POV Artha!
Bergelayut dengan bisnis memang membuat kepalaku pusing. Ingin rasanya aku melempar pekerjaan ini kepada orang lain. Tapi, kepada siapa? Enak saja! Tidak ada!
Drt drt drt!
Aku mengecek ponselku. Aku mengembangkan senyumku ketika melihat nama siapa yang tertera di layar ponselku.
Mamaku(dua emot hati merah)~
[Hallo, Artha]
[Kenapa, Ma?]
[Artha, Mama pengen pulang ke Jakarta]
[Loh, emang Mama yakin, udah sembuh?]
[Yakin, kok]
"Bu, ayok diminum obatnya, biar gak kumat lagi sakitnya." Terdengar suara seorang perempuan, yang kupastikan itu seorang perawat.
Sengaja aku meminta Dokter luar negri, untuk menyiapkan perawat yang lancar berbahasa Indonesia agar dengan mudah mengajak Mama ngobrol. Bagaimanapun juga Mama seperti orang yang hilang ingatan. Bahkan kalo Mama tidak seperti ini, bahasa inggrisnya lebih lincah Mama daripada aku. Tapi, ya ... Begitulah.
[Ssst! jangan kenceng-kenceng, aku sedang menelepon anaku]
Aku tertawa kecil, mendengar bisikan Mama yang masih terdengar jelas ditelingaku.
[Udah dulu ya, Ma. Ingat! Jangan berfikiran pulang dulu sebelum Mama bener-bener sehat. Artha gak akan nerima mama, sebelum Artha mendapatkan informasi bahwa Mama udah sembuh total.]
Terdengar helaan nafas, setelahnya [Yaudah, iya]
Tut!
Aku menutup telfonnya sepihak.
Setelah kejadian dua tahun lalu, Mama seperti layaknya kembali lagi ke masa kecilnya. Berprilaku kekanakan-kanakan. Mungkin itu akibat setres yang melanda pikirannya.
Aku tidak bisa mengurus Mama sambil mengurus perusahaan. Maka aku memutuskan untuk melarikan Mama ke rumah sakit luar negri. Agar Mama juga bisa melupakan hal-hal yang sudah terjadi.
Satu, dua Minggu Mama di luar negri, Mama masih sering menghubungiku sambil menangis, mengatakan bahwa disana perawatannya jahat-jahat, tidak pernah memberi makan. Aku tahu betul itu hanya akal-akalan Mama supaya aku membawanya pulang lagi. Jelas sekali aku menyiapkan rumah sakit termahal dan tentunya terjamin kualitasnya, dan dokter serta perawatannya juga dapat dipercaya.
Namun aku tidak mungkin membiarkan Mama sendiri di luar negri, aku menyuruh dua bodyguard kepercayaanku, serta Om Bram dan Tante Sela, selaku sekretaris Papaku dulu dan istrinya. Aku percaya betul, Om Bram sudah menganggap Papa sebagai Kakanya sendiri. Melihat keduanya sangat akrab, bukan hanya sebatas bos dan karyawan. Tapi, layaknya seperti sodara. Begitupun dengan Tante Sela yang sudah menganggap Mama seperti Kaka perempuannya sendiri. Juga, berhubung mereka tidak memiliki keturunan, sangat mudah menyuruh mereka ikut ke luar negeri.
Dengan begitu aku bisa mendapatkan informasi tentang perkembangan Mama dari mereka. Tanpa memikirkan ucapan Mama yang tentunya ditambahin bumbu kebohongan.
Dua tahun yang lalu ...
Brak!
Aku mengerjapkan mataku, ketika terdengar gebrakan yang cukup keras dari arah luar kamarku.
Aku bangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul 22.30, aneh jam segini masih ada suara yang berbincang-bincang. Sepertinya itu Papa. Tapi, biasanya Papa setiap ada pertemuan selalu menghadirinya di siang hari, bahkan jarang sekali menjanjikan di rumah pribadi.
Karena, jiwa penasaranku meronta-ronta, aku berjalan gontai, menuju pintu kamarku.
Kubuka sedikit pintunya agar menghasilkan celah, untuk bisa melihat apa sebenarnya yang telah terjadi di luar.
Aku memicingkan mataku, memindai pria bertubuh besar, dengan balutan jas navy. Sayangnya aku tak bisa melihat siapa pria itu, sebab dia memunggungi kamarku.
