Episode 2

Pipi tembam yang dulu biasanya aku lihat sekarang berubah menjadi lebih tirus. Namun pipinya yang kemerahan tetaplah sama. Dengan 3 tahi lalat kecil yang berjejer pada kedua pipi dan hidungnya, juga tidak berubah dan bertumbuh. Bola mata hitam itu. wajah itu, setelah 8 tahun tertutup kain cadar berwarna gelap. Hari ini, tepat di mana ia melepaskan diri sebagai santri di pondok itu. tengah berdiri tegak pada bingkai pintu. Menghadapku, sosok sahabat masa kecil yang telah lama tak bertegur sapa. Kini bersua satu sama lain.

“Assalamu’alaikum, Hafa,” sapa Gema dengan ramah.

“Waalaikumussalam, Gema. Falih juga,” jawab Hafa sedikit terkejut.

Tertaut aura yang berbeda saat aku melihatnya mengenakan pakaian dengan warna cerah. Sepercik nostalgia. Apalagi sedekat ini. Sewaktu kecil ia memang suka sekali mengenakan warna cerah. Terutama biru laut layaknya pakaian yang dikenakannya saat ini. Namun, sejak masuk pondok pesantren dan bercadar, ia seolah meninggalkan pakaian dengan warna-warna seperti itu dan sekarang ia kembali. Kembali menjadi Hafa dengan pakaian biru laut dalam versi dewasa.

Aku mengangguk untuk menanggapi sapaan Hafa. Tubuhku kikuk, napasku berat, lidahku kelu, namun hatiku meronta. Di sinilah aku, menahan gejolak batin bekas penantian panjang kepada sosok perempuan bercadar selama 8 tahun. Yang kini telah melepaskan cadar itu bersama dengan lepasnya masa-masa bergelut pendidikan di pondok pesantren.

“Apa kabar, Hafa? Sudah lama sekali kita nggak bertegur sapa,” ujar Gema.

Dengan bodohnya, ia malah menyodorkan tangan kanannya kepada Hafa. Sudah pasti langsung ditolak mentah-mentah. Apakah dia lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang alumni pesantren? Sejenak, aku membuang wajah karena malu dengan tingkah Gema. Walaupun begitu, Hafa tetap menampakkan kesopanan ketika menolak jabat tangan dari Gema. Bersama senyum tulusnya.

“Alhamdulillah, baik. Kalau kalian berdua gimana?”

“Alhamdulillah baik juga, Hafa,” jawab Gema.

Sesaat, aku merasa ingin langsung menjawab namun Gema telah mendahului. Dasar teman yang tidak peka.

“Kalau kamu, Fal?” Hafa bertanya kepadaku.

“Baik,juga. Alhamdulillah,” jawabku berusaha senormal mungkin walaupun sepertinya aku terlihat linglung ketika menjawabnya.

Tak lama, dari belakang Hafa ada seorang wanita yang berjalan menuju ke arah kami berada. Wajahnya sangat mirip dengan Hafa. Atau lebih tepatnya Hafa-lah yang mirip dengan wanita tersebut. Itulah tante Zainab, mamanya Hafa. Begitu antusias sampai-sampai berjalan cepat dengan setengah berlari. Ada sutil yang digenggam menggunakan tangan kirinya.

“Ya Allah, Falih. Kamu ke mana aja? Kita tetanggaan tapi kamu baru berkunjung lagi setelah sekian lama. Tante selalu nungguin kamu buat berkunjung lagi padahal. Apalagi waktu Hafa pulang buat berlibur dari pondoknya. Emangnya kamu nggak kangen apa masa-masa kecil kalian dulu. Selalu bermain di sini. Tante sering lihat kamu lewat pas mau ke pantai, tapi kamu nggak pernah tuh menengok rumah ini. Aduh, kalian kecilnya nggak bisa kalau nggak ketemu sehari kok gedenya malah nggak pernah bersua udah 6 tahun, loh,” seru tante Zainab kepadaku.

