku seolah melihat gagang pintu ini dipenuhi oleh duri. Duri yang bisa menusuk relungku menuju nostalgia indah tak terbendung.
Aku menelan ludah. Sambil sesekali melirik Gema. Ia hanya menghentakkan kaki. Seperti seseorang yang sedang menunggu.
"Kamu aja, Ge!" ucapku lirih.
Karena jawaban itu, Gema langsung menggerakkan tangannya seperti hendak mencakarku. Raut wajahnya galak seperti hendak menerkam. Baiklah, yang tadi itu memang menyebalkan.
"Ini, dia. Jangan halangi lagi!" tegas Gema.
Aku mengangguk.
Krekkk.
Belum Gema menarik gagang pintu, tiba-tiba dari dalam sudah ada yang menariknya terlebih dahulu.
Dalam sekejap, terlihat seseorang di sana. Seseorang yang sangat kukenal. Namun sangat berbeda sejak 8 tahun terakhir.
Eh? Ia mengenakan pakaian berwarna biru cerah. Kerudung dengan warna putih tulang. Serta riasan tipis di wajahnya. Kulitnya kuning langsat. Namun bercahaya. Juga bersih.
Wajah yang telah lama tak tampak. Wajah yang telah lama ditutupi. Wajah yang jauh lebih dewasa sejak terakhir kali aku melihatnya. Wajah seseorang 12 tahun itu, kini sudah beranjak 20 tahun. Dia membuka cadar!?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Nanang
Tetap semangat Thor 😇
2024-02-19
1