Pelajaran pertama adalah pelajaran olahraga, dan kali ini giliran basket yang menjadi ancaman bagi jiwa-jiwa mager seperti ku.
Dengan tubuh yang kurus kerempeng, olahraga ini terasa seperti tantangan berat yang harus dihadapi.
Aku memasuki lapangan basket dengan perasaan was-was, menduga-duga akan seberapa menyakitkan pengalaman ini.
"Ayo, belajar cara main basket yang benar," ucap Pak Tejo, guru olahraga yang selalu semangat mengajak kami bergerak lebih aktif.
Anak-anak cowok dengan bangga memamerkan keahlian mereka di depan ciwi-ciwi, sementara para ciwi terlihat histeris melihat tingkah laku kekerenan mereka.
Pak Tejo mendekati kami yang sepertinya masih ragu-ragu.
"Nggak usah malu-malu, ini kan cuma olahraga. Ayo, ikut latihan bareng!" serunya sembari bersemangat.
Aku yang melihat para cowok berlarian-larian dan melakukan trik-trik hebat di lapangan hanya bisa mengernyitkan dahi.
"Ini bukan kehidupan nyata, kan? Kenapa harus susah-susah main basket?" gumamku dalam hati, seolah-olah hidupku terancam oleh latihan basket.
Saat Pak Tejo menyuruh kita berlatih dribble, aku lebih terlihat seperti sedang berjalan-jalan santai dengan bola basket di tangan.
Setiap kali bola jatuh, aku hanya menatapnya dengan ekspresi malas untuk mengambilnya.
Para teman-teman cowokku terlihat semakin antusias, sementara aku seperti hantu yang kebetulan terjebak di tengah-tengah latihan.
Saat para cowok mempraktikkan shooting, aku hanya berdiri di sudut lapangan, berpikir, "Ah, apakah ini memang takdirku? Mager sampai ke lapangan basket."
Para ciwi-ciwi yang histeris tadi sekarang terlihat kelelahan sambil mencoba memberikan semangat palsu kepadaku.
Pak Tejo berusaha mengajakku ikut serta, "Nak, coba deh tembak satu kali. Siapa tahu kamu jago."
Aku hanya mengangguk sekadar merespon, sambil memikirkan betapa ini bukanlah olahraga yang sesuai dengan kegemaranku.
Aku menembak bola dengan semangat setengah hati, dan tentu saja, bola itu meleset jauh dari keranjang.
Para cowok terlihat tertawa, sementara aku hanya tersenyum kecut.
"Kamu belajar lagi," nasehat Pak Tejo dengan senyum penyemangat.
Aku hanya mengangguk, mencoba menunjukkan semangat yang masih tertinggal di dalam diriku.
Namun, setelah itu, aku memutuskan untuk ngadem di bawah pohon.
Jangan berpikir aku penunggunya, aku cuma numpang nyender.
Sambil duduk santai, aku memandangi langit biru di atas sana, mencoba menenangkan diri setelah sesi latihan basket yang cukup melelahkan.
Tiba-tiba, terdengar suara anak-anak cewek yang sedang berbincang-bincang di dekatku.
"Kenzo sumpah ganteng banget."
"Iya, bahkan keringetan aja tetep ganteng."
"Si Bimo, walaupun ngeselin, tapi bisa keren juga kalau main basket."
"Lihat tuh si Revan, gila bajunya penuh keringat aja malah nambah kekerenan dia."
Aku hanya diam dan memejamkan mataku.
Mereka terus berbicara tentang para cowok yang tadi berlatih basket, sementara aku lebih memilih menikmati angin sepoi-sepoi di bawah pohon.
Meskipun mereka berbicara tentang hal-hal yang sepertinya tak pernah masuk ke dalam lingkaran kehidupanku, aku merasa cukup puas dengan keadaan ini.
Paling tidak, aku bisa menikmati angin sejuk dan tenang di bawah pohon, tanpa harus pusing memikirkan dribble dan shooting yang tak kunjung membaik.
Sometimes, it's okay to be the silent observer, dapat diartikan bahwa terkadang, menjadi pengamat yang diam itu baik-baik saja.
Ini merujuk pada situasi di mana seseorang memilih untuk duduk di latar belakang, hanya mengamati dan merenung tanpa harus terlibat langsung dalam percakapan atau aktivitas tertentu.
Akhirnya jam istirahat tiba juga. Setelah ganti baju, aku langsung balik ke kelas dan tidur.
Capek banget rasanya, seperti baru saja selesai kerja rodi.
"Put, ikut kantin enggak?" tawar Bimo.
Aku hanya diam saja, pura-pura tidur.
Kantin adalah tempat yang sangat kuhindari karena di sanalah tempat penuh drama dan tentunya tempat sang protagonis wanita.
"Biarin aja," ucap Kenzo.
"Ya udah deh," ucap Revan.
Akhirnya, mereka pergi juga. Aku tidur di kelas dan enggak perduliin suara-suara orang ribut di luar sana.
Meskipun suasana kelas ramai, aku memilih untuk menutup mata dan berada dalam dunia tidurku sendiri.
Di sini, setidaknya aku bisa beristirahat dan melepaskan penat setelah sesi latihan basket yang cukup menyita tenaga.
Tidur di kelas serasa menjadi pelarian terbaikku.
Aku tak perlu terlibat dalam drama kantin atau mendengarkan ocehan teman-teman sekelas.
Di saat lain mungkin orang akan menganggapnya sebagai pemborosan waktu, tapi bagiku, ini adalah cara untuk menyelamatkan diri dari kekacauan sementara.
Suasana kelas yang riuh tidak mampu merusak kedamaian yang kudapatkan dalam tidur singkat ini.
Aku merasa seolah-olah membawa diriku ke dunia lain, yang jauh dari kerumitan sehari-hari di sekolah.
Dan entah kenapa, aku bahkan merasa nyaman dengan keputusan untuk memilih tidur di kelas daripada terlibat dalam dinamika sosial di kantin.
Suasana kelas tiba-tiba berubah jadi arena pertempuran cinta ala telenovela setelah Gemma memulai ejekannya.
"Lo kalau suka sama orang, cari yang kosong dong," goda Gemma, menciptakan gelombang drama yang membanjiri kelas kami.
Suara ribut-ribut mulai bergema, tapi aku memilih untuk tetap setia pada pendirianku, pura-pura tidur.
"Udah gue bilang ribuan kali kalau gue enggak suka sama cewek lo!" protes Kenzo, sambil memberi tatapan kesal pada Gemma.
"Terus maksud lo apa, deketin dia?" bentak Gemma, menciptakan napak tilas penuh kegaduhan.
"Sejak kapan bos deketin cewek?" tanya Bimo, mencoba memecah kebekuan dengan pertanyaan kritis.
"Enggak pernah rasaku," sahut Revan, memberikan jawaban yang terkesan kalem dan sok misterius.
"Bos kalian tuh jelas banget ngincer Kiara," ujar Angkasa, memberikan sentilan tajam seperti pedang samurai.
"Tapi kalah saing," ejek Heri, menambahkan bahan bakar ke dalam api.
"Malu dong," seru Panji, menyemprotkan lebih banyak kerosin pada kobaran api pertempuran ini.
Masing-masing dari kelompok saling adu bacot, dan para supporter saling adu bacot juga untuk mendukung timnya.
Sementara itu, aku lebih memilih turu.
Suasana kelas memanas, tapi aku memilih untuk tetap terlelap, seolah-olah tak peduli dengan drama percintaan dan persaingan di sekelilingku.
Mereka berbicara tentang siapa yang suka pada siapa, siapa yang lebih menarik perhatian, dan sebagainya.
Aku hanya merasa terhibur oleh tingkah mereka yang seolah-olah sedang berada di tengah panggung pertunjukan besar.
Terkadang, jadi penonton adalah pilihan terbaik, dan aku memilih untuk tidak terlibat dalam pertarungan kata-kata yang tak jelas arahnya itu.
Dalam tidurku, aku memutuskan untuk mengabaikan segala kegaduhan di sekitarku.
Setidaknya, di dalam mimpi, aku bisa merasakan kedamaian yang sepertinya tak mungkin kudapatkan di sekolah ini.
"Kalian jangan berantem gara-gara gue," ucap sang pahlawan wanita.
Aku, yang mendengar suaranya, semakin natural terlihat sedang tidur.
Padahal, telingaku peka sekali di antara bisingnya para pendukung kedua belah kubu.
"Dia tuh makin diemin, makin ngelunjak," kesal Gemma.
"Udah enggak usah ribut-ribut ya," bujuk Kiara dengan suara tenangnya, mencoba meredakan tensi yang tengah memanas.
Aku tetap pura-pura tidur, berharap mereka tak akan menyadari bahwa aku sedang memantau drama cinta sekolah ini dari sudut pandang "tertidur".
Kiara mencoba membujuk kedua belah pihak, seolah-olah menjadi mediator dalam pertikaian ini.
Aku berharap agar pertunjukan ini segera berakhir, aku memilih untuk terus bersikap "tidur" sambil menikmati komedi kelam sekolah ini dari kursi nyamanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ndaaa
authornya kocak deh
2024-01-21
1