3.3.

"Aku tidak mau ketemu Kakak kalau Kak Sean tidak mau temenin Ibel main raket," ujar Isabella dari dalam kamar.

"Huh, ok," jawab Sean pasrah. Adiknya itu benar-benar keras kepala.

Tidak lama pintu di hadapannya itu terbuka. Menampilkan sosok Isabella yang kini mengembangkan senyum manisnya. Wanita itu langsung menarik tangan kakaknya dengan semangat menuju halaman belakang mansion itu.

"Ih Kak Sean, Kenapa ngopernya begitu, sih?" Isabella menggerutu kesal karena kakaknya itu mengoper bolanya rendah sekali. Sean tidak menanggapi ucapan adiknya itu. Akh, ia benar-benar malas, dengan kesal lelaki itu mengoperkan bolanya dengan pukulan keras sehingga bolanya melambung tinggi. Isabella yang ingin menggapai bola itu melompat agar raketnya menyampai bola. Namun, bukannya raketnya yang menyentuh bola, malah lututnya yang kini mencium lapangan itu.

"Aduh!" Wanita itu mengadu kesakitan. Bisa dilihat lututnya sobek karena berbenturan dengan lapangan semen itu. Sean yang tersadar begitu melihat adiknya telah berjongkok memegangi lututnya itu bergegas menghampirinya.

"Duh Dek, kenapa bisa gini, sih?" tanya lelaki itu antara cemas dan bingung. Isabella yang mendapatkan pertanyaan bodoh dari kakaknya itu menatap kesal sang kakak.

"Pakai nanya lagi. Kakak saja yang ngoper bolanya ketinggian," ucap Isabella kesal. Masih meniup-niup lututnya itu yang berdarah. Sean langsung bergerak mengangkat tubuh adiknya itu masuk ke dalam mansion. Mendudukkannya di sofa ruang tengah.

"Lho, Den, Nyonya Ibel kenapa?" tanya Bu Grey salah satu pelayan di mansion itu.

"Tolong ambilin kotak obat, Bu!" perintah Sean berjongkok meniup-niup lutut adiknya yang berdarah itu. Isabella menatap haru perhatian yang kakaknya itu berikan.

"Sakit tidak, Dek?" tanya Sean begitu mulai membersihkan darah di lutut Isabella dengan cairan alkohol. Isabella hanya menggigit bibir bawahnya menahan perih di lututnya itu. Meski ia manja, bukan berarti ia perempuan yang cengeng. Bahkan luka sebesar pun ia tidak pernah menangis.

"Kakak tadi sudah bilang jangan  main raket, kamunya bandel," celoteh Sean begitu selesai mengobati lutut Isabella. Lelaki itu ikut duduk di sofa samping adiknya itu. Menyandarkan tubuhnya menepis pusing yang tiba-tiba datang. Ini pasti karena ia melihat darah di lutut Isabella tadi.

"Kak ...." Isabella menyenggol lengan kakaknya itu yang sedang memejamkan mata.

"Ada apa?" tanya Sean tanpa membuka matanya.

"Maaf," ucap Isabella pelan. Kakaknya itu pasti sedang pusing. Kakaknya yang satu ini memang tidak bisa melihat darah sedikitpun, karena ia akan pusing.

"Tidak ada acara main raket lagi setelah ini!" seru Sean menegakkan tubuhnya. Menatap adiknya itu penuh peringatan, sedangkan Isabella yang menerima peringatan itu menghela napas kasar. Akh, berlebihan!

***

Malam mulai menyelami peraduan. Wanita itu nampak nyenyak tidur di kasurnya. Tidak peduli jika awan biru telah berganti hitam. Tidak lama pintu kamar itu terbuka, menampilkan sosok pria dengan kemeja yang sudah ia gulung sampai lengan. Jas hitamnya tersampir di bahunya. Ia mengukir senyum begitu melihat wanitanya itu tidur damai. Dihampirinya ranjang tempat wanita itu meringkuk. Diusapnya pelan pelipis wanita itu. Lalu dikecupnya lama kening wanita itu. Wanita itu nampak terusik, hingga mata indahnya itu terbuka perlahan. Netranya langsung menangkap wajah tampan yang sedang menatapnya itu dengan senyuman.

"Kapan Kakak pulangnya?" tanya wanita itu khas orang baru bangun tidur.

"Baru saja," jawab Leon membenarkan rambut wanita itu yang nampak berantakan. Isabella bergerak membantu pria itu untuk melepaskan kemejanya. Ya, setidaknya ia mampu untuk melakukan ini.

"Kamu sudah makan?" tanya Leon memperhatikan wajah istri kecilnya itu yang nampak serius.

Isabella menjawab dengan gelengan kepala. Leon menatap tajam istri kecilnya itu. Akh, wanita ini sering sekali melupakan makannya.

"Maaf, Ibel ketiduran," jawab wanita itu sesekali meringis begitu ia melangkahkan kakinya menuju tempat pakaian kotor. Tentu saja ia meringis, tadi siang lututnya terluka.

"Kenapa sama kaki kamu?" tanya Leon begitu melihat cara berjalan Roshni yang kesulitan.

"Tidak apa-apa kok, cuma keram biasa," jawab Isabella sedikit gugup. Takut-takut kalau pria itu tahu apa yang terjadi dengan lututnya, habislah dia diomelin pria itu. Leon mengendikkan bahunya, berlalu masuk ke kamar mandi. Isabella menghela napas lega karena Leon tidak curiga. Ia duduk di pinggir ranjang, menyingkap sedikit dress yang ia gunakan. Dilihatnya lututnya itu membiru. Ia bergidik ngeri, kenapa bengkak gini? Dia pasti akan susah berjalan untuk beberapa hari ini. Huh! Kalau saja ia lebih berhati-hati mungkin lututnya masih sehat-sehat saja.

Leon keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Tidak didapatinya Isabella di kamar. Mungkin wanita itu sudah turun menuju dapur. Leon melangkahkan kakinya itu menuruni tangga. Berjalan menuju dapur mencari keberadaan istrinya. Dapat dilihatnya wanitanya itu duduk anteng di kursi menunggunya.

"Maaf, lama!" Dikecupnya pipi chubby wanita itu. Menarik kursi di samping wanita itu. Isabella mengambilkan nasi untuk Leon. Ditahannya sakit di lututnya karena harus berdiri menjangkau lauk yang berada sedikit jauh.

"Terima kasih, Sayang." Leon menerima piring yang disodorkan Isabella. Isabella menghela napasnya kasar, langsung mendudukkan kembali dirinya di kursi.

Sepuluh menit dihabiskan keduanya menyantap makan malam mereka. Isabella bergerak ingin membereskan piring bekas mereka makan, tapi Leon sudah menghentikannya.

"Tidak usah, biar pelayan saja yang beresin." Belum sempat Isabella mejawab pria itu telah menggendong wanita itu menaiki tangga menuju kamar.

"Kak, Ibel bisa jalan sendiri," gerutu wanita itu meminta diturunkan, tetapi Leon tidak mempedulikannya, terus menaiki tangga menuju kamar mereka. Begitu sampai di kamar, ia mendudukkan Isabella di pinggir ranjang. Menyingkap dress wanita itu membuat Isabella memekik karena kaget dengan apa yang Leon lalukan. Hati Leon mencelos begitu melihat lutut putih wanita itu kini membiru. Kenapa wanita ini tidak jujur dengannya? Antara marah dan cemas melanda dirinya.

"Kenapa bisa seperti ini?" tanya Leon dingin.

"Ehmm ... tadi jatuh waktu main raket," jawab Isabella menunduk. Takut dengan aura yang dikeluarkan pria itu. Leon mendengus kasar, berlalu dari kamar.

Isabella membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar. Huh, pria itu pasti akan mendiamkannya karena ia sudah tidak mau jujur. Bodoh! Kenapa tidak jujur saja tadi? Tidak lama mata wanita itu terpejam karena ngantuk menguasainya. Padahal wanita itu baru bangun tidur 1 jam lalu dan sekarang ia sudah tertidur lagi.

Leon masuk ke kamar mereka setelah usai menelepon dokter untuk datang ke mansionnya. Ia mengernyitkan dahi begitu mendapati Isabella yang sudah memejamkan matanya. Napasnya teratur, benar-benar tidur rupanya. Tapi cepat sekali ia tidur. Perasaan ia hanya meninggalkan wanita itu 10 menit.

...To Be Continue .......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!