Setelah menghabiskan waktu yang terbilang lama untuk sekedar berpikir, akhirnya Calista memilih menolong laki-laki yang wajahnya tak dapat ia lihat dengan jelas itu.
Baru berjalan beberapa langkah, Calista malah kehilangan keseimbangannya dan berakhir tersungkur di tanah.
“Awh shh!” Calista memegangi punggungnya yang terasa begitu sakit akibat tendangan sang ayah sore tadi, di tambah terjatuh, membuat rasa sakitnya meningkat berkali lipat.
Walaupun tubuhnya juga tidak dalam keadaan baik-baik saja, Calista tak ingin menyerah begitu saja. Melihat keadaan mengenaskan laki-laki itu membuat Calista tak tega hingga akhirnya ia kembali bangkit kemudian kembali mengalungkan lengan laki-laki itu di bahunya.
Meski sempat beberapa kali terjatuh hingga rok sekolahnya yang pendek sampai robek, Calista akhirnya tiba di sebuah klinik.
“T–tolong! Pak, bu dokter tolong ....” Calista segera masuk ke tempat tersebut dan memanggil siapa pun dengan suara lirihnya.
Melihat beberapa orang berlari ke arahnya, membuat mata Calista berbinar, namun kebahagiannya tak berlangsung lama karena kepalanya begitu pusing dan matanya terasa seperti berkunang-kunang.
Calista yang tak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri, akhirnya ambruk dan terjatuh ke lantai dengan mata tertutup.
Sementara itu, beberapa perawat segera bekerjasama untuk mengangkat tubuh kedua manusia yang tak berdaya itu dan membaringkanya di brankar. Setelahnya mereka membawa pasien baru mereka untuk segera di obati.
“Kaivan Adelard!” Salah satu perawat, menyebut satu nama begitu membuka dompet dan menemukan kartu Identitas laki-laki yang tengah terbaring di brankar setelah perutnya di jahit karena luka yang menganga cukup lebar.
“Kalau yang ini ada identitasnya gak?” tanya perawat yang lain dengan tangan menunjuk Calista yang juga terbaring tak sadar di brankar tepat di samping Kaivan.
Sementara dari arah lain, salah seorang perawat terlihat datang dan membawa sebuah koper yang baru saja ia ambil dari luar. “Ini kayaknya punya anak itu deh,” ucapnya menunjuk Calista.
“Seumuran ternyata,” timpal salah satu perawat dengan tangan memegang kartu pelajar Calista, kemudian berjalan pergi dan diikuti dua perawat yang lain.
...🦋🦋🦋...
“Shhh! Arghh!”
Kaivan yang sejak sekitar 2 jam lalu tak sadarkan diri, perlahan mulai menggerakkan kepalanya yang tertutup perban. Ringisan dan erangan Kaivan keluarkan begitu merasakan sakit pada sekujur tubuhnya.
Mata Kaivan perlahan terbuka, namun sepersekian detik kembali tertutup begitu cahaya lampu menyilaukan matanya. Kaivan mengangkat tangannya yang terdapat jarum infus dan kemudian ia gunakan untuk menutupi matanya.
Kaivan perlahan menggerakkan kepalanya dan tatapannya tertuju pada seorang gadis pemakai seragam sekolah yang masih menutup mata tepat di sebelahnya. Dahi Kaivan mengernyit begitu mencoba mengingat kejadian yang sebelumnya ia lalui.
Kaivan yang tengah berusaha mengendalikan motornya yang bermasalah, melihat Calista dari arah kejauhan. Merasa gadis itu seperti ingin melompat ke bawah, Kaivan tak mempedulikannya, karena berpikir itu bukanlah urusannya. Namun ia malah mengalami kecelakaan tunggal hingga membuat motornya terguling dan ia terseret beberapa meter.
Tak pernah Kaivan duga, ia malah di tolong dan di selamatkan oleh gadis yang ingin mengakhiri hidupnya. Sebelah tangan Kaivan terangkat dan terulur ke arah Calista, sudut bibir yang memerah dan membengkak itu Kaivan usap penuh kelembutan dengan ibu jarinya.
Sementara Calista, nampak perlahan membuka matanya, seorang laki-laki berwajah sayu dengan luka di beberapa bagian, menjadi pemandangan pertama begitu mata Calista terbuka sempurna. Sadar dengan apa yang terjadi, Calista segera membangunkan tubuhnya menjadi duduk. Matanya nampak bergerak keliling menatap sekitar.
Begitu Calista turun dari brankar dan hendak pergi, tangan kirinya yang juga terpasang infus, malah di tahan oleh Kaivan.
“Lo yang udah tolongin gue? Di mana dompet gue?” Kaivan mengeluarkan suara pelannya yang terdengar begitu lemah.
“Aku gak tau,” Calista membalikkan tubuhnya kemudian menjawab di iringi gelengan kecil.
“Gimana bisa lo gak tau, sedangkan lo yang bawa gue ke sini.”
Calista menunduk tak berani menatap mata Kaivan, ia kembali mencoba pergi namun Kaivan malah semakin mengeratkan cekalan tangannya.
“Lo mau ke mana? Pulang?”
Calista lagi dan lagi menggeleng. “Aku gak punya rumah,” lirihnya dengan air yang sudah menggenang di sudut matanya.
“Lo tinggal di panti asuhan? Atau kolong jembatan?” Kaivan dengan sabar bertanya dan kembali mendapatkan jawaban berupa gelengan.
“Lo gak bisu cewek aneh! Tinggal Jawab aja apa susahnya!”
Mendapat bentakan dari laki-laki, membuat Calista kembali mengingat sang ayah. Saat itu pula ia tak dapat menahan air matanya, hujan terus mengguyur wajahnya hingga membuat Kaivan berdecak kesal melihatnya.
“Aku mohon biarin aku pergi, aku gak tau dompet kamu di mana. Aku bersumpah bukan aku yang ngambil...” Kali ini Calista meminta dengan sangat, namun lagi dan lagi Kaivan menolaknya.
“Lo gak boleh pergi ke mana pun!” Kaivan menyisir penampilan Calista dari atas sampai bawah, seketika itulah alisnya dibuat saling tertaut. Otaknya seakan diajak berpikir mengapa gadis itu terlihat begitu kacau.
“Tidur lagi!” titah Kaivan yang sama sekali tak ingin dibantah, suaranya yang sedikit berat, dengan tatapan mata yang berubah menjadi tajam, membuatnya nampak begitu mengintimidasi.
Sementara Calista akhirnya memilih pasrah, ia kembali naik ke brankar dan merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lemas.
“Mau sampai kapan kamu pegang tangan aku?” Calista menggerakkan kepalanya dengan mata terangkat menatap Kaivan dan menegur laki-laki itu.
“Oh, sorry!” Kaivan melepaskan cekalan tangannya pada Calista, di saat itulah ia baru menyadari bahwa pergelangan Calista nampak membiru. Tidak mungkin akibat perbuatannya, sementara ia tak begitu kuat saat menggenggam pergelangan tangan Calista tadi.
“Tangan, kaki, muka lo kenapa bisa memar gitu? Di pukul siapa? Terus kenapa lo tadi mau lompat dari jembatan? Pasti lo mau bunuh diri, kan?” Tak ingin menunggu waktu, Kaivan langsung saja memberondong Calista dengan berbagai pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Calista membawa kepalanya menatap ke arah lain, ia sungguh tak memiliki kuasa untuk sekedar menjawab pertanyaan Kaivan.
“Arghh!”
Mendengar erangan laki-laki, Calista sontak menoleh dan mendapati Kaivan berusaha membangunkan tubuhnya. Calista yang tak ingin terjadi hal buruk, segera bangkit dan mendekat kemudian melingkarkan tangannya dan dengan sangat hati-hati membantu Kaivan.
“Gak expect rasanya bakal sesakit ini,” monolog Kaivan dengan napas yang terengah. “Duduk sini!” Kaivan menepuk sisi kanannya dan langsung dituruti oleh Calista.
“Gue Kaivan Adelard, nama lo siapa?” Kaivan menjulurkan tangan kanannya dan Calista menggapainya meski nampak ragu-ragu.
“Calista Felicia”
“Gue mau berterimakasih karena lo udah tolong gue. Oke Calista, setelah kita keluar dari sini, lo ikut dan tinggal bersama dengan gue!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments