“Mama ...” Calista melontarkan satu kata dari bibir tipisnya yang nampak sedikit robek dan mengeluarkan darah. Calista terdiam merasakan sakit yang luar biasa pada sekujur tubuhnya yang di penuhi luka dan lebam, namun ternyata ada yang lebih sakit, yaitu dada kirinya.
Calista terdiam membiarkan tubuh mungilnya di selimuti hujan deras di bawah langit yang nampak semakin gelap. Rambut panjang yang sebelumnya terikat rapi, kini sudah terurai dan basah. Pakaiannya pun nampak berantakan dan kotor di beberapa bagian.
Jgerrrrrrr!
Suara guntur menggelegar di tambah kilatan petir, mampu membuat Calista tersadar, ia menekuk kedua lututnya dan menutup kedua telinganya begitu petir kembali terdengar.
“Arghhhhhh! Berhenti!” Calista berteriak dengan keras namun suaranya mampu diredam oleh bisingnya hujan.
Rasa takut semakin menyerang Calista, gadis itu perlahan menggeser tubuhnya ke arah lain, berharap mendapat pertolongan entah dari mana.
“Mama tolong! Mereka bersisik, Ma ....”
Masih dengan keadaan menutup telinga dan kedua matanya dengan rapat, Calista membungkuk di tanah dan kembali berteriak sekeras mungkin.
“Pergi! Kumohon jangan ganggu aku ... Biarkan aku sendiri. Tuhan ... ini terlalu menyakitkan.” lirih Calista yang tak hentinya memohon pada sang pencipta.
Hujan yang sebelumnya merupakan hal yang paling Calista suka karena dapat menutupi air matanya, kini tak lagi sama. Mungkin hujan akan menjadi bagian dari hal yang paling Calista benci di hidupnya.
Sekian waktu terdiam, akhirnya Calista menegakkan punggungnya, wajahnya nampak linglung dengan bola mata yang bergerak ke kanan dan kiri. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Calista beranjak berdiri kemudian berjalan menjauh dari rumah yang menjadi saksi bisu penderitannya.
Tak peduli tatapan aneh yang di berikan orang di sepanjang jalan, bahkan kakinya yang terasa begitu sakit, tak Calista hiraukan. Ia tetap melangkah dengan sebelah tangan menarik kopernya.
Cukup lama berjalan hingga kakinya terasa begitu berat, Calista tiba di sebuah tempat yang menjadi peristirahatan terakhir bagi orang yang sudah tiada.
Calista terdiam menatap hamparan puluhan gundukan tanah, ia sama sekali tak merasakan takut akan kesendiriannya di pemakaman umum tersebut.
Gadis yang seluruh tubuhnya sudah basah kuyup itu masuk ke tempat yang begitu sunyi tersebut, pijakan kakinya berhenti tepat di sebuah nisan yang di tumbuhi rerumputan tipis dan bunga mawar yang nampak masih begitu segar.
Kakinya seketika terasa begitu lemas, hingga Calista terjatuh duduk tepat di pinggir makam Farah dan mengusap gundukan tanah itu dengan lembut, setelahnya Calista meregangkan kedua tangannya seolah tengah memeluk sang mama.
“Ayah jahat, ma ... ayah gak sayang Calista ... Calista benci ayah! Bawa Calista pergi, ma ....”
Calista tak hentinya mengeluarkan cairan bening dari matanya dengan tangan yang tak berhenti bergerak mengusap makam yang setiap hari ia datangi. Calista yang begitu rajin membersihkan makam Farah, membuat makam sang mama nampak sangat terawat.
Setiap sore, Calista akan datang dan menceritakan semua kegiatan bahkan sampai pertemanan, baik itu di sekolah maupun di rumah. Meski Calista tahu tak akan ada yang menanggapinya, namun ia tak peduli.
“Semenjak ada tante Adzkia dan Okta, ayah jadi berubah. Ayah gak pernah lagi menganggap Calista sebagai anak, bahkan ayah gak pernah melirik Calista sedikit pun. Ayah selalu membanggakan Okta, sementara Calista malah dikucilkan ....”
Dan sekarang, untuk pertama kalinya Calista menceritakan tentang kepedihan yang selama ini ia pendam. Calista tak sanggup melewatinya sendiri, ia butuh sosok Farah di sampingnya, menyemangatinya dan memeluknya seperti yang selalu ia dapatkan dulu.
“Ayah selalu meminta Calista berbuat baik ke tante Adzkia dan Okta, tapi ayah gak pernah sekalipun meminta hal yang sama ke mereka.”
Malik ialah satu-satunya keluarga yang Calista miliki, namun Malik juga yang menjadi penyumbang rasa sakit terbesar bagi Calista. Ayah yang seharusnya melindungi, malah menyakiti.
“Calista mau bertemu dan memeluk mama seperti dulu. Mama juga pasti kangen Calista, kan?” Calista menegakkan punggungnya kemudian bertanya dan menganggukkan kepalanya sendiri.
“Baiklah, Calista akan menyusul mama. Tunggu sebentar ya, ma!” Calista mengusap kasar wajahnya yang basah dengan kepalan tangannya yang nampak memerah.
Calista terlihat mengecup berkali-kali nisan bertuliskan nama sang mama. Setelah cukup lama berada di sana, Calista beranjak dari duduknya dan kembali melangkahkan kakinya menuju sebuah jembatan yang tepat di bawahnya terdapat sungai yang alirannya cukup deras.
Melihat keadaan sekitar yang begitu sunyi dan gelap gulita, serta tak ada satu pun orang berlalu lalang, Calista menjadikan ini kesempatan. Calista nampak menaiki penghalang besi dan berdiri dengan tangan yang masih berpegangan ke belakang.
“Selamat tinggal ayah, Calista akan bertemu mama. Semoga ayah bahagia hidup bersama tante Adzkia dan Okta!”
Dengan senyum yang mengembang sempurna, Calista melepaskan kedua tangannya.
Ngiiieeeeeetttttt! Bruk! Bugh!
“Arghh!”
Baru saja Calista akan melompat, ia malah dikejutkan dengan suara keras seperti benda terjatuh diaspal. Begitu menoleh, Calista melihat seorang pengemudi yang mengalami kecelakaan tunggal.
Melihat motor sport tersebut mengeluarkan sedikit percikan api, membuat Calista khawatir sekaligus bimbang, apalagi melihat pengemudi yang kepalanya masih tertutup helm itu tak bergerak sedikit pun.
Calista yang ingin mengakhiri hidupnya, harus mengurungkan niatnya dan memilih menghampiri pengemudi tersebut kemudian dengan susah payah menariknya menjauh dari motornya.
Dengan mengeluarkan seluruh tenaganya meski tak seberapa, Calista merengkuh tubuh tak berdaya pengemudi tersebut, namun sayang tubuhnya tak sekuat yang ia harapkan.
Bugh!
“Arghh!” Calista terpeleset dan seketika itulah ia mengerang dengan kuat. Tubuh kekar pengemudi tersebut terjatuh di atas tubuhnya hingga membuat rasa sakitnya bertambah.
Entah dapat dorongan dari mana, hingga Calista tak ingin menyerah begitu saja. Ia menarik napasnya dalam-dalam kemudian membangunkan tubuhnya, setelahnya ia melingkarkan tangannya di perut pengemudi tersebut dan kembali menyeretnya ke belakang.
Booommm!
Suara ledakan yang terdengar begitu keras, berasal dari motor sport tersebut. Beruntunglah Calista dan pengemudi yang di tolongnya sudah berada di posisi yang cukup jauh sehingga keduanya hanya terkena sedikit puing-puing kecil.
Dengan napas yang tersengal, Calista menghempaskan tubuh pengemudi tersebut hingga telentang di sampingnya. Rasa takut mulai menyerang Calista begitu melihat pakaian pengemudi itu mengalami sobek dan terdapat luka di mana-mana.
Calista memberanikan diri menundukkan punggungnya kemudian membuka helm, dan berapa terkejutnya Calista begitu melihat wajah laki-laki itu sudah di penuhi darah, hingga ia tak dapat melihat seperti apa rupa laki-laki itu.
“Tolong! Tolong!”
Calista terus berteriak namun sayang tak ada yang mendengarnya lantaran tempat itu begitu sepi.
“Mama, Calista harus gimana?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Yani Cuhayanih
Eleeeh gk toh bunuh diri nya...malahan jd dewi penolong kalo calista mati maka cerita othor pun end toh aku pinter toh tak gendong tuuh korban tabrak lari sama othor gk mungkin sama calista gk masuk akal toh..
2024-04-26
1