Brak!
Aku mengerutkan keningku, terus memperhatikan pria itu yang nampaknya sedang dalam kondisi tidak ramah hati. Mungkinkah suara keras tadi juga akibat pvkulan pria itu, sehingga menghasilkan suara yang cukup keras.
"Lihatlah! Sekarang kita kalah! Saya sudah bilang, jangan gegabah! Kita, bisa mengatur rencana terlebih dahulu, agar bisa mendapatkan tender itu!"
Aku mengeraskan rahangku, melihat pria itu membentak Papaku. Walaupun aku tidak tau apa alasannya, tapi aku dapat melihat, pria itu memang tampak emosional.
"Sudahlah, Ga. Mungkin ini memang bukan rezeki kita. Kita bis—,"
"Tidak bisa begitu! Saya sudah mengeluarkan dana banyak untuk proyek, ini. Saya tidak mau rugi! Sekarang ganti uang itu!"
"Loh, apa-apaan?! Disini bukan hanya kamu saja yang rugi, saya juga rugi. Dana proyek itu bukan hanya pengeluaran darimu, tapi dari saya juga! Jadi kita sama-sama rugi. Tidak ada yang bisa menggantikan uang itu!"
"Tapi, dana dari saya 65% dari danamu yang hanya mengeluarkan 35%. Jadi, setidaknya kamu harus mengganti yang 15% nya biar kerugian kita setara!"
"Apa kamu lupa, siapa yang sering menghadiri meeting bersama klien? Dengan alasan kamu selalu sibuk. Saya bisa mengatur acara saya, tapi kamu tidak pernah memikirkan kerja keras yang harus di tempuh di perjalanan. Kamu selalu memikirkan hasilnya yang kamu fikir akan berakhir menguntungkan. Jadi, apa semua itu tidak termasuk kerugian besar bagi saya? Saya lebih banyak mengeluarkan otak saya!"
"Jadi, siapa yang bisa mengganti kerugian, saya?!"
"Tidak ada! Karena ada dua orang yang mengalami kerugian. Sudahlah Angga, mari kita bekerja keras lagi. Yang namanya usaha itu, tidak luput dari cobaan, tapi cobaan itu bukan salah satu penghalang kesuksesan. Kita bisa melewati kegagalan ini dengan kesabaran."
"Ck. Saya tidak Sudi bekerja sama denganmu lagi. Hanya menghasilkan kerugian saja! Lebih baik kita akhiri kerja sama kita!"
"Jadi, kamu menganggap kegagalan ini disebabkan oleh saya?! Begitu?!"
"Tentu saja!"
"Bisa-bisanya kamu berfikir seperti itu!"
"Memangnya kenapa?! Bekerja sama denganmu memang tak pernah mendapatkan keuntungan! Buang-buang waktu"
"Yasudah, sekarang kamu boleh angkat kaki dari rumah saya!"
"Kamu mengusir saya?!"
"Bukankah semuanya sudah selesai?! Apa lagi yang perlu di bahas? Pria sepertimu memang tidak bisa di ajak bersabar!"
"Apa kamu bilang?!"
"Sudahlah, Ga. Istri dan anak saya sedang tidur, jangan menghasilkan keributan. Mending sekarang kamu pulang, minta solusi pada istrimu, bagaimana caranya menghadapi situasi seperti sekarang."
Bugh!
Satu pvkulan mendarat tepat di rahang Papa. Aku mengepalkan tanganku erat, ingin rasanya aku berlari kesana, dan membalas pvkulan itu. Tapi aku tau, konsekuensi yang akan kudapatkan.
Sebisa mungkin aku meredam emosiku, menahan gejolak yang rasanya ingin meledak detik itu juga.
"Mantha Angkasa! Asal kamu tahu, saya bukan tipe orang yang suka menghambur-hamburkan uang! Kalo, memang kamu tidak bisa mengganti rugi, maka kamu harus siap menderita!"
Bugh!
Satu pvkulan yang kedua kalinya, mendarat di rahang Papa yang satunya lagi.
Tak berhenti sampai situ ...
Bugh!
Bugh!
Bugh!
Brak!
Pria itu mengh4jar Papa brutal, sehingga Papa tersungkur ke lantai.
Ketika pria itu ingin melayangkan pvkulannya lagi ...
"STOOP!"
Mama? Mama berlari menghampiri Papa yang sedang terbaring lemas.
"Apa yang kamu lakukan terhadap suami, saya?!"
Mama menatap tajam, pria itu.
"Berhenti kekanak-kanakan!"
"Apa maksudmu?! Apa selama ini kamu menganggapku kekanak-kanakan?! Iya?!"
Mama tampak tak menjawab pertanyaan pria itu. Aku tak bisa tinggal diam, aku membuka pintuku. Hendak berlari menemui mereka, sebelum langkahku terhenti akibat ...
"Saya akan melaporkanmu atas kasus kekerasan terhadap suami saya!"
"Silahkan, saja! Kamu punya bukti apa?!"
"Apa semua luka yang ada di tubuh suami saya tidak cukup untuk menjadikannya salah satu bukti kekerasanmu?! Kamu fikir polisi akan berhenti disitu saja?! Suamiku seorang CEO terkenal, polisi pasti akan menangani kasus ini!"
"Saya tidak takut!"
"Bukan cuman itu saja! Bahkan saya akan melaporkanmu atas kasus penukaran bayi! Karena, sampai sekarang mungkin ibu pemilik anak itu belum mengetahui siapa anak yang sekarang ia urus."
"Kamu—,"
"Mari kita laporkan Om Angga! Dia harus bertanggung jawab atas kesalahannya!" Ucapku, menatap tajam pria itu yang ternyata orang yang sudah lama aku kenal.
Om Angga akhir-akhir ini memang sering sekali ngobrol bersama Papa. Tapi, aku tidak pernah tau apa yang mereka bahas, aku hanya berfikir mungkin itu urusan bisnis, tidak pernah menyangka bahwa akhirnya akan jadi seperti ini.
"Anak muda tau apa soal urusan orang tua?! Mending sekarang kamu tidur sana! Fikirkan soal kuliahmu, agar tidak menjadi orang bodoh seperti Papamu!"
Aku tak bisa menahan emosiku lagi, hendak aku layangkan pukvlan terhadapnya, sebelum ...
"Artha! Udah, sayang. Mending sekarang kita bawa Papamu ke rumah sakit. Soal hukum, itu biar Mama yang urus."
Lagi-lagi terpaksa aku harus meredam emosiku.
'Lihat saja, kamu adalah orang baru yang masuk ke dalam daftar korbanku selanjutnya, Pak Angga Ragayu!' batinku, menatap tajam Om Angga.
Rumah sakit Siap Siaga!
"Bagaimana dengan kondisi suami saya, Dok?"
Mama berlari menuju dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.
Dokter itu menundukkan kepalanya, mengembuskan nafasnya perlahan. Lalu, menatap aku dan Mama bergantian.
"Benturan dikepalnya, mengakibatkan pergumpalan d4rah dibagian otaknya, sehingga otaknya tidak bisa berfungsi dengan baik. Maka, kami menyatakan bahwa Pak Mantha mengalami koma permanen!" ... " Yang dimana, kami tidak bisa menjamin Pak Mantha bisa kembali seperti manusia pada umumnya!"
Seketika Mama melemaskan tubuhnya. Jika saja aku tidak dengan sigap menahannya, mungkin Mama akan terjatuh ke lantai.
"Apa maksudmu?! Jangan bercanda!" bentakku, menatap tajam Dokter Nioqa, yang biasa kupanggil Dr Nio.
Dr. Nio; "Benturan dikepalnya cukup keras, Artha! Jadi, benturan itulah yang menyebabkan gumpalan d4rah diotaknya!" ucapnya memperjelas kalimatnya.
Aku masih tak percaya, Om Angga berhasil membuat seorang CEO berakhir terbaring tanpa kepastian bisa menghirup udara lagi.
Aku mengepalkan tanganku kuat. Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan Om Angga.
Satu tahun telah berlalu ...
Papaku sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuannya. Walaupun dokter berkata mustahil, tapi aku percaya Papaku akan baik-baik saja.
Dr.Nio; "Artha! Sudah setahun Papamu koma, apa kamu tidak kasihan terhadapnya? Kenapa, kamu tidak mengambil keputusan saja."
"Apa maksudmu?! Kamu menyuruh saya untuk menyetujui suntik mati terhadap Papa saya?! Iya?!" Aku menatap tajam Dr Nio.
Mungkin sudah lebih dari seratus kali dalam setahun ini Dr Nio selalu menyuruh aku mengambil keputusan itu. Sudah kupertegaskan, Papa saya baik-baik saja. Beliau hanya cape, dia butuh istirahat. Aku tahu, itu!
"Jangan harap kamu mendapatkan ijin dari saya! Selagi Papa saya masih bernafas, saya tidak akan melepaskan dia, dengan suntik mati tangan manusia!"
Dr Nio mengembuskan nafasnya perlahan, lalu menatapku dalam, serta menepuk pundakku, seraya berkata, "Baiklah, saya harap kamu mendapatkan apa yang kamu harapkan!" ucapnya, lalu berlalu dari hadapanku.
Aku mengepalkan tanganku kuat, menatap punggung Dr Nio yang mulai menghilang dari pandanganku.
Aku kembali menatap wajah damai Papa, "Pa ... Pertempuran akan segera di mulai! Papa harus menyaksikan, hari dimana keluarga Angga Ragayu hancur berkeping-keping! Aku tunggu kabar baik dari Papa." ucapku, lalu aku segera keluar dari ruangan itu.
Angkasa group!
"Tuan, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu." ucap Ledisya, selaku sekretarisku.
"Persilahkan dia masuk!"
Ledisya; "Baik, tuan!"
Ceklek!
Aku memutar kursi kerjaku, dan ...
Degh!
Aku mengeraskan rahangku, melihat siapa orang yang sekarang berada di hadapanku! Si br3ngsek itu berani-beraninya menginjakkan kaki di perusahaanku!
Pak Angga menundukkan kepalanya dalam, dengan tubuhnya yang bisa kulihat sedikit bergetar.
Aku mengetuk-ngetuk balpoin yang sedang kupegang. Menatap tajam orang yang sedang dalam pendiriannya.
"Maafkan, saya!" lirihnya, yang masih dengan posisinya.
"Ck, apa kamu bilang?! Saya gak dengar!"
"Maafkan saya Artha. Saya bener-bener menyesal. Saya minta maaf." Pak Angga menatapku sendu. Tatapan yang membuatku mval melihatnya.
"Menyesal? Lalu, hal apa yang membuatmu datang ke perusahaan kecil Papaku, ini?!"
Tentu saja bertolak belakang dengan apa yang aku katakan. Dengan kerja kerasku, aku berhasil mengembangkan kembali perusahaan Papa yang sempat di ambang kebangkrutan!
Pak Angga; "Saya ingin menebus kesalahan saya."
"Dengan cara apa, kamu ingin menebus kesalahanmu?!"
Pak Angga; "Apapun itu, akan saya lakukan."
"Benarkah?!"
Pak Angga menganggukkan kepalanya antusias.
Aku tertawa kecil, menatapnya dari atas hingga bawah, pun sebaliknya.
"Apa kamu bisa membangunkan Papaku dari komanya?"
Terlihat Pak Angga menelan salivanya perlahan, lalu menatapku lemah.
Pak Angga; "Saya bukan tuhan yang bisa menentukan itu semua, Artha."
"Jika kamu tidak bisa menentukan itu, lantas kenapa kamu berani-beraninya menentukan siks4an yang berhasil membuat Papa saya jadi Seperti, ini?! Kamu mengharapkan Papa saya mat1? Bukankah kemat1an juga tuhan yang menentukan?! Apa yang kamu harapkan waktu itu?!" Aku menatap nyalang Pak Angga, mencoba meredam emosiku yang sedang bergejolak.
Pak Angga; "Saya benar-benar menyesal Artha. Waktu itu saya khilaf, saya lagi emosi karena saya tidak mau mengalami kebangkrutan. Kali ini saya sadar dengan apa yang di ucapkan Papamu. Dalam usaha itu, tidak luput dari cobaan, saya tahu sekarang, Artha."
"Saya tidak mengharapkan kesadaranmu, saya hanya mengharapkan pertanggung jawabanmu!" ... "Sejak kejadian itu, saya belum sempat melaporkanmu kepada pihak hukum. Karena, sekarang kamu sudah berada dihadapanku, dengan itu, saya tidak akan menundanya lagi!"
Pak Angga menggelengkan kepalanya, sambil berlari ke arahku, "Saya mohon Artha, jangan bawa saya ke kantor polisi, saya akan melakukan apapun yang kamu minta. Tapi, saya mohon jangan lakukan itu, saya mohon ... " ucapnya, sambil bersimpuh lutut dihadapanku.
Kujauhkan kakiku dari tangannya, bukan karena aku menghargai dia sebagai orang tua. Hanya saja, aku tidak sudi di sentuh oleh orang br3ngsek seperti dia.
Pak Angga; "Mari kita berdamai, Artha! Saya akan membantumu untuk semakin mengembangkan perusahaan Papamu. Saya akan membuat perusahaan Papamu semakin berjaya!" ucapnya antusias, menatapku dengan mata berbinar.
Aku mengeraskan rahangku, menatap tajam Pak Angga.
Bugh!
Dengan deru nafas yang memburu, aku mengepalkan kedua tanganku.
"KAMU FIKIR SAYA SEBODOH, ITU?! HAH?!" Aku semakin menajamkan pandanganku terhadapnya, yang sedang meringis kesakitan akibat pvkulanku. Tidak perduli aku di cap orang durhaka. Karena, seorang anak mana yang rela melihat penderitaan ayahnya.
"Jangan harap saya bisa memaafkanmu, Angga! Kamu fikir setelah apa yang kamu perbuat terhadap Papa saya, saya bisa memaafkanmu begitu saja! Hanya orang bodoh yang berfikiran seperti, itu!"
Pak Angga menundukkan kepalanya, tidak berkata sepatah kata pun.
"Ingat! Cepat atau lambat, kamu juga akan merasakan kehilangan! Atau ... Meninggalkan orang yang kamu sayang!"
Pak Angga; "Tolong jangan usik keluarga saya! Keluarga saya tidak tahu apa-apa, itu semua murni kesalahan, saya! Saya mohon, Artha!"
Aku memiringkan b1birku, menatap tajam Pak Angga.
"Jika, kamu tidak mau masuk penjara, dan juga tidak mau melihat keluargamu tersakiti, lalu hukuman apa yang pantas untukmu?!"
Pak Angga; "Setidaknya saya bisa membantu—,"
"Jangan harap kamu bisa diterima di perusahaan, ini! Perusahaan ini tidak sudi menampung karyawan sepertimu!"
Aku menatap Pak Angga datar, lalu aku mulai berdiri, dan berjalan ke arahnya.
"Lima puluh juta! Anggap saja uang itu bisa menggantikan kesalahanmu!"
Pak Angga; "Ma--maksdumu ... Saya harus membayar uang sebesar lima puluh juta?"
Aku menganggukkan kepalaku, "Bahkan ... Itu hanya setengah dari keseluruhan biaya Papa saya, kalo berkenan kamu bisa membayarnya sebesar seratus juta!"
Pak Angga menggelengkan kepalanya, "Uang dari mana? Perusahaan saya sudah bungkus, saya sudah tidak punya pekerjaan lagi. Bahkan tadinya saya kesini, ingin menyalurkan tenaga, saya."
"Bodoh sekali! Sangat tidak tahu malu!" gumamku yang kuyakini masih bisa terdengar jelas olehnya.
"Karena, saya tidak terlalu membutuhkan uang itu, maka saya akan memberi waktu untukmu mengumpulkan uang itu! Saya fikir satu minggu, cukup?"
Pak Angga; "Satu Minggu?! Yang benar saja, Artha? Dalam seminggu untuk saya mendapatkan uang ratusan ribu saja saya kesusahan, apalagi dalam seminggu harus menghasilkan uang sebesar lima puluh juta. Itu sangat mustahil!"
"Lalu! Berapa lama waktu yang cukup untuk menghasilkan uang itu?!"
Pak Angga; "Anak saya lagi sekolah. Walaupun saya nantinya memiliki pekerjaan, mana bisa dengan cepat mengumpulkan uang itu. Saya akan memberitahumu jika saya sudah mempunyai uang itu. Mungkin dengan waktu yang sangat lama."
"Apa jaminannya? Apa saya harus percaya, jika kamu tidak akan kabur?!"
Pak Angga menggelengkan kepalanya, "Saya berjanji saya tidak akan kabur!"
"Oke, saya percaya! Karena, walaupun kamu berani kabur, akan dengan mudah aku menemukanmu!" tegasku menatap tajam Pak Angga.
______
Permintaan maaf memang mudah untuk di ucapkan. Selepas melakukan kesalahan, dengan mudahnya mulut mengatakan "maaf atas kesalahan yang sudah terjadi", bahkan dengan entengnya menambahkan kalimat, "mari kita berdamai".
Memaafkan juga mudah untuk dipertimbangkan. Tapi perlu di ingat! Memaafkan kesalahan, bukan berarti menghilangkan dendam yang terpendam.
Meski mulutku mengucapkan, "aku memaafkanmu", tapi hatiku senantiasa mengibarkan bendera peperangan.
Tok tok tok!
"Masuk!"
"Ada apa, Tuan memanggil, saya?" tanya Dero, selaku supir pribadiku, sekaligus orang kepercayaanku. Dia sudah mengabdi selama dua tahun, setelah aku resmi memegang perusahaan Papa. Dia juga aku jadikan sebagai tangan kananku. Selain besar badan, dia juga tipikal orang yang besar keberanian. Aku suka! Tapi, bukan berarti aku suka, aku cinta! Aku suka kerja kerasnya!
"Siapkan mobil, kita temui tersangka!" jawabku, menatapnya datar.
Dero; "Baik, Tuan." Setelahnya, dia berlalu dari hadapanku.
Aku berencana untuk menemui keluarga Angga Ragayu. Sudah setahun sejak dia bersimpuh lutut di kakiku, aku tidak pernah menemui nya lagi. Siapa tahu, dia sudah mempunyai uang itu! Ck, sepertinya tidak mungkin!
Singkat saja!
Selepas menyaksikan drama tidak berguna itu, akhirnya aku bisa membawa tamengnya untung membalaskan semua dendamku.
Mozayya Addena Ragayu, anak dari Angga Ragayu, orang yang sudah merenggut kebahagiaanku.
Setelah apa yang sudah diperbuat olehnya, sehingga menyebabkan ayahku tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan harap aku bisa membiarkan orang itu hidup tenang, bahkan orang terdekatnya sekalipun.
Aku akan membalaskan dendamku lewat Mozayya! Dengan begitu, Angga akan merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang ia sayang.
Walaupun dalam garis besar Papaku masih hidup, tapi jika terus-terusan seperti ini. Sepertinya aku harus rela melepaskannya.
Sore harinya!
Setelah Mozayya masuk kedalam perangkapku, aku memutuskan untuk menemui tawananku.
Diperjalanan bayang-bayang kejadian dua tahun lalu, kembali menghantuiku. Aku memegang erat setir mobilnya, melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
Brum!
Mobil itu melesat, sampai akhirnya aku sampai ke tempat tujuan!
Basecamp Pschyo!
Sengaja aku menamai Basecamp itu dengan meletakkan nama Pschyo, walaupun dalam kurung, terkecuali mereka. Di sini memang hanya aku lah yang memiliki latar belakang pembvnuh. Mereka hanya pemuda biasa yang sedang mencari kesenangan dalam hidupnya. Sedangkan aku, Artha si Psik0pat, orang yang sedang mencari keadilan dalam hidupnya! Lagipula mereka juga tidak menyangkal.
Dari aku berusia tujuh belas tahun, aku sudah memiliki rasa tidak suka terhadap manusia yang hanya mementingkan egonya sendiri. Hanya saja, pada waktu itu aku belum berani berbuat yang lebih dalam lagi. Aku hanya meny1ksa orang itu, sampai orang itu terkvlai lemas, lalu aku akan meninggalkan orang itu sampai takdir yang menentukan hidup dan mat1 nya.
Namun, semenjak kejadian tragis menimpa keluargaku, aku tidak mengenal lagi yang namanya, menimbang-nimbang keputusan. Apa yang ada di fikiranku, aku akan mengerjakannya, entah itu merugikan orang lain ataupun tidak! Aku tidak perduli!
Lihatlah, aku benci terhadap orang yang mementingkan egonya sendiri, tapi sekarang aku lah orang yang mementingkan egoku sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Gunasri K
/Shame/
2024-02-12
0
mega
Bagus Ceritanya
2024-02-12
0