POV Mozayya!
Pagi ini cuaca lumayan cerah, kulihat dari jendela, terdapat tanaman-tanaman yang mengeluarkan uap, karena diguyur hujan semalaman. Kupu-kupu yang juga sedang sibuk berebutan bunga, tak lepas dari pandanganku.
Kuhirup udara banyak-banyak, merentangkan kedua tanganku. Menelisik setiap sudut taman yang memiliki berbagai tanaman, dan pohon-pohon yang sepertinya berfungsi untuk menambah udara segar.
Aku membalikan tubuhku, menatap sekeliling kamar yang sekarang sudah menjadi milikku.
Aku berjalan gontai, menuju cermin yang posturnya lebih pendekkan aku. Aku menatap diriku di cermin. Memindai setiap sudut tubuhku, melihatnya prihatin.
Aku menghembuskan nafasku kasar, "Moz, sekarang Lo bisa, apa?" Monologku, menatap diri di cermin.
Aku memajukan wajahku untuk lebih dekat dengan cermin. Lalu, tatapanku berhenti di bulatan merah kecil tepat di bawah b1birku, 'Ooh, noo ... Jerawat! Ada, apa gerangan, tuhan!' teriaku dalam batin.
Aku mulai menggerakkan tanganku untuk membasmi si jerawat si4lan, itu.
Baru akan kutusuk dengan kuku-ku yang sedikit runcing, tiba-tiba ...
Brak!
Aku terlonjak kaget, dengan gebrakan yang cukup keras. Aku membalikan tubuhku melayangkan pandanganku ke arah pintu yang sudah ku taksir batinnya sedang tertekan.
"Artha?" gumamku, menatap Artha datar.
Dia berjalan ke arahku dengan melipat kedua tangannya. Seperti biasa menatapku tajam. Aku hanya mengangkat sebelah alisku, sambil kuusap-usap jerawatku yang tiba-tiba terasa berdenyut-denyut.
Artha memiringkan kepalanya, menggeser tanganku pelan, menggantikannya dengan tangan miliknya, lalu memicingkan matanya, menatap b1birku, eh ralat. Sepertinya, dia memerhatikan jerawatku.
Aku menepis tangannya kasar, tidak mau ada bekasnya di wajahku, segera kuusap kasar kulit daguku.
Artha mengangkat sebelah alisnya, menatapku datar, sambil melemparkan senyuman miringnya.
Lagi-lagi Artha menatapku dari atas hingga bawah, pun sebaliknya.
Takut ada sesuatu, aku juga ikut mengikuti titik pandangannya, tapi, tak ada yang mencurigakan. Aku hanya mengedikan bahu, dan hendak berlalu ke arah pintu, namun sebelum itu ...
Artha memegang sebelah tanganku, tanpa menolehkan pandangannya. Aku yang juga masih dalam pendirianku, akhirnya menghasilkan posisi kita yang saling membelakangi.
Aku menyembulkan kepalaku, tepat disampingnya. Sehingga Artha dapat melihatku dengan menundukan kepalanya.
"Kenapa?" tanyaku kepadanya.
Artha menarik tanganku cepat, membuat tubuhku terpental hingga tepat dihadapannya, dengan jarak yang lumayan mepet.
Artha; "Kenapa, masih berantakan?" tanyanya, menatapku intens.
Aku mengerutkan keningku, sejak dari tadi diriku bercermin, perasaan aku gak berantakan, deh.
Aku melepas genggamannya, dan berlari menuju cermin.
"Apanya yang berantakan? Perasaan pakaianku rapi, rambutku oke, cantiknya jug—," ucapku terpotong, kala mendapatkan tatapan yang amat sangar darinya.
Artha; "Cepatlah mandi, dan ganti pakaianmu!"
Aku menatap keluar, terlihat sinar matahari yang mulai menembus kaca jendela kamarku.
"Astaga! Aku, kan harus sekolah! Aduh ... Aduh, telat, nih!" Teringat bahwa sekarang hari hormat, bisa-bisa aku hormat sampai jam istirahat.
Buru-buru aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi, namun lagi-lagi ...
Artha memegang sebelah tanganku kuat, menatapku tajam.
Artha; "Siapa yang menyuruhmu ganti pakaian, lalu sekolah?!"
"Memang gak ada yang nyuruh, tapi kan hari ini aku sekolah. Aku bisa telat, jadi lepasin tanganku!" berontakku, mencoba melepaskan genggaman tangannya.
Namun, semakin aku berontak, semakin kencang pula genggamannya.
Artha; "Ini rumah saya, dan semua peraturan di sini, saya yang ngatur!" tegasnya, menatapku lebih tajam.
"Perasaan, dimana-mana kamu yang ngatur! Bahkan kemarin saja, kamu yang ngatur, padahal dalam garis besar, itu rumahku, dan membahas ucapanmu barusan, di rumahmu kamu yang ngatur, jadi seharusnya kemarin aku yang ngatur, dong!"
Dia menatapku datar, lalu ...
Artha; "Kamu lupa dengan kesepakatan kemarin, Mozayya Addena Ragayu?!" tanyanya, dengan menarik pinggangku hingga menubruk pinggang miliknya.
Aku membulatkan mataku sempurna, menelan salivaku susah payah. Bernafas itu bisa lewat hidung ataupun mulut, tapi kenapa pingganku yang ditarik, nafasku yang tersendat. Omaygat, bahaya.
Artha; "Jika, kamu masih ingin terus bernafas, ikuti apa perintahku!
'Loh, kenapa dia tau, kalo aku susah bernafas, ah yang pasti bukan ini yang dia maksud!' batinku cemas.
"Urusan hidup dan mati itu bukan kamu yang menentukan!" sentakku menatap tajam kelopak matanya.
Artha semakin mengeratkan sebelah tangannya yang melingkar di pingganku, menatapku sambil tersenyum tipis.
Artha; "Bagaimana, kalo tanganku yang menentukannya, hm?"
Aku mengangkat sebelah alisku, kucoba menepis sebelah tangannya yang bertengger dirahangku.
Artha; "Lebih baik kamu mandi, sana! Jangan coba-coba memancing emosiku, lagi!" ucapnya, sambil mengempaskan rahangku kasar, lalu beranjak pergi dari hadapanku.
"Apaan, coba? Se galak-galak nya manusia, mana ada manusia bunvh manusia!" umpatku sepeninggalnya dirinya.
Ketika aku mulai melangkahkan kakiku menuju kamar mandi ...
"Pake ini!"
Aku membalikan tubuhku, menatap pria yang sama sedang menatapku datar, sambil menenteng sebuah paper bag.
"Apaan?"
Artha; "Pake aja!" ucapnya, lalu meletakkan paper bag itu di samping tempat tidurku. Setelahnya dia bener-bener hilang dari kamarku.
Aku berjalan menuju nakas tempat dimana benda itu diletakkan, kuambil paper bag itu, lalu aku segera berlalu ke kamar mandi.
Lima menit kemudian ...
Aku memperhatikanku dicermin. Kali ini aku akui, aku terlihat anggun. Walaupun ini hanya baju pelayan, tapi kelihatan menarik.
Aku segera mengikat rambutku dengan si jedai hitamku. Tak lupa aku menyisakan sedikit rambutku guna menghalangi keningku sampai ujung rahangku.
Ceklek!
"Baru keluar, tuan putri!"
Celotehan itu seperti sebuah ejekan. Aku menatap wanita itu datar. Serta melipat kedua tanganku.
Setelah difikir-fikir, manusia seperti Maid Ling memang tidak bisa di ajak berdamai, sepertinya memang harus di ladenin.
Maid Ling; "Orang mah lagi sibuk kerja dari subuh, eh putri raja baru nongol." gumamnya yang masih terdengar jelas di telingaku.
Aku berjalan ke arahnya, dimana Maid Ling sedang mengelap bufet yang berada di ujung tangga, yang dimana tangga itu menjadi perbatasan antara kamarku dan juga kamar Artha.
Aku menyenderkan tubuhku di railing tangga. Menatap Maid Ling yang sedang menampakan wajah masamnya.
Aku mencoba menyembunyikan tawaku yang sebenarnya sudah berada di tenggorokan.
"Ya, gimana ya? Tuan Artha sih, ngasih kamarnya gak kira-kira, jadinya aku keenakan tidur, sampe aku lupa, kalo aku harus kerja. Duh, gini ya jadi Maid kesayangan, Tuan muda." ucapku, dengan senyuman hangatku. Kusapu rambutku yang sedikit menghalangi mataku.
Ketawa takut dosa, gak ketawa ini momen langka. Melihat mimik wajahnya yang semakin mengguratkan kekesalan. Membuatku tertawa terbahak-bahak, yang sayangnya hanya di presentasikan di dalam hati.
"Udah, dulu ya. Aku mau lihat-lihat rumah ini dulu, biar bisa cepet beradaptasi. Juga, mengenal sifat Maid lainnya, seperti sekarang, aku sudah bisa mengenal Maid Ling, pun sebaliknya, kan?" ucapku. Tanpa menunggu jawaban yang sepertinya mustahil kudapatkan, segera aku berjalan menuruni anak tangga satu persatu.
Setelah dibawah, aku iseng untuk kembali melihat keberadaan Maid Ling. Terlihat kedua tangannya yang sedang menggenggam kain terkepal kuat.
Aku hanya menggelengkan kepalaku, tanpa berniat untuk memikirkan apa yang berada dalam fikiran wanita itu.
Tujuanku, dapur!
Bukan apa-apa, perutku tiba-tiba bunyi, aku lupa semalam tidak sempet makan. Saking sibuk nya mencoba mencari cara untuk bisa tertidur nyenyak.
Aku menyembulkan kepalaku tepat di pintu dapur itu, melipat kedua b1birku. Enggan untuk memanggil salah satu Maid diantara kedua Maid di sana.
Karena perutku semakin meronta, perlahan aku berjalan masuk, dan berdiri tepat ditengah-tengah kedua Maid tersebut.
Keduanya menoleh ke arahku bersamaan. Kugaruk tengkukku yang tak gatal, bingung harus mulai darimana.
Kupegang perut rataku, sambil meng3rucutkan b1birku.
Sontak keduanya tertawa kecil, sambil menggelengkan kepalanya. Aku menatap keduanya bergantian, lalu aku kembali menatap perutku yang minta di isi.
"Kamu, laper?"
Kedua mataku berbinar, menatap Maid yang berada di sebelah kananku. Kuanggukkan kepalaku mantap.
"Sepertinya kamu tidak cocok dengan pekerjaan, ini." ucap Maid yang berada di sebelah kiriku.
Aku memalingkan pandanganku untuk menatap Maid tersebut.
"Memangnya, kenapa?" tanyaku.
"Kamu lebih cocok jadi, nyonya Artha Genandra Angkasa, disini." ujar Maid itu, setelahnya Maid itu tertawa kecil, sambil melanjutkan aktivitasnya.
Aku yang mendapatkan celetukan itu, tak kuasa menahan gejolak perasaan yang menggebu-gebu di dalam hatiku. Kucoba menyembunyikan perasaan konyol itu, dengan tertawa renyah yang terpaksa. Setelahnya kugigit b1bir bawahku untuk meredam semuanya.
Bisa-bisanya!
"Nih, sarapan dulu." ucap Maid tersebut, sambil menyodorkan napan yang berisi nasi beserta lauknya, "Semalam saya disuruh anterin makanan ke kamarmu. Tapi, pintunya sudah dikunci, mau minta ke Tuan Artha, sepertinya beliau sangat kecapean." lanjutnya, menatapku ramah.
Aku hanya mengangguk-angguk kepalaku,
"Gapapa, lagian semalam aku bener-bener ngantuk banget, sampai-sampai lupa makan, hhee ... " Bohong banget, padahal aku semalam sampe berhitung dari angka satu sampai seratus, dan terus menerus, yang ada ke inget guru matematika. Mengerikan!
Maid itu hanya tersenyum menanggapi ucapanku. Lalu segera berlalu dari hadapanku.
Dilihat dari wajahnya, sepertinya mereka lebih tua dari ibuku. Tapi mengingat wajah tua ataupun muda, bukan penentu usia. Aku tak mempersoalkan hal itu.
"Apa, aku boleh tau nama ... Kalian?" tanyaku, menatap mereka yang sedang memunggungiku.
Mereka berdua kompak membalikan tubuhnya, menatapku hangat.
"Panggil saya Maid Lala," ucap Maid yang memberiku makanan.
"Panggil saya Maid Lulu," ucap Maid yang tadi sempet mengg0daku.
Aku mengerutkan keningku.
"Ka--lian, bersodara, kah?" tanyaku. Mengingat namanya yang hampir sama, hanya saja beda huruf vokalnya, dan ... Wajahnya juga beda, sih.
Mereka saling melempar pandangan, lalu kembali menatapku bersamaan.
"Benar, kita sodara!" jawabnya serempak.
Setelahnya mereka saling pandang lagi, lalu tertawa kecil.
"Kok, gak mirip?" tanyaku, sambil ku sendok makanan yang berada di piringku.
Maid Lulu; "Kamu punya sodara, gak?"
Aku menggelengkan kepalaku.
Maid Lulu; "Eumhh ... Gitu, ya. Kira-kira kalo kamu punya sodara, kamu yakin gak, kalo kamu bakal mirip sama sodara, kamu?"
Aku memicingkan mataku, lalu aku menggelengkan kepalaku, "Gak yakin, karena kan sodara gak harus mirip." ucapku menatap keduanya.
Keduanya kembali tertawa.
Maid Lala; "Terus kalo udah tau begitu, kenapa masih nanya, '
kok, gak mirip?"
Aku menggaruk tengkukku lagi, "Hhee ... Iya, sih."
Kusendok makanan yang memang tinggal satu sendok lagi, kemudian aku berjalan menuju wastafel setelah acara sarapanku selesai. Nikmat mana lagi sarapan sambil kongres(ngawangkong teu beres-beres/ngobrol gak beres-beres), bareng emak-emak.
Setelah aku mencuci piring bekasku, aku menoleh ke arah mereka berdua.
"Apa yang harus aku kerjakan?" tanyaku, menatap keduanya bergantian.
Maid Lulu; "Eummh ... " Maid Lulu mengetuk-ngetuk dagunya, menelisik setiap sudut dapur ini.
Maid Lulu; "Semuanya sudah beres. Coba, kamu tanya sama Tuan Artha. Siapa tau ada pekerjaan tambahan. Karena sejauh ini, cuman ini yang kita kerjakan, dan semuanya sudah kelar. Tinggal nganter sarapan lagi ke meja makan."
Aku membulatkan mataku, sepagi ini semua pekerjaan sudah beres? Sepertinya aku perlu latihan satu bulan untuk menjadi seperti mereka. Karena, se rajin-rajinnya aku di rumah, tapi gak sepagi ini juga semuanya kelar.
Walaupun mereka mengerjakannya ber enam, tapi rumah sebesar ini ... Sangat hebat menurutku.
Bentar-bentar ... Haruskah aku menemui Artha. Tapi, dimana dia?
"Emang, Kak Artha nya dimana?" Kulemparkan satu pertanyaan lagi.
Maid Lulu; "Kayanya di kamarnya, kamu ketuk aja."
"Emang boleh?"
Maid Lala; "Boleh atuh neng geulis. Emang, mau masuk gitu aja?"
Aku menggelengkan kepalaku cepat, "ng--ngak, bukan gitu. Maksduku—,"
Maid Lulu; "Sudah-sudah. Sekarang kamu langsung naik aja, gih."
Aku menganggukkan kepalaku pelan. Kulangkahkan kakiku, untuk segera menaiki tangga.
Tepat di depan pintu kamar Artha!
"Kalo dia gak keluar gimana? Aku paling gak suka nunggu! Pokonya kalo di ketuk tiga ketok dalam tiga kali masih belum keluar, aku akui aku tidak setia!"
Aku menyenderkan kepalaku tepat di pintu kamar milik pria itu, guna mendengarkan apakah masih ada kehidupan di dalamnya.
Tok tok tok!
Hening ...
Tok tok tok!
Hening ...
Tok tok ... Ceklek!
"Aaaah!"
Bruk!
Dari kesekian kalinya aku melebarkan kelopak mataku, aku pastikan kali ini paling lebar selama aku di dunia.
Aku tak berani bergerak sedikitpun, bahkan untuk bernafas pun rasanya sulit.
"Cepat berdiri! Kamu berat!" bisiknya, tepat di daun telingaku.
Aku sedikit mengangkatkan tubuhku, dengan kedua tangan yang masih setia rebahan did4da bidang milik pria itu.
Aku menelan salivaku susah payah, paling susah pokonya. Kenapa, bisa jadi seperti ini? Ini sungguh mukjizat yang luar biasa, eh.
Apa akan terus seperti, ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments