Aku kembali ke rumah, yang lebih mirip istana daripada tempat tinggal biasa.
Rumah ini begitu besar, bahkan kucing pun bisa tersesat mencari pintu keluar.
Tapi yang paling menonjol adalah suasana sepi di dalamnya.
Seolah-olah rumah ini memutuskan untuk menggelar pesta kesepian, dan aku adalah tamu kehormatannya.
Dengan langkah berat, aku berjalan melintasi lorong-lorong yang panjang dan tak berujung.
Suara langkahku seperti memantul di dinding-dinding besar yang sepertinya menatapku dengan penuh tanya.
Begitu sampai di kamar, aku memutuskan untuk menyapa kasur lebar dan empuk yang nampaknya lebih akrab daripada kebanyakan orang yang pernah kuketahui.
"Selamat datang kembali, Putri Kesepian!" teriak kasur dengan suara serak yang kubayangkan.
Aku merapatkan diri ke dalamnya, seolah-olah mendapatkan pelukan dari sahabat lamaku yang empuk.
"Hari ini kita akan bermimpi indah dan menaklukkan negeri kebosanan bersama-sama!" Lanjut ku sambil memutar-mutar pita di kepala tempat tidur.
Sampai malam pun rumah ini tetap sunyi, seakan-akan menjadi kandidat juara dalam kompetisi rumah paling sepi di dunia.
"Makan, makan sendiri," kataku pada diri sendiri, seolah-olah menjadi pengisi acara utama di acara "Solo Dinner Night."
Melihat diriku sendiri duduk sendiri di meja makan, rasanya seperti adegan dramatis dalam film Korea.
Tapi buatku, ini adalah "gwaenchana gwaenchana-yo,"
Aku malah merasa senang karena bisa makan sepuasnya tanpa ada yang menilai atau mengomentari jumlah makananku.
Aku menyantap hidangan malamku sambil berbincang dengan panci dan wajan di dapur.
"Hari ini kita menyajikan menu ramen instan dengan sentuhan khas chef malas!" seruku sambil mencicipi kuahnya.
Dapur dan isinya pun menjadi teman setia yang selalu hadir untuk menemani kesendirianku.
Satu-satunya yang kurindukan hanyalah suara tawa dan obrolan keluarga.
Tapi untuk sementara, "gwaenchana gwaenchana-yo," adalah mantra yang membuat malamku tetap ceria.
"Putri Halisa!" teriakan menggelegar itu membuatku sangat terkejut, hampir saja copot jantung.
Aku dengan sigap berbalik, dan di hadapanku ternyata ada satu raja, satu putra mahkota, dan satu pangeran.
Pandangan mereka membuatku merasa seperti seorang babu yang kebetulan tersesat di antara kebangsawanan.
"Panggil seluruh pelayan!" Kak Candra tiba-tiba teriak penuh amarah.
Langsung saja, di hadapan kami berjejer para pelayan.
"Apa yang kalian lakukan sampai Putri makan mie?" tanya Kak Leon.
Sementara itu, Deddy hanya diam sembari melihatku.
"Maaf, kami tidak tahu bahwa non, Putri mau makan," ucap Mbak Nisa.
"Udah deh, lagian aku juga mau makan mie. Udah lama enggak makan ini," ucapku canggung. Mereka bertiga menghela napas panjang.
"Lain kali kalian harus hati-hati dan bekerja dengan benar!" ucap Deddy.
"Baik, tuan," ucap mereka kompak.
"Pergilah," ucap Deddy.
Setelah itu, semua orang menghilang, menyisahkan kami bertiga yang masih berada di dapur.
"Kalian enggak istirahat?" tanyaku.
Dan tanpa berkata apa-apa, mereka langsung balik ke kamar masing-masing, meninggalkanku di dapur yang luas ini.
"Keluarga mapiah macam apa ini?" bingungku.
Aku memutuskan untuk membawa mieku dan memakannya di kamar.
Di kamar, aku duduk dengan anggun di atas tempat tidur sambil menikmati mie.
Entah mengapa, rasanya absurd melihat seorang putri sedang menikmati mie instan di tengah istana megah.
Mungkin inilah cara kuasa istana menyenangkan putri-putrinya, pikirku sambil tertawa kecil. Semoga mie ini membawa keberuntungan di istana yang penuh kekayaan ini.
Pagi ini dimulai dengan semangat tinggi, sampai-sampai aku yakin hari ini bakal jadi hari terbaik dalam sejarah sarapan keluarga kami.
Kami semua duduk di meja makan dengan tatanan yang serius, kayaknya lagi siap ngadain rapat paripurna aja.
"Lain kali jangan makan mie lagi," tegur Deddy dengan pandangan serius.
"Iya, maaf," ucapku sembari menunduk, seolah-olah aku baru saja melakukan pelanggaran besar.
Di dalam hati, aku berpikir, "Ini kan cuma mie, nggak kayak aku makan kaktus."
Mereka semua ngebayangin aku lagi sedih, seolah-olah aku sedang memikirkan rahasia besar yang nggak bisa dibagi.
Sementara itu, aku sibuk ngunyah daging sapi yang enaknya kelewatan.
Sungguh, hidangan ini seperti pesta di dalam mulut saya.
"Iya, iya, maaf banget ya, kemaren aku makan mie. Besok aku janji makan anggur, biar keliatan lebih high class," ucapku sambil tertawa.
Tak ada suara di meja makan, dan tiba-tiba mereka bertiga bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja, ninggalin aku sendirian di tengah-tengah kebingungan.
Aku hanya bisa memandang mereka yang pergi dengan tatapan campur aduk, tak tahu apa yang sedang terjadi.
"Non, ini bekalnya," ucap mbak Nisa sambil memberikan sebuah kotak makan kecil yang isinya pasti lezat, mengingat masakan mbak Nisa selalu enak.
"Iya, mbak. Makasih banyak ya," ucapku sambil tersenyum.
Setidaknya, ada satu orang yang masih memperhatikanku di tengah kejadian aneh tadi.
Setelah itu, seperti biasa, aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Mang Demon, sopir keluargaku, sudah menunggu di depan rumah dengan mobilnya yang selalu kelihatan garang.
Meski namanya 'Demon', tapi sebenernya Mang Demon orangnya baik dan setia.
Mungkin namanya lebih cocok jadi 'Angel' daripada 'Demon', tapi ya sudahlah, namanya udah nempel.
Baru saja sampai di sekolah, tiba-tiba aku merasa diperhatikan seperti seorang artis yang baru tiba di karpet merah.
Pandangan orang-orang mengarah ke arahku, dan ada rasa tidak nyaman yang menyelimuti.
Aku berjalan menuju kelas dengan kepala tertunduk, berharap semuanya hanya khayalan belaka.
Namun, takdir sepertinya memutuskan untuk memberikan twist yang lebih menarik.
Di tengah perjalanan, aku dihadang oleh sekelompok orang yang sepertinya ingin membuat kejutan tak terduga dalam hidupku.
"Kenapa?" tanyaku bingung sambil mencoba menyelipkan senyum di wajahku.
"Ayok ke kelas," ajak Bimo, salah satu dari mereka, sambil menatapku dengan tatapan aneh.
Mereka terus bergerombol di sekelilingku, dan aku merasa seolah-olah sedang dikepung oleh sekumpulan peneliti penasaran.
Aku merasakan ketidaknyamanan semakin meningkat, dan aku memutuskan untuk menjauh.
Maka, tanpa banyak omong, aku memutuskan untuk tancap gas.
Aku jalan cepat di depan mereka, seolah-olah aku adalah pesohor yang terlambat menuju panggung.
Semakin banyak yang menyoroti dan mengikuti langkahku, dan aku berusaha mengabaikan semua itu.
Aku bisa merasakan sorotan mata dan bisikan-bisikan di belakangku, tapi aku memilih untuk tetap fokus menuju kelas.
Kadang-kadang, menjadi pusat perhatian bukanlah hal yang menyenangkan, terutama jika itu terjadi tanpa alasan yang jelas.
Aku hanya berharap bahwa hari ini segera berlalu, dan aku bisa kembali menjadi siswa biasa yang tidak diperhatikan seolah-olah sedang di red carpet setiap kali memasuki gerbang sekolah.
"Cepet banget neng jalannya, kayak kapal jet?" goda Bimo dengan nada canda saat dia berjalan beriringan denganku.
Aku hanya diam dan terus berjalan, berharap mereka akan cepat bosan dan membiarkanku sendiri.
"Gambek dia gara-gara lo palak," celetuk Revan dengan wajah yang penuh senyum nakal.
Melihat tingkah anak buahnya yang tak bisa mempertahankan wajah coolnya, ketua mereka hanya diam, mungkin sedang berpikir bagaimana bisa meredakan kekacauan ini.
Aku merasa seakan-akan menjadi target empuk lelucon mereka.
Meskipun sebenarnya aku tak paham kenapa aku jadi pusat perhatian.
"Santai aja, guys. Nggak ada yang palak-palakan. Sibuk sendiri aja," ucapku dengan nada cuek, berusaha menunjukkan bahwa aku tidak terpengaruh oleh ledekan mereka.
Namun, mereka tetap tidak bisa menyembunyikan senyum jahil di wajah mereka.
Aku mencoba berjalan lebih cepat, mengabaikan komentar-komentar mereka.
Sementara itu, Bimo terus menggoda dengan lelucon-lelucon ringan.
"Lo tahu nggak, lo tuh punya gaya jalan yang keren banget, kayak lagi di catwalk," goda Bimo lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih dramatis.
Aku hanya tersenyum tipis, berusaha untuk tetap tenang. "Terima kasih, Bimo. Tapi aku nggak mau jadi model catwalk. Lagian, nggak cocok deh, kayaknya."
Revan tertawa sambil menyusul, "Ciyee, jadi model aja kok nggak mau. Lagian, model kan biasanya suka diperhatiin, neng."
Ketua mereka yang selama ini diam akhirnya ikut bicara, "Sudahlah, biarin aja. Kita semua ke kelas sekarang. Nggak mau ketinggalan pelajaran, kan?" ucap Kenzo mencoba menghentikan arus ledekan mereka.
Aku merasa lega ketika mereka akhirnya menghentikan godaan mereka.
Meskipun kejadian ini membuatku jadi pusat perhatian sejenak, aku berusaha membiarkannya berlalu begitu saja.
Sembari berjalan menuju kelas, aku berharap hari ini tidak akan semakin rumit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ndaaa
lnjut...
2024-01-21
1