Dengan kasar Artha menarik Mozayya dari pelukan kedua orang tuanya. Mencekal kuat pergelangannya. Tak memperdulikan ringisan yang keluar dari mulut Mozayya.
Bu Ningsih yang mengerti dengan raut wajah Mozayya. Mencoba mendekati keduanya.
Artha; "Stop!" Tegasnya, menatap Bu Ningsih tajam.
Mozayya mencoba melepaskan cengkramannya, walaupun sepertinya sia-sia.
Artha; "Dengerin saya! Saya akan membawa anak kalian mulai hari ini juga!" tegasnya.
Mozayya; "Apa?! Kenapa secepat, ini?"
Artha; "Loh, mau nunggu apa, lagi? Mau, nunggu kalian kabur, gitu? Memangnya saya orang bodoh, apa!" tegasnya, menatap nyalang Mozayya.
Mozayya menggelengkan kepalanya, "Enggak, bukan seperti itu. Maksud saya, apa tidak melaksanakan pernikahan dulu, baru kamu boleh membawa, saya?" ujarnya dengan hati-hati.
Artha memiringkan bibirnya, kemudian menatap setiap inci tubuh Mozayya.
Artha; "Itu urusan, saya!" tegasnya.
Mozayya; "Loh, itu juga urusan, saya!" tegasnya juga.
Pak Angga; "Sudah-sudah! Moza, ayah yakin Den Artha tidak akan berani macem-macem terhadapmu. Jadi, ikuti saja perintahnya." lirihnya.
Mozayya; "Tapi, Yah—"
Bu Ningsih; "Mozaa ... " lirihnya, menatap sendu Mozayya.
Mozayya mengembuskan nafasnya kasar, lalu kembali menatap Artha datar.
Artha; "Tapi, kamu janji, tidak akan menyentuh saya sebelum kamu menikahi saya!" tegasnya, menatap tajam Artha.
Artha memalingkan wajahnya, menatap Dero datar, memberikan isyarat, yang dengan mudah dapat Dero pahami. Setelahnya Dero segera keluar meninggalkan ke empat insan itu.
Artha; "Anggap saja kalian telah menjual anak kalian kepada, saya!" tegasnya, menatap tajam Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian.
Pak Angga terlihat gelisah, ia masih memikirkan apakah keputusannya memang jalan keluar untuk permasalahannya.
Mozayya; "Uang lima puluh juta kamu ratain sama manusia? Kamu fikir saya barang apaan?!" sarkasnya.
Artha; "Itu tidak termasuk pemeliharaannya. Urusanmu akan menjadi urusan saya juga. Jadi, soal biaya hidupmu, saya yang nanggung! Termasuk Sekolahmu."
Mozayya masih belum percaya dengan ucapan Artha. Mana mungkin pria ini yang tadinya seperti orang kesetan4n, tapi sekarang dengan entengnya ingin menikahinya. Lalu, hutangnya dinyatakan lunas. Sedikit tidak masuk akal.
Dengan perasaan tak tenang, Mozayya mencoba mengikuti apa ucapan Artha. Bagaimanapun nantinya, ia yakin keputusan ayahnya tidak akan pernah salah.
Artha; "Baiklah, sepertinya anak kalian setuju dengan usulan saya." ucapnya, menatap Mozayya datar.
Mozayya menatap tangannya yang masih dalam Cengkraman Artha.
Artha mengerti apa maksudnya, lalu segera melepaskan cengkramannya.
Mozayya berlari menghampiri Bu Ningsih dan Pak Angga. Menatap dalam keduanya. Lalu memeluk keduanya bersamaan.
Pak Angga dan Bu Ningsih, mengusap punggung Mozayya lembut.
Pak Angga; "Nak, kamu wajib bahagia." bisiknya, tepat di telinga Mozayya.
Mozayya; "Aku gak yakin, Yah." Lirihnya dengan suara bergetar.
Artha bergumam, "Ck, menyebalkan!"
Artha kembali menarik Mozayya kuat, hingga terlepas dari pelukan kedua orang tuanya. Kali ini Mozayya berada dalam rangkulan Artha.
Mozayya membelalakkan matanya, menatap tak percaya kepada pria ini, dan ada perasaan yang juga sulit ia artikan.
Mozayya mencoba menggeser tubuhnya agar sedikit berjarak, namun hal tak terduga. Artha malah menarik pinggang ramping Mozayya, sehingga Mozayya tak bisa berkutik lagi.
Dengan perasaan yang menggebu-gebu, Mozayya mencoba mengatur ekspresinya se santai mungkin.
Pak Angga dan Bu Ningsih saling melempar pandangan. Disusul dengan senyuman tipis menghiasi b1bir keduanya.
Artha; "Apakah saya sudah boleh membawa Mozayya Addena Ragayu?" tanyanya, dengan senyuman tipisnya.
Pak Angga masih loading ... Setelahnya, "Bo--boleh, silahkan." Lalu menatap Mozayya dengan tatapan sendu.
Mozayya melipat b1birnya, sebisa mungkin menahan gejolak perasaan yang bertengkar didalam hatinya.
Ada perasaan kecewa terhadap kedua orang tuanya, karena dengan mudah mereka melepaskan dirinya begitu saja. Tapi, Mozayya mengerti akan perasaan mereka.
Perlahan Mozayya kembali menatap Artha, "Artha! Namamu Artha?"
Artha; "Hmh,"
Mozayya mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menatap kembali kedua orang tuanya.
Mozayya; "Tuan Arth—"
Artha; "Sepertinya kosakata itu terlalu formal untuk kita yang sebentar lagi akan menjadi pasangan suami-istri."
Mozayya mengerutkan keningnya sambil menatap Artha bingung.
Artha; "Kamu boleh memanggil saya, Artha, atau ... Sayang, juga boleh." ucapnya, menatap Mozayya sambil mengangkat sebelah alisnya, tak lupa sebelah b1birnya yang juga ikut tertarik.
Mozayya bener-bener tak mengerti dengan jalan pikiran pria ini. Sepertinya ada maksud tertentu dibalik semua ini. Mozayya sudah siap bertarung dengan kenyataan-kenyataan yang akan menghampirinya.
Mozayya menghembuskan nafasnya perlahan, lalu menatap Artha dalam.
Mozayya; "Kak, kamu harus janji sama say— aku, kamu gak akan pernah ganggu ayah dan ibuku lagi." lirihnya, lalu menatap kedua orang tuanya.
Artha; "Hmh! Asal kamu mau mengikuti apa perintahku. Bagaimana, Dil?!" ujarnya, lalu menyodorkan sebelah tangannya.
Dengan perlahan Mozayya meraih tangan kekar itu. Tak ingin lama-lama dalam posisi, Mozayya segera melepas pautan itu.
Artha; "Oke, Dil yah?!" tanyanya, menatap dalam Mozayya.
Mozayya menganggukkan kepalanya pelan.
Artha menatap Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian, "Lihat baik-baik, Kesepakatannya sudah dil di hadapan kalian berdua. Jadi, Mozayya sekarang sudah menjadi milik saya!" Menatap keduanya tajam, "Dalam sebuah kurung, Mozayya masih darah daging kalian. Jadi, dia masih bisa menemui kalian. Tapi, harus dengan ijin dari saya!"
Pak Angga menatap Artha serius, "Terimakasih Den Artha, ini adalah sebuah keringanan yang paling berharga. Terimakasih sekali lagi." ucapnya sambil menundukan kepalanya singkat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments