Pagi ini, rumah ini terasa sepi dan sunyi seperti adegan film horor yang sedang melibatkan hantu yang malas.
Aku duduk di meja makan, mencoba bersahabat dengan sepiring nasi dan lauk yang tampaknya juga kesepian.
"Mungkin ini saatnya aku mulai berbincang dengan sayuran," gumamku, mencoba menciptakan suasana akrab di meja makan.
Setelah menerima bekal dengan kehadiran yang sangat minim dari anggota keluarga mafia, aku melangkah keluar rumah dengan perasaan sepi dan bercampur aduk seperti smoothie buah yang tidak tercampur rata.
Naik ke dalam mobil, aku disambut oleh Mang Demon, si sopir dengan senyuman misteriusnya.
"Sampai di sekolah, ya, Mang," ucapku dengan penuh semangat, seolah-olah pergi ke sekolah adalah pilihan yang sangat menyenangkan.
"Makasih, Mang, pintunya dibukakan dengan begitu penuh gaya."
"Sama-sama, non," jawab Mang Demon sambil tersenyum misterius.
Aku berpikir, 'Mungkin dia adalah makhluk setengah manusia, setengah demon yang menyamar sebagai sopir. Tapi hei, dalam dunia novel, siapa tahu?'
Aku berjalan di koridor sekolah dengan penuh kepercayaan diri, menyadari bahwa banyak mata yang melirikku.
Tentu saja, aku tahu aku cantik kok, menyilaukan seperti matahari di tengah padang pasir.
Kulit glowing, rambut sepanjang air terjun, semuanya lengkap dengan aura yang membuatku seperti bintang pop yang berjalan di tengah sekolah.
"Put? Udah ngerjain PR belum?" tanya Beno, seorang pria yang diakui kegantengannya, tapi ya, tidak ganteng-ganteng amat. Dia juga sahabat dekat si antagonis, Kenzo.
"Udah," ucapku dengan sikap rendah hati, sembari menundukkan kepalaku seperti layaknya ratu yang memberi hormat pada subyeknya.
Karena di sebelahnya, ada Kenzo, si antagonis tampan dan bergelimang harta tujuh turunan. Aku tidak ingin menyinggung perasaan hati para pengagumnya.
"Lo nakutin dia, goblok," kata Revan, teman mereka, sembari menempeleng kepala Beno.
"Apa sih?" kesal Beno.
"Mana PR mu?" pinta Beno kemudian dengan ekspresi seriusnya.
Sebenarnya, dalam hatiku, aku hanya ingin menggerutu, tapi apalah daya, aku adalah makhluk baru di sekolah ini.
Sebagai penjelmaan kepolosan, aku membuka tasku dengan penuh semangat, tanpa menyadari bahwa nantinya akan ada kekacauan hebat yang melibatkan cemilan.
Seketika itu juga, banyak jajan-jajan yang tumpah dari dalam tasku, seolah-olah tas itu adalah portal ke dunia lezat yang menggoda.
Semua orang di sekitar terdiam, tercengang melihat berbagai macam camilan yang bertebaran di lantai.
Mereka menatapku seperti aku baru saja membuka pintu menuju alam semesta permen.
Aku langsung panik dan tanpa berpikir panjang, aku segera mungutin semua jajanan yang tercecer dan kumasukkan lagi ke dalam tas.
Seakan-akan aku sedang bermain permainan ketangkasan di tengah-tengah koridor sekolah.
Sambil mencari buku matematika yang entah keberadaannya di mana, aku akhirnya menemukannya dan tanpa melihatnya dengan seksama, aku langsung memberikannya pada Beno.
"Ini, deh," ucapku singkat, sambil berharap bahwa tindakanku yang agak kacau ini tidak menciptakan impresi aneh di antara teman-teman baru di sekolah.
Sedetik kemudian, aku mendengar banyak gelak tawa menggema di sekitar koridor sekolah.
Ketiga orang yang berada di hadapanku, termasuk Beno, tampaknya sedang berjuang keras menahan tawanya, sambil mempertahankan ekspresi cool mereka.
Padahal, di mataku, mereka terlihat seperti orang-orang yang sedang berjuang menahan sesuatu yang jauh dari kesan cool, lebih mirip menahan berak.
"Aku duluan," pamitku, mencoba menyusun langkah dengan sikap yang berusaha terlihat santai.
Aku berjalan dengan kepala sedikit menunduk, seolah-olah berharap menemukan harta karun uang receh di lantai.
Sesampainya di dalam kelas, aku langsung duduk dengan sikap yang mencerminkan kekacauan pagi ini.
Jam pelajaran dimulai, dan aku belajar dengan malas-malasan.
Sebenarnya, jiwa dan semangatku sudah seperti orang tua renta yang baru saja pulang dari pekerjaan berat.
Bayangkan saja, usiaku yang sebenarnya 25 tahun, kini terjebak dalam tubuh anak 16 tahun.
Sudah lama selesai sekolah, dan sekarang harus merasakan kembali bangku sekolah, bukan lagi sebagai guru, tapi sebagai murid.
Waktu yang ditunggu akhirnya tiba, jam istirahat.
Aku baru saja bersemangat ingin membuka tutup bekalku, tetapi rencanaku langsung digagalkan oleh seseorang yang seolah-olah tiba-tiba muncul dari bayangan.
"Ikut makan di kantin aja," ajak Bimo.
Aku memandangnya heran, seolah-olah bertanya dalam hati, 'Bimo, punya mata enggak sih? Kan aku udah bawa bekal, ngapain aku ke kantin?'
"Aku di kelas aja," jawabku dengan suara kecil, seolah-olah volumenya bisa dikecilkan sedemikian rupa agar tidak terdengar.
Namun, nampaknya usaha itu sia-sia karena Bimo, seakan-akan pikiranku bisa dibaca, langsung menarik tangan ku dengan semangat luar biasa.
"Enggak ada penolakan," ucap Revan dengan tegas, sembari mengambil bekalku dan membawanya menuju kantin, sebagai wujud aksi heroik menyelamatkan bekalku dari kepemilikan sahku.
Bimo yang masih bersemangat menarik tanganku, seolah-olah aku adalah sapi yang diajak berjalan keliling kandang.
"Jalan," ucap Kenzo sok cool, sambil berjalan tanpa beban.
Padahal, ya, dia enggak bopong kulkas atau apa pun yang bisa dianggap berat.
Aku hanya bisa mengikuti kekacauan ini dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan terkejut, berharap bahwa petualangan kantin ini tidak akan berakhir dengan kehilangan seluruh persediaan bekalku.
"Duduk," perintah Kenzo seolah-olah dia adalah seorang presiden yang memberikan instruksi pada bawahannya.
Padahal, oi, dia enggak tahu apa bapakku seorang mapiah?
"Gue pesen dulu," ucap Revan, sambil berlalu ke arah penjual makanan.
Revan dan Bimo pergi memesan makanan, dan tentunya, mereka tidak lupa memesannya juga untuk bos besar mereka, Kenzo.
Aku hanya diam, sembari membuka bekalku yang isinya jadi terasa seperti tumpukan batu bata di hadapan kemegahan pria-pria ini.
Tiba-tiba, aku merasa punggungku seolah-olah bolong, padahal aku bukan sundel bolong.
Ya, ternyata banyak haters yang tak suka aku duduk di sebelah Kenzo.
"Bawaannya kayak pake laser mata aja, sih," gumamku dalam hati, berusaha bersikap biasa saja meski punggungku terasa seperti sedang jadi objek perhatian di pameran seni kontemporer.
Di tengah kekacauan ini, aku berharap pesanan makanan mereka cepat datang, bukan hanya untuk memberikan alasan buat berhenti memandang punggungku, tapi juga agar aku bisa fokus pada bekalku tanpa harus melibatkan diri dalam drama kantin yang aneh ini.
"Aku makan duluan ya," ucapku tanpa menunggu jawaban dari Kenzo dan tanpa menunggu kedatangan Bimo dan Revan.
Langsung saja aku memulai santapanku, seolah-olah aku sedang mengikuti lomba makan cepat di tengah kantin yang penuh drama ini.
Baru saja menyuap mulut dengan nikmat, tiba-tiba aku merasakan panas di punggungku.
Awalnya, kupikir itu karena pandangan penuh kecemburuan dari orang-orang di sekitar.
Ternyata, kenyataannya, punggungku benar-benar kena kuah bakso.
"Put, lo enggak papa?" heboh Bimo yang baru saja muncul dengan Revan, seolah-olah menonton adegan drama melekat di kulitku.
Kenzo langsung menguncangkan badanku dengan ekspresi serius, tapi aku masih terus mengunyah makananku seolah-olah tak tahu bahwa ini adalah drama yang serius.
"Enggak, enggak. Santai aja," jawabku dengan santai, sambil mencoba menyelamatkan wajah di tengah kekacauan ini.
Mungkin ini salah satu momen tak terduga yang membuatku terkenal di dunia novel ini.
Sambil tetap cool, aku merasa bakso di punggungku sebagai tanda penghargaan atas kesabaran dan semangatku dalam menjalani kekonyolan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ndaaa
ga bisa berhenti ngakak
2024-01-21
1