Di dalam perjalanan, hanya ada keheningan yang melanda antara keduanya. Duduk berdampingan di bangku belakang, membuat perasaan Mozayya sedikit tak tenang. Apalagi Artha yang tampak tak bersuara sama sekali. Bahkan untuk melihat dia bergerak saja, sepertinya tidak.
Mozayya mencoba mencuri perhatian Artha, memicingkan sebelah matanya. Melihatnya dari samping, namun ini tidak bisa dibiarkan.
Posisi Artha yang menyenderkan punggungnya ke belakang, sedangkan Mozayya duduk dengan posisi tegak. Jelas-jelas tidak akan terlihat dari samping.
Mozayya menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian memilih untuk menatap jalanan, yang menampakan lalu lalang kendaraan.
Tling!
Suara itu mengintrospeksi lamunan Mozayya, sepertinya sebuah notifikasi. Segera Mozayya mengecek ponselnya, namun tidak ada menampakan pesan apapun. Sepertinya, bukan ponsel miliknya.
Sudah dipastikan itu berasal dari ponsel milik pria disampingnya. Mozayya memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya. Terlihat Artha sedang berkutik dengan benda pipihnya itu.
Mozayya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, lalu kembali menatap suasana jalanan yang semakin terang-benderang, karena penerangan dari lampu-lampu disepanjang trotoar.
Ada perasaan takut di hatinya, malam ini Mozayya tidak yakin bisa tidur dengan nyenyak. Selain jauh dari kedua orang tuanya, ia juga takut karena bakalan satu atap dengan pria asing disampingnya. Bukan apa-apa, Mozayya sangat benci dengan fikiran negatifnya.
Tak terasa, mobil yang ia tumpangi sepertinya sudah berhenti. Ia menoleh ke samping, dan tak menampakkan Artha di sampingnya.
Mozayya mengalihkan pandangannya ke kursi pengemudi, dan juga tidak menampakkan orang yang menyetir sedari tadi.
Tok tok tok!
Suara ketukan itu membuyarkan lamunannya, Mozayya melirik ke arah pintu mobil, dan menampakan pria yang tadi berada disampingnya, sudah di luar mobil menatapnya datar.
Mozayya bergumam, "Aneh banget, kok, bisa mereka keluar tanpa sepengetahuanku." Mozayya membuka pintu mobilnya, dan juga menatap Artha datar.
Artha; "Baru pertama kali naik mobil? Saking menikmatinya, sampai-sampai mobil berhenti saja tidak sadar." gumamnya, kemudian melangkahkan kakinya, meninggalkan Mozayya yang masih dalam pendiriannya.
Mozayya; 'Kalo iya emang, kenapa?!' Sayangnya bentakkan itu hanya berhenti di tenggorokannya.
Tanpa berfikir lagi, Mozayya mulai mengikuti langkah kaki Artha, yang semakin menjauh darinya.
Di setiap langkahnya, Mozayya tak berhenti-hentinya membelalakkan matanya. Melihat taman yang indah, dipenuhi dengan bunga-bunga yang aromanya memang cocok dihidung. Mozayya membalikan tubuhnya singkat, menatap gerbang hitam yang menjulang tinggi, dan tak lupa kedua pria besar nan tinggi berdiri tegap, saling berhadapan.
Mozayya menyeringit heran, sejak kapan ada gerbang itu. Perasaan, ia tak melihatnya sejak berada di mobil, padahal pandangannya fokus keluar.
Tak ingin berlama-lama dalam fikiran yang tak berguna itu, Mozayya kembali melanjutkan perjalanannya.
Hayoh, ketinggalan jauh lagi, kan.
Mozayya berlari kecil, mengejar Artha yang semakin menjauh darinya.
Mozayya menghentikan langkahnya, menatap Artha dalam. Terdengar suara detak jantungnya yang tak beraturan.
Artha menatap Mozayya datar.
Artha; "Bisa gak, tidak usah terlalu norak!" tegasnya, menatap Mozayya yang sedang mengatur nafasnya.
Mozayya tak menanggapi ucapan Artha, ia jadi semakin yakin, kalo Artha punya rencana lain di balik usulan pernikahan itu. Terlihat sekali perlakuannya, dari tadi terus-terusan memojokan dirinya.
Daripada menanggapi ucapan Artha yang memang ada benarnya, Mozayya memilih untuk menatap lurus ke depan.
Lagi-lagi Mozayya dibuat terkejut, dengan apa yang sekarang ia lihat. Ini bukan di negri dongeng, tapi, rumahnya ... Ah, fiks sih ini istana di dunia nyata.
Sebisa mungkin Mozayya mengatur ekspresinya se datar mungkin. Ia tak mau kepergok yang kesekian kalinya.
Artha menatap datar Mozayya. Mozayya yang sadar akan tatapan itu. Hanya mengerutkan keningnya heran.
Artha; "Bagimana? Jantungnya aman, kan?" tanyanya, diakhiri tawa kecil yang meremehkan.
Mozayya berbatuk kecil, setelahnya menatap Artha datar, "Gak, biasa aja!" jawabnya, yang tentunya bertolak belakang dengan kenyataannya.
Artha; "Ck, bohong banget!" gumamnya, yang masih terdengar jelas di telinga Mozayya.
Tlik!
Artha menekan tombol hijau yang berada dekat samping handle pintu yang diberi warna abu-abu.
Dengan sekali sentuhan, pintu itu terbuka lebar sempurna.
Kesekian kalinya lagi, Mozayya dibuat terkejut dengan apa yang ia lihat didepan kedua matanya sendiri. Enam orang wanita setengah baya, dengan kostum samaan, berjajar rapi saling berhadapan.
Ketika Artha mulai melewati ke enam manusia itu, mereka semua sontak menundukkan kepala mereka kompak.
Mozayya mengernyitkan keningnya, mencubit sebelah tangannya.
Mozayya; "Awsh ... Ternyata ini bener-bener nyata," gumamnya, yang tak bisa orang lain dengar selain dirinya.
Mozayya yang merasa tak pantas untuk melewati ke enam orang itu, atau bisa dibilang Maid. Masih berdiam diri di posisi, menunggu apa reaksi yang akan Artha tunjukan.
Artha membalikan tubuhnya, menatap datar Mozayya. Terdengar helaan nafas kasar dari mulutnya, kemudian berjalan kembali menginjaki lantai yang sebelumnya ia lalui.
Menarik tangan Mozayya kasar. Tapi, kali ini bukan Cengkraman, melainkan genggaman yang cukup erat.
Mozayya terkejut bukan main, tapi sebisa mungkin ia bersikap biasa saja.
Ketika sudah melewati ke enam Maid itu, Artha membalikkan tubuhnya lagi, menatap mereka satu persatu. Tentunya masih dengan menggenggam tangan Mozayya.
Artha melepas genggamannya, kemudian mendorong pelan tubuh Mozayya, hingga posisi Mozayya berada lebih dekat dengan ke enam Maid itu.
Mozayya mengerutkan keningnya, menolehkan kepalanya ke belakang...
Mozayya; "Ap—,"
Sebelum Mozayya berhasil melanjutkan kata-katanya, Artha terlebih dahulu, meluruskan kembali kepala Mozayya.
Mozayya tampak kebingungan, menatap satu persatu Maid di sana. Rasanya, sangat canggung.
Mozayya kembali menatap Artha yang masih setia di belakangnya.
Karena takut keduluan...
Mozayya; "Ya, apa?! Aku gak ngerti!" tegas dan cepat, menatap bingung Artha.
Terdengar helaan nafas kasar dari mulut Artha yang ke sekian kalinya. Menatap datar Mozayya.
Artha melangkahkan kakinya, lalu mensejajarkan posisinya dengan Mozayya.
Artha; "Dia ..." Menjeda ucapannya, sambil terus menatap Mozayya, "Maid baru disini! Saya harap kalian bisa mengajarkan dia sampai menjadi Maid senior seperti kalian," lanjutnya, lalu menatap ke enam Maid itu.
Mulut Mozayya sedikit terbuka, dengan kerutan dikeningnya.
Apa? Maid? Bukankah harusnya, calon ... Ah, ada yang tidak beres.
Artha; "Maid Ling, bawa ... Oh, ia, namanya Mozayya, panggil saja Maid Moza." ujarnya,
"Karena, kamar pelayan tidak tersedia lagi. Bawa Maid Moza ke kamar atas, yang bersebrangan dengan kamar saya!" lanjutnya, dengan menatap salah satu Maid disana, yang bername tag Ling, itu.
Maid Ling; "Baik, tuan!" ucapnya, sambil menundukan kepalanya singkat, "Ayok, ikut saya." lanjutnya, lalu melirik Mozayya, kemudian berjalan mendahuluinya.
Menepis segela pikiran yang bertengkar di benaknya, Mozayya melangkahkan kakinya, mengikuti Maid Ling yang sudah berjalan lebih dulu.
Sesampainya di kamar yang Artha maksud, sebelum Maid Ling meninggalkannya ...
Maid Ling; "Kamu beneran Maid baru, disini?" tanyanya, dengan ekspresi yang sulit di artikan. Namun, terdengar menjengkelkan.
Mozayya masih menimbang-nimbang pertanyaan itu. Bagaimana bisa Artha memperkenalkan dirinya sebagai pembantu, bukankah mereka akan segera menikah? Namun, dengan ragu Mozayya menganggukkan kepalanya pelan.
Terlihat Maid Ling mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menatap sekeliling kamar yang sekarang mereka tempati.
Maid Ling; "Enak banget bisa tidur disini, baru kali ini ada Maid yang langsung dapat kamar paling nikmat." ucapnya, kemudian menatap lekat Mozayya.
Dapat Mozayya simpulkan, sepertinya wanita yang bisa ditaksir usianya se umuran dengan ibunya ini, tidak menyukai kehadirannya. Ah, si4l Artha hanya memperkenalkannya sebagai pembantu, coba kalo sebagai calon istri. Mozayya akan memamerkan itu semua. Walaupun pernikahannya hanya di atas dasari hutang orang tuanya.
Mozayya mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya Maid-Maid yang lainnya tidur dimana?"
Maid Ling; "Ya, di bawah lah, dengan luas se ala kadarnya." jawabnya sinis.
Lihatlah, sudah mulai menampakkan ketidaksukaannya terhadap Mozayya.
Mozayya menyembunyikan senyuman tipisnya, lalu menatap Maid Ling dengan senyuman yang merekah.
Mozayya; "Ya, gimana ya? Ya, sabar aja."
Terlihat Maid Ling menatap tajam Mozayya, "Kamu—,"
"Maid dilarang ngobrol satu sama lain, jika tidak ada hal yang bersangkutan dengan pekerjaan!" Bentakkan seseorang terdengar keras dari arah pintu itu.
Keduanya menoleh bersamaan, dengan perasaan kaget masing-masing, lebih tepatnya teruntuk Maid Ling.
Tanpa menatap lama-lama, Maid Ling segera menundukkan kepalanya dalam.
Maid Ling; "Ma--af, Tuan. Saya permisi." ucapnya, kemudian lari dengan terbirit-birit.
Setelah Maid Ling sudah tak terlihat, Artha masuk lebih dalam lagi.
Ceklek!
Artha menutup pintunya, setelahnya berjalan menuju king size itu, yang hanya diberi warna putih polos. Menatap Mozayya dalam, tangannya mengusap lembut kasur yang sekarang ia duduki.
Artha; "Mozayya, lihatlah ... Kamu adalah orang paling beruntung di rumah ini, mendapatkan tempat tidur yang nyaman, dan sepertinya kamu akan betah lama-lama disini." seringainya, terus menatap Mozayya yang masih dalam pendiriannya.
Mozayya tersenyum tipis, "Yang ada, aku adalah orang paling apes di rumah ini." ujarnya, menatap tajam Artha, "didepan ayah dan ibuku, kamu bilang akan menikahiku, tapi didepan Maidmu? Maksudmu, apa?!" tegasnya.
Artha kemudian beranjak dari duduknya, lalu berjalan menghampiri Mozayya dengan melipat kedua tangannya.
Tepat dihadapan Mozayya, Artha melemparkan senyuman miringnya. Mozayya yang sudah kenyang dengan senyuman itu, kali ini tak lagi memiliki rasa takut dihatinya.
Artha mencengkram kuat lengan Mozayya, lalu menghempaskan tubuh Mozayya hingga ambruk di king size putih polos, itu.
Mozayya segera membalikan tubuhnya, menatap nyalang Artha. Meremas kuat selimut yang berada dalam genggamannya.
Artha menatap tajam Mozayya, sambil bersidekap dad4.
Mozayya; "Maumu, apa?!"
Artha; "Mauku, kamu!"
Mozayya; "Ma--maksdumu, apa?!"
Artha; "Maksudku, menghukummu!"
Mozayya mengerutkan keningnya, "Atas dasar, apa?!"
Artha berbalik badan, tanpa menjawab pertanyaan Mozayya, hanya mengedikan bahu, lalu tepat di ambang pintu, Artha membalikkan tubuhnya ...
"Jangan berani macem-macem. Ingat! Hak asuhmu sudah berada dalam tanganku!" Setelahnya Artha bener-bener hilang dari pandangan Mozayya.
Mozayya yang masih tak mengerti dengan apa yang di ucapkan Artha. Menatap dalam pintu yang sudah tertutup rapat. Sepertinya kengerian di dalam hidup Mozayya akan segera tayang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments