Gosip

Briana melangkah melewati koridor dengan perasaan tidak nyaman. Ia pun menaikan kupluk jaketnya ke atas kepala seraya memasang headphone ke telinganya.

Ia benci situasi ini, Ia tidak suka menjadi pusat perhatian semua orang.

Tentunya dampak dari Ia menolak Gerald kemarin lusa, membuatnya menjadi bahan gunjingan orang-orang. Terutama para gadis-gadis.

“Oh, dia yang nolak Gerald”

“Itu bukannya cewek kaku dari kelas 11 IPA 1 itu ya?”

“Cantik si tapi keknya enggak banget deh”

“Ya... Mungkin dia nolak Gerald karena sadar diri”

“Seriously dia nolak Gerald?”

Begitulah kurang lebihnya gunjingan para siswa yang melihatnya melintas.

Briana berjalan cepat saat posisinya sudah semakin dekat dengan pintu keluar. Ia pun bernafas legah saat langkahnya sudah sampai di halaman depan.

Briana pun melanjutkan jalan dengan tenang menuju gerbang keluar. Tanpa Briana sadari, sedari Ia keluar dari pintu koridor ada seorang laki-laki berjaket kulit hitam yang sedang memperhatikan dan mengikutinya hingga ke halte bus.

Bahkan laki-laki itupun ikut duduk di salah satu bangku halte yang jaraknya cukup berjauhan dengan bangku yang di duduki Briana. Laki-laki itu sengaja menggunakan trik itu agar bisa leluasa memperhatikan Briana.

Laki-laki itu langsung berdiri saat Briana mulai memasuki Bus. Ia pun berjalan perlahan mengikuti orang-orang lain yang hendak memasuki bus.

‘Gue harus selidiki darimana gadis itu berasal. Bisa jadi dia orang yang Audric maksud’ batin Zega sambil menatap sekilas ke arah Briana yang kini sudah duduk di salah satu kursi sambil bermain handphone.

Zega pun memilih untuk berdiri karena misinya Ia harus memperhatikan setiap gerak gerik gadis itu dan mengikutinya sampai ke arah tujuan gadis itu. Jika Ia memilih kursi bus, itu artinya pandangannya akan terhalang dan hal itu akan berpotensi membuatnya kehilangan jejak gadis itu.

Bus pun mulai melaju ke arah jurusannya. Beberapa menit Zega menunggu sampai Bus berhenti di halte berikutnya.

Gadis yang sedang diikutinya nampak terbangun dari duduknya dan berjalan menuruni bus. Zega pun mulai mengikutinya. Ia sengaja menempatkan posisinya berselang dengan salah satu penumpang lainnya yang hendak turun juga agar gadis itu tidak curiga.

Zega terus mengikutinya berjalan dari belakang dengan sesekali menyembunyikan dirinya di balik pepohonan trotoar.

“Dia masuk ke cafe?” Zega pun berjalan cepat memasuki cafe tersebut. Ia memilih salah satu meja yang kosong untuk Ia duduki.

Zega pun memesan satu minuman kepada pelayan agar tak terasa camplang sekali mejanya. Ia pun celingukan sejenak mencari gadis tadi namun, Ia tak menemukan gadis itu di sudut manapun.

“Kok dia gak ada ya” monolognya.

Tiba-tiba saja datang tiga orang laki-laki berbadan besar memasuki cafe sambil mendorong pintu masuk cukup keras hingga membuat Zega dan beberapa pengunjung lainnya terkejut.

“Briana keluar lo” teriak pria bertopi hitam.

“Gak keluar gue hancurin nih cafe”

“Pak tenang Pak” seorang laki-laki berkemeja biru polos datang menghalau tiga preman itu. Sepertinya pria berkemeja biru polos itu merupakan manager di cafe ini.

“Mana karyawan lo ha? Panggil dia sekarang!”

“Iya iya” nampak si manager linglung dan bingung harus berbuat apa.

Tak lama kemudian seorang gadis bercelemek cream datang menghadap ketiga preman itu.

Zega mengernyitkan dahinya melihat gadis itu kini sudah berganti pakaian menggunakan seragam pegawai cafe.

‘Jadi bener apa yang dia bilang sama Eris kemarin kalo dia kerja di cafe ini?’ batin Zega.

“Bayar utang orang tua lo” todong pria bertopi hitam.

“Maaf Pak, saya belum ada uang. Bulan depan ya Pak” mohon gadis itu dengan kedua telapak tangan menyatu.

“Gak ada bulan depan bulan depan, harus sekarang! Lo mau rumah lo yang sepetak itu kita sita?” Briana menggeleng keras.

“Tapi saya bener-bener belum ada duit hari ini Pak”

“Okeh saya kasih waktu kamu satu minggu, kalo gak bisa bayar dalam jangka satu minggu, rumah lo bakalan langsung gue segel” ancam pria bertopi hitam itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Briana. Ketiga Pria itupun akhirnya berbalik dan pergi dari cafe tersebut membuat semua orang bernafas lega.

Chika pun mendekati teman kerjanya tersebut seraya mendekapnya. “Lo yang sabar ya” Briana tersenyum tipis dan mengangguk.

“Briana” manager menatap Briana dengan tatapan marahnya.

“Sudah berapa kali preman-preman itu membuat kegaduhan di cafe saya? Saya tidak mau cafe saya sampai rusak dan tercap jelek gara-gara kamu ya. Saya minta maaf, tapi saya sudah tidak mau menerima kamu lagi”

“Pak tapi Pak” sang manager pun langsung pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan permohonan Briana.

Briana menundukkan kepalanya sambil memejamkan matanya. Ia berusaha menahan air matanya yang terasa ingin tumpah dari area matanya.

“Bri” Chika memeluk Briana dengan sedih.

Briana pun balas memeluk Chika sambil menepuk-nepuk pundak gadis itu. “Gue gak papa kok, gak usah khawatir. Lo baik-baik disini ya, gue pulang dulu”

Briana pun mengurai pelukannya dan menatap Chika dengan lirih. “Kita masih tetep temenan, kan?” Briana mengacungkan kelingkingnya.

“Masih kok” Chika pun menyatukan kelingkingnya dengan kelingking Briana.

“Dadah Briana” Chika melambaikan tangannya dengan tatapan sedih.

Briana tersenyum tipis seraya membalas lambaian tangan Chika sebelum akhirnya Ia melangkah keluar cafe. Briana pun berjalan menelusuri trotoar sambil sesekali menyeka air matanya.

“Gue gak tau lagi harus gimana. Hutang orang tua gue masih banyak sedangkan gue di pecat dari kerjaan gue” monolognya dengan sesekali terisak kecil.

Briana yakin Ia sekarang sudah seperti orang gila yang berjalan tanpa arah dan menangis tanpa sebab di pandangan orang yang melihatnya.

Namun Briana tidak peduli dengan pandangan orang, Ia benar-benar sedang hancur dan di ambang kebingungan tanpa arah tujuan.

“Aku harus kerja apa lagi ya tuhan” Briana mengusap wajahnya kasar.

“Lo bisa kerja di apartemen gue” langkah Briana terhenti mendengar suara seseorang dari belakangnya.

Ia menoleh dan mendapati seorang laki-laki berbadan tinggi dengan jaket kulit hitam di badannya sedang berdiri menatap Briana datar.

Briana terdiam memperhatikan wajah laki-laki di depannya. Dia adalah laki-laki yang sempat Ia tolong waktu di kroyok dan dia juga yang sempat menolongnya dari Gerald yang mengganggunya kemarin. Serta yang mengantarnya ke kelas lalu meninggalkannya begitu saja tanpa berbicara.

“Elo? Ngapain disini?” Briana menggerakkan satu alisnya menatap Zega.

“Ini tempat umum!” ujar Zega datar dan dingin dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Briana terdiam dengan bibir mencebik.

“Mmm... Soal kerjaan... Lo serius?” Briana menatap Zega menelisik.

“Hmm. Itupun kalo lo mau”

“G__gue...”

“Yaudah kalo gak mau” Zega pun berjalan melewati Briana.

“Eh tunggu-tunggu” Briana langsung mengejar Zega dan menahan pundaknya.

Zega berbalik badan dan menatap Briana dengan smirk. “Ini alamat gue” Zega pun memberikan kartu alamat apartemennya kepada Briana.

Briana pun menerimanya dengan ragu-ragu. Tanpa berkata apapun lagi, Zega pun pergi begitu saja meninggalkan Briana dalam keadaan bimbang.

Briana pun mulai membaca kartu alamat yang Zega berikan dengan dahi mengernyit.

****

Clek...

Briana memasuki rumah sederhananya sambil menyeka air matanya kasar. Ia pun mendudukkan dirinya pada sebuah sofa di ruang tengah.

“Hiks...” Briana menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan.

“Kenapa tuhan? Kenapa aku harus hidup seperti ini? Sebatang kara tanpa keluarga, miskin, di tinggalin hutang, saat aku sudah mendapatkan pekerjaan dan teman baik seperti Chika, aku malah di pecat. Aaaaa....” Briana mengacak-acak rambutnya frustasi.

“Haaah” Ia berteriak terkejut saat lagi-lagi tangannya mengeluarkan cahaya hijau.

Briana berusaha menghilangkan cahaya hijau itu dari tangannya dengan menggerak-gerakkan tangannya namun, bukannya menghilang cahaya itu malah terpisah dan menerjang fas bunga di atas meja hingga pecah berkeping-keping.

Sontak melihat itu membuat Briana terkejut dan berdiri dari posisinya dengan ketakutan.

“Apa ini? Gue.... Gue.... Emang bener-bener punya kekuatan” Briana memperhatikan telapak tangannya yang masih bercahaya tersebut.

Briana yang merasa penasaran pun, perlahan mengarahkan tangannya ke objek lain. Kali ini bukan ke fas bunga tapi kotak pensil di atas meja.

Briana menutup mulutnya dengan tangan kiri lantaran shock melihat kotak pensil itu bernasib sama seperti fas bunga tadi, hanya saja karena kotak pensil itu terbuat dari plastik walaupun jatuh tak pecah seperti fas bunga tadi.

“This is so magical” Briana tersenyum smirk saat mengetahui kemampuan anehnya ini bisa Ia kendalikan.

****

Di Istana Kerajaan Galger.

Seorang wanita setengah baya nampak sedang memandangi foto seorang bayi kecil di dalam bingkai sambil terisak tangis.

“Where are you now son? Ibu sangat rindu padamu. Maafkan Ibu nak, Ibu terpaksa membuang mu. Ibu yakin dengan kekuatan yang kamu miliki, kamu masih bisa bertahan sampai hari ini. Ibu sangat berharap tuhan akan mempertemukan kita” Queen Anastasia memeluk bingkai tersebut dan mengelusnya lembut.

Tangan Queen Anastasia tiba-tiba mengepal keras. Tatapan matanya menatap ke depan dengan tatapan marah.

“Ini semua gara-gara pasukan vampir sialan itu. Aku berharap Maxero dapat menyingkirkan vampir-vampir itu. Sudah 12 tahun Maxero tidak kembali, aku berharap perjuangannya selama ini tak sia-sia”

“Ibu” Queen Anastasia langsung mengejut saat ada seseorang yang memanggilnya. Ia pun menoleh ke arah sumber suara.

“Astaga Garvi Ibu terkejut mendengar suara mu” Queen Anastasia mengelus dadanya.

“Ibu mengira jika yang datang Eris?” Garvi duduk di samping sang ibu seraya memeluknya.

“Ibu, izinkan Garvi mencari adik Garvi yang hilang Bu” Garvi memandangi bingkai foto seorang bayi yang sedang ibunya pegang.

“Bagaimana kamu mencarinya? Kita tidak tau apakah dia masih di kota ini atau tidak”

“Garvi akan mencarinya sebisa Garvi. Garvi akan menggunakan kekuatan batin Garvi untuk mencari adik Garvi” keukehnya.

“Kau seorang publik figur Gar, tak mudah bagi mu untuk leluasa bergerak”

“Garvi akan mengerahkan semua bodyguard yang Garvi punya” Queen Anastasia menghela nafas gusar.

“Kau memang keras kepala” Queen Anastasia membelai pipi putranya itu sambil tersenyum simpul.

“You know that Ibu” Garvi memegang tangan Queen Anastasia yang sedang memegang pipinya dan membalas senyuman sang Ibu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!