Tidak semua hal yang diinginkan dapat terwujud.
Itu adalah prinsip utama yang selalu dipegang teguh oleh Jaksel selama menjalani kehidupannya. Tapi, untuk yang pertama kalinya, Jaksel merasa muak dengan prinsip yang selalu diagung-agungkannya. Begitu muak hingga rasanya Jaksel sungguh tidak lagi menginginkan dirinya untuk hidup.
Keinginan itu muncul setelah Jaksel bertanya-tanya apakah kematian akan terasa tidak lebih menyakitkan dibandingkan dengan hidupnya saat ini.
Kau sangat payah, Jaksel. Melindungi satu-satunya orang yang berharga di hidupmu saja kau tak bisa.
Ucapan itu terngiang-ngiang dalam benaknya. Dan Jaksel tidak dapat menghentikan lara yang terus bersarang di hatinya. Bahkan, semuanya terasa lebih menyakitkan saat Jaksel menyadari kebenaran dari ucapan itu.
Ini karena dirinya yang selalu tak berguna. Sampah semacam dirinya kenapa harus ada di dunia? Anak sial sepertinya kenapa harus hidup bersama sosok yang penuh kasih dan berhati malaikat? Kini, karena kehadirannya, kesialan yang selalu mengelilingi dirinya juga berakhir menimpa sosok berhati mulia itu.
Tangis Jaksel pecah. Air mata memburamkan pandangannya. Namun, sepasang manik birunya masih dapat melihat dengan jelas sosok dengan tubuh bersimbah darah yang terbaring di atas lantai. Tubuh ringkih yang tak pernah berhenti merengkuhnya dalam kehangatan itu, kini terkulai dalam dekapan dinginnya malam.
Jaksel ingin bangkit dan memeluk sosok itu untuk yang terakhir kalinya. Jaksel juga berharap dia dapat mengantar kepergian sosok itu dalam kehangatan. Agar sosok itu tidak merasakan kesepian.
Tapi, Jaksel tidak dapat menggerakkan sedikit pun tubuhnya. Tubuhnya terlalu lemah hingga hanya dengan sekali pukulan keras di punggung, tubuhnya limbung dan Jaksel tidak dapat melakukan apapun selain terkapar tak berdaya.
Jaksel ingin mengutuk pelaku yang menyakitinya. Jaksel juga ingin menyumpah serapahi pelaku yang lagi-lagi membuatnya merasakan kehilangan atas sesuatu yang dimilikinya di dunia. Tapi, Jaksel tidak dapat melakukan hal itu setelah ucapan lain melintas dalam ingatannya.
Jangan pernah menyalahkan orang lain atas penderitaan yang kau rasakan. Kau harusnya sadar jika semua kesialan ini terjadi karena kehadiranmu.
Apa aku perlu mengatakannya dengan sangat jelas? Kau adalah anak pembawa sial, Jaksel. Berkatmu, semua orang tertimpa kesialan. Kenapa kau tidak mati saja?
Sekarang, di tengah keputusasaannya, Jaksel bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa dirinya tidak mati saja? Benar, kenapa ia harus tetap bertahan jika dirinya diharuskan untuk hidup dengan penuh penderitaan?
"Kenapa dulu aku tidak mati saja?"
Dengan suara sepelan bisikan, sekali lagi Jaksel membiarkan dirinya untuk melontarkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri.
Seandainya Jaksel tidak ada, apa hari ini nenek dengan hati setulus itu masih akan tetap hidup? Seandainya Jaksel tidak ada, apa sekarang sang nenek akan hidup bahagia?
"Ini salahku ..." Jaksel berbisik begitu menyadari kepahitan itu. Air matanya semakin tak terkendali. Lalu, dengan isak tangis, Jaksel melanjutkan kata-kata yang terdengar menyayat hatinya. Dan sayangnya, Jaksel tahu jika apa yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.
"Hidup nenek tidak akan tertimpa sial jika nenek tidak bertemu anak sial sepertiku ..."
Jaksel menangis keras. Tapi, tangisan itu terhenti saat telinganya menangkap suara lemah yang Jaksel sadari berasal dari sang nenek.
"Jak-sel ..."
Panggilan itu terdengar sangat lirih, namun cukup untuk membuat Jaksel menghentikan tangisannya. Pandangan lelaki itu segera beralih ke arah wajah sang nenek. Satu-satunya anggota keluarga sekaligus sosok yang dengan sukarela menerima kehadiran dirinya di dunia.
"NENEK?!!" teriak Jaksel terkejut karena rupanya sang nenek yang terkulai lemas di sana masih bernyawa.
"Nenek ..." Bibir itu bergerak dengan susah payah, "... tidak pernah menyesal ..."
Jaksel tidak pernah ingin menunjukkan air matanya dalam pandangan sang nenek. Namun, setelah mendengar rangkaian kata yang selalu ingin didengarnya, Jaksel sama sekali tak memiliki kuasa untuk menghentikan tangisannya.
Jika saja anak itu tahu betapa menyesalnya diriku telah melahirkannya, apa anak sial itu akan bersedia untuk pergi dari hidupku selamanya?
Seberapa bodohnya dirimu Jaksel hingga kau tak bisa melihat bagaimana orang-orang menyesal setelah bertemu denganmu?
Jaksel, aku sungguh tidak ingin mengatakannya, tapi aku benar-benar menyesal. Aku sangat menyesal memiliki anak sepertimu.
Dari sekian banyaknya orang yang pernah bertemu dengannya, tidak ada seorang pun yang tak pernah berhenti menyesali takdirnya setelah bertemu dengan Jaksel, tidak orang tuanya, tidak temannya, tidak juga gurunya, hanya sang nenek, satu-satunya orang di dunia ini yang tak pernah menyesali takdirnya untuk bertemu dengan anak sial sepertinya.
Jaksel dapat melihat sang nenek yang tampak kesulitan menggerakkan kepalanya, tapi dengan paksaan sang nenek berhasil menggerakkan kepalanya ke arahnya. Sosok itu menatap dirinya dengan pandangan yang tak dapat Jaksel deskripsikan. Tapi, Jaksel tahu persis jika tatapan itulah yang selama ini diinginkannya. Bukan tatapan yang menghina atau merendahkannya. Bukan juga pandangan jijik atau pun menyesal.
Itu adalah tatapan penuh syukur dari sepasang mata yang tampak seolah-olah menginginkan kehadirannya. Seakan sang nenek justru mensyukuri pertemuannya dengan Jaksel.
Dan Jaksel yang dengan kuat tengah berusaha menghentikan air matanya yang mengalir deras kembali digagalkan hanya dengan tatapan dari sepasang mata itu.
Lalu dengan kekuatan terakhirnya, bibir itu mengulas sebuah senyuman tulus yang tak pernah Jaksel dapatkan dari orang lain. Juga sebuah senyuman terakhir yang dapat Jaksel saksikan sebelum akhirnya bibir itu bergerak untuk mengatakan tiga kata terakhir,
"Tetaplah hidup, Jaksel ..."
Berikutnya sepasang mata itu perlahan menutup. Dan meskipun bibir itu masih menyunggingkan sebuah senyuman, Jaksel tahu jika sepasang mata itu tidak akan pernah terbuka untuk selamanya.
Walau demikian, Jaksel tetap memanggil sang nenek. "Ne-nenek?"
Tapi, tentu saja tidak ada jawaban.
Jaksel mengulangi panggilannya.
Namun, tidak ada jawaban apa pun.
Hanya ada keheningan malam yang sesaat kemudian diisi dengan suara tangisan.
Tetaplah hidup, Jaksel.
Jaksel memaksa dirinya untuk bangkit dari posisi telungkupnya. Walaupun punggungnya terasa retak setelah mendapat pukulan yang berulang kali dari rotan, Jaksel tidak akan menyerah. Tidak lagi setelah dirinya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh sang nenek.
Karena kesulitan menegakkan punggungnya, Jaksel mencoba untuk merangkak ke arah sang nenek. Namun, ketika Jaksel baru saja merangkak, Jaksel merasakan adanya sebuah getaran di lantai kayunya.
Getaran itu terasa begitu kuat hingga barang-barang di dalam rumah kayu itu pun bergetar kuat. Satu per satu barang di sana mulai berjatuhan. Dan sialnya, sebuah rak buku -yang berdiri kokoh tak jauh dari posisi Jaksel yang tengah merangkak- mendadak jatuh dan berakhir menimpa salah satu kakinya.
"AAARRGH!!"
Teriakan Jaksel terdengar begitu nyaring. Namun, suara itu tidak sekencang suara dari makhluk asing di luar.
"KRIIIIIIIGGH!"
Kerasnya suara itu menyakiti telinga Jaksel. Bahkan, Jaksel sampai menutup telinga dengan kedua tangannya.
Sementara itu, getaran pada rumah kayunya makin menguat. Atap rumahnya pun runtuh dalam sepersekian detik. Begitu pun dengan dinding kayunya.
"NENEK!" teriak Jaksel melihat runtuhan bangunan rumah kayunya menimpa tubuh sang nenek.
Mendadak Jaksel dapat merasakan embusan angin yang begitu kencang. Tak lama, Jaksel merasakan sesuatu yang begitu besar mendarat di atas halaman rumahnya.
DRAP! DRAP!
Jaksel mengalihkan pandangan ke samping. Tanpa sengaja pandangannya jatuh pada sebuah makhluk raksasa yang Jaksel sempat pelajari di kelas sejarahnya.
Wyvern!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Kita_Yama
kadang manusia butuh rasa sakit untuk bangkit
2024-03-08
1
Kita_Yama
percaya deh, gada bagusnya bunuh diri
2024-03-08
0