Bagaimana pun, yang diucapkan tante Zainab memanglah benar. Rumahku dan Hafa hanya berjarak oleh belasan rumah di antaranya. Pada waktu itu, Hafa adalah satu-satunya teman sebaya denganku dengan jarak rumah terdekat. Itu yang menyebabkan kami selalu bersama dulu. Lain halnya dengan Gema. Letak rumahnya paling jauh dibanding kami. Namun, sejak Hafa masuk pondok pesantren seolah menjadi tertutupnya kunci pertemuan antaraku dan keluarga Hafa juga. Tanpa terasa semua berlalu begitu lama. Waktu yang panjang telah berlalu. Aku tumbuh dewasa, begitu pun ia.

“8 tahun, Ma. Hafa ‘kan pengabdian dua tahun di pondok,” pungkas Hafa.

“Oh, iya? Mama ingetnya kamu masih 18 tahun,” ucap tante Zainab.

Hafa menepuk kening.

“Hafa udah 20 tahun, Ma. Aduh, masa usia anaknya sendiri lupa.”

“Oh, iya. Berarti, Falih juga udah 20 tahun, ya?” tanya tante Zainab yang dilemparkan kepadaku.

“Iya, tante,” jawabku yang kini telah normal.

Sambil menengok ke arah tante Zainab, aku sempatkan juga melirik pada putrinya. Sahabat masa kecilku dalam versi dewasa. Ia jauh lebih pendek dibanding denganku. Mungkin ia tak sampai 160 sentimeter. Bahkan tante Zainab pun masih lebih tinggi. Namun, itu adalah tinggi ideal untuk perempuan seusia kami. Walaupun begitu, Hafa yang ada di hadapanku saat ini adalah versi timeskip selama 8 tahun. Kurang lebih seperti itulah aku menyebutnya.

Tak perlu menunggu lama, seseorang yang menjadi tujuan kami sebenarnya ke rumah ini langsung muncul. Seorang wanita tua. Rambutnya telah putih sempurna. Berbeda dengan Hafa dan tante Zainab yang tertutupi semua rambutnya dengan balutan kain kerudung. Ia terlihat langsung melemparkan pandangan pada ember yang dibawa Gema.

“Itu buat Nenek?” tanya si wanita tua dengan sumringah.

Wajah keriputnya terlihat bersamaan dengan rasa bahagia.

Gema mengangguk. Lalu menyodorkan ember berisi ikan kerapu itu kepada nenek Hafa atau yang sering kami panggil nenek Kai. Eh, bukankah setengahnya untukku dan Gema? Bukankah ia tidak sabar tadinya untuk menyantap ikan kerapu?

Akan tetapi begitulah Gema, ia sangat dermawan dan suka berbagi. Tak peduli walaupun ia juga menyukai sesuatu yang dibagikan tersebut. Sebab ia jauh lebih bahagia melihat orang lain bahagia karena dirinya.

“Ini, Nek. Ada 4 ikan kerapu di dalamnya,” jawab Gema.

“Aduh, Ibu. Sapa dulu ini anak-anak. Lihatlah siapa yang datang. Ada Falih dan…. Hmmm aku lupa namamu, Nak,” ujar tante Zainab.

“Gema, Tante.”

“Oh iya, Gema. Tante sampai lupa,” ucap tante Zainab sambil menepuk kening.

Suasana menjadi ramai dalam sekejap. Aku temukan lagi hidupnya sukacita di tempat ini. Rumah sahabat kecilku. Rumah Hafa. Seperti lembaran pada buku baru sebab versi lama telah lama tertutup. Membuat rasa kakuku perlahan pudar pula.

“Tapi Mama juga dari tadi cuma menyapa Falih. Sedangkan Gema dikacangin,” pungkas Hafa.

“Itu ‘kan karena Mama terkejut dengan kedatangan Falih, Hafa. Sudah lama sekali Mama nggak ngobrol sama dia. Padahal rumah kita deketan. Kalian juga udah saling melupakan. Padahal dulunya tak terpisahkan,” ujar tante Zainab.

Sebuah kalimat yang membuatku sedikit salah tingkah. Bagaimana tidak? ia mengatakan bahwa aku dan Hafa tak terpisahkan. Aduh, memangnya ini situasi macam apa?

“Itu ‘kan udah diwakilkan sama kalian, jadi Nenek hanya perlu menerima pemberian mereka. Nenek udah lama sekali nggak makan ikan kerapu. Padahal dulu sewaktu Falih sering main ke sini ia hampir selalu membawakan ikan kerapu untuk Nenek. Jadi, anggap saja ini hukuman untuk Falih karena tega membiarkan Nenek terlantar tanpa memakan ikan kerapu,” timpal nenek Kai seraya melirik tajam kepadaku.

Ucapannya justru membuat kami tertawa satu sama lain.

Kemudian nenek Kai mengambil ember tersebut dari genggaman Gema.

“Maaf, Nek. Yang terpenting sekarang Falih sudah datang buat membawakan ikan kerapu untuk Nenek Kai,” jawabku.

“Ya, sudah. Kamu Nenek maafkan tapi setelah ini nggak boleh datang lagi ke rumah ini,” ujar nenek Kai berpura-pura ketus.

Sejenak membuat senyumanku terjeda.

“Kenapa?” Gema yang bertanya.

“Nggak boleh kalau nggak bawa ikan kerapu. Itu syaratnya!” tegas nenek Kai.

“Wah, kalau itu sih susah, Nek. Ini aja kami dapetnya berhari-hari,” jawab Gema.

“Jadi, kalian di tengah-tengah lautan selama berhari-hari?” tanya nenek Kai.

Terlihat Hafa sedang menahan tawa karena ucapan neneknya. Sampai memperlihatnya gingsulnya yang manis. Itu juga sama seperti dulu. Jika mengikuti inginku, sudah pasti aku akan terus menatap Hafa. Dengan segala perubahannya, dengan segala yang tidak berubah juga.

“Bukan begitu, Nek. Maksud Gema, setelah berhari-hari kami menangkap ikan. Baru hari ini kami berhasil menangkap ikan kerapu,” ucapku memperjelas.

Nenek Kai mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Hei, kamu nggak ikut. Semua ikan ini tangkapanku dan nelayan lainnya! Kamu ‘kan cuma terlentang di pasir sambil berkhayal” tegas Gema.

Apa-apaan lagi dia malah mempermalukanku di hadapan Hafa dan keluarganya.

Setelah berbincang lumayan lama, tante Zainab mengajak kami untuk masuk ke rumahnya. Namun kami segera menolak dengan alasan belum mandi dan masih berpeluh banyak. Ini memang situasi yang tak nyaman untuk bertamu. Apalagi kaki kami telah membuat teras rumah mereka berpasir. Bahkan sebelum tante Hafa berbicara lagi, Gema langsung meraih sapu yang ada di pinggir teras seraya langsung menyau lantai yang berpasir. Bahkan Hafa pun tak sempat untuk mencegahnya.

“Ayolah, kalian setidaknya mampir dulu untuk sekedar menyantap cemilan keju buatan tante. Falih pasti ingat bahwa cemilan itu dulu kesukaanmu dan Hafa. Tante akan sedih loh kalau kalian menolak,” ujar tante Zainab yang belum menyerah untuk membujuk kami.

“Tapi kami yang tidak nyaman untuk sekarang tante. Lihatlah, baju kami kotor, tubuh kami berpeluh, sudah seperti gelandangan. Lain kali kami akan berkunjung, kok.” Jawabku berusaha menghibur.

“Soalnya kalau kalian pulang, Mama takut kalian lama lagi untuk kembali ke sini,” sahut Hafa mencoba memahami makna bujukan tante Zainab.

Kenapa tidak Hafa saja yang takut kami tidak kembali?

“Kalau begitu pulanglah kalian sekarang. Nanti sore kembali lagi dalam keadaan rapi. Kita bakar ikan kerapu. Sekalian bawa ikan-ikan tambahan. Ingat, datang nanti sore!” timpal nenek Kai memberi usul.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!